“Bagaimana menurutmu?” Jayden melihat Claire yang fokus melihat pertunjukan di depan mereka.“Apanya?” tanya Claire karena tidak mengerti apa yang pria itu tanyakan.“Tarian mereka,” Jayden melihat para penari hula yang meliukkan tubuhnya mengikuti irama musik dengan memakai bikini dan rok rumbai. Pertunjukan mereka menghipnotis para pengunjung bar tepi pantai. Namun, pemandangan itu biasa bagi Jayden.“Aku lebih suka melihatmu meliuk di atasku,” ucap Jayden lalu mengambil wiskinya dari meja.“Kau tidak serius,” balas Claire sambil tersenyum menggoda Jayden. Para penari itu memiliki tubuh yang seksi dan eksotis, mereka juga pandai menggerakkan pinggulnya. Jayden melirik Claire. Kalau saja pikirannya tidak terbagi, dia pasti melakukan sesuatu agar mereka hanya tinggal di rumah pantai saja dan tidak pergi ke mana-mana.“Apa aku pernah tidak serius jika menyangkut urusan ranjang?” Claire hanya bisa tertawa kecil. Ucapan Jayden benar. Pria Asia itu sampai membuat kesepakatan dengannya aga
Dia memandangi uap kopi di depannya lalu melihat keluar jendela. Tidak ada salju yang turun, tapi, cuaca tetap dingin. Kebanyakan orang pasti memilih berada di rumah. Claire tersenyum miring. Dia tidak punya rumah di negara ini.“Apa kau menunggu lama? Aku baru selesai shooting iklan smartphone yang akan diluncurkan bulan depan.” Terang pria yang mengambil tempat duduk di depannya. Claire memutuskan untuk tidak peduli apa pun yang pria itu lakukan beberapa waktu lalu.“Kau tidak datang bersama Aiden?” matanya menyapu seluruh kafe, berharap menemukan bocah laki-laki, puteranya di salah satu sisi kafe.“Aku menitipkannya di penitipan anak sebentar.”“Kenapa kau tidak mengajak Aiden? Aku merindukannya,” ucapan itu membuat Claire tersenyum remeh. Dia merindukan Aiden sekarang? Di mana dia saat Aiden sakit dan terus memanggilnya?“Apa kau ingin memesan sesuatu? Atau aku bisa bicara sekarang?” pria itu tertegun. Cara bicara Claire terasa dingin.“Apa yang ingin kau katakan?”“Aku merasa cuku
Dering ponsel memecah keheningan di ruangan itu. Pemiliknya belum terusik, dia nyenyak tidur. Suara ponselnya berhenti, tapi tak lama kemudian kembali berdering. Si pemilik mengerang. Dia meraba tempat tidur sampai tangannya menyentuh benda itu. “Halo,” jawabnya serak. Tenggorokannya terasa kering. “Claire, kamu di mana, Nak?” tanya ibunya. Setelah makan malam merayakan kelulusan dengan keluarganya, Claire pergi bersama teman-temannya dan dia tidak pulang ke rumah. Claire bangun lalu menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. “Aku di rumah teman, Ma‚” jawab Claire berbohong. Dia di kamar hotel. Ayahnya pasti marah jika dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. “Kamu pulang ke rumah hari ini, ‘kan?” “Iya, Ma. Nanti sore,” Claire melihat jam yang tertera di ponselnya. Jam sepuluh pagi. Dia melihat ke arah jendela kamar. Claire tidak bisa melihat apa pun karena jendela tertutup tirai berwarna gelap. “Apa kamu ada kegiatan dengan temanmu? Mama ingin mengajakmu belanja.” “Aku akan be
Claire mendengar suara dari ruang tamu saat dia menuruni tangga. Dia tidak mau menunggu panggilan ibunya karena dia sudah selesai. Semakin cepat makan malam ini dimulai, semakin cepat acara itu berakhir. Claire memasang senyum di wajahnya dan memasuki ruang tamu. Semua orang menoleh ke arahnya. Claire berhenti, senyumnya memudar. Tamu yang ada di ruang tamu mereka tidak seperti yang dia bayangkan. “Mama baru akan memanggilmu, Nak,” Nyonya Wilson bangkit dan mengarahkan Claire untuk berdiri di hadapan tamu mereka. Claire melihat ke arah ayah dan kakaknya sebentar—keduanya tersenyum padanya—lalu menatap tamu yang ada di hadapannya. Dua orang yang terlihat berusia di akhir umur lima puluhan dan satu orang yang terlihat di akhir umur dua puluhan. “Kenalkan, Nak,” ayahnya berdiri. “Ini rekan bisnis Ayah. Edward Collins dan istrinya Mitchell Collins.” Mereka dan pria yang Claire pikir pasti anak mereka berdiri. Edward menjabat tangan Claire dengan tersenyum. “Kau memiliki putri yang cant
Claire menyelamati dirinya dalam hati karena bisa bertahan untuk tetap bersikap sopan sampai tamu orang tuanya pulang. Dia bahkan pantas diberi piala karena tetap tenang saat Andrew memegang tangan dan mengecup punggung tangannya sebelum pria itu pamit. “Aku tidak percaya kalian bisa melakukan ini padaku,” ucap Claire begitu mobil keluarga Collins keluar dari kediaman keluarganya. “Kalian menganggapku apa? Barang yang bisa dijual?” Claire meluapkan emosinya. “Claire, Sayang, kita bisa bicarakan ini di dalam.” Claire ingin berontak, tapi, Nyonya Wilson sudah lebih dulu menariknya ke dalam rumah. Mereka berkumpul di ruang keluarga. “Kenapa?” “Karena ini bagus untuk perusahaan, Princess.” “Aku tidak merasa seperti seorang puteri sekarang.” Claire melihat ayahnya marah. Bagaimana bisa Tuan Wilson memanggilnya Princess setelah beliau menjatuhkan bom besar yang disebut perjodohan? “Yang aku tahu puteri menikahi pangeran yang dia cintai,” Claire menarik napas dan mengeluarkannya. Teta
Claire masih diliputi kemarahan saat dia sampai di club.“A shot of tequila, please.” Pesan Claire pada bartender. Dia meminta teman-temannya, Evelyn, Mia, dan Alicia untuk menemuinya di Paradise Club.“Hari yang buruk?” bartender menyodorkan tequila pada Claire. Claire langsung meminumnya dalam sekali teguk.“Isi terus sampai aku bilang berhenti.” Claire mengabaikan pertanyaan bartender. Dia tidak tahu apakah ayahnya membatalkan perjodohan dengan Andrew atau tidak. Dia bukan hanya marah, tapi, kecewa dan sedih. Ibunya, orang yang sangat dia sayangi tidak memberitahu Claire tentang maksud pertemuan makan malam bisnis ayahnya. Beliau malah menyuruhnya membeli dress yang cantik. Rasa terkhianatinya lebih parah dibandingkan dengan ayah dan kakaknya karena dia selalu cerita pada ibunya.“Pelan-pelan. Kau bisa mabuk dalam waktu singkat jika minum seperti itu.” Si bartender memperingatkan Claire karena dia sudah empat kali mengisi gelas pelanggannya. Bartender itu meninggalkan Claire setela
“Aku masih ingin menciummu.” Kedua tangan Jayden langsung memegang wajah Claire sebelum wanita itu bisa mendaratkan bibirnya pada bibir Jayden. Dia tidak bisa bermain lebih lama lagi atau dia akan meledak.“I want you. Aku tidak bisa menahannya lagi,” Jayden menatap Claire dalam.“Come with me,” suara Jayden lembut merayunya.“Aku akan memuaskanmu bukan hanya dengan ciuman.” Claire melihat bibir Jayden. Ajakannya sangat menggoda, tubuhnya panas menginginkan lebih dari ciuman. Namun, bisakah dia melakukan one night stand?“Kau menginginkannya.” Claire menghadapkan tubuhnya ke meja bar dan meminum tequila-nya. Mungkin ini terakhir kalinya dia bisa melakukan apa yang dia mau. One night stand? Itu bukan hal yang besar. Jika teman-temannya bisa melakukan itu, dia juga pasti bisa. Claire hendak minum lagi, tapi sadar gelasnya kosong. Dia mengambil vodka Jayden dan menegaknya habis.“Aku menginginkannya.” Dua kata itu langsung membuat Jayden berdiri dan menarik Claire keluar dari club. Dia m
“Pemotretan selesai untuk hari ini!” Jayden berjalan menuju photographer untuk melihat hasil pengambilan gambarnya.“Hasilnya sangat bagus,” ujar Anthony menunjukkan gambar-gambar di kamera pada Jayden.“Ivy tidak salah menjadikanmu sebagai brand ambassador produk fashion-nya.” Jayden merasa puas setiap mendengar pujian dari rekan kerja-samanya. Dia melakukan pekerjaan yang dia geluti sejak umur dua puluh dua tahun dengan baik. Jayden sudah punya nama di dunia permodelan. Dia jadi brand ambassador beberapa merk fashion, mobil, skincare, perhiasan terkenal di dunia dan menjadi kameo di beberapa drama.“Sampai jumpa di pemotretan berikutnya.” Jayden pamit untuk mengganti pakaian, setelah itu pergi dari studio foto.“Jayden!” suara itu membuat Jayden menoleh ke belakang. Kevin Smith menghampirinya. Dia adalah rekan model yang bernaung di agensi yang sama cabang New York.“Let’s grab a drink. It’s been so long, Man.” Jayden tersenyum. Sudah satu tahun sejak dia datang ke New York, mereka