Andre Ravindra, CEO muda yang dijuluki The Ice King, terbiasa menghadapi lawan bisnis—bukan wanita yang menyusup ke hidupnya dengan senyum manis dan agenda tersembunyi. Keira Mahendra tampak sempurna: cerdas, profesional, dan tak tergoyahkan. Tapi kehadirannya di perusahaan Andre bukan kebetulan. Ini adalah bagian dari misi yang sudah ia susun selama bertahun-tahun—balas dendam atas kehancuran keluarganya. Namun, permainan ini tak lagi sederhana saat api gairah mulai menyala di antara mereka. Keira mulai goyah oleh sisi Andre yang tak pernah ia sangka bisa menyentuh hatinya. Sementara Andre, yang terbiasa mengendalikan segalanya, mulai curiga... dan terjebak. Dalam dunia penuh rahasia dan luka lama, siapa yang akan menang—dendam, atau cinta?
View MoreKeira melangkah masuk ke ruang wawancara dengan penuh percaya diri. Namun, di balik ketenangannya, jantungnya berdebar kencang. Dia sudah membayangkan seperti apa reaksi pria itu nanti saat melihatnya. Namun, tetap saja… reaksi Andre di luar dugaannya.
Saat pintu terbuka dan Keira melangkah masuk, pria itu membeku. Sekian detik, ia menatap Keira tanpa kata. Bagi Keira, kejutan yang diberikannya pasti telah menghantam Andre begitu keras hingga ia lupa bernapas. Satu poin menuju keberhasilan rencananya telah dimulai. Keira tidak tersenyum lebar, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seolah ia tidak sadar betapa mendidihnya kemarahan di mata Andre saat ini. Oh, tapi dia sadar. Sangat sadar. Di bawah meja, jemari Keira saling bertaut erat, berusaha menahan getaran samar yang mungkin saja terlihat. Namun, di permukaan, ia tetap tampil sempurna—anggun, percaya diri, dan seolah-olah tidak ada satu hal pun yang mengganggunya. Sebaliknya, Andre? Rahang pria itu mengeras. Matanya tidak lagi hanya menampilkan keterkejutan, tapi juga sesuatu yang lebih tajam. Keira melihat sekilas cara Andre menekan lidahnya ke langit-langit mulut, ekspresi yang sama seperti malam itu—saat pria itu berusaha mengendalikan emosinya. Lucu. Sepertinya Andre tidak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Pria itu akhirnya bersandar ke kursinya, menautkan jemarinya di atas meja, seolah sedang menilai sesuatu yang tak berharga. "Silakan duduk," suara Andre terdengar datar, tapi Keira menangkap ketegangan di baliknya. Keira duduk tanpa ragu, menyilangkan kakinya dengan anggun. Tatapannya tak lari sedikit pun dari pria di hadapannya. Ia tahu Andre ingin mengintimidasinya, tapi itu tidak akan berhasil. "Jadi, kamu melamar posisi sekretaris, ya." Andre membuka berkas lamaran tanpa benar-benar melihatnya. Keira sudah menduga permainan ini. Dia tahu Andre akan mencoba membuatnya goyah. Tapi sayangnya, dia bukan gadis yang mudah digertak. "Saya memiliki pengalaman sebagai asisten manajer di perusahaan sebelumnya," jawab Keira dengan tenang. "Saya terbiasa menangani jadwal, rapat penting, serta koordinasi antar divisi." Andre menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan. "Menarik. Tapi aku punya pertanyaan lain." Tatapannya mengeras. "Apa kamu selalu menggunakan metode yang sama untuk mendapatkan pekerjaan?" Darah Keira berdesir, tapi ekspresinya tetap tak berubah. Ia hanya menaikkan alis sedikit, menunjukkan kebingungan yang dibuat-buat. "Saya tidak mengerti maksud Anda." Andre terkekeh pendek, tanpa humor. Keira tidak perlu menebak ke mana arah pembicaraan ini akan berjalan. Dia sudah tahu. Andre menggeser pandangannya ke arahnya dengan sorot mata yang lebih tajam. "Jangan pura-pura bodoh, Keira. Kamu pikir aku tak bisa melihat maksud sebenarnya?" Maksud sebenarnya? Keira nyaris ingin tertawa. Pria ini sungguh percaya diri. Sungguh percaya diri hingga berpikir bahwa semua yang terjadi berpusat padanya. Padahal, jika Andre tahu alasan sebenarnya kenapa Keira ada di sini… "Tuan Andre, saya melamar pekerjaan ini karena saya