Mereka masih sama-sama terdiam. Mencerna apa yang terjadi beberapa detik yang lalu. Samudra merutuki dirinya. Bagaimana bisa ia sampai kelepasan, tetapi, bibir itu benar-benar terasa manis. Bahkan sekarang, Samudra menginginkannya lagi dan lagi. Seakan, bibir merah ranum itu adalah candunya. Begitu memabukkan.
Menatap gadis di depannya yang terlihat ling-lung ditambah bibir yang sedikit membengkak karena ulahnya terlihat sangat sexy. ''Kamu bisa keluar.'' Suara dingin Samudra menyadarkan Akira. Terlihat gadis itu tergugup, menormalkannya kembali lalu undur diri. Anggap saja, itu kecelakaan kecil. Batin Samudra. Ah, tapi Samudra menyadari dirinya benar-benar pria brengsek karena telah memperawani bibir gadis itu. Persetan dengan itu, ia tidak peduli. ***** Akira menghela napasnya. Ciuman pertamanya, dicuri oleh anak majikannya. Siapa lagi jika bukan Samudra? Bahkan ia diam, tidak melawan. Lalu pria itu dengan seenak jidatnya tidak meminta maaf. Malah biasa-biasa saja dengan tampang wajah tanpa dosanya seakan tidak terjadi apa-apa. Akira benar-benar menyesal menjadi gadis lemah. Hanya saja, untuk apa disesali? Toh semua sudah terjadi. Sekarang sudah larut malam, sebaiknya ia segera pulang. Karena rawan juga gadis perawan pulang malam-malam. Apalagi, di sepanjang jalan menuju rumahnya banyak orang berjudi dan mabuk. Sangat menyeramkan. Membayangkan saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Akira memutuskan untuk segera memesan ojek online. Tadi juga dirinya sudah pamit dengan Samuel, majikannya. Merapatkan kardigan berwarna krem yang telah usang, hawa malam ini begitu dingin. Anak rambutnya bergerak karena hembusan angin. "Mbak yang pesan ojek atas nama Syakira Andriana?" tanya seorang laki-laki dengan motor maticnya. Akira yang sedang menunduk menatap bawah, mendongak. Tersenyum mengangguk. "Iya." "Oh mari mba, ini helmnya,” ujar laki-laki itu memberikan helm berwarna hijau. Akira menerimanya, setelah dipakai gadis itu segera membonceng. Selama perjalanan suara deru motor bersaut-sautan. Malam ini cukup ramai, mengingat sekarang adalah malam minggu. Ya, waktunya berpacaran, berkumpul bersama keluarga, atau sekedar berjalan-jalan melepas penat. Sesampainya di depan gang sempit, Akira turun. Memberikan dua lembar sepuluh ribu pada tukang go-jeknya setelah itu melangkahkan kakinya memasuki jalanan sempit dan kumuh. Beberapa pasang mata memperhatikannya membuat Akira sedikit risih, dengan langkah lebar ia mempercepat jalannya. Lalu menghela napasnya ketika sudah sampai di depan rumah. "Assalamualaikum," ujar Akira begitu memasuki rumah, menutupnya kembali. "Waalaikumsalam, tumben mbak pulang jam segini," tanya Aji, adik pertama Akira. Melihat adik laki-lakinya yang sedang belajar entah mengerjakan pr atau apa Akira menghampiri. Menempatkan dirinya duduk di kursi usang yang sudah reyot di sebelah adiknya. "Iya, tadi jalan macet." "Mbak Ilaaaaa," teriak seorang bocah perempuan berumur empat tahun. Dia, Ara adik kedua Akira. Bocah itu langsung menubrukkan tubuhnya memeluk kakak gadisnya itu. Akira tersenyum. "Araaa sudah makan?" tanyanya lembut. Bocah bermata bulat dengan bulu mata lentik ditambah pipi gembulnya yang begitu menggemaskan mengangguk lucu. "Ala udah kok," jawabnya dengan cadel. "Yaudah, tidur yuk!" ajak Akira pada Ara yang langsung diangguki. Karena pasalnya, sejak ibunya pergi meninggalkannya dengan Ara yang saat itu masih berumur satu tahun, Akira selalu merawat Ara dan menyayanginya. Menemani bocah itu tidur setiap malam. Hingga sekarang, jika Akira belum pulang maka Ara tidak akan pernah bisa tidur. Mengucek-ucek matanya hingga memerah membuat Akira menghela napasnya. Ara benar-benar membuatnya gemas. Tidak akan mau tidur jika ia belum pulang. Meskipun sudah mengantuk sekalipun. Pernah saat itu, ketika Akira masih bekerja di sebuah club, dengan kuatnya Ara masih terjaga hingga Akira pulang pukul lima pagi. Lalu ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Dan saat itu juga mbok Jah memintanya untuk menjadi pembantu di kawasan bsb. Baginya tidak masalah menjadi pembantu, asal pekerjaan itu masih halal. ***** Pria bertubuh kekar dengan bertelanjang dada masih bergelung di balik selimut tebal. Bahkan dengkurannya begitu keras, menandakan pria itu sangat lelah. Dia, Samudra. Padahal matahari sudah menampakkan diri sejak dua jam yang lalu. Ya, mengingat hari ini adalah minggu membuat Samudra masih nyenyak dengan mimpinya di atas kasur yang empuk. Karena baginya hari minggu adalah hari untuk bersantai karena setelah seminggu sibuk bekerja. Lalu pintu terbuka, di sana seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda berdiri sambil memandang Samudra. Melangkahkan kakinya menuju gorden, menyibaknya. Membuat sinar matahari yang menyilaukan masuk lewat celah jendela. Samudra mengerang merasa tidurnya terusik. Perlahan matanya yang semula tertutup, perlahan membuka menyesuaikan sinar matahari yang menerpa wajahnya. "Kamu!" geram Samudra begitu mata keduanya bertemu. Akira menunduk takut. "I-itu, Tuan menyuruh Saya untuk membangunkan Anda." Samudra menggeram kesal. Untuk apa pria tua itu membangunkannya! Batinnya kesal. "Keluarlah!" ujar Samudra ketus. Akira mengangguk patuh, lalu permisi undur diri. ***** Akira lalu memutuskan untuk menyiram tanaman yang berada di halaman depan milik keluarga Bagaskara. Di sana sudah ada pak Joko yang sedang mencuci mobil. "Pagi, Pak Joko!" sapa Akira tersenyum ramah. ''Pagi juga, nak Akira," balasnya. "Tumben datengnya siangan." Lanjut pria paruh baya itu bertanya. "Iya Pak, tadi ngurus Ara dulu. Rewel dianya, nggak mau ditinggal," jawab Akira. Pak Joko hanya ber oh ria menanggapi. Memilih untuk melanjutkan aktivitasnya begitupun Akira. "Kau, ikut aku," ujar Samudra yang sudah rapi dengan pakaian santainya. Akira menoleh, menatap Samudra belum sempat gadis itu membuka mulutnya. Samudra sudah menarik tangannya dan menyuruh Akira masuk ke dalam mobil. "Kita mau ke mana?" tanya Akira begitu mobil sudah berjalan keluar dari pekarangan rumah. "Beli capcay. Kamu tau jalan ke arah sana?" Akira mengangguk, lalu menunjukkan arah pada Samudra. Setelah Samudra paham, sekarang keheningan melanda. Keduanya diam sibuk dengan pikirannya masing-masing. Akira yang sibuk memandangi luar lewat kaca, sedangkan Samudra yang sibuk fokus mengendarai mobil. Sesampainya di tempat tujuan, keduanya turun dengan Samudra yang berjalan terlebih dulu. Sambil menunggu pesanan, keduanya memilih untuk duduk di meja pojok kiri. Samudra sibuk dengan ponselnya sedangkan Akira memainkan tisu merobek-robeknya hingga kecil. "Ini mas, pesanannya sudah jadi," ujar seorang laki-laki memberikan sebungkus plastik. Samudra menerimanya, lalu membayar. Yang tadinya sinar matahari begitu terik tergantikan oleh awan hitam menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Ditambah angin yang berhembus membuat Akira memeluk diri. "Cepat naik," ujar Samudra yang langsung diangguki Akira. Untung saja keduanya sudah di dalam mobil, karena begitu mereka masuk hujan langsung turun begitu deras mengguyur kota Semarang di siang hari. Tiba-tiba saja ketika entah sampai di daerah mana dengan sisi kanan kiri hanya ada pepohonan, mobil yang dikendarai Samudra berhenti. "Ambilkan payung di jok belakang," ujar Samudra menyuruh Akira. Akira memberikannya, pria itu menerima dan langsung keluar. Lalu dengusan terdengar, ban mobilnya kempes. Membanting pintu mobil, lalu menyandarkan punggungnya pada kepala kursi. Tangannya cekatan mencari nomor pak Joko dan menelponnya. "Ada apa?" tanya Akira begitu melihat Samudra memutuskan sambungan telpon. "Mobil ban kempes," jawab Samudra singkat. Setelah Samudra menjawab, Akira tak lagi bersuara dan gadis itu sibuk menghangatkan diri dengan mengusap-usap lengannya. Siang ini begitu dingin, hujan deras ditambah sentoran ac mobil. Samudra yang menyadari gadis di sampingnya kedinginan tersenyum miring. "Kamu ingin kehangatan?" celetuk Samudra. Akira diam. Lalu Samudra merubah posisinya menghadap kiri, memajukan tubuhnya lebih mendekat pada gadis itu. Membuat Akira dapat merasakan hembusan napas Samudra yang mengenai lehernya. Tangan kanan Samudra terangkat, menarik wajah Akira agar menghadap ke arahnya. Menahan tengkuk gadis itu, lalu melumat bibir merah ranum Akira yang selalu menggodanya. Dan ya, ini adalah kedua kalinya.“Sam, berapa lama kamu akan pergi?” Akira menatap Samudra dengan sendu. Lagi-lagi, Samudra akan meninggalkannya dan Benua untuk beberapa hari ke depan karena ada pekerjaan yang mengharuskan Samudra ke sana.Apalagi, tempatnya sudah bukan satu negara dengannya. Karena Samudra lebih sering bolak-balik ke luar negeri untuk bisnisnya. Lalu untuk masalah di dalam negeri, masih Papa mertuanya, Samuel yang mengerjakan.“Seperti biasa, paling lama satu minggu.” Samudra berjalan menghampiri Akira, kedua tangannya terulur untuk mengusap pipi istrinya itu. “Apa kamu dan Benua ingin ikut denganku?”“Tidak, itu tidak perlu,” jawab Akira pelan. Meskipun ingin sekali ikut, tapi dia juga tidak bisa bersikap seenaknya seperti itu. Lagipula di sana Samudra bekerja bukan liburan atau bersenang-senang.“Apa kamu yakin tidak ingin ikut? Kamu tidak akan merindukanku?” tanya Samudra menaikkan sebelah alisnya, kedua tangannya masih berada di pipi Akira.“Jika kamu bertanya apakah aku akan merindukanmu atau t
Akira tidak menyangka jika kehidupan Samudra sama dengannya. Sama-sama ditinggal oleh ibu mereka ketika masih kecil dan alasannya bosan dengan kehidupan yang miskin. Akira masih diam, mendengar cerita Samudra dengan tenang tanpa berniat untuk memotong. "Ternyata om Shamir memiliki penyakit, hingga beberapa tahun yang lalu beliau menginginkan seseorang untuk meneruskan perusahaannya dan Ibu mengusulkan Ayah. Bahkan ketika Ibu mengusulkan Ayah, om Shamir tidak marah padahal beliau tau itu adalah mantan suami Ibu. Om Shamir juga merahasiakan semuanya. Hingga beliau menulis wasiat, jika Samira harus dinikahkan padaku.""Aku sangat terkejut, awalnya aku menolak tapi Ibu bilang setidaknya aku harus menghargai om Shamir semacam balas budi dan dengan bodohnya aku menurutinya. Padahal ketika itu Papa sudah menolak mentah, Papa bilang tidak apa jika aku tidak menerimanya. Kita bisa memulai dari awal, tapi yang aku pikirkan adalah benar kata Ibu, semua tentang balas budi mungkin dengan menerima
Pandangannya bahkan fokus menatap Samudra dari samping yang terlihat begitu menyayangi Benua. Sedangkan Samudra hanya berharap ini awal yang manis untuk kebahagiaan mereka.*****Hujan mengguyur kota Bogor di malam hari membuat hawa dingin begitu menusuk sampai ke tulang-tulang. Sesekali Akira mengusap lengannya yang tertutup oleh kardigan berwarna hitam, sesekali rambutnya yang digerai berkibar karena hembusan angin. Sudah satu minggu semenjak dirinya bertemu dengan Samudra, pria itu tidak pernah menampilkan batang hidungnya lagi. Akira mendesah kecewa ketika dirinya terbangun, dan tidak mendapati Samudra ada di kasur. Karena hanya ada dirinya dan Benua di sini sekarang. Ingatlah Akira jika dia memiliki Samira. Batinnya mengingatkan. Tapi matanya tidak sengaja melihat secarik kertas di atas nakas, dengan cepat Akira mengambilnya.Aku pulang, maaf tidak membangunkanmu. Besok aku akan menemuimu dan Benua lagi.—Samudra.Akira ingat betul, jika Samudra menuliskan di kertas jika besok ak
Samudra tersenyum samar. Bahkan air matanya tak terasa jatuh. Ia menemukannya. Mencengkeram stirnya kuat, Samudra memutuskan untuk mencari penginapan di sekitar sini dengan senyum yang tidak pernah luntur. Bahkan orang yang berada di lobi penginapan disapa oleh Samudra, padahal tidak saling mengenal."Mari Pak, Saya antar," ujar seorang laki-laki dengan seragam berwarna hitam.Samudra menggeleng, tersenyum ramah."Tidak usah, biar aku sendiri yang mencarinya.""Baik Pak, kamar Bapak ada di lantai tiga," ujar laki-laki itu yang diacungi jempol oleh Samudra.Sesampainya di kamar, Samudra langsung saja menaruh ranselnya asal dan melepas kemejanya, karena tubuhnya sudah terasa lengket dan bau. Di bawah guyuran air, Samudra memejamkan mata. Sedikit demi sedikit bebannya terangkat. Hanya saja ia harus menyusun rencananya. Menyiapkan semuanya karena Samudra juga berpikir jika Akira akan menolaknya, mengingat perlakuannya itu pasti wanitanya kecewa. Sangat. Pikiran Samudra beralih pada kejadi
Samudra melangkahkan kakinya menuju ruangannya, sesekali ia membalas sapaan para karyawan yang menyapanya. "Pagi Pak Samudra," sapa Hani—sekertarisnya.Samudra tersenyum, "Pagi juga Hani," balasnya sebelum mendorong pintu ruangannya. Entahlah, hari ini Samudra merasa lebih bersemangat dari sebelumnya. Karena Samudra merasa, ini adalah awal yang indah. Pintu terbuka, di sana Hani berdiri dengan membawa beberapa lembar kertas. "Pak, Saya hanya akan memberi tau agenda Bapak hari ini."Samudra mengangguk, mempersilahkan Hani untuk memulai."Hari ini bapak ada jadwal meeting dengan Pak Johan pukul sembilan, lalu setelahnya tidak ada agenda. Dilanjutkan lusa, bapak akan ke Bogor untuk menemui klien di sana." Terang Hani membuat Samudra mengangguk mengerti."Terima kasih Hani, kamu boleh pergi." Selepas kepergian Hani, Samudra memutuskan untuk bersiap menyiapkan keperluan untuk meetingnya. Mengecek sekali lagi jika semuanya sudah beres dan rapi.Hingga dua jam berlalu, meeting yang dilakukan
Sudah satu tahun sejak wanita itu pergi, Samudra terus mencarinya tanpa lelah apalagi ketika mengetahui Akira hamil dan malah mungkin sudah melahirkan. Jangan tanyakan hubungannya dengan Samira karena sampai sekarang pun masih terjalin baik. Samudra hanya merasa ayahnya menyembunyikan sesuatu padanya. Entahlah Samudra tidak tau. "Apa kamu sudah mendapatkan informasi tentang Akira?" tanya Samira yang duduk di depannya.Sekarang mereka sedang berada di salah satu kafe, menghabiskan waktu istirahat siang bersama. Samudra menghela napasnya lelah, menggeleng. "Belum, seorang suruhanku juga belum menemukannya."Matanya menerawang, membayangkan Akira hamil besar lalu melahirkan anaknya dan mengurus sendiri tanpanya membuat matanya memanas. Samira mengusap bahu Samudra menguatkan. "Tenanglah Sam. Pasti Akira akan ditemukan.""Aku tidak yakin, aku sudah satu tahun mencarinya tapi wanita itu...." Samudra mengacak-acak rambutnya frustasi tidak melanjutkan kalimatnya."Percayalah Sam, pencarianmu