"Ayah, Akira akan bekerja. Akira pamit," ujar seorang gadis cantik mencium tangan pria tua yang terbaring lemah di atas ranjang. Dia—Anton, orang tua yang Akira punya satu-satunya.
Pria tua itu mengangguk lemah. "Hati-hati ya, Nak. Jaga dirimu baik-baik, maafkan ayah karena sakit-sakitan ini." Akira menggeleng. "Tidak. Ini semua bukan salah Ayah. Ini memang sudah kewajiban Akira untuk mencari uang menggantikan Ayah. Dan Ayah istirahat saja di rumah." Akira lalu berbalik, berjalan melewati jalanan yang becek dan kumuh. Ya, Akira dan keluarganya tinggal di tempat yang begitu kumuh, rumah yang sempit. Tapi Akira bersyukur, ia masih memiliki tempat tinggal. Walau rumahnya entah bisa dikatakan layak atau tidak. Hidup seperti ini justru membuatnya selalu bersyukur dengan apa yang ia punya. Memiliki rumah kecil dengan keluarga yang menyayanginya. Akira tumbuh dewasa, tanpa seorang ibu. Ibunya itu pergi entah ke mana, karena bosan dengan kehidupannya yang miskin. Lalu meninggalkan ayahnya untuk mencari pria yang kaya raya. Ia sudah berumur dua puluh tahun. Begitu lulus SMA Akira tidak melanjutkan kuliahnya memilih untuk bekerja mencari uang. Apalagi melihat ayahnya yang sudah tua, banting tulang mencari uang sendiri membuatnya sedih sekaligus tidak tega. Tak terasa kakinya sudah menginjak di jalan raya. Ia segera menuju halte yang akan membawanya pergi. Akira segera naik, dan ia berdiri karena semua kursi sudah penuh terisi. Kebanyakan adalah ibu-ibu, mungkin mereka akan pergi ke pasar berbelanja atau pergi karena urusan sesuatu. Pikirnya. ***** Begitu sampai ditujuan, Akira turun. Ia sedikit berjalan untuk sampai di rumah majikannya. Akira berjalan memasuki kawasan komplek, di BSB rumah begitu didesain dengan apik dan mewah. Terkadang, Akira berdecak kagum, ingin sekali ia membawa keluarganya pergi dari rumah kumuhnya dan menempati rumah yang bagus dan layak. Tapi, itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Mengingat ia hanya bekerja sebagai pembantu dan pelayan di klub ketika malam hari. Akira juga memiliki keinginan, menikah dengan laki-laki yang mencintai apa adanya, menerima kekurangannya. Layaknya di film disney, si cinderella yang menikah dengan pangerannya. Ia ingin seperti itu, seperti cinderella yang bernasib baik. Memiliki takdir yang begitu indah. Sesampainya di sebuah rumah berukuran besar yang menjulang tinggi Akira segera melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah yang begitu luas. Sudah dua tahun ia bekerja di sini, menggantikan mbok Jah-tetangganya yang sudah tua. Hitung-hitung lumayanlah penghasilannya. Selalu sepi ketika Akira datang. Karena majikan dan anaknya sudah pergi ke kantor. Di sini ia hanya menyapu, mengepel, dan memasak untuk makan malam. Baru setelah pukul sembilan malam, jika semuanya sudah beres ia akan segera pergi ke klub. Akira bersyukur, atasannya memberikan kelonggaran waktu untuk Akira datang. Akira tidak pernah mengeluh, selalu sabar menghadapi semuanya. Ia akan bekerja lebih keras agar semua keinginannya tercapai. Dulu, Akira kecil bermimpi untuk menjadi seorang dokter. Tapi mimpi itu hancur begitu saja saat Ibunya pergi meninggalkannya. Entahlah, saat itu ia benar-benar hancur. Seperti tidakk memiliki semangat untuk hidup. Orang yang dicintai pergi meninggalkan, perlahan tapi pasti. ***** "Ayah tau, aku tidak pernah percaya dengan wanita semenjak saat