Share

Jatuh Hati pada CEO Kejam
Jatuh Hati pada CEO Kejam
Penulis: Nami Kim

BAB 1

Prang. Suara pecahan kaca terdengar jelas memenuhi ruangan. Pelaku yang tak sengaja menjatuhkan gelas tersebut tampak panik menatap serpihan kaca yang berserakan di lantai.

“IVY SUARA APA ITU?” 

Pertanyaan datang dari ruangan lain  membuatnya ketakutan. Gadis yang dipanggil Ivy itu segera menaruh barang bawaan yang tadi ingin ia rapikan. Dengan tangan kosong ia mengumpulkan semua serpihan itu.

"Ya ampun Ivy! itu gelas kesayangan saya, kenapa bisa jatuh?!" 

Ivy bangkit dari lantai ketika Boss nya berada di hadapannya. "Maaf Bu, maaf.. Ivy gak sengaja senggol gelasnya tadi. Maafkan kelalaian saya Bu," kata Ivy sesekali membungkukkan tubuhnya. 

"Maaf, maaf! Kamu ini masih mending ya saya terima kerja disini! Jangan seenaknya kamu!" seru Bu Lia lagi. 

Mendengar Bu Lia berkata seperti itu, Ivy semakin merasa tidak enak. "Maaf Bu, saya akan ganti gelas nya dengan gaji saya nanti." 

"Ah sudahlah! Kamu pulang saja!" 

"Bu, saya mohon Bu jangan pecat saya. Saya butuh pekerjaan ini," kata Ivy bersimpuh memohon didepan Bu Lia yang masih bertolak pinggang. 

Bu Lia memutar kedua bola matanya malas, lalu kembali berkata, "Ya sudah, kamu pulang sekarang. Besok kembali lagi lebih pagi.  Diluar gelap dan banyak kilat, saya mau toko tutup cepat." 

Pandangan Ivy beralih ke luar jendela sekilas. Benar yang dikatakan Bu Lia, suasana diluar tampak mencekam karena sebentar lagi akan turun hujan. "Oh baik Bu. Terima kasih banyak..." kata Ivy lirih.

"Ya, jangan lupa tutup semua pintunya!" kata Bu Lia kemudian berlalu menuju rumahnya yang berada tepat di samping toko. 

Dengan cepat Ivy bangkit, menutup semua pintu toko dengan rapat lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan toko. Kaki beralaskan sandal jepit itu mulai menyusuri jalan yang sepi dan gelap. 

Baru jalan beberapa meter, hujan turun begitu deras. Untung saja Ivy membawa payung di tasnya, meskipun payung tersebut berlubang di beberapa bagian. "aduhh kenapa cepet banget si turunnya," gerutu Ivy dengan tangan disibukkan membuka payung miliknya. 

Ivy sedikit menggigil merasakan air hujan yang bocor di tambah angin malam menyentuh kulitnya. Pandangannya memperhatikan sekitar, namun saat pandangannya sampai pada satu gang yang gelap, Ivy seperti melihat sesuatu yang aneh disana. 

Ia mencoba acuh lalu melangkah pergi, tapi tak bisa. Ivy penasaran. Mendekati gang tersebut dengan langkah perlahan. Samar-samar Ivy menangkap seperti suara berat seperti manusia dari dalam gang.

 

"Astaga-" Ivy sangat terkejut spontan menutup mulutnya. Matanya terbelalak dengan pemandangan di depannya saat ini. Baru kali ini ia melihat secara langsung orang yang tengah bersimbah darah ditengah hujan seperti pria di hadapannya saat ini. 

Nafas berat dari pria itu masih terdengar jelas di telinga Ivy. "T-tolong…" suara pria itu kembali terdengar menyadarkan Ivy dari keterkejutannya. 

Ivy mulai mendekat melihat lebih jelas pria itu, karena cahaya tempat yang remang-remang. "A- Aku akan menghubungi polisi atau ambulance," kata Ivy mencoba merogoh tasnya. 

Namun tangannya langsung di genggam cukup erat oleh pria yang merintih tengah kesakitan itu. "Jangan! Uhuk- Bawa aku ke tempatmu," ucap  pria itu terbatuk mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya. 

Tanpa berpikir panjang, Ivy langsung membopong pria itu. Ia tak memperdulikan lagi bajunya yang ikut basah. Tubuhnya gemetar menahan berat pria yang lebih besar darinya, ditambah dingin yang menusuk kulit.

Sesampainya di rumah Ivy menaruh pria yang dibopongnya menuju ruang tamu. Nafasnya terengah-engah lalu meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah membawa pria dengan tubuh yang lebih besar darinya itu.   

"Hahh~ Ayo Ivy, Pikirkan apa yang harus kau lakukan pada pria ini, gumamnya sambil memperhatikan beberapa bagian yang tampak lebih merah dari pria dihadapannya.

Mau tak mau Ivy membuka pakaian pria itu. Wajah Ivy tampak memanas karena baru kali ini ia membuka baju seorang pria. Setelah terbuka, ia mengambil air hangat dan handuk kecil guna membersihkan luka pria itu. 

Untung saja ia sudah terbiasa membersihkan luka nenek nya yang diabetes, setidaknya Ivy sedikit-sedikit mengetahui bagaimana cara membersihkan dan mengobati luka. 

Tak butuh waktu lama Ivy membersihkannya dengan apik, namun ia sedikit penasaran dengan salah satu luka yang tampak sangat dalam di bagian perut pria itu. ‘Bagaimana lukanya bisa sedalam ini?’ batinnya semakin memperhatikan bagian itu.

“Ekhem-” suara deheman berat sedikit mengejutkan Ivy yang membuatnya langsung menjauhkan pandangannya dari luka yang ia lihat tadi. 

“O-oh kau sudah bangun. Kau ingin minum?” tanya Ivy tergagap sedikit malu karena sikapnya tadi.

Samar-samar pria itu mengangguk sebagai jawaban. Ivy pun langsung berjalan menuju dapur dan keluar membawa segelas air mineral dari sana. Melihat pria itu yang mencoba untuk duduk, Ivy segera berlari mendekat dan membantunya. “Jangan memaksakan diri.”

Pria itu sedikit meringis dan memegang luka yang ada di bagian perutnya. Tak lama ia bersuara. “Kau punya pisau runcing dan lilin?”

Ivy terdiam dan berfikir sejenak. “Hmm, tunggu sebentar,” ia menaruh gelas air di samping pria itu lalu berlari menuju dapur lalu ke ruangan lain mencari barang yang diminta. 

Tak butuh waktu lama Ivy kembali. Membawa dan langsung memberikan semua peralatan yang diminta pria itu. Melihat pria itu mulai berkutat dengan pisau dan lilin yang sudah dinyalakan, Ivy sedikit penasaran dan bertanya. “Kamu ingin melakukan apa?” 

“Kau tak perlu tau. Lebih baik kau ganti pakaianmu! Aroma darah di bajumu sangat menyengat.”

Ivy menyeringit lalu mengendus pakaiannya yang masih sedikit basah karena memang ia belum sempat mengganti pakaiannya tadi. Benar saja kalau aroma amis darah disana, bercampur aroma hujan dan juga keringatnya.

“Dasar gak tau terima kasih,” gerutu Ivy langsung berlalu pergi meninggalkan Melviano. 

***

Usai mandi Ivy kembali memeriksa keadaan pria yang ditemuinya tadi di ruang tamu. Disana ia menemukan pria itu sudah dalam keadaan diperban rapi di beberapa bagian luka nya dan memainkan ponsel yang mirip dengan miliknya. 

'Bukannya itu hp milikku?' batin Ivy memperhatikan ponsel dengan casing berwarna pink lusuh di tangan pria itu. 

Ivy mulai berjalan mendekati. "Ponselmu lucu sekali berwarna pink, mirip dengan milikku."

"Ini memang milikmu," ujar pria itu dengan datar. 

Tentu saja Ivy terkejut dan merebut kembali ponselnya. "Kenapa kau mengambil ponselku?! Lancang sekali."

"Hanya orang bodoh yang membiarkan ponselnya tidak memiliki sandi atau keamanan apapun."

Kata-kata itu sedikit menohok di hati Ivy. “Terserah aku dong!” Seru Ivy dengan ketus.

Ivy mengalihkan perhatiannya pada ponsel miliknya. Disana tertera nomor hp yang tidak ia kenali. “Kau habis menelpon kerabatmu?”

“Hmm.”

“Baguslah.” Ivy mengangguk dan kembali bertanya. "Omong-omong namamu siapa? Dan kenapa kau bisa sampai terluka seperti ini?"

"Melviano. Kau tak perlu tau," tanpa berkata Ivy kembali mengangguk. Perhatiannya kembali pada ponsel di genggamannya. 

Suasana kembali hening, tak ada yang berbicara di antara keduanya. Ivy yang sudah selesai memeriksa ponsel nya sedangkan pria di sampingnya yang tampak ingin membungkus sesuatu dengan tissue yang dipenuhi darah. “Apa yang kau bungkus itu?” tanya Ivy penasaran. 

Tanpa bicara pria itu menunjukkan isinya. Di dalam sana terdapat bongkahan timah berlumur darah. “Apakah ini peluru?”

“Hmm.”

“Kau mengeluarkannya sendiri dari dalam tubuhmu?”

“Tentu saja.”

Ivy masih tak percaya ada orang yang bisa mengeluarkan peluru dari tubuhnya sendiri. Terlebih lagi seingatnya ia tidak memiliki anestesi ataupun obat bius untuk menahan rasa sakit. “Wahh, aku sama sekali tidak mendengarmu berteriak tadi. Itu gak sakit?”

“Kau cerewet sekali."

Raut wajah Ivy berubah menjadi kesal. “Kau m-” saat Ivy ingin berkata, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dan terkesan tidak sabaran di rumahnya. Pandangan Ivy beralih pada getaran pintu yang terlihat dari jauh sangking kerasnya ketukan itu. 

.

.

To Be Continue

----------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status