Lizbeth mengernyitkan kening, lalu berdiri menatap Lucien yang tampak tenang. Pria itu seolah tak tergoyahkan sedikit pun oleh kekacauan yang sedang menimpa Elmer. Seolah masalah itu tak pernah ada."Kamu melakukan semua ini karena mereka menghinaku?" tanyanya dengan suara datar namun bergetar."Padahal aku sudah bilang, masalah ini tak perlu diperpanjang. Atau—" Lizbeth menatapnya lekat, seolah ingin membaca isi pikiran Lucien, " … kau memang punya maksud lain?" Lucien tak langsung menjawab. Ia hanya diam, matanya menatap Lizbeth dalam-dalam, hingga suara ketukan pintu memecah ketegangan.Lucien bangkit dan membuka pintu. Seorang pelayan hotel mendorong troli berisi makanan. Tidak lama setelah itu, pelayan pergi. Lucien mendorong troli masuk.Lizbeth refleks bergerak, bermaksud membantunya. Namun, tangan Lucien menahan."Biar aku saja," ucapnya singkat.Ia menyusun makanan di meja makan. Sementara Lizbeth berdiri mematung, matanya mengamati setiap gerak Lucien yang tetap tenang. Tak
Lizbeth sama sekali tidak terkejut dengan ucapan Lucien. Ia tahu, seorang Lucien tidak akan pernah menarik kembali ucapannya. Namun, meski tak ingin memikirkannya lebih jauh, tetap ada rasa tak nyaman di lubuk hatinya. Bagaimanapun, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk membalas dendam pada Elmer.Malam itu, Lizbeth memilih tidur. Sementara ponselnya kembali disita oleh Lucien. Kini, Lizbeth hanya menggunakan ponsel kantor. Ia tak bisa membantah. Kekuasaan Lucien jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.Lucien tak ingin Lizbeth membaca pesan-pesan tidak berguna dari orang-orang yang selama ini menyakitinya. Maka hari itu, tak ada satu pun panggilan atau pesan dari Martha dan Valeria yang sampai ke Lizbeth. Semuanya telah dihapus oleh Lucien. Bahkan, lebih jauh lagi, Lucien sudah memblokir mereka.Meski kelopak matanya tertutup, hati Lizbeth masih berbicara. Mengapa Lucien melakukan semua ini kepada perempuan yang baru saja ia cintai? Apakah ini bagian dari pembuktian,
Lizbeth mendongak, melonggarkan pelukan Lucien. Dengan suara bergetar, ia berusaha tersenyum di tengah isak tangisnya. “Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku ingin percaya... aku ingin bersamamu, Lucien. Tapi, bisakah kamu bersabar denganku?”Lucien menatapnya dalam sebelum mengangguk, lalu mengecup keningnya penuh kesabaran. “Tentu,” ucap Lucien, lalu memeluknya kembali.Lizbeth tersenyum. Pelukan hangat Lucien hampir membuatnya kehilangan napas. Setelah beberapa saat, Lucien melepaskan pelukannya. Mereka duduk saling berhadapan, dan Lucien memegang kedua tangan Lizbeth dengan erat, tatapan matanya lembut dan penuh arti."Lucien," panggil Lizbeth pelan. "Aku harap, mulai sekarang kita bisa lebih terbuka satu sama lain. Kamu tahu banyak tentangku, dan aku juga ingin tahu semua tentangmu. Jangan ada yang disembunyikan, kita bisa mendiskusikan semuanya, terutama karena aku sekarang bekerja di bawahmu."Lucien mengangguk pelan. "Baiklah," jawabnya lembut."Ada satu hal lagi. Aku ingin m
Di tengah kecanggungan yang Lizbeth rasakan, suara kepala pelayan terdengar mengumumkan kedatangan seseorang."Tuan besar datang," kata Walter.Jantung Lizbeth berdebar. Ia yakin pria yang datang kali ini adalah ayah Lucien. Sekilas ia melirik ke arah Lucien. Tatapan pria itu tenang, seolah ingin meyakinkannya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi saat mata Lizbeth bertemu dengan tatapan Victoria, hatinya kembali mengeras. Sorot mata wanita itu jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Lizbeth.Tak lama kemudian, Cameron Abraham Kingsley muncul, masih mengenakan pakaian berkudanya. Sosoknya tegap, sorot matanya tajam. Ketika sorot matanya bertemu dengan Lizbeth, bibirnya bergerak seolah hendak mengatakan sesuatu, namun ia hanya menghela napas berat. Di sudut ruangan, Victoria tampak semakin geram.Tatapan Cameron kemudian beralih kepada Lucien, anak sulungnya."Kau sudah kembali, Lucien.Rupanya kali ini kau tidak datang dengan tangan kosong. Temui aku di ruang kerja," ucapn
Lucien terdiam sejenak. Sorot matanya dalam, namun tidak menunjukkan kemarahan. Perlahan, ia bersandar santai di sofa, seolah sedang mempertimbangkan jawabannya."Apa yang mau kamu dengar?" tanyanya pelan, suara beratnya terdengar tenang.Lizbeth menunduk sedikit, merasa canggung. "Banyak orang bilang kalau ... Kingsley punya koneksi dengan organisasi terlarang di Sicilia! Mereka bilang kekayaan keluargamu tidak sepenuhnya bersih … kamu juga kejam."Suasana di antara mereka hening untuk beberapa detik. Hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar.Lucien tersenyum tipis. Senyum yang tidak sepenuhnya menghapus kesan dingin di wajahnya."Aku tidak akan menyangkal sejarah keluargaku," katanya, suaranya tenang namun terasa berat. "Kakek buyutku dulu pria keras kepala. Dunia yang dia masuki, memang dunia yang tidak semua orang berani sentuh. Penuh perjuangan, bahkan sampai berdarah-darah.”Lizbeth menahan napasnya."Tapi, Lilibeth," Lucien menatapnya lebih dalam, "Kingsley yang se
Lizbeth menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Ia tak berani bertanya lebih jauh. Tidak malam ini. Namun, ia tahu, kata-kata Lucien bukan sekadar hiburan belaka. Ada ketulusan dan keteguhan dalam setiap ucapannya, dan Lizbeth dapat merasakannya.Belum pernah ia dicintai dengan cara seperti ini. Perlahan, Lucien membuktikan ucapannya satu per satu. Meski begitu, Lizbeth menahan harapan. Ia tahu, hati manusia sulit ditebak, bisa berubah kapan saja. Itu bukan sekadar kecemasan, tapi pelajaran pahit yang ia dapatkan selama ini.Meski telah mendapatkan cinta Lucien, tantangan yang harus dihadapi Lizbeth belum selesai. Ia tahu betul, ia harus tetap berdiri di atas kakinya sendiri.***Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk melalui gorden putih kamar.Lizbeth yang perlahan terbangun, menemukan dirinya masih berada dalam pelukan Lucien yang hangat dan tubuh kokohnya. Lucien masih terlelap, wajahnya tampak damai, jauh dari kesan dingin dan tegas yang biasa ia tunjukkan.Tanpa sad
Lizbeth tidak membantah sepatah kata pun yang dilontarkan Victoria. Dalam hatinya, ia pun bertanya-tanya, apa yang membuat Lucien begitu keras kepala sampai mempertahankannya? Apakah hanya karena malam panas yang pernah mereka lewati? Rasanya tidak cukup untuk menjelaskan sikap Lucien yang sedemikian rupa. Sampai mati-matian menahan Lizbeth di sisinya.“Mom, cukup. Jangan perlakukan Lizbeth seperti ini,” ucap Lucien tegas.“Berhenti membelanya,” sahut Victoria dingin. “Perempuan seperti dia hanya menginginkan kekayaan kakakmu. Kau pikir aku tidak tahu? Sebaiknya kau mengundurkan diri dari perusahaan. Aku bisa memberimu uang, berapapun yang kau mau. Tinggal sebutkan jumlahnya.”Lizbeth menahan napas. Ia berhasil dipermalukan di hadapan Meghan dan Edwina. Meghan bahkan menunduk, seolah menahan tawa.“Saya mengerti kekhawatiran Nyonya. Tapi saya tidak mencintai Lucien karena uang. Saya mencintainya karena dia pria yang baik,” ujar Lizbeth tenang, namun tegas.Victoria tertegun sejenak. S
Walter menunduk. “Maaf, Tuan…”Lucien tidak ingin menunggu jawaban. Ia menarik tangan Lizbeth yang masih memakai sarung tangan, membawanya ke ruang makan dengan langkah lebar. “Lucien,” panggilnya lirih, menatap sendu Lucien. Lizbeth dapat merasakan kemarahan yang terpancar jelas di wajah dingin Lucien. “Lucien, dengarkan dulu penjelasanku.”Lucien tidak mengindahkan ucapan Lizbeth, ia tetap mantap dengan langkah kakinya. Meghan yang menyusul Lucien, membeku saat melihat Lucien dan Lizbeth melintas di hadapannya. Lizbeth dan Meghan sempat bertatap muka, tapi tidak dengan Lucien yang terus melangkah fokus ke depan.Pintu ruang makan terbuka dengan keras hingga semua orang menoleh. Lucas yang baru pertama kali melihat Lizbeth, langsung menyadari kalau Lizbeth bukan orang biasa di hidup Lucien. Bisa membuatnya semarah ini, artinya Lizbeth memiliki peran penting dan istimewa di hati Lucien."Apa kalian semua sudah gila?!" bentaknya marah.Victoria meletakkan garpunya perlahan. “Lucien, j
Grace mengangguk pelan seraya tersenyum. “Aku bisa merasakannya, kalau dia memang bucin padamu, Lilibeth. OMG … seorang Lucien, yang terkenal menakutkan bisa menyukaimu, ini luar biasa.”Grace begitu bahagia. Lizbeth terdiam, tetapi tidak bisa menyembunyikan bahwa dia juga senang memiliki seseorang yang tulus padanya. Malam itu, mereka berbaring di atas tempat tidur, sambil bercerita dengan hati yang hangat dan perasaan yang sedikit tidak percaya, seolah kebahagiaan itu terlalu manis untuk jadi kenyataan.***Keesokan paginya, suasana Hermosa terasa tenang dan segar. Langit berwarna biru lembut, dan hangatnya matahari pagi yang menyapa para pejalan kaki. Di jalur jogging yang membentang di sepanjang pantai, Lucien berlari dengan langkah tegap dan teratur, mengenakan kaos abu-abu dan celana olahraga hitam.Langkahnya terhenti sesaat saat melihat sosok pria yang juga tengah jogging dari arah berlawanan. Daniel. Mereka berhenti beberapa meter satu sama lain, dan Daniel menyapa lebih dulu
“Lilibeth,” panggil Grace dari belakang mengejutkannya.Lizbeth menoleh ke belakang, melihat temanya memegangi botol kaleng bir. Lalu, berdiri di sisinya.“Kamu sungguh membuatku syok!” seru Grace sembari tertawa pelan, mengamati sahabatnya yang kini merona dari telinga hingga leher. “Lucien Kingsley? Lelaki super dingin itu, yang katanya tidak tersentuh. Astaga, tidak disangka dia bisa sehangat itu, menggendongmu. Sungguh luar perkiraan.”Lizbeth hanya bisa menunduk, menahan senyumnya yang mengembang perlahan. Embusan angin pantai membawa aroma laut yang memenangkan.Di depan mereka, ombak berdebur pelan.“Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, Grace. Hanya saja, semuanya berjalan begitu cepat. Aku sendiri masih belum percaya.” Lizbeth menatap lurus ke depan, bibirnya bergerak pelan. “Lucien... dia sangat berbeda dari apa yang orang lihat di luar.”Grace menyentuh tangan Lizbeth, menggenggamnya erat. “Aku mengerti. Aku bisa lihat cara dia menatapmu saat makan malam tadi. Aku b
Tatapan semua orang kini tertuju pada sosok Lucien, yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Daniel sempat melirik ke arah Lizbeth yang sampai detik ini masih membeku. “Lilibeth, bukankah di atasan kita?” bisik Grace menjadi canggung.Lizbeth melotot, dia hampir lupa kalau perusahaan lamanya juga sudah dibeli oleh Lucien. Lizbeth kembali menatap Lucien.Tiba-tiba suara Daniel sempat memecah keheningan.“Boleh,” kata Daniel dengan suara ramah.Lucien pun duduk di samping Lizbeth, Grace menyadari ada yang tidak biasa antara bos dan sahabatnya itu.Setelah kehadiran Lucien, suasana sekitar mereka sempat sunyi sejenak, namun Grace, dengan celotehnya yang ringan dan hangat, segera membuat suasana kembali hangat. Ia mengalihkan percakapan.“Aku dengar makanan di restoran ini sangat enak, belum lagi pantainya selalu menjadi tempat favorit. Sayang sekali kaki Lilibeth terkilir, besok dia tidak bisa main di air lagi.”“Betul, tempat ini memang selalu membuat para turis tertarik. Mungkin karen
Hati Lizbeth menghangat saat membaca pesan itu.[Mungkin lusa.]Pesan itu dikirimnya kepada Lucien. Namun, sejujurnya dia ingin lebih lama berada di sini. Berada dalam kedamaian yang panjang, jauh dari tekanan orang-orang di sekitarnya. Bukan berarti dia ingin sembunyi, ia hanya ingin menenangkan hati dan pikirannya sejenak.Lizbeth menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Angin sore berhembus kencang, menyapu rambutnya yang dibiarkan terurai. Jemarinya secara refleks merapikan helai-helai yang terbawa angin, sementara pandangannya mulai kosong, menatap ke laut yang membiru. Dimana pasir putih sebagai pijakannya.Grace yang duduk di seberang, meletakkan gelas yang berisikan minuman dinginnya dan mencondongkan tubuh sedikit. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”Lizbeth tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. “Bukan apa-apa.” Tapi matanya sedikit lebih lembut dari sebelumnya, dan pipinya tampak bersemu.“Apa mungkin kamu sedang memikirkan seseorang
“Lilibet,” bisik Grace.“Kenapa?” tanya Lizbeth seraya menyisip minumannya.“Tadi aku ketemu pria seram bangat. Aku perhatikan pria itu, pria yang satu kereta dengan kita.”LIzbeth yang mendengar itu menebak kalau pria yang disebutkan oleh sahabatnya adalah Frans. Frans mengikutinya atas titah Lucien, dia juga menginap di kamar yang sama dengan Lizbeth. Namun, Grace tidak tahu apapun.LIzbeth tidak bisa memberitahu hubungannya dengan Lucien yang begitu rumit. Meskipun begitu, Lizbeth mulai merasa nyaman berada di sisi Lucien, meskipun banyak rintangan yang menghadang. Tapi, ia ingin tetap berada di sisi Lucien. Meskipun dunia mengatakan dirinya tidak layak.Pagi itu selesai jogging, Lizbeth dan Grace kembali ke hotel. Mereka pergi mandi lebih dulu, sebelum akhirnya mereka turun kembali ke bawah untuk sarapan.Saat sarapan di restoran yang ada di hotel, Lizbeth sempat melirik ke arah ponselnya. Dia bertanya-tanya sedang apa Lucien saat ini, kenapa tidak mengirimkan pesan. Apakah dia s
“Dia siapa?” tanya Grace seraya menyiku tangan Lizbeth.Lizbeth menganga seraya menatap sahabatnya itu. “Ah, tidak ada.”Grace memegang kedua pipi Lizbeth.”Lilibeth, ayolah. Lupakan Elmer, pria seperti dia tidak cocok untuk kamu tangisi, apa lagi kamu rindukan.” Lizbeth terkejut, sahabatnya masih mengira kalau ia masih belum bisa melupakan Elmer. “Dunia ini sangat luas. Pasti ada satu, dari banyak pria di dunia ini, yang mencintaimu dengan tulus.”Seketia ucapan Grace membuat Lizbeth terharu, matanya berbinar. Grace tersenyum lalu memeluk Lizbeth.“Elmer, pasti akan menyesalinya. Mencampakkan Lilibethku yang cantik.”Sikap Grca terkadang mirip sekali orang tua yang menasihati putri kecilnya, dan Lizbeth bersyukur memiliki Grace sebagai sahabatnya. Di kehidupannya yang menyesakkan ini.“Grace, terima kasih.”“Tidak perlu berterima kasih, kita sahabat.”Lizbeth tersenyum, lebih tepatnya keduanya sama-sama tersenyum. Grace tahu seperti apa kondisi Lizbeth, mereka tumbuh bersama dan melew
