“Mama ....”
Kedua sudut bibir Agnes tertarik sempurna. Ia melambai penuh haru di layar ponsel miliknya. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, merespons luar biasa dari panggilan khas putra kecilnya. “Sayangnya Mama,” balas perempuan itu nyaris berbisik.
Pandangannya sedikit berkabut, tapi berakhir dengan tawa kecil yang terasa getir.
Melihat Irvin—si pemilik manik biru—mengingatkan Agnes pada luka beberapa hari lalu. Lebih tepatnya saat ia harus mendapati risiko datang terlambat dan menjadi bagian yang harus dihancurkan Gerald, termasuk membawa anaknya dalam permasalahan ia dan Gerald secara pribadi.
“Anak lo kelewat tampan, Nes.”
Agnes menoleh sekilas, lalu mengangguk dengan senyum manisnya pada layar ponsel.
Putra kesayangannya tengah di gendong babysitter yang sudah menemani Irvin hampir satu tahun ini. “Iya, dong, Fi. Anak gue blasteran gini, udah pasti harus tampan,” cetusnya ikut memuji si rambut coklat gelap di seberang sana.
Fiani mengulum senyum.
Kedua perempuan itu berjalan menuju area rooftop restoran, bersiap makan siang ditemani suasana haru antara ibu dan anak. Fiani menjadi teman baik Agnes selama enam bulan ini dan selalu menghargai apa pun keterbatasan informasi yang disampaikan Agnes.
Bahkan, Fiani tidak pernah menyinggung perihal status janda dan siapa mantan suami Agnes.
“Persediaan ASI-nya masih cukup, Mbak?” Agnes mengambil duduk di samping Fiani, meminta perempuan itu memilihkan menu makan siang andalan Agnes.
“Lebih dari cukup, Bu. Mungkin, tiga hari kedepan stoknya sisa sedikit.”
Agnes mengangguk dari informasi yang disampaikan babysitter dua tahun lebih muda dari Agnes. Perempuan berkerudung coklat itu sudah bekerja sangat jujur dan merupakan seorang yang Agamis.
Sekalipun Agnes berpisah dari putranya. Ia akan tetap memantau keadaan rumah dari rekaman CCTV jarak jauh. “Kalau gitu tetap perhatikan ASI-nya Irvin ya, Mbak.”
“Baik, Bu.”
“Oh, iya, Mbak. Nanti bisa kan, Mbak sama Irvin yang datang ke sini? Saya siapkan tiket ke Bali akhir pekan ini. Soalnya masih banyak pekerjaan yang nggak bisa saya tinggalkan,” jelas Agnes.
Ia berusaha menutupi masalah sebenarnya dan hal itu menjadi tatapan sedih bagi Fiani. Perempuan di samping Agnes menepuk hangat punggung tangan kanan Agnes di atas meja.
“Lo pasti kuat, Nes,” bisik Fiani tanpa suara.
Agnes tersenyum tipis dan mengangguk. Ia bersyukur bisa punya teman baik dan tidak memandang dirinya sebelah mata.
“Bisa, Bu. Nanti kabarin aja informasi selanjutnya harus gimana. Biar saya siapkan pakaian Mas Irvin juga,” jelas perempuan itu seraya membenarkan kerudungnya.
Permasalahan selesai dan Agnes meminta babysitter putranya untuk tetap menjaga Irvin, selagi Agnes berada di Bali.
Namun, tanpa Agnes sadari. Hanya selisih dua meja di sisi kiri Agnes. Sorot dingin Gerald terlihat di sana seiring matanya menangkap apa yang dilihat Agnes di layar ponsel.
Kedua tangan pria itu mengepal erat, merasakan embusan napas yang memburu. Pria itu berlalu dari area rooftop, meninggalkan makanan yang baru ia nikmati tidak kurang dari sepuluh menit lalu.
Napas Agnes dan Fiani spontan tercekat.
Gerald berjalan melewati meja mereka dan benar-benar baru disadari dua peremppuan tersebut. Gemuruh di dada Agnes semakin memacu cepat.
Ia menelan saliva susah payah.
“Nes? I-tu ... Pak Gerald, kan?”
Fiani menoleh ke belakang, tertegun melihat makanan Gerald tidak habis sepenuhnya. Bahkan, ia baru menyadari jarak meja bersama Gerald tidaklah begitu jauh. Tidak sampai lima meter.
Ia diam membisu, melihat keterdiaman Agnes yang masih berkutat pada pikirannya sendiri.
Fiani hanya tahu, jika Gerald sejak kedatangannya sangat membenci Agnes. Tapi yang Fiani tidak tahu, Agnes tengah merasakan gemuruh dalam dadanya, kemungkinan telah memperlihatkan Irvin pada Gerald.
“Nes?”
Fiani terkesiap mendapati Agnes menangkup kepalanya, menunduk dengan begitu lemah.
“Dia membenci gue seumur hidupnya, Fi,” lirih Agnes dengan perih yang tidak kunjung terobati.
Ia merasa jika Gerald begitu jijik dengan Agnes. Namun, Agnes ingin sekali menegaskan pada Gerald, jika pria itu tidak perlu memperlakukan Irvin sama seperti Agnes.
Sayangnya, berulang kali masalah yang terjadi di dalam pekerjaannya. Gerald akan membawa Irvin terseret dalam kelalaian yang dilakukan Agnes.
“Lo cuma pernah kena masalah besar dua kali, Nes,” cetus Fiani mengingatkan.
Agnes menggeleng lemah. “Dulu ... jauh lebih besar.”
“Dia membenci gue secara pribadi. Karena hubungan di antara gue dan Gerald bukan sebatas bos dan karyawan. Tapi hubungan di antara mantan kekasih.”
Manik hitam Fiani membeliak sempurna. “Lo ... pernah menjalin hubungan bersama Pak Gerald?”
Kepala Agnes mendongak, memberikan sorot luka yang dibalas tatapan bingung sekaligus khawatir Fiani. Entah kenapa, perasaannya tidak keruan mengetahui ada fakta lain yang terpendam di antara komisaris resort dan Agnes. “Dia mantan kekasih sekaligus mantan kakak kelas gue.”
“Dan sekarang, dia membenci gue, lalu menatap gue seperti jalang di luar sana.”
Fiani tertegun.
Manik mata itu menyorot nanar Agnes.
Satu bulir air mata kembali membasahi pipi Agnes. Perempuan itu tersenyum getir, menatap temannya dengan sorot penuh luka. “Apa yang terjadi di ruang rapat. Dia juga sedang mencaci dan menghancurkan harga diri gue, Fi.”
“Dia terus menerus membawa kesalahan fatal delapan tahun lalu, merasa kalau cintanya ke gue dipermainkan.”
“Lo ... selingkuh, Nes?”
Pertanyaan itu keluar dari bibir Fiani, meskipun ia ragu mengucapkannya. Melihat kesan pertama Fiani terhadap Agnes hingga detik ini. Rasanya cukup sulit jika Agnes terlihat seperti sebagian perempuan di luar sana yang mempermainkan hati seorang pria.
Tiba-tiba, pemikiran Fiani mengenai Agnes lebur bersama tatapan tidak menyangka yang ia perlihatkan. “Gerald menemukan testpack di nakas apartemen gue.”
**
Gelas berkaki tinggi itu pecah, memekakan unit kamar yang hening.
Napas Gerald memburu bersama perasaannya yang kacau. Ia menenggak kasar minuman berakohol itu dari botol.
Delapan tahun luka yang ia rasakan tidak tertutupi sempurna. Sorot matanya menajam, menatap pecahan gelas di depan matanya.
Ia melihat bagaimana Agnes datang dari arah pintu rooftop. Perempuan itu melambai hangat, memanggil sang putra dan duduk membelakangi dirinya. Di sana, layar ponsel itu memperlihatkan Gerald pada anak bungsu Agnes.
Gerald melempar kuat botol minumannya ke arah dinding di hadapannya. Pria itu mengeratkan cengkeraman pada meja mini bar, menahan sesak yang sulit ia kendalikan. “Di mana anak pertama kamu, Agnes? Apa ikut dengan mantan suami kamu?”
Pria itu tersenyum miring, menahan ledakan emosi yang akan menghancurkan barang di sekitarnya.
Nyatanya, Gerald terlalu sulit menekan emosinya.
“AAARGGGHHHH!”
Deretan rapi gelas berkaki tinggi dilempar kuat oleh Gerald. Pria itu hancur karena mengingat bagaimana luka yang diberikan Agnes padanya.
“Kamu menghancurkan perasaanku, Agnes!”
“Aku selalu berharap kamu menungguku! Kamu bisa menjaga cinta yang sudah aku berikan!”
“Tapi kamu menghancurkannya! Kamu menikmati sentuhan dari pria lain di saat aku memilih melanjutkan pendidikanku di luar negeri!”
Sekujur tubuh Gerald panas.
Dentuman sakit dan kepala yang berdenyut semakin menghadirkan sisi lain Gerald. Pria itu menutup luka dengan senyum manis dan sikap tenang di balik sorot dingin yang kerap dihadirkannya.
Gerald di masa lalu tidaklah tempramental.
Namun, kali ini ia akan menghancurkan Agnes lebih cepat.
