Elise sadar ketika kedua tangan Theo mulai bergerak halus di tubuhnya, hendak melucuti pakaiannya. Dengan gerakan pelan ia langsung mendorong Theo menjauh darinya. Ia tidak bisa melakukannya. Ada sesuatu yang harus dilindunginya, di dalam tubuhnya.Di tengah kegelapan Theo menatap Elise heran. Wanita di hadapannya itu baru saja menolaknya."Maaf, aku tidak bisa." gumam Elise pelan. Setelah mengatakannya, Elise membalikkan badan, hendak meninggalkan ruangan itu, ruangan yang dulunya adalah kamar tidurnya, juga.Namun Theo dengan cepat menahan sebelah tangannya. Elise dapat melihat alisnya yang tertekuk dalam. "Kau mau ke mana?" tanya Theo dengan suara rendah."Aku lelah, ingin istirahat."Theo masih belum melepas tangannya. Setelah keheningan selama beberapa detik, terdengar helaan nafasnya. "Ini kamar kita. Kamarmu juga. Lalu kau mau ke mana?"Elise tertegun seraya menelan ludah setelah mendengar ucapan Theo barusan. Tapi ia tak membalas ucapannya."Tidurlah di sini." Kemudian Theo me
"Anda positif hamil, Nyonya Blake. Usia kandungan anda sudah memasuki minggu ketiga."Elise terduduk di bangku tunggu rumah sakit, menatap kosong hasil pengecekannya pagi tadi. Sementara ucapan dokter masih mengiang jelas di telinganya. Ini berita baik, tentu saja. Namun kehamilannya saat ini tidak terasa tepat untuknya, mengingat foto-foto Theo bersama seorang wanita tak dikenal yang diterimanya bulan lalu, juga pertemuannya dengan Jessica yang dirahasiakannya dari Theo.Elise menutup wajahnya dengan kedua tangan yang terpangku di atas kedua kakinya. Theo tidak boleh sampai tahu hal ini, begitu pikirnya. Dan tepat saat itu pula, ponselnya berdering. Elise merogoh tasnya dan mendapati nama Theo muncul di layar.Nafasnya terhenti selama dua detik sebelum ia menjawab telepon Theo. "Halo," sapanya."Kudengar dari Amy kau pergi ke rumah sakit. Bagaimana hasilnya?"Suara Theo terdengar penuh kekhawatiran, dan hal itu membuat Elise ingin sekali rasanya menangis. Memikirkan rencananya untuk
Tiga hari lalu...Mobil sedan hitam yang dikendarainya berhenti di tepi trotoar kota. Tak jauh dari tempatnya, ia melihat sebuah kafe bernuansa biru dongker. Sebelum turun dari mobil, Elise menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.Satu jam lalu Jessica meneleponnya, membuat Elise kaget bukan main. Jessica belum pernah meneleponnya, meskipun Elise sudah menjadi menantunya selama bertahun-tahun. Ia bahkan tidak yakin jika Jessica menyimpan nomor teleponnya. Tanpa basa-basi Jessica memintanya untuk datang ke kafe tersebut, hari itu juga. Untung saja tidak ada pasien yang sedang butuh penanganan serius, jadi ia bisa menyerahkan klinik sebentar pada Nathan.Terdengar suara dentingan pelan bel ketika Elise mendorong pintu kafe. Nuansa kafe itu terlihat elegan. Tak heran jika penampilan para tamunya terlihat sangat berkelas. Elise yang hanya mengenakan celana jins dan kaos putih berbalut mantel panjang merasa salah tempat di sana.Seorang pelayan yang ramah datang menghampirinya.
Cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah korden membuat Theo terjaga dari tidurnya. Jam analog di atas nakasnya menunjukkan pukul 07:12 pagi. Ia kemudian membalikkan badan. Rasanya ia masih malas untuk bangun. Hari ini akhir pekan, ia bisa rebahan lebih lama.Namun saat sebelah tangannya yang terulur ke samping tempat tidur tak menemukan apa-apa di sana selain selimut yang masih rapi di posisinya, seketika ia pun terjaga. Theo mendesah pelan. Sudah sepekan ini kasur di sampingnya terasa dingin.Theo akhirnya memutuskan untuk bangkit dari kasur. Tenggorokannya terasa kering. Ia butuh segelas air dan ia tak menemukannya di atas nakas. Sepekan terakhir ini gelas air minumnya tergeletak kosong. Menyedihkan.Ketika ia keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, tiga orang pelayan, termasuk Bibi Bernadeth dan seorang wanita yang sudah berpenampilan rapi sudah berada di sana. Seketika langkah kakinya melambat. Semua pandangan tertuju ke arahnya, namun tidak dengan pandangan wanita itu.
malam sebelumnya..."Mertuanya menghajarnya habis-habisan." ujar Kelly sambil tertawa penuh kemenangan, lalu meneguk wine-nya.Nathan yang mendengar cerita Kelly mendengus. "Jujur saja aku benci mendengar ceritamu. Kau menjebak Elise!"Malam itu, sebelum pukul sembilan, Kelly tiba-tiba menelepon dan mengundang Nathan ke apartemennya. Sebenarnya Nathan tak berniat datang. Namun kata-kata yang diucapkan Kelly membuatnya penasaran dan berakhir di apartemen mewah milik wanita itu."Aku punya rencana bagus agar kau bisa mendekati Elise."Dan sekarang, Nathan berada di apartemen Kelly, menikmati wine sambil mendengarkan wanita itu menceritakan apa yang sudah dilakukannya tadi di pesta ulang tahun kakek Theo."Kau mungkin benci mendengarnya. Tapi apa tak terpikir olehmu? Aku baru saja membantumu. Hubungan Elise dan Theo akan merenggang malam ini. Mereka akan bertengkar hebat!"Nathan meletakkan sebelah tangan di lengan sofa. "Katakan padaku, apa yang bisa kulakukan setelah ini.""Tentu saja
Raut heran terlihat jelas di mata Bibi Bernadeth saat melihat Theo pagi-pagi sekali sudah berada di meja makan. Tapi ia tak mengutarakannya. Dan Theo yang juga menyadari hal ini pun berpura-pura seolah tak menyadari apa pun.Theo sengaja bangun lebih awal pagi ini. Ia tahu betul kebiasaan Elise yang selalu bangun lebih awal untuk menghindari bertemu dengannya. Pagi ini, Theo tak akan membiarkan hal itu terjadi. Jadi, ia bisa menyelesaikan apa yang perlu diselesaikannya dengan Elise sebelum istrinya itu pergi ke klinik."Nyonya Elise sepertinya kelelahan setelah pesta semalam," ujar Bibi Bernadeth memancing.Theo hanya mengangguk. Tak ada yang tahu bahwa semalam ia tidur di kamar tamu. "Buatkan aku kopi." perintahnya, dan Bibi Bernadeth dengan sigap langsung beringsut ke dapur. Kurang dari lima menit wanita tua itu kembali dan membawakannya secangkir kopi.Sebenarnya Theo bukan orang yang suka dengan kopi. Jarang sekali ia minum cairan hitam itu. Tapi karena malam ini ia kurang tidur,