"Cih." Tita berdecis pelan, tengah menikmati mie cup dan segelas kopi hitam, sambil menonton Catrina yang tengah dikerumuni oleh ibu-ibu penghuni apartemen di lantai mereka. Tadi mereka habis menjambak Catrina secara ramai-ramai, dan itu bagian paling satisfying bagi Tita. Namun, security datang dan mengamankan. Sekarang Catrina ditahan oleh para ibu-ibu, Catrina diminta keterangan. Sebenarnya sejak tadi Catrina menyebut-nyebut nama Tita dan meminta seseorang mencarinya. Namun, tak akan ada yang bisa menemukan Tita. Buktinya Tita di sini, menonton sambil makan mie, dan mereka tak ada yang sadar. Ah ya, mereka berada di lobby apartemen. Tita mengenakan hoodie lalu menutup kepala dengan kupluk hoodie, memasang kumis berupa selotip hitam, dan jenggot dari coretan eyeliner. Aneh, tetapi tak ada yang mengetahui penyamarannya. "Tunggu sebentar, Kakak Kakak. Aku sudah menghubungi suami dari Tita, dan dia segera ke sini untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku bukan perempuan p
"Tolong temani aku di sini."Damian dengan cepat melepas cekalan tangan Catrina pada pergelangan tangannya. Dia menatap datar pada perempuan tersebut. "Sepertinya aku harus mengingatkanmu lagi, aku suami seseorang dan Istriku tengah sendiri di apartemen kami. Tidak mungkin aku mengutamakan mu dengan menemanimu di sini lalu membiarkannya sendiri di sana. Kau bukan siapa-siapa dan aku membantumu atas dasar kemanusiaan.Jika seseorang membantumu, tolong tahu diri. Jangan menjadi orang tak tahu malu!" dingin Damian, membalik tubuh lalu segera beranjak dari sana–meninggalkan Catrina yang sudah berdiri lesu sambil menatap pundak tegap Damian. "Setelah putus denganku, kenapa kau menjadi sangat dingin, Damian?" ucap Catrina pelan, tersenyum kecut sambil terus menatap kepergian Damian. Awalnya, dia mengira Damian masih memiliki perasaan padanya. Damian masih bersedia membantunya untuk menghantar putranya ke rumah sakit. Dia sempat berpikir jika Damian bisa balik padanya. Namun, ucapan Damian
"Jadi kau pandai memasak?" tanya Damian pad Tita, di mana saat ini dia dan istrinya sudah pulang ke apartemen. Tita sedang memasak dan dia sedang menemani, duduk di sebuah mini bar yang terhubung ke dapur. Tita menganggukkan kepala, menoleh sejenak pada Damian. Saat ini dia sedang memasak untuk makan malam bersama suaminya. Damian mendekati Tita, memperhatikan istrinya dari jarak dekat. "Sbastian bilang, kau sangat suka tinggal di luar kota dan kau sangat malas pulang ke rumah," ucap Damian tiba-tiba. Tita menoleh cepat pada Damian, mengerutkan kening karena merasa aneh. Kenapa Damian tiba-tiba bertanya hal itu padanya? "Apa yang membuatmu betah di tempat itu? Bahkan memilih menyambung pendidikan di kota itu," tanya Damian kemudian, membuat Tita semakin merasa bingung. Mendadak sekali Damian bertanya demikian. "Aku tidak suka di rumah. Memangnya kenapa, Kak?" tanya Tita balik, setelah menjawab secara singkat pertanyaan Damian. Pria itu mengedikkan pundak dan tampang muk
"Matematika!" jawab Damian dan Sbastian secara kompak dan bersamaan. "Tidak nyambung," gumam Tita pelan, memutar bola mata jengah dan memilih masuk begitu saja dalam ruangan Damian. 'Pria-pria datar memang aneh.' batin Tita, meletakkan tas kotak bekal yang dia bawa ke atas meja lalu dia duduk di sofa. Sejenak dia menoleh ke sana kemari, mencari-cari keberadaan Catrina. Namun, dia tak melihat perempuan itu ada di ruangan Damian, juga tak ada tanda-tanda kalau suaminya sudah makan siang. Meja kerja Damian diisi oleh laptop dan dokumen. Sedangkan di atas meja depan sofa, terlihat bersih–tak ada bekas apapun. Tadi, setelah melihat Catrina di ruangan ini, Tita segera menemui kakaknya. Dia ke ruangan Sbastian untuk memberikan makan siang yang ia bawa pada sang kakak. Tita sudah effort memasak, dan capek sekali jika dia membawa pulang masakannya tersebut. Lagian ada kakaknya, dan dia juga memang menyiapkan bekal untuk sang kakak. Namun, Sbastian malah salah paham. Kakaknya mengira ka
"Terima kasih sudah mengantarku," ucap Catrina pada seorang staf lama yang bersedia menghantar Catrina ke ruangan ini. Staf tersebut masih mengenalnya, dan dia menyambut hangat Catrina karena tetap mengira Catrina adalah perempuan spesial sang CEO di perusahaan ini. Dulu, hubungan Catrina dan Damian sangat legendaris, dan Catrina juga sering datang menemui Damian ke tempat ini. Oleh sebab itu staf lama masih mengenalinya. Sebetulnya, Catrina datang ke sini untuk mengantar sebuah kue pesanan salah satu staf. Catrina punya toko kue miliknya sendiri. Namun, biasanya bukan dia yang bertugas untuk mengantar pesanan. Hanya saja karena pesanan kali ini dari salah satu staf di kantor Damian, Catrina memutuskan untuk mengantar sendiri pesanan tersebut.Ini akan menjadi alasannya untuk bisa datang menemui dan mengantar makan siang Damian. Staf yang mengantar Catrina tersebut tersenyum manis pada Catrina, setelah itu dia beranjak dari sana. Catrina tersenyum tipis sebelum masuk ke ruangan Da
