Di tempat lain, Keira berdiri di roof top kantor, tangannya mencengkeram pagar besi hingga ujung jari-jarinya memutih. Malam berembus dingin, tetapi yang membakar dalam dirinya bukanlah suhu udara. Melainkan amarah yang mendidih pelan di dalam hatinya. Hari ini, ia kembali diingatkan akan sesuatu yang sudah lama ia kubur dalam-dalam.
Dendam itu. Nama Aditya Dihardja keluar dari mulut para direktur dengan nada sesal yang hampa. Seolah mereka benar-benar menyayangkan kepergiannya. Tapi di mana mereka saat ayahnya dihancurkan? Keira mengepalkan rahangnya. Mereka tidak melakukan apa pun. Mereka hanya berdiri di pinggir lapangan, membiarkan seorang pria yang begitu berdedikasi untuk perusahaan ini jatuh tanpa perlawanan. Dan kini, mereka menyebut namanya dengan nada nostalgia? Keira memejamkan mata. Dan saat ia melakukannya, memori itu kembali menyeruak. Dinginnya lantai rumah sakit menembus sepatu hitamnya yang sedikit longgar. Seragam sekolahnya basah oleh keringat, bercampur debu yang menempel di lipatan kainnya. Ruangan itu begitu putih. Terlalu putih. Namun, suara yang memenuhi udara bukanlah keheningan yang menenangkan. Tit... tit... tit... Bunyi mesin EKG memenuhi telinganya, detak itu semakin lama semakin melemah. Napasnya tercekat di tenggorokan saat ia melihat tubuh yang terbaring di ranjang rumah sakit. Ayahnya. Baju putih pria itu sudah berlumuran darah. Kaku. Tak bergerak. Dokter dan perawat mondar-mandir, wajah mereka penuh ketegangan. Seseorang berteriak agar lebih banyak unit darah segera dikirim. Yang lain sibuk menekan dada pria itu dengan tangan bergetar, mencoba membuat jantungnya berdetak kembali. Keira berdiri di ambang pintu, tubuhnya membeku. Tidak. Tidak seperti ini. Ayahnya kuat. Ayahnya adalah pria yang bisa melakukan segalanya. Ayahnya tidak akan menyerah. Ia ingin berlari, ingin memeluk pria itu, ingin meneriakkan namanya. Namun tubuhnya tidak mau bergerak. Kakinya terpaku di lantai dingin itu, sementara napasnya makin tersengal. Tit… tit… tit… Detaknya semakin lemah. Air mata menggenang di matanya, jatuh satu per satu ke lantai rumah sakit yang steril. “Papa…” suaranya hampir tidak terdengar. Tit… Dan lalu— Garis lurus. Suara mendengung panjang menusuk gendang telinganya. Tidak ada lagi detak. Tidak ada lagi harapan. Keira ingin menjerit. Ingin menolak kenyataan yang terpampang di hadapannya. Namun yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri di sana, tubuhnya bergetar hebat, sementara dunia di sekelilingnya perlahan runtuh. Keira tersentak membuka matanya. Pandangannya kembali ke langit kota yang gelap, tetapi di dalam dadanya, gejolak itu belum reda. Ia mengangkat tangannya, mendekap dadanya sendiri. Kenangan itu masih menyakitkan. Masih terasa begitu nyata. Ia bisa merasakan bau antiseptik rumah sakit, mendengar suara monitor yang mendengung panjang, merasakan dinginnya udara saat tubuh ayahnya kehilangan nyawanya di hadapannya. Dan semua itu… Karena keluarga Ravindra. Karena keserakahan mereka. Karena mereka memilih untuk menghancurkan pria yang hanya ingin membuat perusahaannya lebih baik. Mereka membiarkan ayahnya mati. Dan sekarang mereka ingin seseorang seperti Aditya Dihardja? Mereka ingin seseorang dengan kecerdasan dan ketajaman seperti ayahnya kembali ke perusahaan ini? Baik. Maka mereka akan mendapatkannya. Tapi kali ini, bukan untuk mengangkat Ravindra Corporation lebih tinggi. Tapi untuk menariknya jatuh. Keira menarik napas panjang, berusaha mengendalikan amarahnya. Ia tahu ia harus tetap tenang. Jika terlalu terburu-buru, semuanya bisa berantakan. Tapi satu hal yang pasti—ia tidak akan berhenti sampai keluarga Ravindra merasakan kehancuran yang sama seperti yang dialami ayahnya. Keira memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali. Tatapannya kini dingin dan penuh keteguhan. Di ruangannya. Keira bersiap untuk pulang, namun sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk ke ponselnya. Sesaat setelah membaca pesan itu, Keira akhirnya tahu siapa pengirim pesan itu. Keira berdiri di depan pintu kayu megah dengan gugup. Undangan dari Tuan Gunawan Ravindra—ayah Andre—datang mendadak, namun dengan nada tak terbantahkan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa motif pria tua itu ingin bertemu dengannya secara pribadi. “Silakan duduk, Nona Keira,” ujar Gunawan dengan suara rendah namun tegas. To be continued…“Aku mencoba melindungimu,” kata Andre akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir berbisik. Keira tertawa dingin. “Melindungi saya? Saya tidak butuh perlindungan Anda. Yang saya butuhkan adalah Anda berhenti memperlakukan saya seperti saya ini masalah.” Andre menghela napas panjang, berusaha menguasai dirinya. “Keira, aku hanya ingin memastikan ini tidak akan merusak pekerjaan kita. Itu saja.” Keira menggeleng, melangkah mundur dengan tatapan penuh kekecewaan. “Jangan bawa-bawa aturan atau posisi Anda, Tuan. Anda takut kehilangan kendali, itu saja. Masalahnya bukan pada saya, Tuan Ravindra, tapi tentang Anda yang tidak bisa menghadapi apa yang Anda rasakan.” Andre tidak menjawab. Hanya ada keheningan di antara mereka, diisi oleh ketegangan yang tak terlihat. Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan ini. “Kalau itu saja yang Anda ingin bicarakan, saya pikir pembicaraan ini s
Keesokan paginya, tepat jam 9, Keira dan tim terkait pelaksanaan proyek berkumpul di ruang rapat untuk melakukan pembahasan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan. Di dalam ruangan rapat, suasana tegang terasa menyelimuti. Andre duduk di ujung meja, tetapi tatapan matanya seolah menyiratkan bahwa dia merindukan kehadiran Keira. Keira berusaha fokus pada agenda, tetapi hatinya masih terikat pada kata-kata Andre sebelumnya.Rapat itu berlangsung tegang. Andre memimpin diskusi dengan nada dingin dan tegas, tak memberikan celah bagi siapa pun untuk menyimpang dari topik. Namun, saat giliran Keira mempresentasikan ide, ia tampak sengaja mempermasalahkan setiap poin yang Keira sampaikan. “Ide yang bagus, tetapi kita perlu mempertimbangkan faktor risiko dengan lebih serius,” katanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Keira merasa sakit hati. “Tuan Ravindra, saya mengerti bahwa kita perlu berhati-hati, tetapi kita juga perlu mengambi
Di sisi lain, Keira juga masih terjaga di apartemennya. Pikirannya berputar tentang momen indah dansa dengan Andre yang berakhir pahit, tentang kalimat tajamn dan sikap dinginnya Andre. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada misinya, ketegangan yang membara di antara mereka tidak dapat diabaikan. Keesokan harinya, Keira mencoba mengabaikan insiden di gala tersebut dan fokus pada pekerjaannya. Namun, pesan-pesan dari nomor anonim yang terus masuk membuat pikirannya semakin kacau. “Kamu sudah terlalu terlibat. Ingat, misimu lebih penting daripada perasaanmu." Keira menghela napas panjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Apa yang sedang kulakukan? Aku tidak boleh kehilangan arah. Tetapi setiap kali dia mencoba memfokuskan dirinya pada tugasnya, bayangan Andre selalu hadir, mengacaukan semuanya. Beberapa hari berlalu, dan Keira berusaha untuk mengalihkan fokusnya pada pekerjaan. Namun, suasana di kantor terasa lebih berat
Malam gala tiba, dan Keira mengenakan gaun merah yang ketat dan menawan, yang menggoda tanpa mengurangi kelas. Setiap langkahnya di atas karpet merah menarik perhatian banyak orang. Keira merasakan semua mata tertuju padanya, tetapi yang paling penting, dia mencari sosok Andre. Ketika dia akhirnya melihatnya, Andre berada di tengah kerumunan, dikelilingi oleh kolega dan investor. Dia tampak luar biasa dalam setelan hitamnya, dan aura karismatiknya membuat Keira terpesona. Ketika mata mereka bertemu, ada momen keheningan di antara mereka yang hanya bisa mereka rasakan. Keira mengambil napas dalam-dalam dan mendekati Andre, yang langsung menyadari kedatangannya. “Kamu datang,” kata Andre, senyumnya membuat jantung Keira berdebar. “Terima kasih atas undangannya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini,” jawab Keira, berusaha menjaga suara dan sikapnya tetap tenang. Mereka berbincang-bincang dengan ringan ditemani dengan gelas anggur ya
Suasana kantor Ravindra Group masih tegang. Desas-desus kecurangan mulai menyebar: laporan gudang cabang Surabaya diduga dimanipulasi. Berita itu bergerak cepat seperti api yang disiram bensin, menyusup ke telinga para manajer, bahkan direksi.Andre menatap layar laptop dengan ekspresi keras. Beberapa lembar laporan fisik berantakan di mejanya. “Kalau benar ada selisih sebesar ini, media akan mencium baunya. Dan kalau itu terjadi, Gunawan hanya tinggal duduk manis sambil menyaksikan kita jatuh.”Keira berdiri di seberangnya, kedua tangannya bersedekap. “Aku sudah memeriksa sekilas. Selisih ini terlalu rapi, Andre. Terlalu presisi. Seolah-olah sengaja diciptakan untuk terlihat mencurigakan.”Andre menegakkan tubuh, sorot matanya menajam. “Kamu bilang… jebakan?”Keira mengangguk. “Ya. Dan kita tidak boleh terpancing. Kalau kita bereaksi gegabah, mereka menang. Tapi kalau kita bisa menemukan bukti bahwa ada tangan luar yang bermain, ini akan berbalik jadi bume
Langit Jakarta malam itu mendung, hujan tipis menetes di jendela kaca Ravindra Group. Keira masih berdiri di dekat jendela, sorot matanya kosong menatap cahaya kota yang berkilau samar. Kata-kata Andre beberapa jam lalu masih menggema di kepalanya—“buktikan kalau kau di pihakku.”Bukan sekadar permintaan. Itu ujian. Dan Keira tahu, ujian ini bisa menentukan hidup dan matinya. Keesokan paginya, suasana kantor Ravindra Group semakin berat. Seperti udara yang dipenuhi kabut tak kasat mata, membuat semua orang melangkah hati-hati. Tatapan para karyawan jatuh pada Keira setiap kali ia melewati lorong. Ada rasa ingin tahu, ada curiga, dan ada juga ketakutan.Keira berusaha menjaga langkahnya tetap tenang. Mereka menunggu aku salah langkah, pikirnya. Sekali saja aku goyah, mereka akan menjadikannya alasan untuk menjatuhkan.Di ruang rapat kecil, Andre duduk dengan tim manajemen. Keira ikut hadir, menempatkan diri di sudut meja dengan catatan di tangannya. Pe