Ryan Alexander Blackwell duduk di balik meja kayu mahoni besar di kantornya, sejenak terdiam menatap layar laptop yang berpendar. Pekerjaan menumpuk di hadapannya, tetapi pikirannya terus melayang, tertuju pada tunangannya, Michaela. Suara benda yang jatuh dari seberang telepon tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, menciptakan rasa cemas yang tak bisa diabaikan.
Dia mengerutkan kening, mengingat percakapan singkat mereka beberapa menit lalu. Michaela mengatakan dia akan singgah di sebuah toko sebelum pulang, dan suaranya terdengar biasa saja, tenang seperti biasanya. Namun, di detik terakhir, sebelum panggilan terputus, ada suara keras yang tiba-tiba muncul—seperti suara ponsel yang jatuh ke lantai. Setelah itu, hanya ada keheningan. "Ini hanya perasaanku saja," gumam Ryan kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan pikiran. Tapi, perasaan tak nyaman itu semakin kuat, seperti kabut tebal yang menyesakkan dadanya. Tidak bisa lagi menahan diri, Ryan akhirnya memutuskan untuk bertindak. Dia menekan interkom di sudut meja, suaranya terdengar tegas dan serius. "Cole, datang ke ruanganku sekarang." Tak butuh waktu lama, pintu kantor Ryan terbuka dengan lembut, dan Cole, asisten pribadinya yang setia, masuk dengan langkah cepat. Pria berpenampilan rapi itu selalu siap siaga, apapun yang Ryan butuhkan. Matanya tajam, mencerminkan ketenangan dan efisiensi yang selalu bisa diandalkan. "Ada apa, Tuan Blackwell?" tanya Cole sambil mendekat ke meja, nada suaranya penuh hormat. Ryan mengangkat pandangannya, menunjukkan kekhawatiran yang selama ini jarang terlihat di wajahnya. "Aku baru saja berbicara dengan Michaela di telepon. Dia sedang berada di toko kecil, tapi tiba-tiba ada suara aneh, seperti sesuatu jatuh, dan setelah itu panggilan terputus. Aku tidak bisa menghubunginya lagi. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres." Cole mengerutkan kening, menyadari keseriusan situasi ini. Dia tahu betul betapa Ryan peduli pada Michaela, dan firasat buruk dari Ryan bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. "Aku akan melacaknya sekarang juga," jawab Cole tanpa ragu. Dia segera mengeluarkan ponselnya, menghubungkan perangkat tersebut dengan sistem pelacakan yang sudah sering digunakan untuk urusan bisnis mereka. "Apakah Anda tahu lokasi terakhirnya?" Ryan mengangguk. "Dia bilang dia berada di sebuah toko kecil di dekat distrik pemukiman selatan. Tapi itu saja yang aku tahu." Cole mengangguk dan mulai bekerja dengan kecepatan yang efisien. Jemarinya menari di atas layar ponsel, mengakses jaringan keamanan dan satelit untuk melacak ponsel Michaela. Ryan, sementara itu, berdiri dan mulai mondar-mandir di dalam ruangannya, perasaannya semakin gelisah. "Harusnya tidak butuh waktu lama," kata Cole, matanya tidak lepas dari layar. "Sinyal terakhir dari ponselnya pasti bisa dilacak, dan kita bisa mendapatkan lokasi presisi." Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang tegang. Ryan tak bisa mengalihkan pikirannya dari berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Michaela bukan orang yang mudah cemas, dan dia pasti sudah menghubungi Ryan kembali jika ada masalah kecil sekalipun. Tapi kenyataannya, tidak ada panggilan balik, tidak ada pesan. Hanya keheningan yang mengerikan. "Tuan Blackwell," suara Cole membuyarkan lamunan Ryan. "Aku sudah menemukan lokasinya. Sinyal terakhir dari ponselnya berada di dekat toko di sudut jalan Ravenswood dan Pine. Tapi... sinyalnya tidak bergerak." Ryan menghentikan langkahnya, menatap Cole dengan tatapan tajam. "Apa maksudmu tidak bergerak?" "Sinyal ponsel Michaela tetap berada di satu titik selama beberapa menit terakhir ini. Biasanya itu berarti ponselnya tidak sedang dibawa oleh seseorang, atau mungkin sudah dimatikan," jawab Cole dengan nada hati-hati. Wajah Ryan memucat. "Kita harus pergi ke sana sekarang. Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi." Cole mengangguk, segera mengatur segala sesuatu yang diperlukan. "Aku akan menghubungi tim keamanan kita untuk bersiap-siap. Kita akan segera berangkat." Ryan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Namun, perasaan buruk itu terus menghantui. Michaela adalah segalanya bagi Ryan, dan hanya ada satu pikiran yang memenuhi kepalanya saat ini: dia harus menemukan Michaela, tidak peduli apa pun yang terjadi. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, Cole kembali dengan kabar bahwa mobil dan tim keamanan sudah siap. Ryan tidak membuang waktu, dia segera mengambil jasnya dan berjalan cepat keluar dari kantornya, dengan Cole yang setia mengikutinya dari belakang. Sesampainya di lobi, sebuah SUV hitam sudah menunggu di depan pintu gedung. Beberapa pria berjas hitam, anggota tim keamanan pribadi Ryan, berdiri di dekatnya, siap menerima perintah. Ryan dan Cole langsung masuk ke dalam mobil, dan tanpa kata-kata lebih lanjut, kendaraan itu melaju cepat menuju lokasi yang telah dilacak Cole. Selama perjalanan, Ryan menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, pikirannya dipenuhi berbagai skenario buruk. Dia berdoa dalam hati agar semua ini hanya sekadar firasat yang salah, bahwa Michaela baik-baik saja dan mereka akan menemukannya tanpa masalah. Namun, instingnya mengatakan sebaliknya, dan firasat itu semakin kuat seiring mobil mereka mendekati lokasi yang dituju. "Berapa lama lagi?" tanya Ryan, suaranya penuh tekanan. "Tidak lama lagi, sekitar lima menit," jawab Cole, yang matanya masih terpaku pada peta digital di ponselnya. Ryan mengepalkan tangannya, mencoba menahan ketegangan yang semakin menghimpit dadanya. "Michaela, tunggulah aku," gumamnya pelan, seolah-olah kata-kata itu bisa sampai ke telinga tunangannya. Akhirnya, SUV hitam itu berhenti di tepi jalan yang sepi, tepat di depan toko kecil tempat terakhir kali Michaela terlihat. Ryan keluar dari mobil dengan cepat, matanya langsung mencari tanda-tanda keberadaan Michaela. Namun, yang dia lihat hanyalah pintu toko yang sedikit terbuka dan suasana yang tampak sangat tenang—terlalu tenang. "Dia di sini," bisik Ryan, merasakan dinginnya malam yang tiba-tiba menusuk tulang. Cole dan tim keamanan mengikuti dari belakang, mengawasi sekeliling dengan waspada. Mereka mendekati toko dengan hati-hati, setiap langkah diambil dengan kehati-hatian maksimal. Ryan memimpin, dorongan untuk menemukan Michaela mengalahkan segala rasa takut atau ragu. Saat memasuki toko, Ryan merasa darahnya membeku. Di sudut ruangan, dia melihat ponsel Michaela yang tergeletak di lantai, tepat di tempat yang dilacak Cole sebelumnya. Tapi tidak ada tanda-tanda Michaela. "Hari sial," desis Ryan, matanya memicing tajam. "Dia sudah dibawa pergi." Cole segera mengeluarkan ponselnya untuk memberi tahu tim lain dan meminta bantuan lebih lanjut, sementara Ryan berdiri di tengah toko yang hening, memandang ke arah pintu keluar dengan tatapan penuh tekad. "Temukan dia," perintah Ryan, suaranya dingin dan penuh ancaman. "Siapa pun yang menyentuh Michaela... akan menyesal telah melakukannya." Dengan tekad bulat dan amarah yang membara di dadanya, Ryan bersumpah bahwa dia akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk menemukan tunangannya, dan tidak ada yang bisa menghalangi dia untuk melakukannya. Michaela harus ditemukan—hidup-hidup.Michaela menatap ke luar jendela, melihat jalanan yang semakin sunyi. Mobil yang dikemudikan Max dan temannya melaju dengan kecepatan konstan.Di sampingnya, Max diam, jarang bicara, namun sorot matanya tetap penuh amarah, kecewa, dan kekhawatiran.Michaela merasa berat harus berpisah dengan Ace, tapi situasi ini tidak memberinya pilihan lain."Aku tidak pernah mengira kau akan terlibat sejauh ini, Michaela," Max membuka percakapan, suaranya serak, seperti menahan gejolak emosinya.Michaela hanya diam, menggigit bibir bawahnya. Rasa sakit karena harus meninggalkan Ace masih begitu terasa.Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi rasanya terhalang oleh jarak yang kini memisahkan mereka."Max," ucap Michaela akhirnya, "Ace tidak seperti yang kau pikirkan. Dia hanya mencoba melindungiku."Max menoleh dengan cepat, tatapannya tajam. "Melindungimu? Dengan membawamu pergi tanpa sepengetahuan kami? Dengan mempertaruhkan nyawamu?""Ace tidak bermaksud begitu," jawab Michaela cepat, "Dia han
Jip tua Ace melaju tenang di jalan yang mulai ramai. Di dalam mobil, suasana begitu hening.Michaela sesekali melirik ke arah Ace, tapi tak berani berbicara banyak.Pikirannya berputar, memikirkan banyak hal, terutama tentang perasaannya terhadap pria yang baru saja ia kenal lebih dekat.Ace fokus pada jalanan di depannya, namun sesekali ia melirik Michaela yang tampak resah di sampingnya. Dalam hatinya, ia bisa merasakan perubahan pada gadis itu, meski tak ada yang diucapkan secara terbuka.Michaela akhirnya memberanikan diri berbicara, meskipun ragu. “Ace... Mobil ini, apa tidak pernah terpikir untuk menggantinya dengan yang lebih baru?” tanyanya pelan.Ace menoleh sedikit, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Tidak, mobil ini penuh kenangan. Terlalu berharga untuk diganti.”Michaela terdiam sejenak, mengangguk pelan. Ia memahami, jawaban Ace tak sekadar tentang mobil tua itu, tapi juga tentang betapa dalam pria ini memaknai hal-hal di sekitarnya. Ada ketulusan yang membuatnya semaki
"Dan bagaimana kau bisa berada di sini, Damian?" tanya Ace, suaranya terdengar datar. Matanya menatap Damian tanpa emosi.Damian hanya tertawa kecil, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Michael yang menyuruhku. Dia bilang sedang sibuk dengan urusan penting, jadi dia memintaku menggantikan dia. Lagipula, Ace, kita sudah lama tidak bertemu, bukan? Aku yakin kau pasti merindukanku," katanya sambil tersenyum menggoda.Ace hanya menggelengkan kepalanya pelan, wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan. "Kau selalu saja. Sama sekali tidak berubah," jawabnya, mencoba menahan tawa kecil yang ingin keluar.Damian tersenyum lebar, puas dengan reaksinya. "Kau tahu, Ace, hidup ini terlalu singkat untuk bersikap serius sepanjang waktu," katanya sambil mengangkat bahu.Michaela yang sejak tadi menyaksikan percakapan mereka akhirnya ikut angkat bicara. "Sudahlah, Ace. Kalian tak perlu berdebat. Lebih baik kita kembali sekarang," katanya dengan lembut, mencoba melerai perbincangan mereka.Lalu, dia ber
Michaela mendekat, langkahnya pelan namun penuh keyakinan. "Aku tidak mau pergi," ucapnya dengan suara serak, matanya menatap Ace dengan tegas.Ada getaran dalam suaranya, namun bukan karena takut, melainkan karena perasaan yang mendesak dari dalam dirinya.Ace mengalihkan pandangannya. Ia tahu hatinya telah lama terperangkap oleh gadis ini, tapi tidak pernah berani mengakuinya. "Aku akan mengantarmu," jawabnya pelan, nyaris berbisik, lalu berbalik, mencoba menahan emosi yang berkecamuk.Namun Michaela tak mau menyerah. "Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Ace!" teriaknya, suaranya pecah oleh tekad dan rasa frustrasi.Ace berhenti sejenak. Tubuhnya menegang, dia bisa merasakan kemarahan bercampur dengan ketakutan di balik kata-kata Michaela. Dengan berat hati, ia memutar tubuhnya kembali.Dalam sekejap, Michaela menarik kaos Ace dengan kuat, membuat pria itu terhuyung mendekat. Tanpa memberikan kesempatan untuk protes, Michaela langsung menyambar bibir Ace, menyatukan mereka dalam cium
Ace turun dari jipnya dengan kemarahan yang mendidih. Langkahnya cepat dan tegas saat mendekati rumah tua yang tampak reyot di depannya.Pikirannya hanya terfokus pada satu hal: menyelamatkan Michaela, apapun risikonya.Di dalam rumah, Michaela duduk terikat di kursi kayu, tubuhnya lelah dan tak berdaya. Mulutnya tersumpal kain, membuatnya tak mampu berteriak meskipun keputusasaan menyelimuti dirinya.Para penculik terus berbincang, tertawa, seolah tak ada yang akan menghentikan mereka.“Hahaha, setelah ini, kita akan hidup mewah dengan uang tebusan itu,” ucap Mat, pria bertato, tertawa keras sambil menenggak minuman keras. “Aku akan pergi ke luar negeri dan menikmati hidup dengan gadis-gadis cantik!”Pria lain menimpali dengan tawa kasar. “Aku juga! Sudah lama aku tidak menyentuh tubuh wanita. Mungkin sebelum kita ambil uangnya, gadis ini bisa jadi hiburan.”Michaela mendengar percakapan itu dan hatinya tenggelam dalam ketakutan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, keringat dingin meng
Di dalam mobil yang melaju cepat, suasana penuh dengan aroma keringat dan asap rokok. Seorang pria bertubuh besar, bertato di lengan dan lehernya, duduk dengan angkuh di kursi penumpang depan. Kaos hitam ketat membungkus tubuh kekarnya, sementara kepalanya yang botak bersinar terkena cahaya dari luar.“Hahaha, bagus! Kita akan jadi milyarder sebentar lagi,” ucap pria itu sambil menatap pria lain di sampingnya, yang tengah menenggak minuman keras dari botol plastik.“Kau benar! Tidak sia-sia kita mencarinya. Hahaha, kita akan jadi milyarder!” sahut pria satunya dengan suara serak, botol di tangannya hampir kosong.Di kursi belakang, Michaela meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Tangan dan kakinya terikat erat, dan mulutnya tersumpal kain yang membuat setiap suara protesnya berubah menjadi rintihan tertahan. Wajahnya basah oleh air mata, tubuhnya gemetar tak terkendali. ‘Ace... tolong aku,’ hatinya merintih dalam kesunyian, matanya terpejam mencoba mencari ketenangan di tengah rasa t