"Kak, aku sudah mengantuk. Kakiku juga kebas!!" rengek Tita tanpa sadar sambil menggoyangkan tangan Damiam, efek terlalu kesal dan dongkol melihat Catrina. Damian menoleh ke arah Tita, tersenyum tipis sambil mengusap pucuk kepala istrinya. Setelah itu, dia kembali menatap Catrina–ekspresi datar dan tatapan yang terkesan malas. "Maaf, aku tidak punya waktu untuk meladenimu. Istriku sudah mengantuk. Tolong menyingkir dan jangan menghalangi jalan," ucap Damian, mendorong cukup kasar pada Catrina agar perempuan itu menyingkir. Setelahnya, dia menarik istrinya agar pergi dari sana. Di belakang ada dua pria yang merupakan bodyguardnya, membawa kopernya dan istrinya. Catrina terdiam, memegang pundak yang didorong kasar oleh Damian. Dia membalik tubuh untuk melihat Damian, menatap pria itu dengan tubuh yang terasa membeku. 'Damian terasa sangat berbeda. Dia … jauh lebih dingin.' batin Catrina, terus menatap Damian yang pada akhirnya menghilang di belokan lorong. Karena ingin tahu Damian
"Iya, Mama," jawab Tita dengan cukup kikuk, senyum pebsodent pada mama mertuanya. "Ini--" Carmen menyerahkan sebuah buku catatan yang Carmen tulis sendiri. Buku tersebut berisi resep memasak makanan favorit putranya. Sudah lama Carmen mengerjakan ini, saat Damian masih dengan pacarnya yang pertama. Waktu itu, Carmen ingin menyerahkan buku ini pada Catrina–setelah Damian menikah dengannya. Namun, perempuan itu mengkhianati putranya dan Carmen berakhir memilih menyimpan buku ini. Hingga sekarang putranya menikah dengan perempuan cantik dan ceria, dan Carmen merasa harus memberikan buku ini pada menantunya. "Buku ini berisi resep memasak," ucap Carmen setelah buku tersebut ia serahkan pada Tita, "Damian cukup sulit menerima rasa baru dan lidahnya sulit beradaptasi. Buku ini Mama tulis sendiri, supaya kamu tidak kesusahan menghadapi perut Damian."Tita tersenyum manis, menganggukkan kepala dengan lembut. Dia menatap hangat pada Carmen, merasa senang dan tersentuh secara bersamaan. Cin
"Memangnya kenapa jika lebih dari mandi?" Damian menaikan sebelah alis, mendekat dan mengikis jarak pada Tita yang meringsut. "Ya-ya … nanti pilek," jawab Tita asalan, buru-buru berputar saat Damian sudah berada di dekatnya. Damian berdecih geli melihat ekspresi Tita. Perempuan ini takut tetapi tetep terlihat lucu. Terlebih saat dia bergegas memutar tubuh supaya menghindari Damian. Namun, meski Tita menunjukan sikap anti pada Damian, tetapi Damian masa bodo. Dia tetap menggoda istrinya sampai dia benar-benar mendapatkan apa yang dia mau. Dalam hati, Tita merutuki Damian yang sangat menyebalkan. Pria ini sangat licik dan suka sekali menjebak Tita, membuat Tita tidak bisa berkutik. Setelah selesai mandi, Tita buru-buru berpakaian. Saat Damian masuk ke dalam walk in closet, tita cepat-cepat keluar dari sana. Namun, Damian mencegah, menatap Tita supaya perempuan itu tidak keluar dari sana. "Apalagi sih, Kak?" ucap Tita cukup ketus, menyilangkan tangan di dada sambil menatap kesal pa
"Ah, sakit sekali," ringis Catrina, setelah menjatuhkan dirinya. Orang-orang langsung membicarakan Tita, menganggap Tita gadis kasar dan tak punya sopan santun. Hal tersebut membuat Catrina tersenyum tipis, merasa senang karena orang-orang mengira jika Tita perempuan jahat. Saat pria nan tampan itu semakin dekat, Catrina kembali meringis manja, dia mengusap sikut sambil menahan perih. Tita memilih acuh tak acuh, bahkan berniat pergi begitu saja karena tak ingin berurusan dengan perempuan problematik tersebut. Akan tetapi, seseorang mendekat lalu menahan Tita supaya tidak kabur. "Heh, gadis angkuh, jangan main kabur saja. Cepat minta maaf pada Mbak-nya yang kamu dorong," galak laki-laki tersebut–orang yang kebetulan lari sore dan melihat kejadian tersebut dari kejauhan. Dia mampir untuk melihat lebih dekat dan langsung mencegah Tita pergi. "Teman saya nggak bersalah yah!" kesal Lisa, mencoba melepas tangan laki-laki tersebut dari pergelangan tangan Tita. "Heh, saya punya mata! Dan