Lizbeth mendekatkan wajahnya ke Lucien, lalu menggeleng pelan. “Dulu iya, sekarang tidak.” Senyumnya mengembang tenang. “Malam ini aku tidak bisa makan malam denganmu.”Tatapan Lucien yang awalnya hangat perlahan meredup. “Kenapa?”Lizbeth menarik napas. “Aku lupa memberitahumu. Beberapa hari terakhir terlalu sibuk, terlalu banyak hal terjadi. Sehingga aku tidak memiliki waktu untuk mengatakannya, maaf — tapi, sebelumnya aku sudah membuat rencana… aku akan pergi liburan bersama temanku.”“Liburan?” Lucien mengerutkan kening. “Kenapa tidak bilang dari awal?”Lizbeth menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi. “Aku butuh sedikit ketenangan. Bukan karena marah atau ingin menghindar darimu… hanya ingin mengambil waktu sejenak untuk diriku sendiri. Apa tidak boleh?”Lucien tidak langsung menjawab. Ia memandangi wajah Lizbeth sejenak, seolah sedang menimbang sesuatu. Kemudian, dia mengangguk pelan.“Tapi—”“Tapi apa?” tanya Lizbeth sambil mengangkat alis.“Setidaknya, biarkan bodyguard ikut me
Air matanya tidak bisa berhenti menetes. Setiap perkataan Lucien mampu membuat hatinya luluh, tetapi bukan sekadar bualan semata. Melainkan cinta yang sebenarnya, walaupun dulu Lizbeth nyaris tidak percaya dengan apa yang dikatakan Lucien. Namun, setelah menyaksikan itu semua membuat Lizbeth yakin, bahwa Lucien memang tulus mencintainya.Hanya saja Lizbeth tidak tahu harus bereaksi seperti apa, bagaimanapun, ini pertama kalinya dia dicintai secara ugal-ugalan, oleh sosok pria yang terkenal kejam, dan arogan. Tapi, berhati hangat di hadapan perempuan yang dicintainya.‘Lizbeth, di dunia ini hanya aku yang tulus padamu. Tidak akan pernah ada cinta seperti aku.’Lizbeth melepaskan pelukannya, Lucien dengan mata merah dan tatapan teduh menyeka air mata Lizbeth. Lalu membelai wajahnya.“Aku tidak bermaksud membohongimu. Percayalah, Lilibeth.”Lizbeth mengerutkan alisnya, lalu mengangguk pelan. “Aku percaya.”Lucien meraih kepala Lizbeth, dan mencium bibir Lizbeth lembut. Lizbeth membalas
Mateo duduk di ruang kerjanya dengan mata terpejam. Jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja, ada ketegangan samar yang terpancar di wajahnya. Seolah ia sedang menunggu sesuatu yang sudah ia prediksi akan terjadi, namun tetap enggan untuk menerimanya.Pintu ruangan terbuka cepat. Martha masuk dengan langkah terburu-buru dan wajah cemas. “Sayang… Luxora sudah beralih menjadi milik Lucien,” ucapnya tanpa basa-basi, lalu menyalakan televisi di sudut ruangan.Mateo membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong saat menatap layar yang menayangkan siaran langsung mengenai akuisisi Kingsley terhadap Luxora. Tulisan besar terpampang. "Lucien Cassian Kingsley Resmi Akuisisi Luxora Group." Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, dan masuk ke dalam mobil. Berita akuisisi itu tengah ramai menjadi perbincangan di media. Serta menjadi topik hangat, Sementara itu, Valeria menginjakkan kaki di lobby gedung Kingsley dengan langkah cepat dan penuh kemarahan. Ia langsung menuju meja resepsionis, wajahny