Nada suaranya sengaja dibuat melembut, dengan tatapan penuh arti yang membuat Hazel semakin jengkel. Ia tahu Nick sedang memainkan permainan ini—menekan batas kesabarannya.
“Jangan panggil aku seperti itu,” desis Hazel. “Dan kau bukan satu-satunya orang di lokasi syuting. Semua kru menunggumu.”
Nick meneguk wine-nya perlahan, seolah sengaja ingin membuat Hazel semakin frustrasi. “Mereka bisa menunggu. Aku bintang utamanya, bukan?”
Hazel menarik napas dalam-dalam. Ia tidak akan membiarkan Nick menang. Dengan cepat, ia mengambil remote AC dan menurunkan suhunya ke tingkat paling dingin.
Nick mengernyit. “Apa yang kau lakukan?”
Hazel menatapnya tanpa ekspresi. “Kau bisa bersantai di sini, atau bersiap dan menyelesaikan pekerjaanmu. Pilihannya ada padamu.”
Nick menatap Hazel selama beberapa detik sebelum akhirnya mendecak kesal. “Baiklah, baiklah. Aku akan bersiap.”
Hazel berbalik, menyembunyikan senyum kecil di wajahnya. Jika Nick ingin bermain permainan ini, maka ia juga bisa ikut bermain.
Dan ia tidak akan kalah.
Nick akhirnya berdiri, menghempaskan gelas wine ke meja dengan sedikit kasar. “Kau benar-benar menyebalkan, Hazel.”
Hazel hanya menatapnya, ekspresinya tetap tenang. “Itu pekerjaanku.”
Nick berjalan melewatinya, menuju kamar untuk berganti pakaian. Hazel menghela napas lega. Setidaknya kali ini ia menang. Tapi ia tahu, ini baru awal dari pertempuran panjangnya dengan pria itu.
Sambil menunggu, Hazel melirik jam tangannya. Waktu sudah mepet, dan jika Nick tidak segera bersiap, mereka akan terlambat ke lokasi syuting. Ia menggigit bibir, mempertimbangkan untuk kembali mendesaknya, tapi sebelum sempat bergerak, suara Nick terdengar dari dalam kamar.
“Aku butuh lima menit lagi,” ucapnya santai.
Hazel menutup mata sesaat, mengendalikan rasa frustrasi. Lima menit versi Nick bisa berarti sepuluh atau bahkan lima belas. Namun, sebelum ia bisa mengeluarkan protes, pria itu sudah muncul kembali—kali ini dengan kemeja putih yang dibiarkan terbuka dua kancing teratas dan celana panjang hitam yang membuatnya terlihat lebih santai, tapi tetap menawan.
Hazel langsung membuang pandangannya. Tidak ada gunanya terpengaruh dengan penampilan Nick. Ia hanya seseorang yang harus Hazel tangani, tidak lebih.
“Sudah puas menatapku?” goda Nick sambil merapikan lengan kemejanya.
Hazel mendengus, lalu berbalik. “Ayo berangkat.”
Nick terkekeh, tapi tidak membantah. Ia mengikuti Hazel keluar dari apartemen dan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu.
Di perjalanan, Hazel sibuk mengecek jadwal Nick di iPadnya, memastikan semua sudah diatur dengan baik. Tapi di tengah keseriusannya, Nick tiba-tiba bersuara.
“Kau masih menyukaiku, ya?”
Hazel hampir menjatuhkan iPadnya. Ia menoleh dengan tatapan tajam. “Apa?”
Nick menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Hazel dengan seringai jahil. “Kau terlalu sibuk mengawasi setiap gerak-gerikku, seolah aku ini sesuatu yang sangat berharga bagimu.”
Hazel menghela napas panjang. “Aku sibuk karena ini pekerjaanku, Nick.”
“Tentu saja.” Nick terkekeh, tapi Hazel bisa menangkap sesuatu di balik nada suaranya—sesuatu yang sulit diartikan.
Ia memilih diam dan kembali fokus pada pekerjaannya. Tak peduli seberapa keras Nick mencoba mengusiknya, Hazel tidak akan terjebak dalam permainan ini.
Namun, ia sadar satu hal.
Nick tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan reaksi darinya. Dan itu berarti, Hazel harus lebih waspada.
Perjalanan menuju lokasi syuting terasa lebih panjang dari biasanya. Hazel berusaha mengabaikan keberadaan Nick di sebelahnya, tapi pria itu terus mengamati wajahnya, seolah menunggu reaksinya.
Setelah beberapa menit dalam diam, Nick akhirnya membuka mulut. “Kau sudah berapa lama tidak menjalin hubungan, Hazel?”
Hazel menegang, tapi tidak menoleh. “Itu bukan urusanmu.”
Nick tertawa pelan. “Jadi, selama empat tahun terakhir kau hanya sibuk bekerja?”
Hazel tidak menjawab.
“Apa karena aku?” Nick menyeringai, menikmati permainan ini.
Hazel mengeraskan rahangnya, berusaha menahan emosi. Ia tidak akan membiarkan Nick memancingnya. Ia hanya akan menjawab seperlunya.
“Apa kau selalu begini dengan manajermu yang lain?” tanyanya dingin.
Nick terkekeh. “Tentu tidak. Kau spesial.”
Hazel membuang napas kasar. Ia bisa merasakan Nick menikmati setiap detik percakapan ini, menikmati bagaimana ia berusaha menahan kesabarannya.
Ketika mobil akhirnya berhenti di depan lokasi syuting, Hazel langsung membuka pintu tanpa menunggu sopir. Ia ingin segera menjauh dari pria itu sebelum emosinya benar-benar meledak.
Namun, Nick dengan santainya mengikuti di belakangnya, masih dengan seringai jahil di wajahnya. “Jangan terlalu tegang, Hazel. Aku hanya bercanda.”
Hazel berhenti tiba-tiba, membuat Nick hampir menabraknya. Ia berbalik, menatap pria itu dengan tajam.
“Dengar, Nick. Aku di sini sebagai manajermu, bukan yang lain. Jadi, berhenti memainkan permainan ini. Aku tidak tertarik,” ucapnya tegas.
“Pantas kelihatan lebih fit, ya,” Clara menyuap makanannya dengan gaya anggun. “Manajer yang profesional memang harus jaga stamina.”Nick mengunyah perlahan, mulai melirik ke Hazel yang diam-diam memutar bola matanya.Clara kembali bersuara, kali ini menoleh ke Nick. “Tadi adegan kita bagus, ya? Kayaknya yang barusan tuh yang terbaik sejauh ini.”Nick mengangguk, lalu mengunyah tanpa komentar. Tapi Clara tidak berhenti.“Aku suka banget chemistry kita. Gak nyangka masih bisa sekuat itu walau udah lama gak kerja bareng.”Hazel menurunkan sendoknya perlahan, menatap makanan di depannya seolah mencari kesabaran dari butiran nasi.Nick mulai merasa kikuk. “Iya, tadi bagus. Tapi ya, semua karena bimbingan sutradara juga,” katanya sambil melirik Hazel, seakan mencari persetujuan diam-diam.Clara hanya tertawa kecil. “Tapi kalau bukan karena kamu yang jadi lawan mainku, aku gak yakin bisa segitu maksimalnya.”Hazel menghela napas pelan, lalu berdiri, menyisihkan nampannya. “Aku ke mobil dulu
Suasana sempat hening beberapa saat. Sampai akhirnya, Nick kembali bersuara.“Pundakku pegal,” gumamnya.Hazel menoleh sekilas, lalu tersenyum simpul. “Kau ingin dipijat?”Tatapan Nick langsung mengarah padanya, jenaka dan penuh arti. “Sangat ingin,” jawabnya dengan nada menggoda.Hazel tertawa pelan, lalu menyipitkan mata curiga. “Tatapan macam apa itu, huh?”Nick mengangkat alis. “Tatapan penuh harapan.”“Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu, Tuan Aktor,” ujar Hazel, meletakkan cup minumannya ke atas meja dan beringsut mendekat ke belakang tubuh Nick.Ia mengulurkan tangan, mulai memijat bahu pria itu perlahan. Sentuhannya lembut, namun cukup kuat untuk membuat Nick mendesah lega.“Ah… itu enak,” ucap Nick dengan mata terpejam. “Kalau kamu tidak jadi manajer, kamu bisa buka tempat pijat.”Hazel mencubit pelan bahunya. “Berani-beraninya.”Nick hanya terkekeh, membiarkan dirinya dimanja. Suasana begitu tenang, hanya ada suara nafas mereka dan desiran angin dari sela jendela.Beberapa m
Pagi itu, suasana di apartemen Hazel sedikit lebih sibuk dari biasanya. Dua koper besar sudah berjejer di dekat pintu, dan Hazel tampak memeriksa satu per satu isi tasnya sambil menggigit bibir bawah. Nick duduk di sofa sambil memainkan kunci mobil, memperhatikan Hazel dengan ekspresi geli.“Zel, kita cuma pergi empat hari, bukan pindahan rumah.”Hazel melirik tajam. “Empat hari di lokasi syuting bisa terasa kayak sebulan. Dan aku nggak mau ketinggalan apa pun.”Nick mengangkat tangan, menyerah. “Baiklah, Komandan Hazel.”Hazel menghela napas lalu mendekat, duduk di samping Nick. “Aku cuma pengin semuanya lancar. Ini project penting buat kamu. Dan buat aku juga.”Nick menoleh, memegang dagunya pelan. “Dan aku lebih tenang kalau kamu di sana.”Hazel tersenyum, lalu berdiri kembali untuk memastikan segala dokumen kontrak dan rundown jadwal sudah di dalam tas. Nick mengikuti dari belakang, menyeret koper sambil bersiul pelan.Beberapa menit kemudian, mereka sudah turun ke parkiran bawah
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
Dengan langkah kokoh, Nick membawanya menuju sofa, tempat mereka jatuh bersama dalam gelak tawa kecil yang meledak di sela-sela desahan.Nick membaringkan Hazel perlahan di atas sofa, seakan memperlakukannya seperti sesuatu yang sangat berharga. Matanya menatap dalam ke arah Hazel, seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar keinginan mereka berdua.Hazel menarik napas dalam, ujung jemarinya menyusuri rahang Nick dengan lembut.Nick memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh di dadanya. Ia menunduk, mencium kening Hazel dengan penuh hormat, lalu turun ke pelipis, pipi, hingga akhirnya menangkap bibir Hazel lagi dalam ciuman yang jauh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.Tangannya merayapi punggung Hazel, membangunkan sensasi yang menggetarkan setiap pori-porinya. Hazel mengangkat tangannya, membenamkannya ke rambut Nick, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka benar-benar menghilang.Nick mencium sepanjang garis rahang Hazel, lalu turun ke lehernya, men
Nick tersenyum miring, ada kilatan nakal di matanya."Kalau aku bilang aku mau libur dua hari ini bareng kamu, gimana?"Hazel mengerutkan kening, membuang wajahnya ke samping untuk menyembunyikan rona panas di pipinya. "Nick, seriuslah."Nick tertawa pelan. "Aku serius, Hazel. Dua hari ini, aku butuh recharge. Tapi, kurasa yang paling bikin aku semangat itu kalau kamu ada."Hazel menghela napas, berusaha tetap tegar walau jantungnya berdebar tak karuan."Kau butuh tidur, bukan membuat masalah baru."Nick mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Mungkin tidurku akan lebih nyenyak kalau tahu kamu nggak menjauh."Hazel memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata sambil menghela napas."Aku akan tetap profesional, Nick. Sampai kapan pun."Nick tersenyum kecil, ekspresinya sulit terbaca."Aku tahu. Tapi itu tidak menghentikan aku berharap lebih."Hazel terdiam, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangan, melihat sekeliling yang mulai sepi."Besok, aku akan kirimkan detail jadwal kebe