“Apa yang kalian lakukan?!” Bentak Andrew saat orang-orang yang dia suruh mengikuti Jayden menjawab panggilannya. Emosi Andrew memuncak begitu melihat laporan yang dikirim suruhannya setengah jam lalu. Dia keluar dari ruang rapat dan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. “Aku dengan jelas mengatakan orang itu tidak boleh bertemu dengan Claire!” Dia sedang berada di tengah rapat saat laporan itu masuk ke ponselnya. Andrew selalu membuat benda itu dalam mode senyap jika dia sedang rapat. “Apa yang kalian kerjakan, hah?!” Andrew menjatuhkan bokongnya ke kursi kerja. “Aku membayar mahal kalian, tapi apa? Kalian bahkan tidak bisa mengurus satu orang!” “Ma-maaf, Tuan.” Suaranya takut. “Kami tidak tahu jika tempat yang dia tuju adalah perusahaan Nona Claire bekerja. Saat sudah sampai, kami tidak yakin apakah kami boleh melukai orang itu.” Dia sudah menanyakan ini pada Andrew, tapi pria itu tidak membalas pesannya. Andrew memijit pelipisnya yang berdenyut. Kepalanya panas mendengar ucap
“Nyonya,” suara Bibi Miller menghentikan Nyonya Wilson yang sedang menyemprot bunga.“Ada tamu. Tuan Andrew Collins datang berkunjung.”“Andrew?” suaranya bingung. Buat apa Andrew datang kemari? Nyonya Wilson meletakkan sprayer-nya lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Saat dia sampai di ruang tamu suaminya sudah mengobrol dengan Andrew. Wanita paruh baya itu mendekati mereka.“Andrew,” sapaan Nyonya Wilson membuat keduanya melihat beliau.“Irene,” Andrew menganggukkan kepalanya pada ibu Claire.“Kenapa kau datang kemari?” Ini hari Sabtu, suaminya tidak membawa urusan kantornya ke rumah saat weekend. Nyonya Wilson melihat suaminya. ‘Ini tidak ada hubungannya dengan Claire ‘kan?’ matanya bertanya. Tuan Wilson mengalihkan pandangannya pada Andrew. Dia kurang cepat membawa Andrew ke ruang kerjanya. Andrew datang untuk membicarakan perjodohannya dengan Claire lagi. Entah apa reaksi Nyonya Wilson jika dia tahu suaminya tidak benar-benar membereskan perjodohan Claire dengan Andrew.“Ada yang
“Bisa tolong oleskan tabir surya ke tubuhku?” ucap Claire pada Jayden yang sedang berbaring di kursi santai. Jayden merendahkan sunglasses-nya melihat Claire. Dia sudah mengoleskan tabir surya ke tubuh Claire sekitar satu jam lalu. “Katakan saja kau ingin aku terus menyentuhmu, Sayang. Tidak perlu membuat alasan.” Claire menoleh pada Jayden, mendapati pria itu dengan smirk di wajahnya. “Aku tidak mau kulitku terbakar.” Claire melemparkan botol tabir suryanya pada Jayden. Pria itu menggeleng kecil sambil tersenyum. Dia masih tidak percaya ucapan Claire. Pria itu bergerak dan menempatkan bokongnya di kursi santai Claire. Jayden menekan botol tabir surya, membuat gel itu jatuh ke tangan kirinya. Dia mengusapkan kedua tangannya lalu mulai mengoleskan tabir surya ke bahu Claire, leher—dia memberi pijatan di sana yang mendapat erangan nikmat dari wanita itu. “Tsk, tsk. Katakan saja kau menginginkan sentuhanku.” Claire memutar matanya mendengar ucapan Jayden. Mereka baru keluar dari rumah
“Bagaimana menurutmu?” Jayden melihat Claire yang fokus melihat pertunjukan di depan mereka.“Apanya?” tanya Claire karena tidak mengerti apa yang pria itu tanyakan.“Tarian mereka,” Jayden melihat para penari hula yang meliukkan tubuhnya mengikuti irama musik dengan memakai bikini dan rok rumbai. Pertunjukan mereka menghipnotis para pengunjung bar tepi pantai. Namun, pemandangan itu biasa bagi Jayden.“Aku lebih suka melihatmu meliuk di atasku,” ucap Jayden lalu mengambil wiskinya dari meja.“Kau tidak serius,” balas Claire sambil tersenyum menggoda Jayden. Para penari itu memiliki tubuh yang seksi dan eksotis, mereka juga pandai menggerakkan pinggulnya. Jayden melirik Claire. Kalau saja pikirannya tidak terbagi, dia pasti melakukan sesuatu agar mereka hanya tinggal di rumah pantai saja dan tidak pergi ke mana-mana.“Apa aku pernah tidak serius jika menyangkut urusan ranjang?” Claire hanya bisa tertawa kecil. Ucapan Jayden benar. Pria Asia itu sampai membuat kesepakatan dengannya aga
Dia memandangi uap kopi di depannya lalu melihat keluar jendela. Tidak ada salju yang turun, tapi, cuaca tetap dingin. Kebanyakan orang pasti memilih berada di rumah. Claire tersenyum miring. Dia tidak punya rumah di negara ini.“Apa kau menunggu lama? Aku baru selesai shooting iklan smartphone yang akan diluncurkan bulan depan.” Terang pria yang mengambil tempat duduk di depannya. Claire memutuskan untuk tidak peduli apa pun yang pria itu lakukan beberapa waktu lalu.“Kau tidak datang bersama Aiden?” matanya menyapu seluruh kafe, berharap menemukan bocah laki-laki, puteranya di salah satu sisi kafe.“Aku menitipkannya di penitipan anak sebentar.”“Kenapa kau tidak mengajak Aiden? Aku merindukannya,” ucapan itu membuat Claire tersenyum remeh. Dia merindukan Aiden sekarang? Di mana dia saat Aiden sakit dan terus memanggilnya?“Apa kau ingin memesan sesuatu? Atau aku bisa bicara sekarang?” pria itu tertegun. Cara bicara Claire terasa dingin.“Apa yang ingin kau katakan?”“Aku merasa cuku
Dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Pemiliknya belum terusik, dia nyenyak tidur. Suara ponselnya berhenti, tapi tak lama kemudian kembali berdering. Si pemilik mengerang. Dia meraba tempat tidur sampai tangannya menyentuh benda itu. “Halo,” jawabnya serak. Tenggorokannya terasa kering. “Claire, kamu di mana, Nak?” tanya ibunya. Setelah makan malam merayakan kelulusan dengan keluarganya, Claire pergi bersama teman-temannya dan dia tidak pulang ke rumah. Claire bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. “Aku di rumah teman, Ma‚” jawab Claire berbohong. Dia di kamar hotel. Ayahnya pasti marah jika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. “Kamu pulang ke rumah hari ini, ‘kan?” “Iya, Ma. Nanti sore,” Claire melihat jam yang tertera di ponselnya. Jam sepuluh pagi. Dia melihat ke arah jendela kamar. Claire tidak bisa melihat apa pun karena jendela tertutup tirai berwarna gelap. “Apa kamu ada kegiatan dengan temanmu? Mama ingin mengajakmu belanja.” “Aku akan be
Claire mendengar suara dari ruang tamu saat dia menuruni tangga. Dia tidak mau menunggu panggilan ibunya karena dia sudah selesai. Semakin cepat makan malam ini dimulai, semakin cepat acara itu berakhir. Claire memasang senyum di wajahnya dan memasuki ruang tamu. Semua orang menoleh ke arahnya. Claire berhenti, senyumnya memudar. Tamu yang ada di ruang tamu mereka tidak seperti yang dia bayangkan. “Mama baru akan memanggilmu, Nak,” Nyonya Wilson bangkit dan mengarahkan Claire untuk berdiri di hadapan tamu mereka. Claire melihat ke arah ayah dan kakaknya sebentar—keduanya tersenyum padanya—lalu menatap tamu yang ada di hadapannya. Dua orang yang terlihat berusia di akhir umur lima puluhan dan satu orang yang terlihat di akhir umur dua puluhan. “Kenalkan, Nak,” ayahnya berdiri. “Ini rekan bisnis Ayah. Edward Collins dan istrinya Mitchell Collins.” Mereka dan pria yang Claire pikir pasti anak mereka berdiri. Edward menjabat tangan Claire dengan tersenyum. “Kau memiliki putri yang cant
Claire menyelamati dirinya dalam hati karena bisa bertahan untuk tetap bersikap sopan sampai tamu orang tuanya pulang. Dia bahkan pantas diberi piala karena tetap tenang saat Andrew memegang tangan dan mengecup punggung tangannya sebelum pria itu pamit. “Aku tidak percaya kalian bisa melakukan ini padaku,” ucap Claire begitu mobil keluarga Collins keluar dari kediaman keluarganya. “Kalian menganggapku apa? Barang yang bisa dijual?” Claire meluapkan emosinya. “Claire, Sayang, kita bisa bicarakan ini di dalam.” Claire ingin berontak, tapi, Nyonya Wilson sudah lebih dulu menariknya ke dalam rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga. “Kenapa?” “Karena ini bagus untuk perusahaan, Princess.” “Aku tidak merasa seperti seorang puteri sekarang.” Claire melihat ayahnya marah. Bagaimana bisa Tuan Wilson memanggilnya Princess setelah beliau menjatuhkan bom besar yang disebut perjodohan? “Yang aku tahu puteri menikahi pangeran yang dia cintai,” Claire menarik napas dan mengeluarkannya. Teta