Mengonyak harga diri dan membuat reputasinya sebagai General Manager sedang terancam di ambang batas kehancuran. Ia muak melihat tatapan polos dan menderita yang dihadirkan Agnes.
“Se—“
“—Buat masalah lagi untuk GM resort ini. Jika perlu, buat pikiran dia kacau dengan permasalahan yang jauh lebih rumit dari kemarin,” tekan Gerald dengan sorot tajam, penuh dendam masa lalu yang ia hadirkan kembali.
Ia menutup panggilan dari asisten pribadinya. Gerald akan mengambil hak-nya lebih cepat untuk membuat Agnes layaknya seperti perempuan murahan.
“Kamu akan mendapatkan perbandingan yang menakjubkan dari diriku, Agnes,” desis Gerald mengetatkan rahangnya.
“Kamu akan melihat sosok Gerald Ogawa yang baru. Pria tulus yang sudah kamu sakiti begitu dalam, kini nggak akan menunjukkan sikap baiknya lagi untuk menjadi pria bodoh yang bisa kamu permainkan,” lanjutnya mengepalkan kedua tangan.
**
“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”Titania muak dengan
Kamar Gerald dalam keadaan temaram. Suasana itu menyambut kedatangan Agnes dalam balutan mantel panjang. Keadaan terbatas tidak membuat Agnes sulit memandang kamar Gerald yang terkesan luas.Ini kali pertama ia memasuki kamar pemilik resort dan pria yang menemani masa lalunya.Agnes menguatkan hati dan pikiran. Ia memosisikan diri sebagai orang yang diinginkan Gerald. Sekalipun ada rasa perih yang kembali hadir, lalu semakin besar saat langkahnya berada di dekat Gerald.Perempuan itu harus melakukannya dalam satu malam saja, kan? Seharusnya cukup mudah dan Agnes akan melupakan semuanya.Gerald tersenyum miring sambil menenggak wine di sofa sisi ranjang. Ia hanya menunggu setelah mempermudah akses mantan kekasihnya masuk ke unit tanpa mengunci.Lamat-lamat, kening Gerald mengernyit dari balik minuman yang ia tenggak untuk kali ketiga. Ia bisa melihat tatapan tajam Agnes, disusul senyum miring perempuan semampai itu.Temaram dari gorden yang setengah terbuka memperlihatkan raut dewasa d
“Anak Mama!”Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K
“Ya ampun! Diam-diam lo udah punya pengagum rahasia, Nes?”“Siapa?! Satu tempat ini atau orang luar? Bule, gitu?”Kening Agnes mengkerut dan ia melangkah memasuki ruang kerja. Pagi ini Fiani lebih dulu memasuki ruang kerja Agnes. Ia menjemput tepat di depan unit Agnes, lalu menginginkan obrolan pagi hari sebelum jam kerja berlangsung.Sayangnya, mata Fiani sudah berbinar melihat buket mawar merah di atas meja kerja Agnes. Di sisi samping juga ada satu kotak coklat merek ternama. “Wow! Coklat Godiva?!” histeris melihat merek dan memadukan dengan harga.Dua kota coklat dengan harga yang lumayan—kisaran satu juta per satu kotak—ada di meja kerja Agnes. “Nes. Bagi dong,” cicitnya ikut tergiur sambil melirik Agnes yang baru mendekat dengan pandangan bingung.Fiani akan berpikir berulang kali membeli coklat yang kerap ia dapatkan dari teman lain berbentuk hampers di hari perayaan. Setidaknya ia bisa mencicipi tanpa harus membeli. Ia memiliki banyak pengeluaran, termasuk mementingkan kebutuh
Senyum Agnes tertarik perlahan seiring makanan yang sudah ia cicipi tertelan sempurna. Kedua ibu jari mengacung, memberikan tanda hebat pada tim memasak. “Komposisi yang sangat tepat! Menu yang kalian buat sudah lebih dari ekspektasi saya.” “Saya berharap klien baru ini akan jatuh cinta pada masakan kalian semua.” Tepuk tangan penuh kebahagiaan tersugesti pada Agnes. Ia ikut bertepuk tangan, memeriahkan dapur luas tersebut yang berisi divisi Food Production, terdiri dari lima senior dan dua junior. Tidak ada senioritas karena dari awal kedatangan Agnes dan melihat divisi lain. Mereka semua layaknya keluarga yang saling mendukung, tidak sungkan untuk menerima kritik dan tetap selaras, menyeimbangkan pemikiran dari banyak pegawai masing-masing. Di antara mereka, memang masih ada yang memiliki sikap keras kepala, tidak bisa memosisikan diri dengan baik. Setidaknya biarkan saja itu berlaku untuk Agnes. Ia selalu ingin timnya bekerja dengan baik dan saling mengasihi seperti saudara di