"Hehehe …." Carmen mengambil posisi duduk–di atas perut suaminya. Dia kemudian memegang perut, menatap sejenak ke arah perut lalu kembali menatap Raymond, "aku sangat lapar. Aku ingin sup yang seperti waktu itu, Mas Kaizer.""Humm." Raymond berdehem, memberi isyarat supaya Carmen bangkit dari atas tubuhnya. Raymond turun dari ranjang lalu keluar dari kamar, di mana Carmen mengikutinya. Saat di dapur dan saat Raymon sedang memasak, Carmen memperhatikan kegiatan suaminya. Carmen tak hanya diam, dia mengikuti langkah suaminya. Jika Raymond pergi ke lemari pendingin untuk mengambil sebuah bahan, maka Carmen akan ikut ke sana. Jika suaminya melangkah ke arah wastafel untuk mencuci bahan, Carmen juga ikut ke sana. Begitu hingga seterusnya. Raymond menatap ke arah Carmen yang saat ini berdiri di sebelahnya–Carmen tengah menatap sup yang sedang dimasak."Ke meja makan dan duduk diam di sana," titah Raymond, membuat Carmen segera beranjak dari sana. Sebetulnya Carmen masih ingin di sana kar
"Ouh, si anak sampah tengah menikmati sepotong kue, dan dia merasa jika dia adalah pemeran utama di pesta ini," ucap seseorang dengan nada sarkas, membuat Carmen yang sedang asyik menikmati kue langsung mendongak pada sosok tersebut. Mata Carmen melebar persekian detik, cukup kaget melihat orang yang berbicara tadi. Namun, Carmen langsung mengatur ekspresi. Dia berusaha tetap tenang dan santai meskipun hatinya tiba-tiba terasa sakit saat melihat orang-orang ini. Mereka adalah paman, bibi, dan kakak sepupunya. Dulu, orang-orang ini menyayangi dan melindungi Carmen. Akan tetapi setelah perempuan di sebelah kakak sepupunya muncul, mereka berubah membenci Carmen. Parahnya, sesuatu yang seharunya menjadi milik Carmen, mereka berikan pada Clarissa dan ibunya.Selain rasa sakit, ada dendam serta kemarahan yang menyelingkup di hati Carmen. Raut wajah yang selalu ceria seketika berubah dingin, tatapan mata yang selalu memancar bahagia langsung berganti dengan sorot penuh kebencian. Dendam m
Namun, sebelum tangannya menyentuh kulit wajah Carmen, tiba-tiba sebuah tinju keras dan kuat-- lebih dulu menyapa pipinya. Bug' "Argkk." Armen berteriak kesakitan, tubuhnya terpental ke arah putranya. Akan tetapi, Arjuna tidak bisa menopang tubuhnya dan ayahnya hingga ayahnya serta ia sendiri berakhir terjatuh kasar ke lantai. "Jangan mencoba-coba menyentuh istriku dengan tangan kotor, Tua Bangka sialan!" geram Raymond, melayangkan tatapan membunuh ke arah Armen yang masih berbaring di lantai. Armen melebarkan mata, begitu terkejut ketika melihat Raymond berdiri tepat di depannya. Rasa takut dan panik perlahan menyelimuti dirinya, suara Raymond menusuk dan aura pria ini sangat menyeramkan. Dia dan putranya mencoba berdiri, akan tetapi Raymond menendang pundaknya sehingga dia dan putranya kembali tersungkur kasar. "Sebelum kau berdiri, berlutut dan meminta maaf pada istriku," dingin Raymond, berkata dengan geraman halus, penuh aura mengancam sehingga membuat Armen semakin takut p
"Bagaimana dengan putraku tadi? Apa bertemu dengannya adalah sebuah keberuntungan juga?" tanya Lennon dengan nada datar. Armen menatap panik pada Lennon, dia mulai gugup karena pertanyaan tersebut. Entah apa maksud Lennon menyinggung Raymond serta masalah tadi. "Ah, Tuan Lennon, tentu kami merasa senang bertemu dengan Tuan Raymond," ucap Clarissa–angkat bicara, "akan tetapi ada sedikit kesalah pahaman sehingga hal tak mengenakkan terjadi, Tuan. Kami menyesali hal tersebut dan kami berharap Tuan Raymond dapat memaafkan kesalahan kami." "Humm." Lennon berdehem singkat. "Oh iya, Tuan. Keluargaku ingin mengundang anda makan malam bersama. Kami … ingin membicarakan hal penting pada anda, Tuan." Clarissa yang merasa didengarkan oleh Lennon, segera to the point, "keluarga kami akan merasa jauh lebih beruntung apabila anda bersedia datang." "Yah, kebetulan aku juga ingin berkunjung ke keluarga Wijaya. Kebetulan menantuku–Carmen bagian dari kalian, jadi … baiklah," jawab Lennon den
Akan tetapi, untuk makan hari ini dan esok, anak itu harus bekerja sangat keras. "Oleh sebab itu, Nona sangat senang bertemu dengan anda, Tuan. Nona kekurangan kasih sayang seorang ayah dan dia bisa merasakannya lagi setelah bertemu dengan anda." "Dia anak yang baik, Vior. Putraku sangat beruntung mendapatkannya." "Benar, Tuan." Selama obrolan itu, Selin hanya diam di sebelah Lennon. Carmen pernah menceritakan bagian hidupnya yang menyedihkan namun dia tetap sedih saat mendengar cerita yang sama dari Vior. Entahlah, akan tetapi Selin merasa hidup Carmen jauh lebih berat. Sebab-- Selin sendiri hanya anak angkat yang mengharapkan cinta dari orangtua angkatnya. Sedangkan Carmen, dia anak kandung yang kehilangan seluruh cinta keluarganya–kalah oleh seorang anak tiri yang licik. Namun, Selin sedikitnya bersyukur. Sekarang hidupnya jauh lebih baik, bahkan dia merasa cukup senang karena tadi-- Lennon memperkenalkannya sebagai istri. Ini pertama kalinya Lennon membawanya ke sebu
"Awas saja jika kau bergerak!" peringat Raymond pada istrinya–Carmen menganggukkan kepala, memperlihatkan cengiran lebar pada sang suami. Sedangkan Raymond, dia mulai memasak makan malam untuk istrinya. Dia memulai dengan mengambil bahan. Saat dia menoleh ke arah Carmen untuk memastikan keadaan perempuan itu, entah kenapa Raymond merasa posisi Carmen sedikit lebih dekat. Namun, sepertinya Raymond salah sebab istrinya terlihat sangat anteng di tempatnya–tengah memperhatikan kalung di lehernya. Raymond menghela napas pelan, memilih melanjutkan aktivitas. Dia mencuci bahan, setelahnya lagi-lagi menoleh pada istrinya untuk memeriksa. Kembali lagi dia merasa jika Carmen bergeser, duduk semakin dekat ke tempatnya. Namun, Raymond memilih mengabaikan. Dia lanjut memasak. Hingga tiba-tiba saja saat dia ingin mengambil wadah berisi potongan tomat, sebuah tangan lebih dulu meraihnya. "Ini, Mas Kaizer," ucap Carmen, menyerahkan potongan tomat pada suaminya. Tak lupa dia memperlihatkan ceng
"Umm … kenapa perempuan suka berbelanja?" tanya Carmen pada Raymond. "Karena dia punya uang?" jawab Raymond tak yakin. "Salah." Carmen menyalahkan dengan antusias. Seperti sebelumnya, dia suka saat Raymond tidak bisa menjawab. "Jadi, apa jawabannya?" Raymond menaikkan sebelah alis, wajahnya masih datar karena tak ingin memperlihatkan antusiasnya pada sang istri. "Perempuan suka berbelanja karna … kalau yang suka Mas Kaizer itu aku," jawab Carmen, setelah itu langsung merapatkan bibir agar tak tersenyum lalu menutup wajah dengan tangan. Astaga! Carmen sangat malu dan lagi-lagi dia salah tingkah meski dia yang menggombal. "Cih." Raymond langsung berdecih pelan, berakhir terkekeh geli karena merasa lucu pada jawaban istrinya. Raymond mengulurkan tangan, mengacak rambut di pucuk kepala Carmen. "Besok pagi, aku akan menagih lagi, Wifey," ucap Raymond, mencium kening istrinya setelah itu beranjak dari sana dengan perasaan senang. Raymond kembali ke kamar dengan bibir yang terus
Clarissa memasuki ruang makan kemudian langsung menyerahkan sebuah paper bag pada Carmen. Dia memperlihatkan senyuman lembut dan ekspresi senang agar semua orang percaya kalau Clarissa tulus memberikan hadiah tersebut pada Carmen. "Semoga kamu suka dengan kado pemberianku, Carmen," ucap Clarissa dengan nada lembut dan manis. Jika mungkin ada orang baru di sini, orang tersebut pasti mengira kalau Clarissa adalah perempuan baik hati, lemah lembut, dan penyayang. Saking manisnya sikap yang. Clarissa tunjukkan. Sebetulnya, orang jahat dan berbahaya-- kerap kali ditemukan pada orang yang dari luar kelihatan baik. Orang tersebut kerap kali suka berkata manis, lembut, dan ramah. Carmen membuktikan itu, karena dia menghadapinya secara langsung. Clarissa orang seperti itu. Orang seperti Clarissa berbahaya karena kejahatan serta keburukannya sulit diungkap, meskipun diungkap dengan bukti sekalipun, orang-orang yang terlanjut senang pada sikap baiknya, akan menyangkal dan tak percay
"Cih." Raymond berdecis geli, pertahanannya runtuh seketika. Padahal dia masih ingin menakut-nakuti istrinya dengan ekspresi wajah serius. Sedangkan Carmen, melihat suaminya tertawa dia segera sadar dengan apa yang dia ucapkan tadi. Matanya melotot lalu setelahnya dia buru-buru memalingkan wajah. Bibirnya cemberut tetapi pipinya merah merona. Sedangkan tangannya masih menyilang di depan dada. 'Aku menakut-nakuti Mas Kaizer dengan Mas Kaizer sendiri. Ya--ya mana takut?! Orang Raymond Kaizer itu Mas Kaizer sendiri. Lagian kenapa sih aku?! Ck, sepertinya ini gara-gara aku keseringan mengunakan nama Mas Kaizer untuk menakut-nakuti orang. Hais! Aku malu!' batin Carmen, masih memalingkan wajah karena malu bersitatap dengan pemilik nama 'Raymond Kaizer Abraham yang ada di depannya sekarang. Tuk'Raymond menyentil kening Carmen, perempuan itu meringis sambil mengusap kening lalu langsung menatap sebal pada Raymond. Raymond duduk di sebelah Carmen, membawa perempuan itu ke atas pangkuannya
"Apa itu sejenis panggilan kesayangan?"Carmen mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan suaminya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa Raymond menganggap Jamal sebagai panggilan sayang?! Dari segi manapun Jamal terdengar seperti nama pria!"Jamal itu nama pria, Mas," jawab Carmen, masih dengan menatap bingung pada suaminya. Namun, anehnya setelah mengatakan itu, tatapan Raymond tiba-tiba berubah tajam padanya."Pria." Raymond mengulangi, berkata dingin dengan gigi yang saling bergemelutuk. Carmen kembali mengerjap, menggaruk pipi sambil menatap berang bercampur cemas pada suaminya. 'A-apa aku melakukan kesalahan?' batin Carmen. "I-iya, Mas. Nama Jamal itu nama …-" Carmen ingin menjelaskan ulang, akan tetapi menyadari kesalahan fatal yang dia perbuat, dia segera berhenti berbicara. Mata Carmen melebar, kepala seketika menggeleng ke kanan dan ke kiri. Carmen menunjukkan air muka panik. "Jangan salah paham, Mas. Jamal memang nama laki-laki tapi aku tidak mengenal siapa yang namanya
Namun, sebelum kakinya menyentuh pria itu, seseorang menariknya cukup kuat. "Mas Kaizer!" pekik Carmen, menarik lengan Raymond supaya menjauh dari Harlen. Setelah sedikit jauh dari Harlen, Carmen berdiri di depan Raymon. Dia menangkup pipi pria itu, lalu mendongak untuk menatap suaminya. Tatapan Carmen begitu lembut, sengaja untuk menundukkan iblis berupa kemarahan yang menguasai suaminya, "Mas Kaizer jangan terpancing sama ucapan dia. Nggak perlu marah, Mas, kan dia miskin," ucap Carmen lembut, akan tetapi menusuk bagi Harlen yang masih sadar. Carmen menoleh pada Harlen, menatap datar pada pria itu. "Yang kaya orang tuanya. Dan dia makan saja masih ditanggung orangtua, ngapain aku milih pria seperti itu?!"Perjalan tatapan Raymond teduh, emosinya reda dan berganti dengan perasaan hangat. Ah, dia rasa dia semakin mencintai Carmen. Dari segi manapun istrinya … sempurna! "Mas Kaizer jangan marah lagi yah," ucap Carmen lembut, mengelus rahang suaminya dengan penuh kasih sanyang. Ray
"Jamal, kau hamil?" Carmen dan Teresia reflek menoleh pada sumber suara tersebut. Teresia menampilkan wajah takut karena mengenali pria tersebut, sedangkan Carmen dia terlihat mengerutkan kening karena tak suka. "Apa sih? Main ikut-ikutan saja," ucap Carmen dengan nada setengah kesal, "bapak tuh nggak diajak," lanjutnya. Sret'Harlen menarik kursi kosong lalu duduk di sebelah Carmen. Hal tersebut membuat Carmen berdiri, begitu juga dengan Teresia. "Kau sungguh hamil, Carmen?" tanya ulang Harlen, menatap tak percaya sekaligus tak senang pada Carmen. Carmen menatap julid pada Harlen, "memangnya kenapa jika aku hamil? Aku punya suami, apa salahnya?""Kau tak memikirkan perasaanku?" Harlen menatap marah pada Carmen, tak suka dan merasa tersakiti. Dia telah mengklaim Carmen sebagai istrinya, tinggal menunggu warisan kekayaan Abraham menjadi miliknya. Setelah itu, dia pastikan Carmen menjadi miliknya. Ah, dia telah menyiapkan sesuatu untuk membuat Carmen menjadi miliknya! Hanya tingga
"Oh ya, Selin. Jika kau ingin memanggil 'mas padaku, silahkan. Dengan senang hati aku memperbolehkan," lanjut Lennon, setelah itu tanpa menunggu jawaban dari Selin, dia langsung beranjak dari sana. Selin duduk perlahan di sofa, meletakkan tangan di dada untuk merasakan debaran jantung yang menggila. "A-aku boleh memanggil Tuan dengan panggilan 'mas?" gumamnya pelan, menatap lurus ke depan. Seluruh wajahnya hampir merah, pupil mata membesar karena goncangan dari dalam. "I-itu berarti Tuan Lennon mendengar perkataan ku," lanjutannya bermonolog sendiri, "Tuhan …." Selin memejamkan mata, menahan malu yang menggerogoti hati. Setelah ini, apa tanggapan Lennon padanya?! ***"Kau sedang apa?" Carmen terlonjak kaget, reflek menurunkan gunting lalu menyembunyikannya di balik badan saat sudah menggadap Raymond. "Kau sedang apa, Ura?" tanya Raymond mengulang, memicingkan mata sambil menatap curiga pada istrinya. "A-aku tidak-- bukan apa-apa, Mas," jawab Carmen pelan, spontan mundur ketik
"Hampir enam tahun menjadi pasanganmu, apa aku ada di hati Tuan?" tanya Selin memberanikan diri, menatap sendu pada suaminya.Jantung Selin berdebar kencang di dalam sana, dia gelisah dan gugup. Selin telah menekankan hatinya agar tak tersinggung apabila Lennon mengatakan tidak memiliki perasaan padanya, akan tetapi dia tetap berharap. Lennon terdiam, menatap lekat dan dalam pada istrinya. Pandangannya lurus ke arah Selin, memperhatikan wajah teduh istrinya. "Untuk apa kau menanyakan hal seperti itu?" tanya balik Lennon.Selin menghela napas, sedikit kecewa karena Lennon tak menjawab pertanyaannya. "Aku wanita dan aku …-""Kau istriku. Itu sebuah kepastian," potong Lennon cepat. Selin kembali menghela napas, kali ini helaannya terdengar berat karena perasaan yang semakin sesak. Dia sudah mempersiapkan diri jika dia mendapatkan jawaban seperti ini. Akan tetapi, hatinya tetap terasa ngilu. "Baik. Aku paham, Tuan. Maaf karena lancang menanyakan hal seperti itu," ucap Selin selanjutn
Kenapa Lennon tiba-tiba meminta maaf? "U-untuk apa Tuan meminta maaf?" ucap Selin kemudian, masih menatap bingung dan bercampur aduk pada Lennon, "ku-kurasa tak ada yang salah kalau aku hamil. Kita-- maksudku, Tuan adalah suamiku. Wajar bila aku hamil oleh Tuan."Mengdengar jawaban Selin, Lennon tersenyum tipis. "Aku memang harus meminta maaf padamu karena membuatmu hamil. Kau masih muda dan mungkin kau menginginkan suami yang tidak jauh usianya darimu. Sedangkan takdirmu adalah aku, pria tua yang sudah dekat dengan kematian."Selin terdiam seketika, tertohok dan cukup sakit mendengar ucapan Lennon. Suara pria ini terkesan lembut, akan tetapi kalimatnya terlalu dalam. Secara tak langsung, Lennon mengatakan padanya kalau dia yang tua ini tidak akan lama menemani Selin dan anaknya kelak. "Ta-tapi anda takdir terbaikku, Tuan, aku tidak mempermasalahkannya. Mengenai anda tua atau muda–sama seperti yang ada katakan, semisal usia kita tak jauh berbeda, kurasa aku akan tetap menemuimu dis
"Tapi aku ingin berterimakasih pada Ayah. Aku tidak melakukan apa-apa pada Ayah dan Mas Kaizer, tetapi kalian memberiku banyak kebahagiaan. Terimakasih, Ayah," ucap Carmen dengan penuh perasaan haru, senang dan sedih secara bersamaan. "Anak bodoh," ucap Lennon dengan nada malas, tetapi tetap menatap hangat pada menantunya, "jelas-jelas Chestnut Ayah melakukan hal yang sangat besar untuk Ayah dan putra Ayah. Ayah kehilangan putra selama 20 tahun lebih, Ayah rasa Ayah sudah tidak punya harapan untuk kembali merasakan dipanggil 'ayah' oleh Kaizer. Namun, kau datang dan keajaiban itu terjadi. Sekarang--" Lennon menjeda sejenak, menatap ke arah putranya yang berada di dalam rumah–terlihat karena pembatas ruang terbuka dari kaca transparan. Lennon tersenyum lembut, masih menatap Raymond dengan sendu dan hangat, "anak itu kembali memanggil lelaki tua ini dengan sebutan 'ayah. Dia bersedia menginjakkan kaki di rumah Ayah, dia kembali suka pada kacang kastanye, dia sudah membolehkan Ayah mem
"Eih, jangan potong dulu dong. Aku belum seles-- eh hehehe … Sayang." Carmen cengengesan pada suaminya, menatap gugup bercampur takut pada Raymond. Raymond mendengus pelan, menatap berang pada Carmen. Kemudian dia beralih menatap ayahnya. "Kenapa Ayah datang kemari? Ada hal penting?" Alih-alih menjawab, Lennon menoleh ke arah Vior. Dia memberikan isyarat pada tangan kanannya tersebut supaya Vior yang berbicara dengan putranya. "Ah, biar saya saja yang menjelaskan, Tuan muda. Mari, ikut dengan saya," ucap Vior. Raymond menganggukkan kepala, segera beranjak dari sana mengikuti Vior. Akan tetapi sebelum pergi, dia menyempatkan diri menepuk-nepuk pelan pucuk kepala istrinya. Setelah putranya dan Vior pergi, Lennon menatap ke arah Carmen. "Ayah ingin bicara padamu," ucapnya. Carmen menganggukkan kepala, akan tetapi dia menatap bingung pada ayah mertuanya. "Kenapa Mas Kaizer tidak boleh di sini, Ayah?" "Yang ingin Ayah bicarakan padamu, itu sama dengan yang yang akan Vi