Share

BAB 4

Di luar sangat menyeramkan, tapi aku sangat penasaran dengan pria tadi. Mengapa ia bisa mengetahui namaku? Padahal aku yakin kalau aku tidak mengenal siapa dia dan di baju yang kupakai pun tidak ada name tag ataupun tanda pengenal apapun. Ku harap dia bukan lah orang jahat. 

'- Setelah ini jangan pernah buka pintu untuk siapapun, jika kau tak kenal suaranya.' Mengingat peringatan dari pria asing yang ku obati kemarin, aku menjadi sedikit takut. Sebab dilihat dari penampilan serta luka yang di dapat Melviano bukan hanya aksi kekerasan atau pemukulan biasa. 

"Ivy! Apa yang kau lakukan disana?!" Dari pintu toko yang kini berjarak beberapa meter dengan posisiku saat ini, Bu Lia memanggil dengan suara tinggi. 

Teringat jika saat ini aku masih di jam kerja, bodoh sekali bagaimana bisa aku meninggalkan toko begitu saja. Aku langsung bergegas menghampirinya. "Maaf Bu karena tiba-tiba meninggalkan toko. Saya tidak akan mengulanginya lagi." 

"Iya iya. Masuk! Jangan sampai aku melihatmu tiba-tiba pergi lagi. Kalau sampai ada maling karena keteledoran mu, aku akan menuntut ganti rugi!" Ujarnya penuh amarah. 

"Iya Bu, mohon maaf sekali."

Bu Lia langsung pergi meninggalkanku dengan ocehan samarnya. Beliau adalah wanita yang baik, namun tempramen nya saja yang sangat cepat berubah. Berkat beliau aku bisa bekerja dengan gaji yang cukup untuk pengobatan nenek. Tak jarang beliau juga memberikan sedikit tambahan pada gajiku, sehingga aku tetap bisa mencukupi kebutuhanku sehari-hari. 

Namun karena sebelumnya semua uang ku sudah dipakai untuk biaya pengobatan nenek, alhasil aku harus lebih menghemat lagi pengeluaran ku. Hari ini saja aku hanya bisa makan dengan sepotong roti yang ku belum di warung sebelum berangkat bekerja. Aku makan sebagian saat sebelum bekerja dan sebagian lagi di jam istirahat. Jujur saja kini perutku terasa sakit dan begitu pula kepalaku. 

Sejak ditinggal orang tua, aku hanya dirawat oleh nenek. Tidak sekalipun aku mendapatkan sakit karena lapar seperti ini karena nenek merawatku dengan sangat baik. Oleh karena nya aku saat ini tidak bisa menyerah begitu saja, aku harus membalas semua kebaikan dan jasa nenek yang sudah merawatku. 

Langkah kaki ku percepat berharap masih ada sisa makanan yang dapat dimakan setelah pulang nanti. Akan ketika aku tiba dirumah, terdapat dua orang asing yang mengetuk-ngetuk pintu cukup kencang. 

Aku berjalan dengan cepat menghampiri mereka, takut jika tetangga lainnya akan merasa terganggu dengan suara yang mereka timbulkan dari rumah ku. "Siapa kalian?"

Mereka menoleh bersamaan saat aku bertanya. "Jadi kau yang bernama Ivy? Aku datang untuk menagih semua hutang mu." kata salah satu dari mereka. 

"Hutang apa? Saya tidak memiliki hutang pada siapapun!" kataku dengan tegas. Aku merasa sangat yakin jika aku tidak memiliki hutang dengan siapapun. Meskipun aku dan nenek tinggal di desa pinggir kota, kami tidak pernah memaksakan kebutuhan kami sampai harus berhutang dengan orang. Bahkan saat pertama kali nenek masuk rumah sakit dengan posisi aku belum bekerja, nenek memintaku untuk menjual cincin emasnya bukan berhutang. 

“Kau tak tau? Ayahmu berhutang uang 50 juta dengan bos kami. Dan kamu diajukan sebagai penanggung jawab dan jaminannya.” jelasnya dan mengeluarkan selembar kertas. 

Langsung saja ku rebut kertas tersebut dan kubaca dengan teliti tiap baris yang tertulis di atas kertas tersebut. Hatiku sangat sakit mengetahui hal ini. Pria yang seharusnya menafkahi kami malah kabur dan meninggalkan hutang sebanyak ini pada aku dan juga nenek. Tanpa sadar air mataku jatuh membasahi pipiku. 

“Bagaimana? kau akan membayarnya kapan? karena pria ‘bajingan’ itu malah kabur entah kemana saat kami tagih.”

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menjawab pertanyaan tersebut. “Bisa berikan aku waktu dan cicil semua hutangnya pak? Aku baru tau hal ini, jadi aku tak punya uang lagi.”

Mereka saling pandang, lalu salah satunya berkata pada yang lainnya. “Tanyakan dulu pada Boss, jangan cari penyakit.” 

Dalam beberapa menit mereka mendiskusikan sesuatu dengan seseorang yang ada di seberang telepon di genggamannya. Jantungku berdetak begitu cepat, takut jika mereka tidak menyetujui pendapatku dan malah melakukan hal jahat untuk mendapatkan bayaran dari hutang itu. Tak beberapa lama setelahnya, mereka pun menutup telepon dan segera berbalik. "Boss kami setuju untuk memberikan keringanan, tapi hanya 2 bulan dan setidaknya 50% hutangmu sudah di bayar. Jika tidak, maka hutangmu akan dihitung dengan bunga per hari."

"Ya, ya, terima kasih. Akan saya usahakan membayar dalam waktu 2 bulan." Kataku sedikit senang dengan kompensasi waktu yang diberikan boss mereka meskipun hanya sedikit. Setidaknya mereka tidak akan melakukan perbuatan jahat yang akan membahayakan nenek dan aku ataupun tetanggaku nantinya. 

“Oke, kami pergi!” 

Rasa sesak di dadaku sedikit mereda ketika mereka sudah berjalan menjauhi rumahku.  Aku langsung masuk dan mengunci pintu rapat-rapat. Tubuhku lemas dan limbung di daun pintu. Tangisku langsung pecah begitu saja. Meratapi nasibku dan juga takdir yang seakan selalu mempermainkan ku. 

“Bagaimana bisa aku mendapatkan uang itu dalam waktu 2 bulan Ya Tuhan. Gajiku saja hanya cukup untuk pengobatan nenek dan kebutuhan hidupku."

Setelah beberapa menit aku menangis, mataku menjadi berat dan tubuhku semakin lemas. Perlahan aku merangkak menuju kasur, namun sepertinya rasa kantuk ku ini lebih kuat dan membuatku tidur di lantai yang dingin. 

.

Drrtt… Drrtt… Drrtt

Merasakan getaran halus dari ponsel, aku pun langsung terbangun. Tanpa kusadari hari sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Yang artinya aku harus segera pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi nenek. Sebelum beranjak, aku membaca pesan yang baru saja masuk. Ternyata pesan tersebut berasal dari Bu Lia. Kulihat ia juga menelpon ku beberapa kali. Sepertinya aku sangat pulas sampai-sampai tidak menyadarinya. 

-Hari ini toko libur. Keluarga saya akan pergi ke kota, kamu tidak usah bekerja hari ini.- isi pesan dari Bu Lia. 

Aku langsung membalas singkat pesan tersebut. Cepat cepat aku membersihkan diri lalu menemui nenek. Mengambil pakaianku yang terlipat rapi di lemari, lalu berjalan menuju kamar mandi. 

Ku pandangi wajahku sejenak di cermin. Terpantul bayangan wajahku yang sembab akibat menangis terlalu lama semalam. Kembali teringat dengan hutang baru yang harus ku tanggung jumlah nya begitu banyak. Entah bagaimana caranya aku bisa melunasi tanggungan pria yang dulu disebut sebagai ayahku itu. 

Usai membersihkan diri, aku bersiap lalu pergi. Di depan rumah terdapat tetanggaku yang tampak mengeluarkan perabotan rumah tangga dari rumahnya. "Barang-barangnya kok dikeluarkan Bu? Mau dibawa kemana?" Tanya ku basa basi. 

"Ehh dek Ivy, ini saya sekeluarga mau pindah. Anak saya sukses Vy kerja di Kota. Sekarang dia bisa beli rumah yang besar disana. Jadi rumah ini kedepannya mungkin aku kontrakkan." Ia tertawa pelan setelah menjawab. Nada bicaranya terdengar sangat bangga dengan pencapaian anaknya. Ah, aku sangat iri.

"Ohh begitu Bu, hati-hati ya Bu kalau begitu. Saya juga mau ke rumah sakit."

"Eh Ibu mau tanya bagaimana keadaan nenek? Sudah lama ibu tidak bertemu nenek kamu." 

"Nenek baik Bu, kondisinya sekarang sudah normal. Tapi masih belum boleh pulang, takut kambuh lagi." 