memenuhi kualifikasi," jawab Keira dengan tenang, tanpa sedikit pun membiarkan emosinya merembes keluar. Bohong. Andre pasti tahu itu bohong. Tapi Keira juga tahu satu hal tentang pria ini: dia tidak akan membuat keputusan tanpa bukti. Dan selama Keira tidak memberikan celah, Andre hanya bisa berspekulasi. "Kamu datang ke hotelku, menghabiskan malam denganku, lalu muncul di sini melamar pekerjaan?" Andre mendekat sedikit, tatapannya tak lepas dari wajahnya. "Apa kamu berharap aku langsung menerimamu bekerja denganku?" Keira menahan napas sesaat, lalu mengangkat dagunya sedikit. "Saya tidak pernah berniat seperti itu," balasnya tanpa ragu. "Saya hanya mencari pekerjaan." "Benarkah?" Keira tidak menjawab. Ia hanya menatap pria itu, membiarkan kesunyian yang menggantung di antara mereka menekan suasana. Keira tahu sejak awal bahwa malam itu akan menjadi bagian dari rencananya. Setiap langkah yang ia ambil telah diperhitungkan dengan hati-hati—dari cara ia bertemu Andre di bar hotel, hingga bagaimana ia membiarkan pria itu membawanya ke kamar. Namun, apa yang tidak ia perhitungkan adalah bagaimana tatapan Andre malam itu terus menghantuinya. Bagaimana sentuhan pria itu membekas di kulitnya lebih lama dari yang seharusnya. Keira bisa melihatnya dengan jelas—cara Andre berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, seolah pertemuan ini tidak mengusiknya. Tapi Keira tahu lebih baik. Ia bisa melihat ketegangan di rahang pria itu, bagaimana jemarinya mengepal di atas meja, bagaimana sorot matanya sedikit menggelap setiap kali menatapnya. Keira tahu apa yang berputar di benak Andre saat ini. Malam itu. Ingatan itu pasti menghantamnya dengan keras. Napas Andre yang menggebu-gebu di lehernya, tangan pria itu yang menelusuri setiap inci kulitnya, seolah ingin menghafal bentuk tubuhnya dalam genggamannya. Saling bertaut dalam kehangatan yang deras dan terburu-buru, seakan dunia di sekitar mereka menghilang. Euforia itu masih melekat di benaknya—bagaimana tubuh mereka bersatu dalam ritme yang seakan sudah tertulis sejak lama. Desakan yang liar, ciuman yang rakus, panas yang menjalar dan memenuhi setiap celah yang ada di antara mereka. Keira tidak bisa menyangkal bahwa ia juga merasakannya saat itu. Kenikmatan yang intens, begitu dalam hingga nyaris menyesakkan. Tapi saat fajar menyingsing, ia pergi. Ia meninggalkan Andre yang masih terlelap, tubuh pria itu bersandar di ranjang dengan napas yang belum sepenuhnya stabil. Keira hanya menatapnya sesaat—sebuah momen singkat di mana pikirannya nyaris goyah—sebelum ia mengenakan kembali pakaiannya dan menghilang sebelum pagi benar-benar datang. Dan sekarang, saat ia duduk di depan pria yang sama, di ruangan yang jauh lebih terang dan formal daripada kamar hotel itu, Keira bisa merasakan hawa panas yang berbeda menyelimuti mereka. Ia tidak perlu melihat ke dalam mata Andre untuk tahu bahwa pria itu mengingat malam itu. Ia bisa merasakannya dari cara rahang Andre mengeras, dari cara pria itu menyandarkan tubuhnya dengan ekspresi menilai—seolah berusaha mencari celah dalam pertahanannya. Seolah Andre sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggunya sejak Keira melangkah masuk. "Jadi, setelah malam itu, kamu ingin aku percaya bahwa semua ini hanya kebetulan?" Andre mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya mengunci milik Keira. "Bahwa setelah malam itu, kamu memilih perusahaanku tanpa alasan lain?" Keira menautkan jemarinya di depan tubuhnya, suaranya tetap tenang. "Saya hanya mencari pekerjaan, Pak. Tidak lebih." Andre terkekeh pelan, tapi Keira bisa melihat sorot ketidakpercayaan di matanya. "Lucu sekali," gumamnya. "Biasanya orang yang ingin bekerja dengan saya datang dengan sikap penuh hormat dan rendah hati. Tapi kamu?" Andre menyipitkan mata. "Kamu bahkan tidak terlihat gentar." Keira tetap diam. Seharusnya Andre tahu bahwa mencoba menekannya bukanlah langkah yang tepat. "Kalau begitu," Andre melanjutkan, "katakan padaku satu hal." Ia bersandar ke kursinya. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Keira?" Keira tetap mempertahankan ekspresinya yang tenang. Andre pasti berpikir bahwa dia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan dia benar. Tapi apa yang Andre tidak tahu adalah… Keira tidak datang untuknya. Keira datang untuk balas dendam. Bukan untuk seseorang, karena ia bahkan tidak tahu siapa yang telah merenggut nyawa ayahnya. Yang ia tahu hanyalah satu hal—kematian ayahnya bukan kecelakaan. Ayahnya adalah pria jujur yang tidak pernah bermain curang, seorang pekerja keras yang hanya ingin kehidupan yang layak untuk keluarganya. Tapi dunia bisnis yang kejam tidak memberi ruang bagi orang seperti itu. Ia melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat, atau mungkin mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui. Dan untuk itu, ia harus disingkirkan. Keira telah menghabiskan bertahun-tahun mencari jawaban. Semua jejak mengarah ke satu tempat—perusahaan ini. Tempat di mana ayahnya menghabiskan sebagian besar hidupnya. Masuk ke perusahaan ini bukan sekadar mencari pekerjaan. Ini adalah langkah pertamanya menuju kebenaran. Menuju pembalasan. Ia datang untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian ayahnya. Dan ketika ia menemukannya… ia akan memastikan orang itu membayar harga yang setimpal. Ia hanya tersenyum tipis. “Saya hanya ingin bekerja, Tuan Andre. Itu saja.” Andre mengamatinya lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku akan memberikan keputusanku nanti. Cukup untuk hari ini." Keira mengangguk sopan sebelum berdiri. "Terima kasih atas kesempatannya." Saat ia melangkah keluar dari ruangan itu, ia tahu satu hal: Pertemuan ini adalah awal dari rencana yang lebih besar. To be continued…“Aku mencoba melindungimu,” kata Andre akhirnya, suaranya lebih rendah, hampir berbisik. Keira tertawa dingin. “Melindungi saya? Saya tidak butuh perlindungan Anda. Yang saya butuhkan adalah Anda berhenti memperlakukan saya seperti saya ini masalah.” Andre menghela napas panjang, berusaha menguasai dirinya. “Keira, aku hanya ingin memastikan ini tidak akan merusak pekerjaan kita. Itu saja.” Keira menggeleng, melangkah mundur dengan tatapan penuh kekecewaan. “Jangan bawa-bawa aturan atau posisi Anda, Tuan. Anda takut kehilangan kendali, itu saja. Masalahnya bukan pada saya, Tuan Ravindra, tapi tentang Anda yang tidak bisa menghadapi apa yang Anda rasakan.” Andre tidak menjawab. Hanya ada keheningan di antara mereka, diisi oleh ketegangan yang tak terlihat. Keira akhirnya menghela napas, menyadari bahwa tidak ada gunanya memperpanjang perdebatan ini. “Kalau itu saja yang Anda ingin bicarakan, saya pikir pembicaraan ini s
Keesokan paginya, tepat jam 9, Keira dan tim terkait pelaksanaan proyek berkumpul di ruang rapat untuk melakukan pembahasan lanjutan seperti yang sudah dijadwalkan. Di dalam ruangan rapat, suasana tegang terasa menyelimuti. Andre duduk di ujung meja, tetapi tatapan matanya seolah menyiratkan bahwa dia merindukan kehadiran Keira. Keira berusaha fokus pada agenda, tetapi hatinya masih terikat pada kata-kata Andre sebelumnya.Rapat itu berlangsung tegang. Andre memimpin diskusi dengan nada dingin dan tegas, tak memberikan celah bagi siapa pun untuk menyimpang dari topik. Namun, saat giliran Keira mempresentasikan ide, ia tampak sengaja mempermasalahkan setiap poin yang Keira sampaikan. “Ide yang bagus, tetapi kita perlu mempertimbangkan faktor risiko dengan lebih serius,” katanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Keira merasa sakit hati. “Tuan Ravindra, saya mengerti bahwa kita perlu berhati-hati, tetapi kita juga perlu mengambi
Di sisi lain, Keira juga masih terjaga di apartemennya. Pikirannya berputar tentang momen indah dansa dengan Andre yang berakhir pahit, tentang kalimat tajamn dan sikap dinginnya Andre. Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada misinya, ketegangan yang membara di antara mereka tidak dapat diabaikan. Keesokan harinya, Keira mencoba mengabaikan insiden di gala tersebut dan fokus pada pekerjaannya. Namun, pesan-pesan dari nomor anonim yang terus masuk membuat pikirannya semakin kacau. “Kamu sudah terlalu terlibat. Ingat, misimu lebih penting daripada perasaanmu." Keira menghela napas panjang, menggenggam ponselnya erat-erat. Apa yang sedang kulakukan? Aku tidak boleh kehilangan arah. Tetapi setiap kali dia mencoba memfokuskan dirinya pada tugasnya, bayangan Andre selalu hadir, mengacaukan semuanya. Beberapa hari berlalu, dan Keira berusaha untuk mengalihkan fokusnya pada pekerjaan. Namun, suasana di kantor terasa lebih berat
Malam gala tiba, dan Keira mengenakan gaun merah yang ketat dan menawan, yang menggoda tanpa mengurangi kelas. Setiap langkahnya di atas karpet merah menarik perhatian banyak orang. Keira merasakan semua mata tertuju padanya, tetapi yang paling penting, dia mencari sosok Andre. Ketika dia akhirnya melihatnya, Andre berada di tengah kerumunan, dikelilingi oleh kolega dan investor. Dia tampak luar biasa dalam setelan hitamnya, dan aura karismatiknya membuat Keira terpesona. Ketika mata mereka bertemu, ada momen keheningan di antara mereka yang hanya bisa mereka rasakan. Keira mengambil napas dalam-dalam dan mendekati Andre, yang langsung menyadari kedatangannya. “Kamu datang,” kata Andre, senyumnya membuat jantung Keira berdebar. “Terima kasih atas undangannya. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini,” jawab Keira, berusaha menjaga suara dan sikapnya tetap tenang. Mereka berbincang-bincang dengan ringan ditemani dengan gelas anggur ya
Suasana kantor Ravindra Group masih tegang. Desas-desus kecurangan mulai menyebar: laporan gudang cabang Surabaya diduga dimanipulasi. Berita itu bergerak cepat seperti api yang disiram bensin, menyusup ke telinga para manajer, bahkan direksi.Andre menatap layar laptop dengan ekspresi keras. Beberapa lembar laporan fisik berantakan di mejanya. “Kalau benar ada selisih sebesar ini, media akan mencium baunya. Dan kalau itu terjadi, Gunawan hanya tinggal duduk manis sambil menyaksikan kita jatuh.”Keira berdiri di seberangnya, kedua tangannya bersedekap. “Aku sudah memeriksa sekilas. Selisih ini terlalu rapi, Andre. Terlalu presisi. Seolah-olah sengaja diciptakan untuk terlihat mencurigakan.”Andre menegakkan tubuh, sorot matanya menajam. “Kamu bilang… jebakan?”Keira mengangguk. “Ya. Dan kita tidak boleh terpancing. Kalau kita bereaksi gegabah, mereka menang. Tapi kalau kita bisa menemukan bukti bahwa ada tangan luar yang bermain, ini akan berbalik jadi bume
Langit Jakarta malam itu mendung, hujan tipis menetes di jendela kaca Ravindra Group. Keira masih berdiri di dekat jendela, sorot matanya kosong menatap cahaya kota yang berkilau samar. Kata-kata Andre beberapa jam lalu masih menggema di kepalanya—“buktikan kalau kau di pihakku.”Bukan sekadar permintaan. Itu ujian. Dan Keira tahu, ujian ini bisa menentukan hidup dan matinya. Keesokan paginya, suasana kantor Ravindra Group semakin berat. Seperti udara yang dipenuhi kabut tak kasat mata, membuat semua orang melangkah hati-hati. Tatapan para karyawan jatuh pada Keira setiap kali ia melewati lorong. Ada rasa ingin tahu, ada curiga, dan ada juga ketakutan.Keira berusaha menjaga langkahnya tetap tenang. Mereka menunggu aku salah langkah, pikirnya. Sekali saja aku goyah, mereka akan menjadikannya alasan untuk menjatuhkan.Di ruang rapat kecil, Andre duduk dengan tim manajemen. Keira ikut hadir, menempatkan diri di sudut meja dengan catatan di tangannya. Pe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments