Ayah Keira, Aditya Dihardja, dulu adalah seorang eksekutif berbakat yang bekerja di bawah kepemimpinan ayah Andre, Gunawan Ravindra. Aditya adalah tangan kanan yang selalu setia, seorang pria yang mengabdi sepenuhnya pada perusahaan. Namun, sepuluh tahun lalu, sebuah skandal menghancurkan segalanya.
Aditya dituduh melakukan penggelapan dana perusahaan. Tuduhan itu menghancurkan reputasinya. Ia dipecat tanpa kesempatan membela diri, dan beberapa bulan kemudian, ia meninggal dalam kecelakaan yang mencurigakan. Keluarga Dihardja hancur. Keira, yang saat itu masih remaja, melihat ibunya jatuh dalam kesedihan dan keputusasaan. Kehidupan mereka berubah drastis. Mereka kehilangan rumah, harta, dan yang paling penting—kehormatan. Tapi Keira tidak percaya ayahnya bersalah. Ia yakin bahwa seseorang telah menjebak ayahnya. Dan orang yang paling diuntungkan dari kejatuhan Aditya Dihardja adalah keluarga Ravindra. Dari situlah dendamnya tumbuh dan menjadi satu-satunya alasan mengapa ia begitu gigih bertahan meskipun Andre terus menekannya dengan tugas-tugas mustahil. Dan dendam itulah yang menemani Keira menjalani hidup hingga ia tumbuh dewasa, ia bertekad untuk mencari kebenaran. Kebenaran mengenai ayahnya, Aditya Dihardja. Namun, keluarga Ravindra memiliki kekuatan dan pengaruh yang terlalu besar. Tidak ada yang bisa menyentuh mereka. Jadi, jika ia tidak bisa menyerang dari luar... maka satu-satunya cara adalah masuk ke dalam. Menjadi bagian dari Ravindra Corporation. Baginya, ini adalah permainan panjang. Ia tidak akan melakukan serangan langsung. Ia akan masuk ke dalam dunia Andre, mengambil kepercayaannya, dan pada akhirnya... menghancurkannya dari dalam. Dan itulah mengapa ia memilih menjadi sekretarisnya. Dendam itu masih menyala—panas, membakar, dan tak akan padam. Ia menggenggam jemari dengan erat hingga ujung jarinya memutih. Seberapa banyak lagi Andre akan mencoba menyingkirkannya? Seberapa keras lagi pria itu akan menekan dirinya hingga menyerah? Andre tidak tahu apa yang telah ia lakukan. Ia pikir ini hanya permainan. Ia pikir ini hanya sekadar uji ketahanan. Salah besar. Ini adalah perang. Keira tidak akan pernah menyerah. Tidak akan pernah tunduk. Ia sudah berkorban terlalu banyak untuk sampai di sini. Jika Andre ingin bermain kotor, ia akan meladeninya. Jika pria itu ingin melihatnya jatuh, Keira akan memastikan bahwa ia yang lebih dulu hancur. Ia menyeringai tipis, penuh arti. Nikmatilah waktumu, Andre. Karena ketika saatnya tiba, kamu akan berlutut di hadapanku. —— Malam itu, di ruang rapat eksekutif, suasana begitu berbeda dari biasanya. Andre duduk di kursinya dengan ekspresi datar, meskipun rahangnya mengeras. Biasanya, dia yang memimpin diskusi, tapi kali ini, fokus para anggota dewan direksi tidak tertuju padanya. Fokus mereka ada pada Keira. "...saya sudah mengatur ulang timeline proyek agar lebih efisien," kata Keira dengan percaya diri. "Dengan penyesuaian ini, kita bisa menghemat hampir lima persen dari total anggaran operasional tanpa mengorbankan kualitas." Andre mengepalkan tangannya di bawah meja. Wanita ini berani sekali bicara di rapat direksi? Tanpa persetujuannya? Tapi sebelum ia bisa menyela, Pak Herman sudah mengangguk. "Saya suka pemikiran Anda. Ini bisa menjadi solusi yang layak dipertimbangkan." "Setuju," tambah direktur lain. "Keira punya wawasan yang bagus. Andre, saya tidak tahu bagaimana kamu menemukan asisten secerdas ini, tapi keputusan yang sangat tepat." Seorang direktur senior mengangguk puas. "Luar biasa, Keira. Ini solusi yang sangat strategis." Pak Herman