itu," ujar Samudra menerawang. Saat di mana, Samudra kecil ditinggalkan oleh ibunya. Ibunya tidak meninggal, bukan seperti itu. Tapi, dia pergi meninggalkan ayahnya hanya demi uang. Mencari seorang pria yang lebih kaya dari ayahnya saat itu. Dulu, dulu sekali ayahnya tidak sesukses sekarang. Samuel dulu hanya pegawai kantoran biasa. Lalu seseorang yang sangat percaya pada ayahnya dengan enteng memberikan semuanya pada Samuel. Awalnya ayahnya menolak. Jelas, karena di situ menuai pro dan kontra. Banyak orang yang protes dengan keputusan seseorang itu. Tapi apalah daya Samuel yang didesak hingga akhirnya menyetujui dan menjadi orang penting hingga sekarang. Lalu dengan sungguh-sunggu Samuel berkerja keras mengelola perusahaan ini dan menjadikannya lebih maju dari sebelumnya. Begitu pesat peningkatannya dalam setiap tahun. Samuel menghela napasnya lelah mendengar perkataan putranya. "Kamu tau Sam, seharusnya masa lalu kamu jadikan pembelajaran. Supaya kamu bisa lebih pintar dalam memilih pasangan.'' "Tidak seharusnya masa lalu itu membuatmu menjadi tidak mau menikah dan membenci wanita. Semua wanita tidak seperti itu, Sam," lanjut Samuel menegaskan kalimat terakhirnya-sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Samudra yang termenung. ***** Kata-kata ayahnya benar-benar mengganggu otak Samudra. Ah, Samudra benar-benar membenci wanita. Menurutnya, wanita sama saja. Hanya uang yang berada di otak mereka. Semenjak ibunya pergi, ia tidak pernah sudi untuk menjalin hubungan dengan wanita atau bahkan menikah. Tidak akan pernah. Camkan itu. Cukup dirinya bermain wanita tanpa harus memiliki ikatan. Dengan begitu, keduanya tetap menguntungkan dan diuntungkan. Si wanita mendapatkan uang dengan jumlah yang diinginkan sedangkan Samudra mendapatkan kepuasannya. Jika bisa seperti itu, mengapa harus terikat secara sah dengan wanita? Batinnya. Persetan dengan kata menikah karena Samudra tidak akan pernah melakukannya. ***** Setelah selesai dengan pekerjaan kantornya Samudra segera pulang karena ia benar-benar lelah sekarang. Pria itu membelah kota Semarang di malam hari. Apalagi keadaan simpang lima yang macet karena malam minggu membuatnya mendengus kesal. Padahal ini adalah kali pertamanya pulang lebih awal dari sebelumnya, pikirnya ingin segera pulang dan istirahat, tapi malah terjebak macet. Benar-benar menjengkelkan. Sesampainya di rumah, ia segera masuk dan mendapati Akira sedang menyiapkan makan malam. Percayalah, entah kenapa melihat Akira yang hanya memakai rok lipat di bawah lutut dan atasan kuno yang lusuh terkesan sexy di tubuhnya yang berisi. Dan itu membuat Samudra kadang tergoda untuk menyentuhnya. "Ekhm, Tolong siapkan aku air hangat," dehem Samudra memerintahkan Akira menyiapkan air hangat untuk mandi. Akira yang membawa semangkuk sayur segera meletakkannya di atas meja ketika mendengar suara anak majikannya. "Baik, ditunggu Tuan." Gadis itu segera melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai dua. Karena kamar Samudra berada di sana. Sesampainya di depan pintu kamar pria itu, ia segera memutar knop pintu. Lalu menyalakan mesin pemanas air, dan menyiapkan segalanya untuk Samudra. Ketika sudah siap semuanya, Akira memutuskan untuk keluar memanggil Samudra. Tapi langkahnya terhenti ketika pandangannya melihat Samudra yang sedang bertelanjang dada memunggunginya. "Mmm Tuan, airnya sudah siap," ujar Akira lembut. Samudra menoleh, lalu mengangguk. Tapi entah kenapa pandangannya terjatuh pada bibir merah ranum gadis itu yang menggoda. Dengan langkah pelan Samudra berjalan mendekat ke arah Akira, membuat gadis itu mundur. Tapi, seketika terhenti saat punggungnya bersentuhan dengan tembok. Jantungnya berdegup was-was. Sedetik kemudian, Samudra menempatkan kedua tangannya pada sisi kanan kiri Akira, mengurung gadis itu. Dengan sorot mata tajam, Samudra memajukan wajahnya hingga hidung mereka bersentuhan membuat napas mereka beradu. Akira yang takut memejamkan matanya, dan saat itu pula bibir mereka bersentuhan cukup lama membuat gadis itu terkejut setengah mati. Ciuman pertamanya, Samudra telah mencurinya! Teriak Akira dalam hati.Sudah bulan ke sembilan sejak kepergian Akira, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Separuh jiwanya, ah entahlah Samudra tidak tau. Selama itu pula ia masih menjalin hubungan dengan Samira. Mengacak rambutnya frustasi Samudra melangkahkan kakinya gontai menuju kamar yang dulu sempat dipakai Akira. Bahkan aromanya, Samudra masih ingat betul ciri khas aroma coklat Akira yang sangat menenangkan. Di tempat ini pula Samudra mengambil paksa kehormatan wanita itu. Ya, wanita yang sejak beberapa bulan lalu menduduki posisi di hatinya. Dan dapat dipastikan kepergian Akira ada hubungannya dengan kedatangan Samira. Samudra menyadari kebodohannya, dan ia tidak menyangka ungkapan cintanya pada Akira akan berakhir seperti ini. Entah kenapa hatinya menyuruh untuk berjalan mendekati nakas yang berada di samping kasur. Lalu menariknya agar terbuka. Matanya terpaku melihat sesuatu yang tidak asing di matanya. Jelas, Samudra tau benda apa itu di dalam laci nakas. Tangannya bergetar mengambil benda itu.
Akira membuka matanya, perjalanan dari Semarang ke Bogor membuat badannya pegal apalagi transportasi yang digunakan adalah mobil. Akira turun, pemandangannya begitu indah bahkan udaranya begitu segar. Menghirupnya, Akira mengeluarkannya perlahan. "Menenangkan," gumamnya. Rumah yang diberikan Samuel tidak terlalu besar. Namun cukup nyaman. Dan Akira berpikir rumah ini berada di daerah dataran tinggi karena udaranya yang sejuk. Bahkan ini seperti desa ah bukan seperti lagi tapi memang, karena Akira tidak melihat banyak rumah di sini. Dan jika dilihat, dari rumah Samuel lalu samping kanannya adalah hamparan kebun yang sangat luas, sedangkan di depan ada jalan lalu menghubungkan jalanan yang menurun. Barulah di sana hamparan kebun teh, stroberi terpampang. Akira berdecak kagum. "Akira!" panggil Anton. Akira menoleh, "Masuklah dulu, Nak. Bersihkan dirimu, hari mulai gelap,” katanya. Akira mengangguk, menuruti ayahnya. Sedangkan Aji dan Ara? mereka ikut Ani yang rumahnya juga tidak ja
Akira memutuskan untuk pulang ke rumah ayahnya dari pada kembali ke apartemen Samudra. Samuel juga sudah menyetujuinya untuk tidak bekerja lagi, dan bahkan pria paruh itu menyuruhnya untuk pergi jauh agar tidak bisa dijangkau anak badungnya. Mungkin dengan kepergian Akira, Samuel berpikir akan membuka jalan pikiran Samudra. Dan membuat pria itu tersadar. Akira menghela napasnya, ketika sudah sampai di depan pintu rumah. Lalu membukanya perlahan, ia memutuskan untuk memberi tau ayahnya sekarang perihal kehamilan dirinya. Hanya saja Akira tidak bisa melihat kekecewaan di mata ayahnya nanti. "Ayah," lirih Akira memanggil Anton yang sedang duduk di pinggiran kasur. Pria paruh itu menoleh, menatap lembut ayahnya. "Ayah, maafkan Akira," ujar Akira berlutut di depan Anton. Anton menangkup pipi Akira, menatap lembut Akira membuatnya merasa bersalah. Akira memutuskan kontak mata dari ayahnya, air matanya mengalir. "Ayah, Aki-Akira melakukan yang seharusnya tidak dilakukan. Tapi Akira
Jantung Akira berdebar kencang, keringat dingin mulai keluar. Tangannya bahkan bergetar memegang test pack. Sekali lagi Akira memejamkan matanya berharap semua ini hanya mimpi. Menghela napasnya, perlahan Akira membuka mata. Ini bukan mimpi. Batinnya. Terpampang di sana garis dua berwarna merah dengan jelas. Akira tidak buta, kan? Dan ini berarti dirinya positif hamil? Tidak, tidak ini tidak mungkin terjadi. Akira menggeleng, bahunya melemas tubuhnya merosot bersandar pada tembok kamar mandi. Matanya berair, dan Akira tidak kuat lagi membendungnya. "Bagaimana bisa," isaknya. Akira bingung apakah harus memberi taukannya pada Samudra atau tidak. Bahkan melihat perlakuan pria itu yang kasar membuatnya tidak yakin untuk memberi taukan semuanya. Ya, memberi tau jika dirinya hamil, anaknya. Ponselnya yang berdering membuat Akira buyar dari lamunannya dan beranjak, melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Meraih ponsel di atas nakas, nama pak Samuel tertera disana. Dengan segera Akir
Pagi ini Akira kembali merasakan pening dan mual seperti sebelumnya dan ini membuat Akira yakin jika pikiran negatifnya itu memang benar. Memutuskan untuk membersihkan diri, lalu setelahnya pergi ke apotek membeli test pack. Akira hanya ingin memastikan semuanya. Semoga saja semua baik-baik saja. Lima belas menit berlalu, Akira sudah siap dan rapi. Mengambil tas kecil dan berjalan keluar kamar. Sepi. Itulah satu kata yang terlintas di otaknya. Sepertinya Samudra memang tidak pulang. Batinnya. Akira memutuskan untuk berjalan kaki menuju salah satu apotek yang tidak jauh dari komplek perumahan. "Mbak, ada test pack, kah?" tanya Akira sedikit ragu. Penjaga toko ber-name tag Sri itu mengangguk, menatap Akira. "Mau beli test pack?" Akira mengangguk pelan. "Iya." "Berapa?" "Satu saja," jawab Akira singkat. Setelah melakukan transaksi, Akira segera memasukkan kantong plastik berisikan test pack itu ke dalam tas. Hatinya berdesir, jantungnya berdegup kencang. "Tidak akan ada yang ter
Hari-hari dilalui dengan penuh ketenangan, meskipun di hatinya masih belum kembali tertata dengan rapi—seperti semula. Akira juga merasa Samudra semakin lama semakin jauh dari jangkauannya. Ia merasa seperti tidak berguna lagi. Entahlah ia menjadi tidak bersemangat. Menghela napasnya, Akira menatap sekeliling kamarnya. Ia melirik jam di dinding sekarang menunjukkan pukul dua malam dan Akira terbangun. Merasakan tenggorokannya yang kering Akira memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum. Langkah Akira terhenti ketika mendengar suara asing dan membuat pendengarannya risih. Akira menoleh, melihat ke arah ruang bersantai di sana seorang wanita terlentang tanpa memakai busana sedikit pun, sedangkan Samudra berada di atasnya. Seperti berkuasa. Akira tidak bodoh, ia tentu paham apa yang dilakukan kedua orang itu di atas sofa. Hatinya seperti ditusuk ribuan jarum, Akira merasakan nyeri di dadanya. Ini lebih menyakitkan daripada perkataan Samudra saat menyuruhnya untuk menjauh. Bahkan kak