Andre Ravindra bukan pria biasa. Ia tumbuh dalam lingkungan yang keras—di bawah didikan seorang ayah yang menuntut kesempurnaan dan seorang kakek yang membangun kerajaan bisnis dengan tangan besi. Sejak kecil, Andre diajarkan satu hal: kelemahan adalah kehancuran.
Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dan dalam dunia ini, hanya ada dua jenis manusia—yang mengendalikan, dan yang dikendalikan. Orang-orang lemah akan tersingkir. Begitulah dunia bekerja. Tapi sekarang… ada satu masalah. Wanita itu. Keira Mahendra. Setelah wawancara itu berakhir, Andre tidak bisa menghilangkan pikirannya tentang Keira. Dari sekian banyak perusahaan besar, kenapa harus perusahaannya? Kenapa Keira begitu ngotot ingin menjadi sekretarisnya? Kenapa dia tidak gentar sedikit pun, bahkan ketika Andre berusaha menekannya? Semakin Andre memikirkannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melirik kembali berkas di tangannya. CV Keira memang impresif. Tapi Keira tidak terlihat seperti wanita yang sekadar mencari pekerjaan. Dia terlalu siap. Terlalu tenang. Seakan-akan ini bukan kebetulan, melainkan rencana yang telah disusun dengan sangat matang. Ia bersandar ke kursinya, menekan tombol panggilan cepat di ponselnya. Suara di seberang menjawab setelah dua dering. “Aku butuh informasi tentang seseorang,” katanya, suaranya dingin dan terukur. “Hanya gadis biasa. Seharusnya.” Ada jeda singkat sebelum suara di telepon bertanya, "Seberapa dalam aku harus menggali?" Andre menyipitkan mata, jemarinya mengetuk permukaan meja dengan ritme lambat. "Sejauh mungkin." Beberapa hari kemudian, Andre menerima email berisi laporan yang telah ia tunggu. Subjek: Laporan Investigasi – Keira Mahendra Matanya menyipit saat membaca ringkasan di halaman pertama. Nama: Keira Mahendra Usia: 26 tahun Latar belakang pendidikan: Universitas ternama, lulusan terbaik di bidang bisnis dan administrasi. Pekerjaan sebelumnya: Asisten manajer di sebuah perusahaan konsultan. Catatan lain: Tidak ada riwayat kriminal, tidak ada skandal besar, tampak bersih. Terlalu bersih. Andre mengetukkan jarinya di meja, matanya menyusuri setiap detail dalam laporan itu. Pendidikan dan pengalaman kerja Keira memang mengesankan, tetapi ada sesuatu yang janggal. Lalu ia menemukan bagian yang menarik. “Pekerjaan terakhirnya berakhir mendadak.” Keira mengundurkan diri tanpa alasan yang jelas, hanya beberapa bulan sebelum melamar di perusahaan Andre. Andre menyipitkan mata. Orang berbakat seperti Keira tidak akan meninggalkan pekerjaan yang stabil tanpa alasan. Ia melanjutkan membaca. Tidak ada informasi tentang keluarga Keira, hanya disebutkan bahwa orang tuanya telah meninggal sejak ia masih kecil, dan ia tampaknya tidak memiliki saudara dekat. Tidak ada hal mencurigakan, tapi justru itulah masalahnya. Keira terlalu sempurna. Seakan-akan dia telah menyiapkan dirinya dengan cermat sebelum datang ke perusahaan ini. Andre mengangkat teleponnya lagi. "Aku ingin tahu alasan sebenarnya kenapa Keira Mahendra keluar dari pekerjaan sebelumnya. Dan cari tahu apakah ada koneksinya dengan seseorang di dalam perusahaan ini." “Aku mengerti,” jawab suara di seberang. “Tapi aku punya sesuatu yang mungkin menarik perhatianmu.” Andre mengernyit. “Apa itu?” “Ada satu hal aneh dalam transaksi keuangan pribadinya. Beberapa bulan terakhir, tidak ada uang masuk di rekeningnya. Hanya ada pengeluaran yang rutin.” Andre bersandar di kursinya, matanya menyipit. “Apa dia sangat membutuhkan uang sehingga melamar pekerjaan di tempatku?” gumam Andre. “Baiklah. Terima kasih untuk usahamu.” Andre mengakhiri teleponnya. Keesokan harinya, Andre duduk di kursinya dengan ekspresi dingin, menatap kontrak kerja di tangannya. Jari-jarinya mengetuk permukaan meja, pikirannya masih dipenuhi oleh keputusan yang baru saja ia buat. Menerima Keira sebagai sekretarisnya adalah langkah yang penuh risiko. Wanita itu bukan hanya ancaman bagi reputasinya, tapi juga bagi ketenangan pikirannya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang ingin melihat rencana tersembunyi Keira. Pintu ruangannya diketuk. Keira masuk dengan langkah anggun, mengenakan setelan formal berwarna hitam yang membuatnya terlihat semakin profesional dan tak tergoyahkan. Tatapan mereka bertemu, dan sejenak, ketegangan memenuhi ruangan. "Selamat datang di perusahaan ini, Keira," ujar Andre, suaranya sarat dengan nada sarkasme. Keira tersenyum tipis, tidak terpengaruh. "Terima kasih atas kesempatannya, Tuan Andre." Kini Keira berdiri di depan meja kerjanya, menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Ini adalah bagian dari kerajaan Andre, tempat ia harus membuktikan dirinya. Namun, yang lebih penting, ini adalah medan perang baru mereka di mana setiap tatapan dan perintah bisa menjadi senjata yang mematikan. Sepanjang hari Keira menghadapi rapat dan laporan yang menumpuk, dan akhirnya bisa menghela napas saat melihat jam dinding menunjukkan jam 5 sore dimana waktu kerja selesai. Dia melirik ruangan Andre dari jendelanya. Merasa semuanya aman, Keira bersiap untuk pulang. Namun, ketika ia bersiap membereskan meja, suara Andre menggema dari interkom. "Keira, masuk ke ruanganku sekarang." Keira menutup matanya sejenak, menahan kekesalan, sebelum melangkah masuk. Andre duduk di belakang mejanya dengan ekspresi santai, seolah ini bukan apa-apa. Di depannya, ada setumpuk dokumen. "Aku lupa," katanya ringan. "Malam ini ada rapat dengan dewan direksi. Aku butuh materi presentasi yang lengkap dan mendalam. Siapkan sebelum pukul delapan." Keira menatapnya tajam. "Pukul delapan malam?" Andre mengangguk, matanya penuh tantangan. "Ya. Aku ingin analisis menyeluruh tentang performa perusahaan selama tiga kuartal terakhir, perbandingan dengan kompetitor, strategi ekspansi, serta prediksi pertumbuhan dalam lima tahun ke depan." Keira hampir tertawa. Ini pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh tim analis berisi empat atau lima orang. Sekarang Andre ingin dia menyelesaikannya sendirian? Dalam waktu kurang dari tiga jam? "Bukankah tugas ini seharusnya disiapkan oleh tim riset dan analis?" tanyanya, suaranya tetap tenang. Andre menyandarkan punggungnya ke kursi. "Mereka terlalu sibuk. Kamu sekretaris eksekutifku, jadi kamu harus bisa menangani ini." Dasar bos sinting. Apa dia pikir aku ini mesin? Pikirannya sudah dipenuhi sumpah serapah untuk Andre. Ini tidak masuk akal. Bahkan tim analis terbaik butuh seminggu untuk menyelesaikan laporan sekompleks ini, dan dia diharapkan melakukannya dalam dua jam? Keira menarik napas panjang. Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard. Tubuhnya ingin menyerah. Tapi egonya menolak kalah. Dia menutup matanya sesaat, lalu membuka kembali. Fokus. Tidak ada pilihan lain selain menyelesaikan ini dengan sempurna. Dua jam kemudian, Keira berdiri di depan pintu ruang kerja Andre. Sial. Dia bahkan tidak sempat melihat bayangan dirinya di cermin. Rambutnya pasti sedikit berantakan, dan matanya terasa berat akibat menatap layar tanpa henti. Tapi ia tetap tegak, langkahnya mantap. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu. "Masuk." Keira membuka pintu dan berjalan ke dalam. Andre sedang berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadapnya. "Materi presentasi sudah siap. Silakan dicek," ucap Keira, meletakkan berkas di meja. "Kamu menyelesaikan ini dalam dua jam?" Keira mengangkat dagunya sedikit. "Ya." Andre mengambil berkas itu, membuka lembar demi lembar. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi Keira bisa melihat sorot skeptis di matanya. "Tidak mungkin," gumamnya pelan. "Bahkan tim analis terbaik butuh seminggu untuk menyelesaikan laporan seperti ini." Keira tersenyum kecil. "Saya bukan tim analis biasa." Andre mengangkat alis. "Jangan terlalu percaya diri, Keira. Bahkan jenius pun punya batas." Keira tersenyum kecil. "Para anggota dewan sudah menunggu, Tuan Andre.” Andre mendengus pelan, lalu mengambil jasnya. "Kita lihat apakah hasil kerjamu benar-benar sebanding dengan kesombonganmu." Keira hanya tersenyum. Andre berbalik dan keluar dari ruangan itu dengan langkah penuh ketegangan. Di belakangnya, Keira menatap bahu Andre dengan tatapan penuh kebencian. Keira Mahendra tentu tidak datang ke perusahaan Andre Ravindra tanpa alasan. Setiap langkahnya, setiap keputusan yang ia buat, telah direncanakan dengan matang. Dia tidak dapat melupakan kehancuran keluarganya karena keluarga Ravindra. To be continued…Keira menatapnya sejenak sebelum akhirnya duduk. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Gunawan?”Gunawan menyunggingkan senyum tipis. “Langsung saja ya. Saya ini orang yang tak suka membuang waktu. Saya tahu Andre telah mempekerjakanmu sebagai sekretarisnya.”Keira tidak menjawab, hanya mengangguk.“Anakku itu keras kepala. Tapi tetap saja, saya punya hak untuk tahu apa yang terjadi dengannya. Terutama jika menyangkut seseorang sepertimu.” Gunawan membuka laci meja, mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya perlahan di atas meja.Keira melirik amplop itu. Ia mengira ini hanya pertemuan formal antara atasan dan bawahan.Gunawan menggesernya ke arah Keira. “Buka.”Dengan ragu, Keira meraih amplop itu, menarik napas, dan membukanya. Tangannya gemetar saat melihat isinya—foto-foto dari malam itu. Bukan sembarang foto. Malam di hotel. Dirinya dan Andre. Wajah Andre yang setengah tersembunyi, namun jelas baginya. Juga tubuhnya sendiri, dalam berbagai pose memalukan, terlihat seperti wan
Di tempat lain, Keira berdiri di roof top kantor, tangannya mencengkeram pagar besi hingga ujung jari-jarinya memutih. Malam berembus dingin, tetapi yang membakar dalam dirinya bukanlah suhu udara. Melainkan amarah yang mendidih pelan di dalam hatinya. Hari ini, ia kembali diingatkan akan sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam. Dendam itu.Nama Aditya Dihardja keluar dari mulut para direktur dengan nada sesal yang hampa. Seolah mereka benar-benar menyayangkan kepergiannya. Tapi di mana mereka saat ayahnya dihancurkan? Keira mengepalkan rahangnya. Mereka tidak melakukan apa pun. Mereka hanya berdiri di pinggir lapangan, membiarkan seorang pria yang begitu berdedikasi untuk perusahaan ini jatuh tanpa perlawanan. Dan kini, mereka menyebut namanya dengan nada nostalgia?Keira memejamkan mata. Dan saat ia melakukannya, memori itu kembali menyeruak.Dinginnya lantai rumah sakit menembus sepatu hitamnya yang sedikit longgar. Seragam sekolahnya basah oleh keringat, bercampur debu y
Ayah Keira, Aditya Dihardja, dulu adalah seorang eksekutif berbakat yang bekerja di bawah kepemimpinan ayah Andre, Gunawan Ravindra. Aditya adalah tangan kanan yang selalu setia, seorang pria yang mengabdi sepenuhnya pada perusahaan. Namun, sepuluh tahun lalu, sebuah skandal menghancurkan segalanya.Aditya dituduh melakukan penggelapan dana perusahaan. Tuduhan itu menghancurkan reputasinya. Ia dipecat tanpa kesempatan membela diri, dan beberapa bulan kemudian, ia meninggal dalam kecelakaan yang mencurigakan.Keluarga Dihardja hancur.Keira, yang saat itu masih remaja, melihat ibunya jatuh dalam kesedihan dan keputusasaan. Kehidupan mereka berubah drastis. Mereka kehilangan rumah, harta, dan yang paling penting—kehormatan.Tapi Keira tidak percaya ayahnya bersalah. Ia yakin bahwa seseorang telah menjebak ayahnya. Dan orang yang paling diuntungkan dari kejatuhan Aditya Dihardja adalah keluarga Ravindra.Dari situlah dendamnya tumbuh dan menjadi satu-satunya alasan mengapa ia begitu gigi
Andre Ravindra bukan pria biasa. Ia tumbuh dalam lingkungan yang keras—di bawah didikan seorang ayah yang menuntut kesempurnaan dan seorang kakek yang membangun kerajaan bisnis dengan tangan besi. Sejak kecil, Andre diajarkan satu hal: kelemahan adalah kehancuran.Kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal. Dan dalam dunia ini, hanya ada dua jenis manusia—yang mengendalikan, dan yang dikendalikan. Orang-orang lemah akan tersingkir. Begitulah dunia bekerja. Tapi sekarang… ada satu masalah.Wanita itu. Keira Mahendra.Setelah wawancara itu berakhir, Andre tidak bisa menghilangkan pikirannya tentang Keira. Dari sekian banyak perusahaan besar, kenapa harus perusahaannya? Kenapa Keira begitu ngotot ingin menjadi sekretarisnya? Kenapa dia tidak gentar sedikit pun, bahkan ketika Andre berusaha menekannya?Semakin Andre memikirkannya, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia melirik kembali berkas di tangannya. CV Keira memang impresif. Tapi Keira tidak terlihat seperti wanita
Keira melangkah masuk ke ruang wawancara dengan penuh percaya diri. Namun, di balik ketenangannya, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah membayangkan seperti apa reaksi pria itu nanti saat melihatnya. Namun, tetap saja… reaksi Andre di luar dugaannya. Saat pintu terbuka dan Keira melangkah masuk, pria itu membeku. Sekian detik, ia menatap Keira tanpa kata. Bagi Keira, kejutan yang diberikannya pasti telah menghantam Andre begitu keras hingga ia lupa bernapas. Satu poin menuju keberhasilan rencananya telah dimulai. Keira tidak tersenyum lebar, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seolah ia tidak sadar betapa mendidihnya kemarahan di mata Andre saat ini. Oh, tapi dia sadar. Sangat sadar. Di bawah meja, jemari Keira saling bertaut erat, berusaha menahan getaran samar yang mungkin saja terlihat. Namun, di permukaan, ia tetap tampil sempurna—anggun, percaya diri, dan seolah-olah tidak ada satu hal pun yang mengganggunya. Sebalikny