tertawa kecil. "Menarik. Nona Keira, Anda benar-benar sudah mempelajari laporan ini?" "Tentu," jawab Keira dengan percaya diri. "Sebagai sekretaris Tuan Andre, sudah menjadi tugas saya untuk memahami segala sesuatu yang berhubungan dengan agenda kerja beliau." "Keira, kalau kamu punya usulan lain, jangan ragu untuk mengajukannya langsung ke dewan. Aku ingin mendengar lebih banyak perspektif darimu." Andre menegang. Matanya melirik ke arah Keira, yang kini tampak tersenyum tipis. Dewan direksi—orang-orang yang seharusnya hanya mendengarkan dan menghargai pendapatnya—justru sekarang memuji wanita yang ingin ia singkirkan. Lebih parahnya, ia mulai mendengar bisikan-bisikan halus di antara mereka. "Sepertinya dia lebih bisa diandalkan daripada yang kita kira." "Keira sangat berbakat… mengingatkanku pada seseorang." Andre menyipitkan mata. Namun, sebelum ia bisa menangkap maksudnya, suara lain bergumam pelan. "Ya… dia mengingatkanku pada Aditya. Cerdas, cepat tanggap, dan sangat strategis dalam melihat peluang." Keira, yang sedang menyusun kembali dokumen di depannya, tiba-tiba berhenti. Jari-jarinya menegang di atas kertas. Ia tidak sengaja mendengar itu. Jantungnya berdegup kencang. "Sayang sekali, ya?" suara lain bergumam pelan, nyaris berbisik. "Padahal Ravindra Corporation membutuhkan seseorang seperti Aditya. Dia bisa membawa perusahaan ini jauh lebih maju. Tapi… kita tahu bagaimana akhirnya." Keira menggigit bagian dalam bibirnya, menahan napas. Mereka tahu Aditya Dihardja. Dan mereka masih mengingatnya. Tapi yang lebih menyakitkan adalah nada mereka. Seolah-olah mereka benar-benar menyesal kehilangan Aditya Dihardja, tapi tetap memilih untuk membiarkan dia dihancurkan. Seolah-olah itu hanya bagian dari permainan bisnis. Seolah-olah hidup dan kehormatan ayahnya hanyalah salah satu pion yang dikorbankan demi kelangsungan perusahaan ini. Keira menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresinya yang mulai mengeras. Tapi di dalam hatinya, gejolak itu mulai membara. Mereka berbicara seolah-olah ayahnya hanya sebuah alat—dipakai saat berguna, lalu dibuang begitu saja saat dianggap sebagai ancaman. Nama Aditya Dihardja hanya tinggal kenangan samar yang mereka kenang dengan nada sesal yang hampa. Keira mengepalkan tangannya di bawah meja. Jika mereka benar-benar menganggap ayahnya begitu berharga, kenapa mereka diam saat dia dihancurkan? Kenapa tidak ada yang berdiri membelanya? Kenapa mereka hanya menyaksikan dari kejauhan, seperti penonton dalam permainan catur, membiarkan sang pion tumbang tanpa pernah mencoba menyelamatkannya? Keira mengangkat wajahnya kembali. Ekspresinya tetap tenang. Namun, dalam dirinya, tekad itu semakin menguat. Mereka tidak akan pernah melihatnya hanya sebagai bayangan ayahnya. Ia akan menunjukkan bahwa darah Aditya Dihardja tidak hanya mengalir di dalam dirinya—tetapi juga akan menjadi alasan kejatuhan mereka. Dewan direksi terus berbincang, membahas strategi perusahaan dan keputusan keuangan. Suara mereka menjadi samar di telinga Keira, karena pikirannya sudah terpusat pada satu hal: Ini belum berakhir. Ia melirik ke arah Andre, yang kini duduk diam dengan rahang mengatup rapat. Tapi ada sesuatu yang mengusiknya. Andre tidak menunjukkan reaksi apa pun. Seolah bisikan-bisikan tentang Aditya Dihardja sama sekali tidak mengganggunya. Keira menunggu sesuatu—ekspresi terkejut, perubahan sikap, atau setidaknya tanda bahwa pria itu terganggu dengan pembicaraan mengenai nama yang seharusnya ia kenal. Tapi tidak. Andre tetap duduk dengan ekspresi datarnya. Mata elangnya hanya menatap lurus, sesekali menyesap kopi dengan gerakan santai. Jadi, dia benar-benar tidak peduli? Keira mengepalkan tangannya di bawah meja. Tentu saja. Bagaimana bisa dia peduli? Bagi Andre Ravindra, kehancuran Aditya Dihardja pasti tidak lebih dari sekadar catatan kecil dalam sejarah keluarganya. Dalam dunia bisnis, terkadang ada keputusan yang harus diambil, meski itu berarti mengorbankan seseorang. Sama seperti yang dilakukan keluarga Ravindra ini terhadap ayahnya dulu. Keira menyandarkan punggungnya ke kursi, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis. Permainan ini baru saja dimulai. Dan ia akan memastikan kali ini, bukan keluarganya yang kalah. Tapi keluarga Ravindra. Setelah rapat usai, Andre tetap duduk di kursinya, matanya menatap kosong ke meja konferensi yang mulai sepi. Suara langkah-langkah para direktur perlahan menghilang, hanya menyisakan kesunyian yang menusuk. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal. Aditya Dihardja. Nama itu terus menggema di benaknya. Ia mencoba mengingat apakah ia pernah mendengar nama itu sebelumnya, tetapi tidak ada ingatan yang langsung muncul. Mengapa pria itu disebut-sebut dengan nada penuh penyesalan oleh para direktur? Kenapa mereka seakan-akan merindukan seseorang yang sudah tidak lagi ada dalam perusahaan? Lebih dari itu—kenapa Keira tampak begitu terguncang saat nama itu disebutkan? Andre mengalihkan pandangannya ke tempat Keira tadi duduk. Wanita itu sudah pergi, tapi bayangan ekspresinya masih tertanam dalam benaknya. Andre jelas melihat gesture tubuh Keira yang bereaksi begitu mendengar nama itu disebut. Apa Keira mengenalnya? Apa dia mengetahui sesuatu? Sejak awal, Keira adalah teka-teki. Dia muncul tiba-tiba. Memaksa masuk ke dalam kehidupannya. Bertahan meski sudah ditekan habis-habisan. Dan sekarang, reaksinya terhadap nama Aditya Dihardja membuatnya semakin mencurigakan. Andre mendengus pelan, lalu mengambil ponselnya. Tanpa ragu, ia menelepon seseorang yang sudah lama menjadi mata dan telinganya. “Aditya Dihardja. Aku butuh informasi sebanyak-banyaknya tentang dia,” ucapnya singkat. Ia tidak suka ketidaktahuan. To be continued…Keira menatapnya sejenak sebelum akhirnya duduk. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Gunawan?”Gunawan menyunggingkan senyum tipis. “Langsung saja ya. Saya ini orang yang tak suka membuang waktu. Saya tahu Andre telah mempekerjakanmu sebagai sekretarisnya.”Keira tidak menjawab, hanya mengangguk.“Anakku itu keras kepala. Tapi tetap saja, saya punya hak untuk tahu apa yang terjadi dengannya. Terutama jika menyangkut seseorang sepertimu.” Gunawan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya perlahan di atas meja.Keira melirik amplop itu. Ia mengira ini hanya pertemuan formal antara atasan dan bawahan.Gunawan menggesernya ke arah Keira. “Buka.”Dengan ragu, Keira meraih amplop itu, menarik napas, dan membukanya. Tangannya gemetar saat melihat isinya—foto-foto dari malam itu. Bukan sembarang foto. Malam di hotel. Dirinya dan Andre. Wajah Andre yang setengah tersembunyi, namun jelas baginya. Juga tubuhnya sendiri, dalam berbagai pose memalukan, terlihat seperti wan
Di tempat lain, Keira berdiri di roof top kantor, tangannya mencengkeram pagar besi hingga ujung jari-jarinya memutih. Malam berembus dingin, tetapi yang membakar dalam dirinya bukanlah suhu udara. Melainkan amarah yang mendidih pelan di dalam hatinya. Hari ini, ia kembali diingatkan akan sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Dendam itu.Nama Aditya Dihardja keluar dari mulut para direktur dengan nada sesal yang hampa. Seolah mereka benar-benar menyayangkan kepergiannya. Tapi di mana mereka saat ayahnya dihancurkan? Keira mengepalkan rahangnya. Mereka tidak melakukan apa pun. Mereka hanya berdiri di pinggir lapangan, membiarkan seorang pria yang begitu berdedikasi untuk perusahaan ini jatuh tanpa perlawanan. Dan kini, mereka menyebut namanya dengan nada nostalgia?Keira memejamkan mata. Dan saat ia melakukannya, memori itu kembali menyeruak.Dinginnya lantai rumah sakit menembus sepatu hitamnya yang sedikit longgar. Seragam sekolahnya basah oleh keringat, bercampur debu y
Ayah Keira, Aditya Dihardja, dulu adalah seorang eksekutif berbakat yang bekerja di bawah kepemimpinan ayah Andre, Gunawan Ravindra. Aditya adalah tangan kanan yang selalu setia, seorang pria yang mengabdi sepenuhnya pada perusahaan. Namun, sepuluh tahun lalu, sebuah skandal menghancurkan segalanya.Aditya dituduh melakukan penggelapan dana perusahaan. Tuduhan itu menghancurkan reputasinya. Ia dipecat tanpa kesempatan membela diri, dan beberapa bulan kemudian, ia meninggal dalam kecelakaan yang mencurigakan.Keluarga Dihardja hancur.Keira, yang saat itu masih remaja, melihat ibunya jatuh dalam kesedihan dan keputusasaan. Kehidupan mereka berubah drastis. Mereka kehilangan rumah, harta, dan yang paling penting—kehormatan.Tapi Keira tidak percaya ayahnya bersalah. Ia yakin bahwa seseorang telah menjebak ayahnya. Dan orang yang paling diuntungkan dari kejatuhan Aditya Dihardja adalah keluarga Ravindra.Dari situlah dendamnya tumbuh dan menjadi satu-satunya alasan mengapa ia begitu gigi
Andre Ravindra bukan pria biasa. Ia tumbuh dalam lingkungan yang keras—di bawah didikan seorang ayah yang menuntut kesempurnaan dan seorang kakek yang membangun kerajaan bisnis dengan tangan besi. Sejak kecil, Andre diajarkan satu hal: kelemahan adalah kehancuran.Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dan dalam dunia ini, hanya ada dua jenis manusia—yang mengendalikan, dan yang dikendalikan. Orang-orang lemah akan tersingkir. Begitulah dunia bekerja. Tapi sekarang… ada satu masalah.Wanita itu. Keira Mahendra.Setelah wawancara itu berakhir, Andre tidak bisa menghilangkan pikirannya tentang Keira. Dari sekian banyak perusahaan besar, kenapa harus perusahaannya? Kenapa Keira begitu ngotot ingin menjadi sekretarisnya? Kenapa dia tidak gentar sedikit pun, bahkan ketika Andre berusaha menekannya?Semakin Andre memikirkannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melirik kembali berkas di tangannya. CV Keira memang impresif. Tapi Keira tidak terlihat seperti wanita
Keira melangkah masuk ke ruang wawancara dengan penuh percaya diri. Namun, di balik ketenangannya, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah membayangkan seperti apa reaksi pria itu nanti saat melihatnya. Namun, tetap saja… reaksi Andre di luar dugaannya. Saat pintu terbuka dan Keira melangkah masuk, pria itu membeku. Sekian detik, ia menatap Keira tanpa kata. Bagi Keira, kejutan yang diberikannya pasti telah menghantam Andre begitu keras hingga ia lupa bernapas. Satu poin menuju keberhasilan rencananya telah dimulai. Keira tidak tersenyum lebar, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seolah ia tidak sadar betapa mendidihnya kemarahan di mata Andre saat ini. Oh, tapi dia sadar. Sangat sadar. Di bawah meja, jemari Keira saling bertaut erat, berusaha menahan getaran samar yang mungkin saja terlihat. Namun, di permukaan, ia tetap tampil sempurna—anggun, percaya diri, dan seolah-olah tidak ada satu hal pun yang mengganggunya. Sebalikny