Jika dia hanya duduk, Carmen tidak akan bisa menjangkaunya. "Aku sudah menuruti kemauan Mas Kaizer. Sudah merayakan hari cinta, sudah mengikuti kemauan Mas juga, menjadi baik, penurut dan tidak membangkang. Tapi-- sampai sekarang Mas tidak memberitahuku siapa sebenarnya Talita. Mas pembohong yah?" Raymond tersenyum tipis, menoleh sejenak pada istrinya. "Kau cerewet juga," ucapnya pelan. "Mas, cepat bilang!" Carmen yang kesal menutup kepala Raymond dengan handuk. "Karena aku menang dan kau mengaku mencintaiku sebelum tiga bulan berakhir, maka aku berhak meminta sesuatu padamu." Gluk' Carmen meneguk saliva secara kasar, firasatnya buruk! Jangan-jangan Raymond …- "Aku ingin kau memberiku waktu untuk bisa mengungkap siapa Talita padamu," lanjut Raymond. Carmen langsung menjauh dari Raymond, seketika membaringkan tubuhnya di ranjang. Sudah ia duga dan Raymond sangat mengecewakan! Raymond menoleh ke belakangnya, mendapati Carmen yang sudah berbaring di ranjang. "Aku berjanji a
"Weisss … santai!" Carmen dengan cepat mengangkat kedua tangan, seolah seperti kriminal yang terkepung oleh para polisi. "Dan jangan terlalu bangga pada Raymond-mu yang sangat tampan itu! Dia Lucifer! Keji dan tak bermoral. Dia membuatku bercerai dengan istriku!" geram Harlen, memperlihatkan air muka marah. 'Dasar bocah! Sukanya bermain-main dan sulit diajak serius!' batin Harlen, berusaha tetap tenang menghadapi Carmen yang menurutnya sangat menyebalkan. Dia jelek dan buto ijo?! Apa itu buto ijo?! Sialan! Istri Raymond membuatnya naik darah. "Kau Talita siapa? Dia anak Raymond dan Siran." Deg deg deg' Seketika itu juga wajah santai Carmen berganti dengan wajah tegang. Pundaknya langsung tegap dan jantungnya seketika berdebar kencang. "Raymond selingkuh darimu. Lima tahun yang lalu, dia menghamili Siran–memperkosanya dengan keji." Carmen mengerjap-erjap, sesak di dadanya perlahan mulai hilang. Meskipun dia tidak lega, tetapi dia sedikit lebih tenang. 'Bagaimana bisa
"Oh iya, kamu sudah bertemu dengan Tuan Raymond, Carmen?" "Hah?" Raymond cengang, cukup kaget mendengar pertanyaan Vinsen. Bertemu dengan Raymond? Memangnya Raymond ada di sini? "Aku melaporkan kedatangan Tuan Harlen pada Tuan Raymond karena aku khawatir Tuan Harlen berniat mencelakaimu," ucap Vinsen dengan nada ramah dan tenang, "Dan Tuan Raymond datang untuk menemui." "Tapi aku tak bertemu dengannya, Chef." Carmen menggelengkan kepala secara berulang kali, pertanda jika dia tidak bertemu dengan Raymond. "Sepertinya Tuan sudah pulang," jawab Vinsen, sedikit bingung karena Raymond tak menemui Carmen. Apa telah terjadi sesuatu antara Raymond, Carmen dan Harlen? Pada akhirnya Carmen kembali melanjutkan pekerjaan, berusaha mengalihkan pikiran dari masalah Raymond dan yang lainnya. *** Hari ini Carmen dan Talita pulang lebih cepat. Carmen tak menghubungi Raymond karena dia ingin pulang dengan Teresia. "Kuperhatikan hubunganmu dan Tuan Raymond semakin membaik." Teresia
"CARMEN!" potong Raymond cepat, membentak Carmen dengan suara menggelegar dan kuat–membuat semua orang di ruangan tersebut menunduk takut. Carmen terlonjak kaget mendengar bentakan Raymond, matanya seketika berkaca-kaca dan hatinya terasa sangat sakit. Mata Carmen mengerjap secara berulang, langsung mengigit bibir atas untuk menahan diri tak menangis. Pada akhirnya karena tak mampu, Carmen menundukkan kepala. 'CARMEN!' bentakan Raymond mengiang dalam kepalanya, membuat rasa sakit dalam hati kian bertambah. Air mata Carmen jatuh, pelan-pelan dia mengusapnya–masih menundukkan kepala karena tak berani menatap siapapun di sana. Diam-diam para maid mencuri pandang pada Carmen, tatapan mereka tak tega–kasihan pada Carmen yang dibentak oleh Raymond. "Menyingkir!" bentak Raymond lagi saat melewati Carmen, menyenggol pundak Carmen karena dia terburu-buru. Kepala Talita mengeluarkan banyak darah dan wajah Talita sudah sangat pucat. Carmen membiarkan tubuhnya disenggol oleh Raymond
Raymond telah sampai di rumah, langsung bertanya pada maid di mana Carmen berada. "Di mana Nyonya?" tanya Raymond datar. Dia masih dikuasai kemarahan tetapi dia mencoba menenangkan diri. Raymond takut kelepasan, seperti saat tadi. Talita terluka dan … Raymond tak bisa mengontrol emosi, dia menbentak istrinya. Raymond tidak bermaksud tetapi dia panik ketika melihat darah keluar dari kepala Talita. "Nyonya keluar, Tuan." "Kemana?" tanya Raymond dingin, wajahnya mulai tak bersahabat. "Ka-kami tidak tahu, Tuan," ucap salah satu maid. Raymond mengatupkan rahang dan mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi yang mulai ingin menguasai diri. Setelah itu, Raymond beranjak dari sana, tanpa mengatakan apa-apa pada maid. Ini sudah malam dan dia harus menemukan istrinya secepatnya. Carmen meninggalkan handphone dan itu membuat Raymond kesulitan melacak istrinya. *** "Mama …." Carmen menatap undukan tanah yang sudah ditanamani rerumputan, dengan tatapan berkabut–bulir kris
Carmen terbangun dan menemukan dirinya sudah dalam kamar. Pakaiannya telah diganti–saat ini mengenakan gaun tidur vintage berwarna putih gading. Carmen menatap ke sebelahnya dan tak menemukan Raymond di sana. Syukurlah, Carmen memang tak ingin bertemu dengan pria jahat itu! "Untung saja aku tidak mundur dari lomba memasak," jawab Carmen pelan, mengingat kembali kejadian tadi malam. Sampai sekarang Carmen masih sedih sebab Raymond membentaknya. Beruntung Carmen tak mundur dari lomba memasak, karena ini adalah satu-satunya jalan Carmen pergi dari Raymond. Jika dia menang, dia bisa memperoleh uang untuk biaya hidup. Raymond juga tak akan bisa mengusiknya karena Carmen akan mendapat perlindungan dari pihak penyelenggara kompetisi, selama di luar negeri. Carmen menoleh ke arah meja nakas, memperhatikan jam kecil yang menunjukkan jam dua belas siang. Mata Carmen membola, cukup panik karena dia terlambat bangun! "Bagaimana ini?" panik Carmen, buru-buru turun dari tempat tidur.
Padahal saat itu-- Raymond sangat senang karena akan memiliki saudara, dia sangat antusias menunggu kelahiran adiknya. "Apa jangan-jangan saat ini kau memiliki rencana untuk melenyapkanku, Heh?! Setelah Talita lalu aku?" "Tuan muda, jaga bicara anda!" tegur Vior cepat. Raymond berdecis lalu setelah itu kembali menertawakan ayahnya. Sejujurnya, dia membenci pria tua yang duduk di depannya, tetapi-- dia tetap melindunginya. Masalah Talita, dia bersedia namanya yang diseret hanya agar nama ayahnya tetap baik. Padahal pria tua ini sangat jahat padanya, tetapi kenapa Raymond tak bisa membiarkannya hancur?! Padahal jika pria tua ini hancur, bukankah dendamnya akan terbalas? Yah, Raymond punya dendam pada ayahnya. Dia ingin membuat pria ini menderita, tetapi saat ayahnya punya sedikit kendala, dia diam-diam turun tangan untuk membantu. Dia ingin ayahnya cepat mati, tetapi saat ayahnya sakit, Raymond malah panik dan khawatir. Dia bahkan diam-diam mengirim dokter terbaik untuk mengob
"Kamu ngapain beli pengharum ruangan sebanyak itu, Kal?" tanya Teresia, menatap kantong plastik yang Carmen pegang, "dan ngapain kamu minta aku nyuruh Chef Bayu ke sini?" "Kemarin Chef Bayu datang pakai mobil kan? Dan tadi-- kamu bilang dia juga pakai mobil. Jadi--" Carmen tak melanjutkan ucapannya, malah menunjukkan cengiran pada sang sahabat. "Hah? Aku nggak paham, Carmen sayang! Apa hubungannya Chef Bayu sama pengharum mobil?" Teresia mengerutkan kening, bingung dengan semuanya. "Nanti kamu akan tahu." Carmen menjawab santai. Tak lama Bayu datang, terkejut karena Teresia bersama Carmen. Namun, dia tidak bertanya apa-apa. Carmen dan Teresia masuk dalam mobil Bayu, keduanya kompak duduk di belakang. "Ck, aku bukan supir kalian. Salah satu pindah ke depan," ucap Bayu, menatap berang pada kedua perempuan yang duduk manis di kursi jok belakang. "Tere, ke sini," lanjutnya. "Kenapa aku? Carmen saja yang di depan soalnya dia yang punya rencana." "Kau ingin membunuhku?" B
Belum memulai dan dia sudah kalah. Sedangkan Tita, dia menganga lebar karena syok mendengar perkataan Jonny tadi. Damian meraih kotak di tangan Tita lalu asal meletakkannya di rak. "Ayo," ucap Damian, menarik Tita supaya pergi dari sana. Tita sendiri masih syok, cukup malu dan masih tak paham kenapa Jonny bisa mengatakan hal seperti tadi. Sekarang Tita jadi semakin takut dengan pria di sebelahnya ini. Jangan cuma mau enaknya saja.' Astaga, ucapan Jonny tadi-- kenapa terasa sangat mengerikan bagi Tita? Yang membuatnya semakin mending adalah Jonny menyuruh Damian menikahinya. Gila! "Kak Damian tidak perlu mengindahkan ucapan temanku tadi. Sepertinya dia sedang ada masalah," ucap Tita gugup. Di mana saat ini dia dan Damian sudah di depan mini market, menunggu Sbastian menjemput. Sebetulnya Tita masih gugup dan canggung karna perkataan Jonny tadi. Tapi, karena jajannya dibayar oleh Damian, Tita memberanikan diri untuk bersuara. "Humm." Damian berdehem singkat. "Sebe
Tita malah duduk di sana–bersebelahan dengan Damian. "Ck, kenapa kau duduk di belakang, Dek? Sini, pindah ke depan," ucap Sbastian, menoleh sambil melayangkan tatapan penuh peringatan pada Tita. Tita menganggukkan kepala lalu pindah ke depan. Mobil berjalan dan Tita tak banyak bicara karena canggung pada Damian. Sebetulnya Tita tipe yang banyak bicara dan berisik, tetapi dia pilih-pilih orang untuk memperlihatkan sifat tersebut. Contohnya pada Damian, sepertinya itu tak cocok karena Damian tipe yang pendiam dan tak banyak bicara. "Loh, kenapa kita ke sini, Kak?" Tita memprotes, mengerutkan kening lalu melayangkan tatapan tajam pada kakaknya. "Daripada kau bekerja di perusahaan orang lain, lebih baik kau bekerja di perusahaan Kak Damian," ucap Sbastian. Dia segera turun kemudian membukakan pintu untuk Damian. Tita buru-buru turun kemudian mengikuti kakaknya. "Kak, tapi aku bukan anak tata boga, manajemen ataupun ekonomi. Aku agribisnis," ucap Tita dengan setengah berbisik
Setelah makan malam bersama, keluarga Diego masih belum pulang. Sekarang mereka berkumpul di ruang tengah untuk membahas pernikahan Damian dan Olive lebih serius. "Sudah kukatakan aku tidak ingin menikah," dingin Damian, melayangkan tatapan kesal bercampur marah pada setiap orang di sana. Dia sangat tak suka dipaksa, terlebih tentang pernikahan. Carmen memperhatikan putranya secara lekat, keningnya mengerut dan matanya sedikit memicing. Sebelumya dia bertanya pada putranya dan Damian sudah bersedia. Lalu kenapa sekarang Damian menolak keras? Bahkan putranya terlihat sangat marah. "Tak apa-apa jika Tuan muda tak mau, dan kuharap kita semua tak memaksa Tuan muda," ucap Diego, tak masalah jika Damian menolak menikah dengan Olive. Tentu! Putri konglomerat saja Damian tolak, apalagi hanya putri angkat dari seorang kepercayaan sepertinya. "Damian tidak bisa menolak. Mau tak mau Damian menikah dengan Olive. Minggu depan kalian akan bertunangan," putus Lennon, memaksa agar Da
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti seta
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastian
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada