“Jadi, Aldrich...” Suara berat Bastian terdengar dari telepon, bercampur antara bingung dan terkejut. "Kau CEO HC Group?"
"Benar, Pak Bastian," jawab Aldrich dengan santai, namun suaranya memancarkan dominasi. "Dan Valerie sekarang bekerja sebagai sekretaris saya. Sangat berbakat sekali putri Anda." Valerie, yang duduk di seberang meja, hampir tersedak napasnya. Sejenak, hanya ada keheningan di ujung telepon. Kemudian Bastian tertawa lega. "Baiklah kalau begitu. Saya senang dia tidak bekerja di tempat sembarangan." Setelah percakapan selesai, Aldrich menyerahkan ponsel Valerie kembali. Namun, senyum kecil di wajahnya penuh dengan ejekan terselubung. "Kau tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Valerie." Valerie memicingkan matanya, mencoba menahan kekesalannya. Dengan nada berbisik tajam, ia menjawab, "Pak Aldrich, Anda tidak seharusnya ikut campur!" "Oh?" Aldrich menyandarkan punggungnya dengan santai ke kursi, tatapannya tajam namun penuh permainan. "Jadi, ini rahasia? Dan siapa pria yang ingin dijodohkan denganmu?" "Itu bukan urusan Anda!" Valerie menukas, suaranya bergetar oleh kemarahan. Wajahnya mulai memerah, menandakan emosi yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Aldrich tersenyum tipis, seperti predator yang baru saja menemukan kelemahan mangsanya. "Ah, jadi itu sebabnya kau kabur ke Paris?" tanyanya, suaranya begitu tenang, namun ada nada mengejek yang tidak bisa disembunyikan. Valerie tertegun, tubuhnya membeku sesaat. Pertanyaan itu seperti tamparan tak terduga. "Bagaimana Anda tahu?" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. Matanya membesar karena keterkejutan, ketegangan merambat melalui tubuhnya. Aldrich mengangkat bahu dengan santai. "Aku punya cara, Valerie. Informasi itu murah, tapi sering kali sangat berguna. Apalagi tentang orang yang bekerja denganku," katanya, nadanya seperti pisau yang diayunkan perlahan. Valerie mengepalkan jemarinya, kuku-kukunya menekan telapak tangannya untuk menahan rasa gemetar. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, berusaha mengembalikan kendali dirinya. "Tentu, Anda mungkin tahu sesuatu," katanya, suaranya lebih stabil. "Tapi jangan pernah berpikir Anda tahu segalanya tentang saya." Setelah meninggalkan ruangan Aldrich, siangnya, Valerie, berjalan terburu-buru membawa dokumen penting untuk pria itu, dia tidak memperhatikan seorang staf yang mendorong troli berisi cangkir-cangkir kopi panas. Dalam hitungan detik, tabrakan tak terelakkan. Cangkir-cangkir itu melayang ke udara, dan Valerie hanya bisa menyaksikan dengan horor saat salah satu cangkir menumpahkan isinya ke kemeja putih Aldrich. "Astaga!" Valerie berseru panik. "Saya tidak sengaja! Maaf, Pak Aldrich!" Aldrich berdiri, menatap kemejanya yang basah kuyup, sebelum mendongak dengan ekspresi datar. "Valerie..." "Saya akan mengganti kemeja Anda! Saya akan beli yang baru!" Valerie buru-buru menawarkan, nyaris kehilangan akal. Namun alih-alih menjawab, Aldrich mulai membuka kancing kemejanya. Valerie langsung memalingkan wajah. "Pak Aldrich! Jangan buka baju di sini!" katanya, setengah berteriak. Aldrich mengangkat bahu santai. "Kalau begitu, bagaimana aku bekerja dengan kemeja basah?" Valerie terdiam sejenak, lalu tergagap, "Saya... saya akan ambilkan jaket dari ruang kerja Anda!" Ia melarikan diri dengan wajah merah padam, meninggalkan Aldrich yang hanya tertawa kecil di belakangnya. Setelah insiden ketumpahan kopi di lobi, sorenya, seorang staf mendatangi Valerie dengan wajah cemas. "Nona Valerie, maaf mengganggu. Ada seorang pria tua di lobi yang ingin bertemu dengan bos kita." "Pria tua?" Valerie mengernyit. "Dia bilang dia ayah Anda," jawab staf itu ragu. Jantung Valerie hampir melompat ke tenggorokan. "Apa? Ayah saya?" "Iya, dan dia ingin bertemu dengan Tuan Aldrich." Firasat buruk langsung merambati pikiran Valerie. Ia segera bergegas menuju ruang Aldrich. Saat tiba, pintu ruangan itu sudah setengah terbuka. Dari celahnya, Valerie melihat ayahnya duduk di sofa dengan anggun, mengenakan jas mahal yang ia tahu khusus dipakai untuk pertemuan penting. "Ayah?" Valerie masuk dengan langkah terburu-buru. "Apa yang Ayah lakukan di sini?" Bastian menoleh, menatap putrinya dengan tatapan tajam tetapi lembut. "Apa lagi kalau bukan memastikan keadaanmu? Dan tentu saja, bertemu dengan... calon suamimu.” "Suami?!" tanya Valerie setengah berteriak, matanya bergantian memandang ayahnya dan Aldrich. "Siapa? Ayah bercanda, kan?" Bastian tampak puas melihat keterkejutan putrinya. "Aldrich adalah pria pilihan Ayah. Dia memiliki segalanya—karier, karakter, dan reputasi yang baik." Valerie memutar tubuhnya ke arah Aldrich, tatapannya tajam. "Anda tahu soal ini?" Aldrich mengangkat bahu santai. "Aku tahu sejak awal. Ayahmu sudah membahas ini denganku sebelum kau melamar ke sini." Kemarahan Valerie memuncak. "Jadi ini jebakan? Ayah sengaja menjodohkan aku dengan bosku tanpa memberitahuku?" "Jebakan?" Bastian menatapnya datar. "Kau sendiri yang melamar ke sini, Nak. Ayah hanya ingin memastikan masa depanmu baik." Valerie tertawa sinis. "Masa depan yang baik? Ayah tahu aku tidak setuju dengan perjodohan!" "Kau mungkin tidak setuju sekarang, tapi kau akan mengerti nanti," balas Bastian mantap. Valerie mendengus, berbalik ke Aldrich. "Kau sama saja. Aku berhenti!" Aldrich yang tadinya diam kini berbicara dengan nada serius. "Berhenti? Silakan saja." Ia mengangkat dokumen kontraknya. "Tapi kau harus membayar penalti lima ratus juta." Valerie membeku. Setelah menatap tajam keduanya, ia berkata dengan nada penuh tekad, "Baiklah. Jika kalian pikir bisa mengatur hidupku, kita lihat saja. Aku tidak akan kalah." Dengan langkah cepat, ia keluar dan membanting pintu keras-keras. Di dalam, Bastian menatap Aldrich dengan penuh harap. "Kau bisa menjinakkannya, kan?" Aldrich tersenyum kecil. "Tentu saja. Putri Anda adalah tantangan paling menarik yang pernah kutemui."“Aku tahu ini telat,” ucap Aldrich perlahan, suaranya rendah dan penuh makna. Jemarinya menggenggam tangan Valerie semakin erat. “Tapi aku ingin memberikanmu sesuatu yang spesial setiap saat.”Valerie sempat mengerutkan dahi, namun tak lama kemudian ia membeku saat Aldrich menunduk dan mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya. Sebuah kotak beludru berwarna abu-abu muda, dengan detail jahitan halus di tepinya. Tangannya yang biasanya begitu tenang kini sedikit bergetar saat membuka kotak itu di depan Valerie.Di dalamnya, bersemayam sebuah cincin berlian yang tampak begitu memukau. Cincin itu terbuat dari platinum murni yang ramping namun kokoh, memeluk sebuah batu berlian berbentuk cushion cut sebesar dua karat. Berlian itu bening seperti tetesan embun pagi, dengan kilauan yang tampak menari-nari di bawah cahaya lampu gantung butik. Di sekeliling berlian utama, terhampar barisan pavé diamond kecil yang mengelilinginya seperti bintang-bintang yang menjaga pusat semesta. Setiap de
Sementara itu, di luar ruang ganti, Aldrich duduk menunggu di kursi panjang berlapis velvet. Tangan kirinya menggenggam cangkir teh camomile yang perlahan mendingin. Matanya menatap pintu ruang ganti tanpa berkedip. Dan ketika pintu itu perlahan terbuka, waktu terasa melambat.Valerie melangkah keluar dengan perlahan dan gugup, kepalanya sedikit tertunduk sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatap Aldrich.Melihat pemandangan itu, langkah Aldrich pun terhenti. Ia reflek berdiri dari duduknya.“Cantik sekali,” gumamnya. Matanya menatap Valerie seolah tak percaya. Napasnya tercekat, lalu terhembus pelan. “Sayang…”Valerie memegangi sisi gaunnya dengan gugup. Tatapan Aldrich benar-benar seperti menelanjanginya. “Ini terlalu berlebihan ya? Aku kelihatan—”“Kau luar biasa!” potong Aldrich cepat, nyaris seperti kilat. “Seolah semua hal indah yang pernah kubayangkan tak ada artinya dibandingkan saat melihatmu sekarang.”Valerie menunduk, pipinya merona. “Kau selalu saja berkata manis sa
Cuaca siang itu cerah, langit biru bersih tanpa awan, dan semilir angin menyusup dari sela jendela mobil yang sedikit dibuka. Valerie duduk di kursi penumpang depan, mengenakan gaun midi berwarna gading dan cardigan tipis, sementara Aldrich menyetir dengan satu tangan di kemudi, satu tangan lain menggenggam tangan Valerie di pangkuannya.Setelah sarapan hangat bersama orang tua Valerie tadi, keduanya pun berangkat menuju butik langganan yang dimaksud oleh Bunda Valerie.“Aku masih belum percaya semua ini nyata,” gumam Valerie, menatap jendela sambil menyaksikan pepohonan pinggir jalan melesat perlahan.Aldrich menoleh sekilas, senyumnya lembut. “Kalau ini mimpi, aku harap kita tidak pernah bangun.”Valerie menahan tawa kecil. “Berhenti bersikap seperti tokoh pria di drama Korea, Aldrich.”Aldrich memasang wajah pura-pura tersinggung. “Tapi aku lebih tampan dari mereka, kan?”Valerie menjawab dengan tatapan malas yang penuh cinta. “Hmmm. Kau lumayan.”Aldrich mencibir, detik berikutny
“Tumben nih.” Suara berat Bastian terdengar di ambang pintu pantry, langkahnya santai namun penuh rasa ingin tahu. Hidungnya langsung diserbu aroma manis dari pie susu yang masih hangat, bercampur wangi pahit kopi yang baru diseduh.Bunda Valerie yang sejak tadi berdiri di samping putrinya itu pun langsung menoleh sambil tersenyum. Ia mengusap lengan Valerie sebentar, lalu menghampiri suaminya. Dengan gerakan lembut dan penuh kebiasaan lama, ia mengecup singkat bibir Bastian sebelum pria itu duduk di meja makan.“Selamat pagi, sayang.”“Selamat pagi matahariku, cintaku, sayangku, belahan jiwaku.” Bastian membalas. Membuat Valerie mencibir. Sementara dua pasangan itu hanya mengabaikan Valerie. “Princess kecil kita sudah dewasa, sayang. Dia membuatkan kopi dan kudapan untuk Aldrich.” goda sang Bunda penuh arti.Valerie yang sedang membawa nampan berisi dua cangkir kopi dan dua teh chamomile itu pun, menoleh sambil mencibir ringan. “Bunda…” rengeknya.Bastian mengerutkan dahi, mengam
Valerie terbangun dengan perlahan. Cahaya lampu tidur temaram menyorot siluet seorang pria yang tertidur di sisi tempat tidurnya, duduk di lantai beralaskan karpet tebal.Aldrich.Valerie tersenyum kecil. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, lalu membelai pelan rambut Aldrich yang sedikit berantakan.“Terima kasih…” bisiknya lembut, penuh rasa syukur yang tak bisa ditampung kata-kata.Aldrich bergerak pelan. Kelopak matanya terbuka, lalu ia mengucek matanya sambil menarik napas dalam.“Hm… jam berapa sekarang?” suaranya serak.Valerie melihat sekilas jam di dinding. “Sudah hampir jam empat,” jawabnya lembut.Aldrich menatap wajah Valerie dalam remang cahaya. “Kau bangun?” tanyanya pelan.Valerie mengangguk, lalu menyandarkan punggung ke punggung ranjang. “Awalnya nggak, tapi kupikir ada yang memandangiku terus.” Ia menoleh dengan senyum menggoda. “Ternyata kau.”Aldrich tertawa pelan. “Maaf. Aku cuma tak bisa tidur. Tadinya, aku cuma mau melihat kau sebentar. Tapi, kayaknya malah ketiduran
Suara langkah kaki yang menyusuri lantai marmer terdengar pelan, berpadu dengan dengung lembut dari lift pribadi di ujung lorong. Valerie berjalan di depan, sesekali ia menoleh untuk memastikan Aldrich mengikutinya. Pria itu tampak lelah, tetapi tidak kehilangan pesonanya. Ada gurat puas di wajahnya, seolah setiap tetes peluh yang ia keluarkan hari itu sepadan karena kini ia bisa melihat wanita yang dicintainya tersenyum di bawah cahaya malam.Lift berhenti di lantai dua. Pintu terbuka pelan dan keduanya keluar ke lorong luas dengan karpet empuk warna gading. Valerie berjalan ke sebuah pintu yang ada di seberang kamarnya, lalu membuka perlahan.“Ini kamarmu. Kau harus beristirahat sekarang,” ucap Valerie. Suaranya lembut tapi sedikit terdengar berat. Matanya menatap Aldrich dalam-dalam, seolah ada bagian dari dirinya yang enggan berpisah malam ini.Aldrich tidak langsung masuk. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Valerie yang masih berdiri mematung di depan pintu kamarnya sendiri. W
Aldrich tak sabar ingin segera mengabari Valerie. Dalam perjalanan pulang, setelah membuka kaca jendela, membiarkan angin dingin masuk, ia menatap buah kecil yang ditaruhnya di tisu di kursi depan. Lalu dengan sebelah tangan mengetikkan pesan untuk Valerie. Aldrich :Aku berhasil mendapatkannya.Valerie :Hah? Kamu beneran dapat?!!!Aldrich :Langsung dari pohonnya. Satu biji. Tapi ini… buat kamu dan si kecil.Valerie :Aku nangis.Aldrich :Jangan. Nanti buahnya asin.Valerie terkekeh sambil memeluk guling. Pipinya memanas. Ada geli yang menjalari perut, tapi juga sesak hangat yang menyeruak dari dalam dada. Matanya berkaca-kaca, tak jelas apakah itu karena tertawa atau karena haru.Setelah menggelapkan layar ponselnya dan menaruh ke meja kecil disamping tempat tidur, perlahan, ia pun menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tenggelam dalam lembutnya selimut dan bantal-bantal empuk. Kepalanya menengadah ke langit-langit kamar.Senyum tipis terukir di wajahnya.Tangannya terangkat, menepu
Aldrich menatap mall di depannya sekilas, sebelum masuk ke dalamnya. Beberapa mata langsung tertuju pada Aldrich, bahkan, secara terang-terangan menatap lapar ke arah pria itu. Aldrich tidak peduli, dia acuh. Kaki panjangnya langsung melangkah mantap memasuki supermarket di dalam mall tersebut. Bergegas menuju bagian buah impor dan lokal.“Maaf, Mas,” ucap Aldrich mencegat petugas yang baru saja meletakkan keranjang buah di sisi pojok. Petugas itu menoleh dan tersenyum sopan. “Iya, Mas? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Aldrich mengangguk, lalu menatap cepat ke sekeliling. “Saya mau nyari buah mundu atau jawura. Di bagian mana ya?” “Mundu? Jawura?” petugas itu mengulangi pertanyaan Aldrich seolah itu mantra asing. “Mohon maaf, kami nggak ada stok itu.”Aldrich mengelus rambutnya, frustrasi. “Oh ya? Terima kasih, Mas.”“Sama-sama, mas. Mari, permisi.”Menghela nafas panjang, Aldrich keluar dari mall, berdiri di bawah lampu jalan yang mulai redup, menatap layar ponsel.Pukul 20.0
Valerie tertawa. “Astaga… aku ingat sedikit. Ayah sempat nangis juga, ya?”“Iya, sambil bilang, ‘Anakku sudah bisa kabur dari rumah!’” ujar Bunda menirukan suara Bastian dengan gaya dramatis, dan mereka berdua meledak dalam tawa.Halaman demi halaman Valerie buka, menemukan momen-momen kecil yang dulu hanya kabur dalam ingatan: waktu ia nyasar di taman belakang dan ditemukan tidur di bawah pohon mangga, saat menangis karena balon ulang tahunnya meletus, atau saat mencoret-coret dinding dengan krayon lalu menyalahkan “kucing tetangga.”“Aku… beneran dulu segemas ini ya Bun?” Valerie mencubit pipinya sendiri.“Gemes banget, sampai bikin Bunda takut kamu cepat besar dan ninggalin Bunda,” ucap Bunda sambil mengelus rambut Valerie.Valerie diam sejenak, menatap satu foto lama. Itu adalah fotonya dan Jennifer, masih berseragam sekolah, tersenyum sambil memegang bunga matahari yang mereka tanam bersama.Wajah Valerie perlahan berubah. Tangannya menyentuh foto itu sejenak, lalu cepat-cepat me