Terdengar tawa kecil dari Noah.
“Itu artinya kau kini memiliki tantangan baru?”
Lift terbuka. Hazel melangkah masuk, menekan tombol menuju lantai dasar. Ponselnya masih menempel di telinga.
“Ya, aku rasa begitu,” diiringi dengan helaan napas berat.
Hazel menyandarkan punggung ke dinding lift. “Aku hanya berharap ini tidak menjadi keputusan yang kusesali nanti.”
“Dengar, tidak ada keputusan yang benar-benar sempurna. Yang penting, kau bisa kembali ke industri ini dan membuktikan dirimu lagi.”
Dentingan lembut terdengar saat lift sampai di lantai dasar. Hazel melangkah keluar, menggenggam ponselnya erat.
“Ya, aku akan membuktikannya,” ucapnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
*
Hari pertama Hazel sebagai manajer Nick seharusnya berjalan lancar, namun pria itu justru sengaja mempersulit pekerjaannya.
“Kau tidak berubah, Hazel.”
Hazel menutup mata sejenak, menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik. Nick bersandar santai di sofa ruang tunggu, mengenakan kaus putih polos dan celana jeans hitam. Senyum miringnya begitu familiar—senyum yang dulu bisa membuatnya jatuh, tapi kini hanya memicu rasa kesal.
“Aku di sini untuk bekerja, Nick. Jadi, tolong jangan buat segalanya sulit,” ujar Hazel dengan nada datar.
Nick mengangkat alis, tampak terhibur dengan ketegasan Hazel.
“Sulit? Aku hanya menjalani hariku seperti biasa. Kalau kau merasa ini sulit, mungkin kau yang terlalu serius.”
Hazel mengepalkan jemarinya di samping tubuhnya. Sejak pagi, Nick sudah membuat pekerjaannya berat—datang terlambat ke lokasi syuting, mengabaikan jadwal yang ia susun, bahkan dengan santai menghilang tanpa memberi kabar. Dan sekarang, pria itu bertindak seolah tidak bersalah.
“Kau seharusnya sudah di set sejak satu jam lalu,” kata Hazel tegas. “Semua kru menunggumu.”
Nick bangkit dari sofa dengan gerakan lambat, mendekati Hazel dengan langkah santai. Tatapannya tajam, penuh sesuatu yang sulit diartikan.
“Jadi kau masih sama seperti dulu, ya?” gumamnya. “Selalu menuntut, selalu ingin semuanya berjalan sesuai kehendakmu.”
Hazel menahan napas, berusaha menjaga emosi. Ia menatap Nick tanpa gentar. “Aku hanya menjalankan tugasku sebagai manajermu.”
Nick terkekeh. “Kau yakin? Aku pikir kau masih mencoba mengendalikan hidupku seperti dulu.”
Perut Hazel terasa mual mendengar nada mengejek itu. Ia tidak ingin terjebak dalam permainan Nick. Ini pekerjaannya, dan ia harus tetap profesional.
“Lima menit. Kalau kau tidak ada di set dalam lima menit, aku akan pastikan kontrakmu dengan Orion Entertainment tidak diperpanjang,” kata Hazel dingin, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.
Nick menyipitkan mata, menatap punggung Hazel yang menjauh. Senyum tipis muncul di wajahnya.
“Permainan baru saja dimulai,” gumamnya pelan.
*
Hazel menjatuhkan tasnya ke sofa begitu memasuki apartemennya. Tubuhnya langsung ambruk di atas tempat tidur tanpa melepas sepatu. Rasanya seperti baru saja melewati satu hari penuh pertempuran.
Menghadapi Nick benar-benar menguras energinya. Setiap ucapan, setiap gerakan pria itu terasa seperti ujian kesabaran. Nick bukan hanya sengaja datang terlambat ke set, tapi juga menolak mengikuti instruksi dengan berbagai alasan konyol.
Hazel menutup matanya sejenak, membiarkan pikirannya melayang. Seharusnya ia sudah menduga hal ini. Bekerja dengan Nick tidak akan pernah mudah.
Namun, ia tidak akan menyerah. Tidak setelah semua yang telah ia lalui.
Ponselnya bergetar di meja samping tempat tidur. Hazel mengulurkan tangan, mengintip layar. Sebuah pesan masuk dari Noah.
Noah: Masih hidup?
Hazel menghela napas sebelum mengetik balasan.
Hazel: Baru saja mati, tapi sekarang bangkit lagi.
Tidak sampai satu detik, balasan masuk.
Noah: Bagus. Karena besok pertarungan masih panjang.
Ya, besok pertarungan masih panjang. Dan ia harus siap.
*
Pukul lima pagi, Hazel sudah berada di depan Apartemen Nick. Udara masih dingin, dan langit baru saja mulai berubah warna.
Ia menekan bel apartemen Nick sekali. Tidak ada jawaban.
Dua kali. Tetap sunyi.
Hazel menghela napas panjang. Ia sudah menduga ini akan terjadi. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia menekan bel dengan brutal.
“Nick, jadwalmu padat hari ini. Kita harus segera berangkat,”
Hazel berkata tegas.
Namun, tidak ada jawaban.
Hazel menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu sekali lagi.
“Jangan mulai bersikap seperti ini. Kita tidak punya banyak waktu.”
Masih sunyi.
Kesabarannya mulai menipis. Ia mendorong pintu, yang ternyata tidak dikunci. Begitu masuk, Hazel mendapati Nick duduk santai di sofa, mengenakan jubah mandi, sementara segelas wine tergeletak di meja.
“Pagi yang indah, bukan?”
Nick tersenyum santai, seakan lupa bahwa ia memiliki jadwal padat.
Hazel mengepalkan tangan.
“Nick, kau harus bersiap sekarang. Syuting dimulai tiga puluh menit lagi.”
Nick hanya mengangkat bahu.
“Aku butuh waktu untuk rileks sebelum bekerja. Kau tidak keberatan, kan, sayang?”
“Pantas kelihatan lebih fit, ya,” Clara menyuap makanannya dengan gaya anggun. “Manajer yang profesional memang harus jaga stamina.”Nick mengunyah perlahan, mulai melirik ke Hazel yang diam-diam memutar bola matanya.Clara kembali bersuara, kali ini menoleh ke Nick. “Tadi adegan kita bagus, ya? Kayaknya yang barusan tuh yang terbaik sejauh ini.”Nick mengangguk, lalu mengunyah tanpa komentar. Tapi Clara tidak berhenti.“Aku suka banget chemistry kita. Gak nyangka masih bisa sekuat itu walau udah lama gak kerja bareng.”Hazel menurunkan sendoknya perlahan, menatap makanan di depannya seolah mencari kesabaran dari butiran nasi.Nick mulai merasa kikuk. “Iya, tadi bagus. Tapi ya, semua karena bimbingan sutradara juga,” katanya sambil melirik Hazel, seakan mencari persetujuan diam-diam.Clara hanya tertawa kecil. “Tapi kalau bukan karena kamu yang jadi lawan mainku, aku gak yakin bisa segitu maksimalnya.”Hazel menghela napas pelan, lalu berdiri, menyisihkan nampannya. “Aku ke mobil dulu
Suasana sempat hening beberapa saat. Sampai akhirnya, Nick kembali bersuara.“Pundakku pegal,” gumamnya.Hazel menoleh sekilas, lalu tersenyum simpul. “Kau ingin dipijat?”Tatapan Nick langsung mengarah padanya, jenaka dan penuh arti. “Sangat ingin,” jawabnya dengan nada menggoda.Hazel tertawa pelan, lalu menyipitkan mata curiga. “Tatapan macam apa itu, huh?”Nick mengangkat alis. “Tatapan penuh harapan.”“Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu, Tuan Aktor,” ujar Hazel, meletakkan cup minumannya ke atas meja dan beringsut mendekat ke belakang tubuh Nick.Ia mengulurkan tangan, mulai memijat bahu pria itu perlahan. Sentuhannya lembut, namun cukup kuat untuk membuat Nick mendesah lega.“Ah… itu enak,” ucap Nick dengan mata terpejam. “Kalau kamu tidak jadi manajer, kamu bisa buka tempat pijat.”Hazel mencubit pelan bahunya. “Berani-beraninya.”Nick hanya terkekeh, membiarkan dirinya dimanja. Suasana begitu tenang, hanya ada suara nafas mereka dan desiran angin dari sela jendela.Beberapa m
Pagi itu, suasana di apartemen Hazel sedikit lebih sibuk dari biasanya. Dua koper besar sudah berjejer di dekat pintu, dan Hazel tampak memeriksa satu per satu isi tasnya sambil menggigit bibir bawah. Nick duduk di sofa sambil memainkan kunci mobil, memperhatikan Hazel dengan ekspresi geli.“Zel, kita cuma pergi empat hari, bukan pindahan rumah.”Hazel melirik tajam. “Empat hari di lokasi syuting bisa terasa kayak sebulan. Dan aku nggak mau ketinggalan apa pun.”Nick mengangkat tangan, menyerah. “Baiklah, Komandan Hazel.”Hazel menghela napas lalu mendekat, duduk di samping Nick. “Aku cuma pengin semuanya lancar. Ini project penting buat kamu. Dan buat aku juga.”Nick menoleh, memegang dagunya pelan. “Dan aku lebih tenang kalau kamu di sana.”Hazel tersenyum, lalu berdiri kembali untuk memastikan segala dokumen kontrak dan rundown jadwal sudah di dalam tas. Nick mengikuti dari belakang, menyeret koper sambil bersiul pelan.Beberapa menit kemudian, mereka sudah turun ke parkiran bawah
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
Dengan langkah kokoh, Nick membawanya menuju sofa, tempat mereka jatuh bersama dalam gelak tawa kecil yang meledak di sela-sela desahan.Nick membaringkan Hazel perlahan di atas sofa, seakan memperlakukannya seperti sesuatu yang sangat berharga. Matanya menatap dalam ke arah Hazel, seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar keinginan mereka berdua.Hazel menarik napas dalam, ujung jemarinya menyusuri rahang Nick dengan lembut.Nick memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh di dadanya. Ia menunduk, mencium kening Hazel dengan penuh hormat, lalu turun ke pelipis, pipi, hingga akhirnya menangkap bibir Hazel lagi dalam ciuman yang jauh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.Tangannya merayapi punggung Hazel, membangunkan sensasi yang menggetarkan setiap pori-porinya. Hazel mengangkat tangannya, membenamkannya ke rambut Nick, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka benar-benar menghilang.Nick mencium sepanjang garis rahang Hazel, lalu turun ke lehernya, men
Nick tersenyum miring, ada kilatan nakal di matanya."Kalau aku bilang aku mau libur dua hari ini bareng kamu, gimana?"Hazel mengerutkan kening, membuang wajahnya ke samping untuk menyembunyikan rona panas di pipinya. "Nick, seriuslah."Nick tertawa pelan. "Aku serius, Hazel. Dua hari ini, aku butuh recharge. Tapi, kurasa yang paling bikin aku semangat itu kalau kamu ada."Hazel menghela napas, berusaha tetap tegar walau jantungnya berdebar tak karuan."Kau butuh tidur, bukan membuat masalah baru."Nick mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Mungkin tidurku akan lebih nyenyak kalau tahu kamu nggak menjauh."Hazel memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata sambil menghela napas."Aku akan tetap profesional, Nick. Sampai kapan pun."Nick tersenyum kecil, ekspresinya sulit terbaca."Aku tahu. Tapi itu tidak menghentikan aku berharap lebih."Hazel terdiam, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangan, melihat sekeliling yang mulai sepi."Besok, aku akan kirimkan detail jadwal kebe