Kembali menjadi manajer bukanlah pilihan bagi Hazel Elizabeth. Tapi ketika Orion Entertainment menawarkan posisi sebagai manajer pribadi Nicholas Alexander, idola legendaris yang tak tertandingi, Hazel terpaksa menerima. Dia tak pernah menyangka pekerjaan ini hanyalah jebakan Nick, mantan pacar kontraknya, untuk menghidupkan kembali hubungan mereka yang penuh luka. Di tengah gemerlap panggung hiburan, dendam lama, cinta yang tak terungkap, dan konflik karier bertabrakan dalam sebuah kisah yang menantang batas antara profesionalitas dan hati.
View More"Kami tidak bisa mempertahankan kamu lagi, Hazel."
Kata-kata itu menghantam Hazel seperti petir di siang bolong.
"Apa maksud Anda?" suaranya serak, tapi ia berusaha tetap tegar.
Mr. Graham menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Zhe Entertainment tidak bisa lagi menoleransi tindakan tidak profesional yang kamu lakukan."
Hazel mengerutkan kening, kebingungan.
"Tidak profesional?" ulangnya. "Apa memangnya yang aku lakukan?"
Ruangan terasa semakin sempit. Tatapan beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu terasa menusuk, namun tidak ada satu pun yang berani menatap matanya secara langsung. Mereka hanya menunduk, seakan tidak ingin terlibat.
"Banyak keluhan yang masuk terkait cara kerja kamu. Beberapa artis mengaku kamu menyulitkan proses produksi, bahkan tidak memberikan dukungan yang mereka butuhkan," lanjut Mr. Graham.
Hazel terbelalak.
"Itu tidak masuk akal! Aku bekerja lebih keras dari siapa pun di sini!"
"Kami sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Keputusan ini final, Hazel."
Tangan Hazel mengepal di sisi tubuhnya. Ada sesuatu yang janggal. Semua tuduhan itu tidak berdasar. Tidak ada masalah dalam pekerjaannya, tidak ada konflik besar yang ia ciptakan. Tapi kenapa—
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka.
Seseorang masuk dengan langkah santai, senyum tipis tersungging di bibirnya.
Kevin.
Hazel membeku. Dadanya sesak melihat pria itu berdiri di ambang pintu dengan ekspresi puas.
"Oh, apakah aku terlambat?" ucap Kevin dengan nada dibuat-buat.
Hazel menatapnya dengan tajam, rahangnya mengeras.
"Ini ulahmu, kan?"
Kevin tertawa kecil, melangkah lebih dekat.
"Jangan menatapku seperti itu, Hazel. Aku hanya memberikan sedikit ‘bantuan’ agar semuanya berjalan lebih lancar."
"Kau melakukannya karena aku menolakmu?" suara Hazel rendah, nyaris bergetar menahan emosi.
Sebagai manajer artis yang sukses dan ambisius di Zhe Entertaiment. Hazel memiliki prinsip teguh untuk menjaga profesionalitas dan selalu menolak ajakan hubungan intim dengan artis yang dikelolanya. Namun ia tidak pernah menyangka, penolakan itu justru berakibat fatal.
Kevin mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya rendah dan tajam.
"Aku hanya memastikan kau belajar satu hal penting, Hazel. Dunia ini bukan tempat bagi orang yang sok suci sepertimu."
Hazel mengepalkan tangannya semakin erat.
"Aku bersumpah, Kevin. Aku akan membalas ini."
Kevin hanya tertawa sinis, seolah ancaman Hazel tidak lebih dari angin lalu. Ia mendekat, membiarkan aroma parfumnya yang mahal memenuhi ruang di antara mereka.
"Kau sudah jatuh, Hazel. Kau hanya belum menyadarinya."
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Kevin melirik sekilas sebelum kembali tersenyum tipis.
"Sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberi tahu sesuatu."
Hazel tidak suka firasat buruk yang mulai menjalar di dadanya.
"Apa maksudmu?"
Dengan santai, Kevin membalikkan layar ponselnya ke arah Hazel. Di sana, terpampang sebuah berita eksklusif:
"Kevin Nathaniel Resmi Bergabung dengan Naila Grace Management!"
Jantung Hazel seolah berhenti berdetak.
Naila Grace.
Nama yang paling tidak ingin ia lihat.
Bukan sekadar pesaing biasa, Naila adalah rival terberat Hazel di industri ini. Licik, ambisius, dan tidak pernah bermain bersih.
Hazel mendongak, menatap Kevin penuh kebencian.
"Apa hanya karena dia wanita yang mudah kau ajak tidur?"
Kevin tertawa, sama sekali tidak tersinggung.
"Oh, Hazel. Kau masih sama seperti dulu. Terlalu emosional."
Hazel melangkah maju, nyaris mencengkeram kerah jasnya.
"Jawab aku, Kevin!"
Kevin menurunkan suaranya hingga hanya Hazel yang bisa mendengar.
"Kau benar. Dia jauh lebih... menyenangkan dibandingkan kau. Kau seharusnya belajar untuk lebih fleksibel."
Hazel merasakan darahnya mendidih. Ia memilih untuk keluar dari ruangan yang menyesakkan itu. Langkahnya beriringan dengan degup jantung yang bergebu.
***
Hari-hari berlalu, tetapi Hazel menolak untuk terpuruk. Ia berusaha bangkit dan mencari pekerjaan baru di industri hiburan. Namun, hal itu tidak semudah yang ia bayangkan. Reputasi buruk yang diciptakan Kevin dan Naila menyebar dengan cepat, membuat banyak orang mulai meragukan profesionalismenya.
“Maaf, Hazel. Tapi kami tidak bisa menerimamu.”
Hazel menatap pria di hadapannya dengan rahang mengatup rapat. Ini adalah kali ketiga ia mendengar kata-kata serupa dalam satu bulan terakhir.
“Bolehkah aku tahu alasannya?” suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.
Pria itu—seorang eksekutif dari salah satu agensi hiburan ternama—menghela napas, jelas tidak nyaman.
“Kami hanya… tidak ingin mengambil risiko. Reputasimu sekarang cukup… rumit.”
“Pantas kelihatan lebih fit, ya,” Clara menyuap makanannya dengan gaya anggun. “Manajer yang profesional memang harus jaga stamina.”Nick mengunyah perlahan, mulai melirik ke Hazel yang diam-diam memutar bola matanya.Clara kembali bersuara, kali ini menoleh ke Nick. “Tadi adegan kita bagus, ya? Kayaknya yang barusan tuh yang terbaik sejauh ini.”Nick mengangguk, lalu mengunyah tanpa komentar. Tapi Clara tidak berhenti.“Aku suka banget chemistry kita. Gak nyangka masih bisa sekuat itu walau udah lama gak kerja bareng.”Hazel menurunkan sendoknya perlahan, menatap makanan di depannya seolah mencari kesabaran dari butiran nasi.Nick mulai merasa kikuk. “Iya, tadi bagus. Tapi ya, semua karena bimbingan sutradara juga,” katanya sambil melirik Hazel, seakan mencari persetujuan diam-diam.Clara hanya tertawa kecil. “Tapi kalau bukan karena kamu yang jadi lawan mainku, aku gak yakin bisa segitu maksimalnya.”Hazel menghela napas pelan, lalu berdiri, menyisihkan nampannya. “Aku ke mobil dulu
Suasana sempat hening beberapa saat. Sampai akhirnya, Nick kembali bersuara.“Pundakku pegal,” gumamnya.Hazel menoleh sekilas, lalu tersenyum simpul. “Kau ingin dipijat?”Tatapan Nick langsung mengarah padanya, jenaka dan penuh arti. “Sangat ingin,” jawabnya dengan nada menggoda.Hazel tertawa pelan, lalu menyipitkan mata curiga. “Tatapan macam apa itu, huh?”Nick mengangkat alis. “Tatapan penuh harapan.”“Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu, Tuan Aktor,” ujar Hazel, meletakkan cup minumannya ke atas meja dan beringsut mendekat ke belakang tubuh Nick.Ia mengulurkan tangan, mulai memijat bahu pria itu perlahan. Sentuhannya lembut, namun cukup kuat untuk membuat Nick mendesah lega.“Ah… itu enak,” ucap Nick dengan mata terpejam. “Kalau kamu tidak jadi manajer, kamu bisa buka tempat pijat.”Hazel mencubit pelan bahunya. “Berani-beraninya.”Nick hanya terkekeh, membiarkan dirinya dimanja. Suasana begitu tenang, hanya ada suara nafas mereka dan desiran angin dari sela jendela.Beberapa m
Pagi itu, suasana di apartemen Hazel sedikit lebih sibuk dari biasanya. Dua koper besar sudah berjejer di dekat pintu, dan Hazel tampak memeriksa satu per satu isi tasnya sambil menggigit bibir bawah. Nick duduk di sofa sambil memainkan kunci mobil, memperhatikan Hazel dengan ekspresi geli.“Zel, kita cuma pergi empat hari, bukan pindahan rumah.”Hazel melirik tajam. “Empat hari di lokasi syuting bisa terasa kayak sebulan. Dan aku nggak mau ketinggalan apa pun.”Nick mengangkat tangan, menyerah. “Baiklah, Komandan Hazel.”Hazel menghela napas lalu mendekat, duduk di samping Nick. “Aku cuma pengin semuanya lancar. Ini project penting buat kamu. Dan buat aku juga.”Nick menoleh, memegang dagunya pelan. “Dan aku lebih tenang kalau kamu di sana.”Hazel tersenyum, lalu berdiri kembali untuk memastikan segala dokumen kontrak dan rundown jadwal sudah di dalam tas. Nick mengikuti dari belakang, menyeret koper sambil bersiul pelan.Beberapa menit kemudian, mereka sudah turun ke parkiran bawah
Setelah mandi dan berganti pakaian santai, Hazel menemukan Nick sudah berada di dapur, berdiri di depan kompor dengan celemek bergambar kartun ayam yang terlalu kecil untuk tubuhnya.Hazel tertawa pelan sambil menyandarkan diri di pintu dapur. “Serius, Nick? Celemek itu kelihatan seperti milik anak TK.”Nick menoleh dengan bangga. “Hey, ini yang kupinjam dari lemari bawah wastafel. Aku tidak tahu isinya lucu begini.”Hazel berjalan mendekat, mengangkat ujung celemek itu. “Atau kamu memang sengaja pilih ini biar aku makin jatuh cinta?”“Kalau itu berhasil, aku akan pakai celemek ini setiap hari,” jawab Nick sambil mengedipkan mata.Hazel duduk di stool dekat meja dapur, memperhatikan Nick membalik pancake dengan gaya yang terlalu dramatis—dan tentu saja, pancake itu malah terlempar ke lantai.Nick mematung.Hazel menahan tawa, lalu tertawa terbahak. “Pancake terbang! Kamu harusnya daftar ke pertunjukan sirkus.”Nick menunjuk Hazel dengan spatula. “Jangan remehkan keahlianku. Itu cuma p
Dengan langkah kokoh, Nick membawanya menuju sofa, tempat mereka jatuh bersama dalam gelak tawa kecil yang meledak di sela-sela desahan.Nick membaringkan Hazel perlahan di atas sofa, seakan memperlakukannya seperti sesuatu yang sangat berharga. Matanya menatap dalam ke arah Hazel, seolah ingin memastikan sekali lagi bahwa ini benar-benar keinginan mereka berdua.Hazel menarik napas dalam, ujung jemarinya menyusuri rahang Nick dengan lembut.Nick memejamkan mata sejenak, menahan gemuruh di dadanya. Ia menunduk, mencium kening Hazel dengan penuh hormat, lalu turun ke pelipis, pipi, hingga akhirnya menangkap bibir Hazel lagi dalam ciuman yang jauh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.Tangannya merayapi punggung Hazel, membangunkan sensasi yang menggetarkan setiap pori-porinya. Hazel mengangkat tangannya, membenamkannya ke rambut Nick, menariknya lebih dekat, membuat jarak di antara mereka benar-benar menghilang.Nick mencium sepanjang garis rahang Hazel, lalu turun ke lehernya, men
Nick tersenyum miring, ada kilatan nakal di matanya."Kalau aku bilang aku mau libur dua hari ini bareng kamu, gimana?"Hazel mengerutkan kening, membuang wajahnya ke samping untuk menyembunyikan rona panas di pipinya. "Nick, seriuslah."Nick tertawa pelan. "Aku serius, Hazel. Dua hari ini, aku butuh recharge. Tapi, kurasa yang paling bikin aku semangat itu kalau kamu ada."Hazel menghela napas, berusaha tetap tegar walau jantungnya berdebar tak karuan."Kau butuh tidur, bukan membuat masalah baru."Nick mendekat sedikit, menurunkan suaranya. "Mungkin tidurku akan lebih nyenyak kalau tahu kamu nggak menjauh."Hazel memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata sambil menghela napas."Aku akan tetap profesional, Nick. Sampai kapan pun."Nick tersenyum kecil, ekspresinya sulit terbaca."Aku tahu. Tapi itu tidak menghentikan aku berharap lebih."Hazel terdiam, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangan, melihat sekeliling yang mulai sepi."Besok, aku akan kirimkan detail jadwal kebe
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments