Sudah bulan ke sembilan sejak kepergian Akira, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Separuh jiwanya, ah entahlah Samudra tidak tau. Selama itu pula ia masih menjalin hubungan dengan Samira. Mengacak rambutnya frustasi Samudra melangkahkan kakinya gontai menuju kamar yang dulu sempat dipakai Akira. Bahkan aromanya, Samudra masih ingat betul ciri khas aroma coklat Akira yang sangat menenangkan. Di tempat ini pula Samudra mengambil paksa kehormatan wanita itu. Ya, wanita yang sejak beberapa bulan lalu menduduki posisi di hatinya. Dan dapat dipastikan kepergian Akira ada hubungannya dengan kedatangan Samira. Samudra menyadari kebodohannya, dan ia tidak menyangka ungkapan cintanya pada Akira akan berakhir seperti ini. Entah kenapa hatinya menyuruh untuk berjalan mendekati nakas yang berada di samping kasur. Lalu menariknya agar terbuka. Matanya terpaku melihat sesuatu yang tidak asing di matanya. Jelas, Samudra tau benda apa itu di dalam laci nakas. Tangannya bergetar mengambil benda itu.
Akira membuka matanya, perjalanan dari Semarang ke Bogor membuat badannya pegal apalagi transportasi yang digunakan adalah mobil. Akira turun, pemandangannya begitu indah bahkan udaranya begitu segar. Menghirupnya, Akira mengeluarkannya perlahan. "Menenangkan," gumamnya. Rumah yang diberikan Samuel tidak terlalu besar. Namun cukup nyaman. Dan Akira berpikir rumah ini berada di daerah dataran tinggi karena udaranya yang sejuk. Bahkan ini seperti desa ah bukan seperti lagi tapi memang, karena Akira tidak melihat banyak rumah di sini. Dan jika dilihat, dari rumah Samuel lalu samping kanannya adalah hamparan kebun yang sangat luas, sedangkan di depan ada jalan lalu menghubungkan jalanan yang menurun. Barulah di sana hamparan kebun teh, stroberi terpampang. Akira berdecak kagum. "Akira!" panggil Anton. Akira menoleh, "Masuklah dulu, Nak. Bersihkan dirimu, hari mulai gelap,” katanya. Akira mengangguk, menuruti ayahnya. Sedangkan Aji dan Ara? mereka ikut Ani yang rumahnya juga tidak ja
Akira memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya dari pada kembali ke apartemen Samudra. Samuel juga sudah menyetujuinya untuk tidak bekerja lagi, dan bahkan pria paruh itu menyuruhnya untuk pergi jauh agar tidak bisa dijangkau anak badungnya. Mungkin dengan kepergian Akira, Samuel berpikir akan membuka jalan pikiran Samudra. Dan membuat pria itu tersadar. Akira menghela napasnya, ketika sudah sampai di depan pintu rumah. Lalu membukanya perlahan, ia memutuskan untuk memberi tau ayahnya sekarang perihal kehamilan dirinya. Hanya saja Akira tidak bisa melihat kekecewaan di mata ayahnya nanti. "Ayah," lirih Akira memanggil Anton yang sedang duduk di pinggiran kasur. Pria paruh itu menoleh, menatap lembut ayahnya. "Ayah, maafkan Akira," ujar Akira berlutut di depan Anton. Anton menangkup pipi Akira, menatap lembut Akira membuatnya merasa bersalah. Akira memutuskan kontak mata dari ayahnya, air matanya mengalir. "Ayah, Aki-Akira melakukan yang seharusnya tidak dilakukan. Tapi Akira
Jantung Akira berdebar kencang, keringat dingin mulai keluar. Tangannya bahkan bergetar memegang test pack. Sekali lagi Akira memejamkan matanya berharap semua ini hanya mimpi. Menghela napasnya, perlahan Akira membuka mata. Ini bukan mimpi. Batinnya. Terpampang di sana garis dua berwarna merah dengan jelas. Akira tidak buta, kan? Dan ini berarti dirinya positif hamil? Tidak, tidak ini tidak mungkin terjadi. Akira menggeleng, bahunya melemas tubuhnya merosot bersandar pada tembok kamar mandi. Matanya berair, dan Akira tidak kuat lagi membendungnya. "Bagaimana bisa," isaknya. Akira bingung apakah harus memberi taukannya pada Samudra atau tidak. Bahkan melihat perlakuan pria itu yang kasar membuatnya tidak yakin untuk memberi taukan semuanya. Ya, memberi tau jika dirinya hamil, anaknya. Ponselnya yang berdering membuat Akira buyar dari lamunannya dan beranjak, melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meraih ponsel di atas nakas, nama pak Samuel tertera disana. Dengan segera Akir
Pagi ini Akira kembali merasakan pening dan mual seperti sebelumnya dan ini membuat Akira yakin jika pikiran negatifnya itu memang benar. Memutuskan untuk membersihkan diri, lalu setelahnya pergi ke apotek membeli test pack. Akira hanya ingin memastikan semuanya. Semoga saja semua baik-baik saja. Lima belas menit berlalu, Akira sudah siap dan rapi. Mengambil tas kecil dan berjalan keluar kamar. Sepi. Itulah satu kata yang terlintas di otaknya. Sepertinya Samudra memang tidak pulang. Batinnya. Akira memutuskan untuk berjalan kaki menuju salah satu apotek yang tidak jauh dari komplek perumahan. "Mbak, ada test pack, kah?" tanya Akira sedikit ragu. Penjaga toko ber-name tag Sri itu mengangguk, menatap Akira. "Mau beli test pack?" Akira mengangguk pelan. "Iya." "Berapa?" "Satu saja," jawab Akira singkat. Setelah melakukan transaksi, Akira segera memasukkan kantong plastik berisikan test pack itu ke dalam tas. Hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang. "Tidak akan ada yang ter
Hari-hari dilalui dengan penuh ketenangan, meskipun di hatinya masih belum kembali tertata dengan rapi—seperti semula. Akira juga merasa Samudra semakin lama semakin jauh dari jangkauannya. Ia merasa seperti tidak berguna lagi. Entahlah ia menjadi tidak bersemangat. Menghela napasnya, Akira menatap sekeliling kamarnya. Ia melirik jam di dinding sekarang menunjukkan pukul dua malam dan Akira terbangun. Merasakan tenggorokannya yang kering Akira memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum. Langkah Akira terhenti ketika mendengar suara asing dan membuat pendengarannya risih. Akira menoleh, melihat ke arah ruang bersantai di sana seorang wanita terlentang tanpa memakai busana sedikit pun, sedangkan Samudra berada di atasnya. Seperti berkuasa. Akira tidak bodoh, ia tentu paham apa yang dilakukan kedua orang itu di atas sofa. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum, Akira merasakan nyeri di dadanya. Ini lebih menyakitkan daripada perkataan Samudra saat menyuruhnya untuk menjauh. Bahkan kak