“Pengkhiatan kamu aku balas dengan kenikmatan.”
Agnes menangis di pinggir pantai. Deburan ombak tidak akan membuat tangisnya sampai terdengar orang lain.
Ia sendiri.
Memeluk kedua lutut dan membiarkan angin malam menusuk kulit tubuhnya yang hanya memakai dress selutut.
Kedua bahu Agnes berguncang. Perempuan itu menenggelamkan wajah di antara lutut, merasa kalimat perih itu menggema di telinganya.
Pria yang berstatus Atasannya begitu kuat ini menghancurkan diri Agnes. Gerald seolah ingin membuka masa lalu di antara keduanya dan di saat itu ... menjadi titik rendah kehidupan percintaan Agnes.
Luka delapan tahun lalu, ternyata tidak mengering sempurna.
“Aku nggak pernah ingin menyakiti perasaan kamu, Ge,” lirih Agnes terisak.
Sorot nanar itu menatap kejauhan pantai malam hari.
Keadaan di sekitarnya jauh dari hiruk pikuk keramaian. Mereka semua berada di sisi kiri Agnes, lebih dari seratus meter dengan lampu dan suasana meriah. Beberapa fasilitas yang memang kerap diisi turis semakin ramai menjelang malam.
Agnes tidak pernah menduga, jika resort mewah dengan segala fasilitas terbaik ini masih bagian dari milik keluarga Gerald. Ia berpikir, hanya hotel di dekat pusat strategis pertama adalah milik seorang Liam Ogawa. Ternyata resort yang sudah terbangun lebih dari sepuluh tahun ini juga milik mereka.
Perempuan bernasib malang itu memukul pelan dadanya. Ia berharap rasa sesak itu hilang. Nyatanya, Agnes semakin sulit sekadar bernapas normal. “Terlalu sakit saat kamu mengatakan keinginan kamu di depanku, Ge. Apa kamu nggak pernah berpikir, kalau kalimat itu juga sebuah pelecehan? Kamu udah merendahkan harga diri anak buahmu sendiri.”
“Termasuk sampai sekarang, aku terus dilabeli sebagai perempuan murahan di mata kamu.”
Agnes menghapus kasar air matanya yang sudah luruh banyak, membasahi kedua pipi. Tapi tetap saja, rasa perih dan sakit itu tidak hentinya mengeringkan air mata Agnes.
Tangis Agnes semakin pecah.
Dipermalukan selama satu minggu dengan kesalahan yang terus saja menimpanya. Ia pikir, kesalahan pertama dan kedua termasuk ringan dan bisa Agnes selesaikan. Bahkan, tidak ada campur tangan Gerald saat itu.
Sayangnya, Gerald memang sedang mencari celah bagi Agnes untuk keluar dari tempat ini. Ia mengembalikan ingatan sejak Gerald mengambil alih resort. Sudah beberapa kali Agnes tersandung masalah ringan yang disebabkan hal teknis ataupun karyawan yang kerap ia andalkan.
Entah sebuah kesialan atau memang ia tidak becus bekerja, semua terjadi tidak sesuai perkiraan Agnes. Padahal, sebelum Gerald datang, Agnes merasa pekerjaannya sangat menyenangkan dan semua sistem berjalan sempurna bagi dirinya.
Agnes meremat kedua sisi rambut kepalanya. Ia mencengkeram kuat, terlalu sakit denyutan kepalanya, memikirkan tekanan Gerald dan dipermalukan di depan banyak orang pagi hari itu.
Sahutan kebencian silih berganti, masuk dalam memori Agnes. Bentakan Gerald kali pertama dalam hubungan mereka, membuat tubuh Agnes remuk.
Bahkan, beberapa tahun mencoba kuat, menata hati dan kembali hidup damai. Semua seolah dirasakan Agnes semakin hancur.
Agnes dicaci maki orangtua kandung, lalu pergi dan membesarkan putranya sendirian.
Perempuan itu diusir dari rumah, meninggalkan segala fasilitas dan merasa menjadi sosok sebatang kara tanpa siapa pun.
Di lain sisi, ruang kamar Gerald diisi lenguhan seorang perempuan di bawah tubuh Gerald.
Pria itu bergerak cepat, menuntaskan hasratnya dalam balutan amarah. Ucapan tegas sarat tantangan balik itu terus terngiang di telinga Gerald dan membuat napas Gerald tidak pernah stabil sejak siang tadi.
“Aku akan tunjukkan seberapa murahannya tubuhku untuk kamu nikmati, Gerald. Asalkan posisiku tetap aman di aset keluargamu ini.”
“Lagipula, aku lebih dari cukup berpengalaman untuk memuaskan seorang pria seperti kamu.”
“Berengsek!”
Gerald menarik tubuh bersama miliknya yang sebentar lagi akan mendapati gelombang kenikmatan bagi ia dan perempuan seksi di bawahnya.
Namun, telinganya berdengung dan membuat perasaannya menjadi tidak keruan. Agnes menghancurkan pikiran dan suasana hati Gerald.
“GERALD?!”
“Apa yang kamu lakukan, Sayang?!”
Gerald tidak menggubris ucapan tersebut.
Ia menarik kasar helaian bawahnya yang teronggok di bawah ranjang, membawa cepat barang tersebut ke kamar mandi.
Umpatan kasar dari perempuan cantik yang juga sudah menanggalkan pakaiannya mengisi keheningan ruangan.
Tidak sampai lima menit Gerald sudah keluar dengan tatapan dingin, membalas datar sorot kesal perempuan yang hanya memakai underware hitam itu. “Kita ingin bercinta, kan?”
“Aku datang jauh-jauh dari Amerika, khusus menemui tunanganku dan malam ini ... kamu seolah membuangku seperti jalang?”
“Pekerjaanku membuat suasana hatiku memburuk.”
“Tolong pahami keadaanku, Jiera.”
Tatapan kesal Jiera—perempuan seksi—berstatus tunangan Gerald berubah bingung. Ia menatap pria-nya yang memang memperlihatkan rasa lelah, mengambil duduk di sofa tidak jauh dari sisi ranjang.
Dada bidang itu menjadi bagian panas yang selalu ingin dipuja Jiera ketika bercinta bersama Gerald. Tapi ia harus mengesampingkan ego, memilih turun dari ranjang dan berada di pangkuan tunangannya. “Apa yang terjadi sama kamu hari ini, Sayang?”
Kedua telapak tangan lembut itu menangkup paras tampan Gerald. Ia tersenyum manis saat Gerald masih meliriknya sekilas, sebelum membuang pandangan.
“Masalah pekerjaan,” balasnya memberitahu lagi.
“Ck! Sampai kamu mengabaikan percintaan kita? Seharusnya hal ini menjadi pelepas penat kamu, Sayang. Aku bisa membuat kamu melupakan stres dan besok masalah kamu akan segera selesai.”
“Papi bilang, pekerjaan kamu sangat bagus dan beliau sangat yakin aset ini layak kamu pegang.”
Senyum manis Jiera perlihatkan. Perempuan berdarah Indonesia yang bekerja di Amerika itu baru mengetahui tunangannya mengambil salah satu aset keluarga Ogawa. Karena Gerald sudah memiliki kekayaannya sendiri atas usaha pria itu sejak muda dan di bangku kuliah.
Tapi tetap saja, Gerald sebagai anak dan memiliki status dan posisi sebagai anak tunggal akan tetap mewarisi seluruh kekayaan orangtuanya.
“Aku nggak bisa menikmati percintaan kita seperti biasanya.”
Embusan napas lelah itu dikeluarkan Jiera.
Ia tahu ini tidaklah tepat. Bahkan, ia sudah mengenal Gerald lebih dari delapan tahun lalu. Sekali pria itu mengatakan tidak, maka ucapan itu tidak akan pria itu ubah sama sekali.
“Baiklah,” balas Jiera mengecup sudut bibir Gerald.
Gerald melihat punggung Jiera menjauh, membungkuk dan mengambil dress yang berserakan.
Pria itu mengganti pakaian, memilih keluar unit meninggalkan Jiera yang masih berada di kamar mandi.
Langkahnya menuntun Gerald keluar area resort, menginginkan sepi untuk dirinya sendiri, meskipun di sisi kirinya dentuman kuat terus saja dinikmati banyak orang.
Resort ini sangat strategis dengan keindahan alam, termasuk kapal yang selalu berlayar dan memiliki spot menarik untuk wisatawan pagi sampai sore hari.
Bahkan, di pulau seberang, masih menjadi aset keluarga Gerald; penginapan dan tempat menarik lainnya di sana dalam bentuk villa yang akan mendekatkan atmosfer dengan alam.
Gerald memicingkan mata sambil memelankan langkah kaki saat ia berpapasan dengan Agnes. Ia melihat ada sorot rapuh, sebelum akhirnya perempuan itu berdiri di hadapan Gerald, menyorot tajam.
Mata perempuan itu sedikit sembab. Gerald mengabaikannya dengan tatapan datar. “Aku selalu membenci pertemuan kita.”
Ia terlalu malas menikmati angin pantai saat mendapati Agnes juga berada di luar. Bukankah perempuan itu yang mengacaukan suasan hati Gerald? Ia ingin merasakan hangatnya milik Jiera, tapi semua hancur dengan kalimat yang terngiang begitu memuakkan Gerald.
Agnes tersenyum miring, menyembunyikan perih yang menyayat terus menerus. “Kamu nggak perlu khawatir, Ge.”
“Setelah aku berpikir runut dan lebih jauh. Aku sadar, kalau sampai kapan pun, pekerjaanku akan dicari celah kesalahan sama kamu.”
Tawa kecil itu membuat kedua tangan Gerald terkepal. Agnes tersenyum kecil dengan anggukan pelan. “Posisiku nggak bakal diambil alih siapa pun, kan? Asalkan tubuhku bisa kamu cicipi semalam?”
“Secepatnya aku bakal menuntaskan keinginan kamu.”
Manik keduanya bersitatap lekat.
Agnes telanjur dibenci, dihina untuk selalu dipandang rendah Gerald. Jadi, ia memutuskan jika dirinya akan menuruti permintaan mantan kekasihnya.
“Kamu hanya perlu bersabar sedikit. Akhir pekan nanti, keinginan kamu akan aku penuhi,” lanjut Agnes tajam dan meninggalkan Gerald sendirian bersama debur ombak.
"Karena saat hari itu tiba, dia hanya akan terlihat sebagai seorang jalang. Bukan karyawan dengan posisi satu tingkat di bawah seorang Bapak Gerald Ogawa. Dia akan mendapatkan pengalaman terbaik dari mantan kekasihnya saat di SMA."
Perempuan itu membiarkan Gerald terpaku dengan ucapan Agnes yang langsung berlalu.
**
“Mama ....” Kedua sudut bibir Agnes tertarik sempurna. Ia melambai penuh haru di layar ponsel miliknya. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh, merespons luar biasa dari panggilan khas putra kecilnya. “Sayangnya Mama,” balas perempuan itu nyaris berbisik. Pandangannya sedikit berkabut, tapi berakhir dengan tawa kecil yang terasa getir. Melihat Irvin—si pemilik manik biru—mengingatkan Agnes pada luka beberapa hari lalu. Lebih tepatnya saat ia harus mendapati risiko datang terlambat dan menjadi bagian yang harus dihancurkan Gerald, termasuk membawa anaknya dalam permasalahan ia dan Gerald secara pribadi. “Anak lo kelewat tampan, Nes.” Agnes menoleh sekilas, lalu mengangguk dengan senyum manisnya pada layar ponsel. Putra kesayangannya tengah di gendong babysitter yang sudah menemani Irvin hampir satu tahun ini. “Iya, dong, Fi. Anak gue blasteran gini, udah pasti harus tampan,” cetusnya ikut memuji si rambut coklat gelap di seberang sana. Fiani mengulum senyum. Kedua perempuan itu b
“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”Titania muak dengan
Kamar Gerald dalam keadaan temaram. Suasana itu menyambut kedatangan Agnes dalam balutan mantel panjang. Keadaan terbatas tidak membuat Agnes sulit memandang kamar Gerald yang terkesan luas.Ini kali pertama ia memasuki kamar pemilik resort dan pria yang menemani masa lalunya.Agnes menguatkan hati dan pikiran. Ia memosisikan diri sebagai orang yang diinginkan Gerald. Sekalipun ada rasa perih yang kembali hadir, lalu semakin besar saat langkahnya berada di dekat Gerald.Perempuan itu harus melakukannya dalam satu malam saja, kan? Seharusnya cukup mudah dan Agnes akan melupakan semuanya.Gerald tersenyum miring sambil menenggak wine di sofa sisi ranjang. Ia hanya menunggu setelah mempermudah akses mantan kekasihnya masuk ke unit tanpa mengunci.Lamat-lamat, kening Gerald mengernyit dari balik minuman yang ia tenggak untuk kali ketiga. Ia bisa melihat tatapan tajam Agnes, disusul senyum miring perempuan semampai itu.Temaram dari gorden yang setengah terbuka memperlihatkan raut dewasa d
“Anak Mama!”Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K
“Ya ampun! Diam-diam lo udah punya pengagum rahasia, Nes?”“Siapa?! Satu tempat ini atau orang luar? Bule, gitu?”Kening Agnes mengkerut dan ia melangkah memasuki ruang kerja. Pagi ini Fiani lebih dulu memasuki ruang kerja Agnes. Ia menjemput tepat di depan unit Agnes, lalu menginginkan obrolan pagi hari sebelum jam kerja berlangsung.Sayangnya, mata Fiani sudah berbinar melihat buket mawar merah di atas meja kerja Agnes. Di sisi samping juga ada satu kotak coklat merek ternama. “Wow! Coklat Godiva?!” histeris melihat merek dan memadukan dengan harga.Dua kota coklat dengan harga yang lumayan—kisaran satu juta per satu kotak—ada di meja kerja Agnes. “Nes. Bagi dong,” cicitnya ikut tergiur sambil melirik Agnes yang baru mendekat dengan pandangan bingung.Fiani akan berpikir berulang kali membeli coklat yang kerap ia dapatkan dari teman lain berbentuk hampers di hari perayaan. Setidaknya ia bisa mencicipi tanpa harus membeli. Ia memiliki banyak pengeluaran, termasuk mementingkan kebutuh