Share

6. Perlakuan Kasar

“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”

Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.

Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.

Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”

“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”

Titania muak dengan segala aturan yang harus ia turuti dari Agnes. Seolah perempuan di hadapannya sangat cerdas dan tidak pernah membuat kegagalan sedikitpun. Titania sudah mendapatkan situasi yang tepat untuk mengeluarkan Agnes dari jabatan dan ia akan berusaha meraih kesempatan itu sampai titik terakhir.

Ia menyamarkan senyum penuh arti. “Lebih baik lo mundur dari jabatan ini dan serahkan posisi lo untuk gue. Karena gue yang pantas menjalankan fungsi dari jabatan yang lo miliki sekarang.”

Manik mata Agnes menatap lekat Titania yang memandangnya angkuh tanpa ada senyum. Namun, pikiran dan emosinya memuncak mengingat perempuan itu selalu berusaha mencari peluang menghancurkan Agnes.

Ia mengepalkan kedua tangan, lalu mengikis jarak dan berbisik tepat di depan paras Titania, “Ini salah satu rencana yang lo buat untuk membuat gue lengser dari jabatan, kan?”

“Gue nggak sebodoh itu mengetahui lo lulusan dari kampus bergengsi, tapi seolah lo udah merancang ini semua buat gue,” desis Agnes menatap dalam dengan sorot tajam.

“Apa saya sepicik itu, Ibu Agnes Zefanya? Jabatan saya juga dipertaruhkan karena yang diketahui Bapak Gerald Ogawa, kita adalah rekan kerja yang satu sama lain saling mendukung, bukan menikung,” jelasnya diakhiri kedua sudut bibir tertarik sempurna.

Agnes mengumpat dalam hati.

Berkas dalam genggamannya ia lempar kuat di atas meja kerja Titania. Ia melangkah cepat melewati Titania dan memberikan tabrakan bahu yang membuat Titania mengerang, mengumpati Agnes.

“Dasar perempuan nggak tau diri, lo!” teriak Titania mengaduh sakit, memegang bahunya yang ditabrak keras Agnes.

Langkah Agnes berjalan cepat menuju satu lantai yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Ia tidak melupakan insiden dan permasalahan seputar pekerjaan setelah kedatangan Gerald. Banyak kejanggalan yang membuatnya harus berpikir buruk mengenai satu pelaku; Gerald Ogawa.

“Maaf, Bu? Ibu mau ke—“

“Diam! Saya ingin bertemu langsung dengan Atasanmu!” tegas Agnes dan berlalu tidak memedulikan Asisten Pribadi Gerald yang berpapasan dengannya di lantai ruangan Gerald.

Perempuan itu membuka kasar kenop pintu dan mengedarkan pandangan mencari keberadaan Gerald.

Agnes terdiam.

Ruangan kerja Gerald sangat sunyi dan tidak ada siapa pun di dalamnya termasuk orang yang dicari Agnes.

Perempuan itu menelan saliva susah payah dan emosi yang ingin ia keluarkan berangsur pudar.

“Sial!” umpat Agnes mengusap kasar wajahnya.

Ia mengakui dirinya sudah lebih dari tiga hari setelah pertemuannya bersama Gerald di pantai malam hari, menjadi tidak stabil. Emosi dan sikapnya sebagai General Manager mulai terganggu.

“Kamu mencariku, Agnes?”

Deg!

Tubuh Agnes membeku merasakan kedua lengan kokoh itu terlalu cepat melingkar di perut Agnes. Perlahan, punggung perempuan itu sudah menempel di dada bidang yang dulu membuatnya nyaman berada dalam dekapan pria yang dikenalinya.

Agnes merasakan aliran darahnya mendadak semakin berdesir. Kecupan ringan singgah di leher jenjangnya dengan tarikan garis lurus yang berakhir sentuhan manis di bahu. Tepat di atas kemeja yang membalut tubuh rampingnya, Gerald memberikan penutup sebelum membalikkan tubuh mantan kekasihnya. “Apa kita akan bercinta sekarang juga? Kamu sudah siap karena terlalu merindukan sentuhanku?”

Gerald tersenyum miring saat menatap manik yang ia sekarang ditatapnya penuh dendam.

Belum ada satupun kalimat yang dilontarkan Agnes. Bunyi tamparan keras menjadi suara yang memecah keheningan ruangan Gerald. “Kamu pria berengsek yang pernah kukenal, Gerald!”

Pipi Gerald memanas dan perih dalam satu waktu. Ia menangkup bagian yang menjadi sasaran Agnes, lalu menyorot dingin perempuan yang kini mengembuskan napas tidak teratur.

Kedua bahu itu naik turun.

Jemari telunjuk Agnes bersarang tepat di depan wajah Gerald. Ia tidak mungkin salah menduga, jika pria ini adalah dalang di balik kesalahan kecil hingga besar yang detik ini Agnes dapatkan.

“Aku tau, kamu adalah dalang di balik kesalahan yang dari awal aku hadapi. Kamu terlalu menggebu menyingkirkan aku hanya karena pengkhianatan yang kulakukan di masa la—“

“—apa kamu bilang?”

Agnes tersentak dan kaku saat Gerald mencengkeram telunjuknya. Bahkan, pria itu tidak peduli jika tarikan kasarnya pada jemari itu dan membuat Agnes sedikit maju, membuat perempuan itu tidak nyaman dengan sedikit ringisan. “Hanya karena pengkhianatan yang kamu lakukan di masa lalu?”

Gerald mendengkus pelan. “Iya, kesalahan kecil yang seharusnya aku lupakan. Seperti itu, kan?”

“Lalu, apa memang salahku kalau ingin membuat kamu terjebak dikubangan masalahmu sendiri? Aku sudah bicara dari awal ingin menyingkirkan kamu, Agnes,” desis Gerald dan meraih rahang Agnes.

Perempuan itu memekik, meminta Gerald melepaskan cengkeraman yang memaksa Agnes mendongak tinggi.

Sorot mata penuh dendam itu sudah tidak bisa ditahan Gerald. Termasuk ucapan sederhana yang keluar dari bibir Agnes, melukai kembali perasaan Gerald.

“Ge ... le-pas,” cicit Agnes melihat manik hitam itu menggelap.

Agnes menggigil ketakutan dan tidak pernah menduga sosok lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta, sekarang telah lenyap. “Kamu takut, Sayang?” bisik Gerald menerbitkan senyum penuh arti.

“Bukannya beberapa menit lalu kamu berhasil memaki dan menamparku? Apalagi dengan ucapanmu di pantai malam itu. Kamu sangat berani dan aku sedang menunggu sisi liarmu.”

“Tapi apa? Sampai sekarang belum ada keinginan kamu untuk melemparkan tubuh kamu padaku, hm?”

“Oh, atau mungkin malam ini? Waktunya udah tepat karena akhir pekan, ”seringai iblis itu membuat Agnes tertegun.

Ada yang meremas relung hati terdalam Agnes. Pelupuk mata perempuan itu telah berair melihat senyum mengejek dan tidak ada ucapan yang bisa menghargai status Agnes sebagai perempuan. Ia dilecehkan oleh pria yang dulu membuat hatinya berkesan.

Sreeeekkk!

Perasaan Agnes mencelos.

Bulir air matanya jatuh bersama sakit hati yang telanjur dalam melihat seringai Gerald dan perlakuan kasar pria itu. “Sudah berapa banyak pria yang meniduri kamu sampai ukuran dadamu sangat menggoda, Sayang?”

“Atau mungkin, ini karena ASI yang kamu berikan untuk anak keduamu?”

Kelopak mata Agnes tertutup bersama rasa sakit hati yang menguat setelah pria itu berhasil mempreteli kasar kancing kemeja miliknya. Dua bagian menyembul itu tidak membuat Agnes malu, melainkan ucapan Gerald yang menurunkan harga dirinya semakin menyakiti hati perempuan itu.

Hati Agnes remuk.

“Jadilah jalangku malam ini, Sayang.”

“Semakin lama kamu mengulur waktu, semakin banyak masalah yang akan menghampiri kamu dan membuat reputasimu di resort ini buruk.”

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status