“Kenapa lo ambil keputusan sendiri, ha?! Apa nggak bisa sedikit aja lo menghargai gue sebagai atasan lo?!”
Titania menepis kasar telunjuk Agnes yang menekan di sisi bahu. Perempuan itu tidak dapat mengendalikan emosi karena pekerjaan yang seharusnya Agnes kerjakan dengan teliti, hancur oleh kebodohan Titania. “Gue punya hak untuk melakukannya!” tegas Titania menatap sengit Ibu satu anak yang sudah lebih dari beberapa hari ini tidak bisa bekerja stabil.
Agnes menarik napas dalam dan mengembuskan kasar.
Tubuh itu sedikit mundur, lalu menyugar kasar rambut panjangnya yang terurai. Napas Agnes masih memburu dan ia ingin sekali memaki perempuan yang tidak bisa diajak kerjasama sejak kedatangan Gerald. “Kita benar-benar merugi! Lo bisa gunakan otak yang lo anggap cerdas untuk menyelamatkan karir kita! Bukan menghancurkan rencana dan strategi kerja yang udah rampung dari dua minggu lalu!”
“Apa lo sehebat itu, Agnes? Dengan seenaknya lo melimpahkan kesalahan hanya ke gue?”
Titania muak dengan segala aturan yang harus ia turuti dari Agnes. Seolah perempuan di hadapannya sangat cerdas dan tidak pernah membuat kegagalan sedikitpun. Titania sudah mendapatkan situasi yang tepat untuk mengeluarkan Agnes dari jabatan dan ia akan berusaha meraih kesempatan itu sampai titik terakhir.
Ia menyamarkan senyum penuh arti. “Lebih baik lo mundur dari jabatan ini dan serahkan posisi lo untuk gue. Karena gue yang pantas menjalankan fungsi dari jabatan yang lo miliki sekarang.”
Manik mata Agnes menatap lekat Titania yang memandangnya angkuh tanpa ada senyum. Namun, pikiran dan emosinya memuncak mengingat perempuan itu selalu berusaha mencari peluang menghancurkan Agnes.
Ia mengepalkan kedua tangan, lalu mengikis jarak dan berbisik tepat di depan paras Titania, “Ini salah satu rencana yang lo buat untuk membuat gue lengser dari jabatan, kan?”
“Gue nggak sebodoh itu mengetahui lo lulusan dari kampus bergengsi, tapi seolah lo udah merancang ini semua buat gue,” desis Agnes menatap dalam dengan sorot tajam.
“Apa saya sepicik itu, Ibu Agnes Zefanya? Jabatan saya juga dipertaruhkan karena yang diketahui Bapak Gerald Ogawa, kita adalah rekan kerja yang satu sama lain saling mendukung, bukan menikung,” jelasnya diakhiri kedua sudut bibir tertarik sempurna.
Agnes mengumpat dalam hati.
Berkas dalam genggamannya ia lempar kuat di atas meja kerja Titania. Ia melangkah cepat melewati Titania dan memberikan tabrakan bahu yang membuat Titania mengerang, mengumpati Agnes.
“Dasar perempuan nggak tau diri, lo!” teriak Titania mengaduh sakit, memegang bahunya yang ditabrak keras Agnes.
Langkah Agnes berjalan cepat menuju satu lantai yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Ia tidak melupakan insiden dan permasalahan seputar pekerjaan setelah kedatangan Gerald. Banyak kejanggalan yang membuatnya harus berpikir buruk mengenai satu pelaku; Gerald Ogawa.
“Maaf, Bu? Ibu mau ke—“
“Diam! Saya ingin bertemu langsung dengan Atasanmu!” tegas Agnes dan berlalu tidak memedulikan Asisten Pribadi Gerald yang berpapasan dengannya di lantai ruangan Gerald.
Perempuan itu membuka kasar kenop pintu dan mengedarkan pandangan mencari keberadaan Gerald.
Agnes terdiam.
Ruangan kerja Gerald sangat sunyi dan tidak ada siapa pun di dalamnya termasuk orang yang dicari Agnes.
Perempuan itu menelan saliva susah payah dan emosi yang ingin ia keluarkan berangsur pudar.
“Sial!” umpat Agnes mengusap kasar wajahnya.
Ia mengakui dirinya sudah lebih dari tiga hari setelah pertemuannya bersama Gerald di pantai malam hari, menjadi tidak stabil. Emosi dan sikapnya sebagai General Manager mulai terganggu.
“Kamu mencariku, Agnes?”
Deg!
Tubuh Agnes membeku merasakan kedua lengan kokoh itu terlalu cepat melingkar di perut Agnes. Perlahan, punggung perempuan itu sudah menempel di dada bidang yang dulu membuatnya nyaman berada dalam dekapan pria yang dikenalinya.
Agnes merasakan aliran darahnya mendadak semakin berdesir. Kecupan ringan singgah di leher jenjangnya dengan tarikan garis lurus yang berakhir sentuhan manis di bahu. Tepat di atas kemeja yang membalut tubuh rampingnya, Gerald memberikan penutup sebelum membalikkan tubuh mantan kekasihnya. “Apa kita akan bercinta sekarang juga? Kamu sudah siap karena terlalu merindukan sentuhanku?”
Gerald tersenyum miring saat menatap manik yang ia sekarang ditatapnya penuh dendam.
Belum ada satupun kalimat yang dilontarkan Agnes. Bunyi tamparan keras menjadi suara yang memecah keheningan ruangan Gerald. “Kamu pria berengsek yang pernah kukenal, Gerald!”
Pipi Gerald memanas dan perih dalam satu waktu. Ia menangkup bagian yang menjadi sasaran Agnes, lalu menyorot dingin perempuan yang kini mengembuskan napas tidak teratur.
Kedua bahu itu naik turun.
Jemari telunjuk Agnes bersarang tepat di depan wajah Gerald. Ia tidak mungkin salah menduga, jika pria ini adalah dalang di balik kesalahan kecil hingga besar yang detik ini Agnes dapatkan.
“Aku tau, kamu adalah dalang di balik kesalahan yang dari awal aku hadapi. Kamu terlalu menggebu menyingkirkan aku hanya karena pengkhianatan yang kulakukan di masa la—“
“—apa kamu bilang?”
Agnes tersentak dan kaku saat Gerald mencengkeram telunjuknya. Bahkan, pria itu tidak peduli jika tarikan kasarnya pada jemari itu dan membuat Agnes sedikit maju, membuat perempuan itu tidak nyaman dengan sedikit ringisan. “Hanya karena pengkhianatan yang kamu lakukan di masa lalu?”
Gerald mendengkus pelan. “Iya, kesalahan kecil yang seharusnya aku lupakan. Seperti itu, kan?”
“Lalu, apa memang salahku kalau ingin membuat kamu terjebak dikubangan masalahmu sendiri? Aku sudah bicara dari awal ingin menyingkirkan kamu, Agnes,” desis Gerald dan meraih rahang Agnes.
Perempuan itu memekik, meminta Gerald melepaskan cengkeraman yang memaksa Agnes mendongak tinggi.
Sorot mata penuh dendam itu sudah tidak bisa ditahan Gerald. Termasuk ucapan sederhana yang keluar dari bibir Agnes, melukai kembali perasaan Gerald.
“Ge ... le-pas,” cicit Agnes melihat manik hitam itu menggelap.
Agnes menggigil ketakutan dan tidak pernah menduga sosok lembut yang dulu membuatnya jatuh cinta, sekarang telah lenyap. “Kamu takut, Sayang?” bisik Gerald menerbitkan senyum penuh arti.
“Bukannya beberapa menit lalu kamu berhasil memaki dan menamparku? Apalagi dengan ucapanmu di pantai malam itu. Kamu sangat berani dan aku sedang menunggu sisi liarmu.”
“Tapi apa? Sampai sekarang belum ada keinginan kamu untuk melemparkan tubuh kamu padaku, hm?”
“Oh, atau mungkin malam ini? Waktunya udah tepat karena akhir pekan, ”seringai iblis itu membuat Agnes tertegun.
Ada yang meremas relung hati terdalam Agnes. Pelupuk mata perempuan itu telah berair melihat senyum mengejek dan tidak ada ucapan yang bisa menghargai status Agnes sebagai perempuan. Ia dilecehkan oleh pria yang dulu membuat hatinya berkesan.
Sreeeekkk!
Perasaan Agnes mencelos.
Bulir air matanya jatuh bersama sakit hati yang telanjur dalam melihat seringai Gerald dan perlakuan kasar pria itu. “Sudah berapa banyak pria yang meniduri kamu sampai ukuran dadamu sangat menggoda, Sayang?”
“Atau mungkin, ini karena ASI yang kamu berikan untuk anak keduamu?”
Kelopak mata Agnes tertutup bersama rasa sakit hati yang menguat setelah pria itu berhasil mempreteli kasar kancing kemeja miliknya. Dua bagian menyembul itu tidak membuat Agnes malu, melainkan ucapan Gerald yang menurunkan harga dirinya semakin menyakiti hati perempuan itu.
Hati Agnes remuk.
“Jadilah jalangku malam ini, Sayang.”
“Semakin lama kamu mengulur waktu, semakin banyak masalah yang akan menghampiri kamu dan membuat reputasimu di resort ini buruk.”
**
Kamar Gerald dalam keadaan temaram. Suasana itu menyambut kedatangan Agnes dalam balutan mantel panjang. Keadaan terbatas tidak membuat Agnes sulit memandang kamar Gerald yang terkesan luas.Ini kali pertama ia memasuki kamar pemilik resort dan pria yang menemani masa lalunya.Agnes menguatkan hati dan pikiran. Ia memosisikan diri sebagai orang yang diinginkan Gerald. Sekalipun ada rasa perih yang kembali hadir, lalu semakin besar saat langkahnya berada di dekat Gerald.Perempuan itu harus melakukannya dalam satu malam saja, kan? Seharusnya cukup mudah dan Agnes akan melupakan semuanya.Gerald tersenyum miring sambil menenggak wine di sofa sisi ranjang. Ia hanya menunggu setelah mempermudah akses mantan kekasihnya masuk ke unit tanpa mengunci.Lamat-lamat, kening Gerald mengernyit dari balik minuman yang ia tenggak untuk kali ketiga. Ia bisa melihat tatapan tajam Agnes, disusul senyum miring perempuan semampai itu.Temaram dari gorden yang setengah terbuka memperlihatkan raut dewasa d
“Anak Mama!”Pelukan hangat Agnes mendekap penuh kerinduan putra kecilnya yang sangat cerdas di usianya sekarang. Bahkan, Agnes terharu mendapati Irvin sudah bisa memanggilnya dengan sebutan Mama.Ia menghadiahi Irvin—anak laki-laki Agnes—dengan kecupan manis di kedua pipi gembilnya.“ASI-nya udah dibawa cukup kan, Mbak?”Tas ASI, tas ransel dan satu koper itu menjadi hal menarik yang Agnes lihat setelah berhasil membawa bayi bule-nya dalam gendongan. “Iya, Bu. Sudah saya bawa semua, lengkap.”Agnes tersenyum kecil, lalu mengangguk dan membawa babysitter-nya menuju kamar Agnes di lantai bersama jabatan setara atau sedikit di atasnya.Hanya ruangan Gerald yang berbeda di lantai paling atas dan diisi bersebelahan dekat unit sekretaris bersama asisten pribadi.Gerald terlalu banyak merangkap dalam bekerja dan posisi yang diemban.Agnes hanya ingat, jika sekarang pabrik olahan makanan sudah diambil alih anak—penerus utama—Liam Ogawa.“Tunggu dua hari lagi ya, Mbak. Nanti kita pulang sama-
Gerald tidak pernah menduga jika kehadiran Agnes akan mengubah pola hidupnya. Bahkan, ia berusaha selama delapan tahun ini untuk menyingkirkan Agnes dari pikiran dan tentu hati. Perempuan itu terlalu banyak memberikan kesan di dalam benak dan tersemat jauh di lubuk hati Gerald. “Seharusnya aku menyingkirkan dia dari sini. Bukan memberikan penawaran yang tentu akan mudah dia lakukan,” desis Gerald mengepalkan tangan dan pulpen dalam genggamannya ia eratkan. Gerald ingin sekali mematahkan pulpen tersebut. Ia terlalu sulit mengendalikan diri dan napas yang memburu setelah menghina Agnes di pinggir pantai. Anak lelaki itu menjadi masalah terbesar bagi Gerald dan ia sudah berpikir jauh, jika Agnes benar-benar melupakan hubungan yang pernah mereka jalin. Siapa Ayah sang bayi? Ia mendengkus mengejek. Delapan tahun memang sangat mudah membuat Agnes melupakan Gerald. Dan sangat bodoh, Gerald terlalu lama memikirkan masa depannya yang baru. Ia terlalu menggantungkan hubungan tidak pasti
“Ibu Agnes tidak pernah mendaftarkan pernikahan ataupun perceraiannya di pengadilan negeri.” Gerald merasakan hantaman kuat berada di dalam dadanya. Teriakan Agnes kurang dari lima jam yang lalu silih berganti masuk dalam ingatan dan terasa kuat di telinga Gerald. Napas Gerald tercekat. Lidahnya terasa kelu untuk mengutarakan dengan suara tenang, “A-pa kamu sudah mendapatkan informasi yang valid?” Asisten pribadi Gerald mengangguk cepat. Ia duduk tenang sambil menyodorkan berkas dengan ketebalan tidak sampai lima senti. “Di dalam berkas ini selain data diri Ibu Agnes, saya juga sudah menyiapkan salinan data mengenai pernikahan atau perceraian dalam beberapa tahun terakhir, Pak.” “Tidak ada satupun mengatasnamakan Ibu Agnes Zefanya. Termasuk rumah sakit yang memungkinkan Ibu Agnes melakukan proses bersalin,” tambah pria itu membuat Gerald membeku. “Dari semua data resmi yang valid ini. Ada hal mendasar yang membuat saya yakin mengenai secara garis besar kehidupan pribadi Ibu Agnes
“Aku ingin meminta maaf untuk semua kesalahan yang aku perbuat ke kamu.” Agnes tersenyum miring. “Kurang dari sepuluh menit lalu, asisten pribadi kamu datang dan meminta kedatanganku ke mari. Aku sedikit berpikir, mungkin ada lagi masalah yang mau kamu berikan untukku. Bukannya selama dua minggu ini kamu sibuk? Itu artinya, kamu juga nggak berminat membuat kekacauan untuk pekerjaanku.” Gerald melihat tatapan tajam dan sakit hati yang belum terelakkan. Ia tahu ada kekecewaan mendalam di balik sorot mengejeknya. Pria itu mengangguk. “Aku tau dan aku mengakui kesalahanku.” “Tapi dari dua minggu lalu, aku memang sudah menyelesaikan permasalahan kekanakan ini.” Agnes membuang pandangan. Dada perempuan itu terasa sesak dan ucapan Gerald terlalu mudah terucap. Pikirannya sudah terkonstruksi menepis ucapan Gerald yang berlawanan sejak beberapa waktu lalu. Gerald yang memperlakukan Agnes kasar, lalu menyalahgunakan jabatan. Apa semudah itu sikap Gerald mendapatkan maaf dari dirinya? “K
“Ya ampun! Diam-diam lo udah punya pengagum rahasia, Nes?”“Siapa?! Satu tempat ini atau orang luar? Bule, gitu?”Kening Agnes mengkerut dan ia melangkah memasuki ruang kerja. Pagi ini Fiani lebih dulu memasuki ruang kerja Agnes. Ia menjemput tepat di depan unit Agnes, lalu menginginkan obrolan pagi hari sebelum jam kerja berlangsung.Sayangnya, mata Fiani sudah berbinar melihat buket mawar merah di atas meja kerja Agnes. Di sisi samping juga ada satu kotak coklat merek ternama. “Wow! Coklat Godiva?!” histeris melihat merek dan memadukan dengan harga.Dua kota coklat dengan harga yang lumayan—kisaran satu juta per satu kotak—ada di meja kerja Agnes. “Nes. Bagi dong,” cicitnya ikut tergiur sambil melirik Agnes yang baru mendekat dengan pandangan bingung.Fiani akan berpikir berulang kali membeli coklat yang kerap ia dapatkan dari teman lain berbentuk hampers di hari perayaan. Setidaknya ia bisa mencicipi tanpa harus membeli. Ia memiliki banyak pengeluaran, termasuk mementingkan kebutuh
Senyum Agnes tertarik perlahan seiring makanan yang sudah ia cicipi tertelan sempurna. Kedua ibu jari mengacung, memberikan tanda hebat pada tim memasak. “Komposisi yang sangat tepat! Menu yang kalian buat sudah lebih dari ekspektasi saya.” “Saya berharap klien baru ini akan jatuh cinta pada masakan kalian semua.” Tepuk tangan penuh kebahagiaan tersugesti pada Agnes. Ia ikut bertepuk tangan, memeriahkan dapur luas tersebut yang berisi divisi Food Production, terdiri dari lima senior dan dua junior. Tidak ada senioritas karena dari awal kedatangan Agnes dan melihat divisi lain. Mereka semua layaknya keluarga yang saling mendukung, tidak sungkan untuk menerima kritik dan tetap selaras, menyeimbangkan pemikiran dari banyak pegawai masing-masing. Di antara mereka, memang masih ada yang memiliki sikap keras kepala, tidak bisa memosisikan diri dengan baik. Setidaknya biarkan saja itu berlaku untuk Agnes. Ia selalu ingin timnya bekerja dengan baik dan saling mengasihi seperti saudara di
Agnes menahan nyeri di dalam hatinya. Ia menyembunyikan tatapan nanar lewat sorot angkuh, membalas Gerald dengan tegas. Ia sudah cukup jauh menjalani hidup sendirian dan tanpa kehadiran Gerald pun, Agnes bisa melakukan semua sampai akhir. “Berhenti membawa Irvin ke dalam permasalahan kita, Gerald. Aku nggak pernah mau berurusan dengan kamu lagi, termasuk hal sefatal ini. Apa kamu berpikir Irvin akan menyukai kehadiran kamu?” Sorot manik hitam Gerald menatap Agnes tegas. “Aku nggak bisa memberikan jawaban karena belum membuat interaksi dengan dia. Tapi aku akan berusaha untuk memberikan perhatianku sebagai pembuktian.” Perempuan itu mendengkus dan membuang pandangan sesaat. Gerald terlalu percaya diri untuk setiap ucapannya. “Mungkin ini permainan baru kamu untuk menghancurkanku, iya, kan? Nggak mudah untuk membangun sebuah keluarga sekalipun itu sandiwara. Ada hal lain yang pasti ingin kamu lakukan secara diam-diam.” Agnes kembali menatap Gerald dengan senyum miring. “Kamu pasti