"Ohhh, syukurlah. Kalau begitu Ibu titip salam ya buat nenek-" Ibu berhenti bicara langsung menunduk mencoba mengambil sesuatu dari kantong celananya. Dikeluarkannya kertas putih mirip amplop dari sana dan di dekatkan padaku. "Ibu ada sedikit buat nenek. Tolong diterima ya. Nanti kalo ada waktu Ibu balik kesini buat jenguk nenek." Lanjutnya. 

"Aduh gak usah Bu, repot repot yang penting doa nya aja." Kata ku mencoba menolak pemberiannya. 

"Gapapa dek Ivy, diterima aja ya. Ga baik loh nolak rezeki." 

Aku tersenyum dan mengambil amplop yang diberikannya. Dalam hati aku sangat bersyukur memiliki tetangga sebaik beliau yang tak pernah putus membantu keluarga kami. “Terima kasih banyak ya Bu, Nanti akan aku sampaikan ke Nenek. Permisi.” 

“Iyaa, hati-hati ya.” Aku segera pergi dari sana dan mencari angkutan umum yang mengarah rumah sakit nenek. 

Sampai dirumah nenek di rawat, aku merasa lega karena melihat keadaan nenek yang baik baik saja tengah bercengkrama dengan pasien lain yang kebetulan nampak memiliki umur yang sama. Nenek sadar dengan kedatanganku langsung menyudahi perbincangan dengan temannya. “Lanjutkan saja nek, gapapa aku menunggu sebentar.” kataku.

“Gapapa Vy, kamu kan kesini hanya sebentar. Nenek gak mau menyia-nyiakan 1 detik pun untuk bertemu cucu kesayangan nenek.”

“Ah nenek bisa saja. Gimana keadaan nenek?”

“Sehat dong, nenek kan kuat! Kamu tau ga? Suster tadi bilang kalau nenek sudah bisa pulang kalau hasil pemeriksaan nenek minggu depan sudah bagus. Nenek bosan sekali disini.”

Tanganku disibukkan dengan pisau dan buah apel yang kubeli tadi dalam perjalanan, namun telingaku tetap fokus mendengarkan cerita nenek. “Wahh benarkah? Kalau begitu aku akan menyiapkan makanan-makanan enak buat nenek pulang nanti.” 

Tangan nenek meraih apel yang sudah dipotong. "Nenek sudah sangat rindu suasana rumah dan masakanmu. Pasti enak banget."

"Iyaa nek, makanya nenek harus cepet-cepet sehat ya."

Aku dan juga nenek terus bercerita tentang apa yang kami alami setiap harinya. Hal yang membahagiakan dan hal yang menyedihkan. Tak jarang kami bernostalgia mengenai masa lalu. Hingga tanpa terasa sudah 2 jam aku berada disana, dan tepat di jam ini aku biasanya akan izin bekerja pada Nenek.

“Kamu tidak bekerja Vy?” Tanya nenek.

Aku berfikir sejenak, jujur saja mendengar cerita dari ibu tetangga tadi mengenai anaknya yang sukses di Kota. Padahal seingatku anaknya itu hanya lulusan sekolah menengah juga sama seperti ku. Jika aku nekat pergi ke kota ada kemungkinan aku tidak mendapat pekerjaan. Namun jika aku tidak mencoba mungkin saja masih ada peluang untuk mendapatkan pekerjaan. 

"Ivy.." nenek memanggilku lagi yang membuatku tersadar dari lamunanku. 

“ohh iya nek, kalau begitu Ivy berangkat dulu ya nek.” bohong ku pada nenek. Kuputuskan untuk pergi ke Kota hingga petang nanti lalu bersiap untuk berangkat, namun tujuanku sekarang bukan bekerja di tempat Bu Lia melainkan mencari pekerjaan tambahan di Kota. 

Keluar dari rumah sakit aku mencari bus yang menuju ke kota. Untung saja desa kami dekat dengan kota, hanya perlu menyebrangi jembatan besar untuk sampai disana. Sampai di kota, aku sangat terpukau dengan pemandangannya. Banyak gedung-gedung tinggi yang biasanya aku hanya bisa melihat dari jauh. 

Sampai di terminal terakhir, aku menuruni bus dan segera keluar dari terminal. Tempat ini sangat ramai, beda sekali dengan daerah ku yang tampak lebih sepi dan ‘Ya Tuhan, semoga aku bisa mendapatkan pekerjaan baru disini.’ doa ku dalam hati. 

To Be Continue..

------------------------------------------------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status