Ruang makan itu sama megahnya dan sama dinginnya dengan seluruh bagian rumah ini. Sebuah meja kayu panjang yang dipernis hingga mengilap terbentang di tengah ruangan, mampu menampung puluhan tamu. Namun malam ini, hanya ada dua orang yang duduk di sana, di kedua ujung meja yang berlawanan, dipisahkan oleh jarak yang terasa seperti jurang tak terseberangi. Keheningan menjadi tamu ketiga yang paling dominan.
Para pelayan bergerak tanpa suara, menyajikan hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup dengan efisiensi robotik. Hanya suara denting perak di atas porselen yang memecah keheningan yang canggung. Alina makan dengan perlahan, setiap gigitan terasa hambar di mulutnya. Ia bisa merasakan tatapan Damian padanya dari ujung meja, sebuah pengawasan yang konstan, namun berbeda dari yang ia rasakan di perpustakaan. Ini bukan tatapan yang menyelidik, melainkan tatapan yang mengamati, seolah sedang mempelajari spesimen langka yang baru ia peroleh.
Alina mempertahankan personanya: seorang gadis yang sedikit canggung dengan etiket makan yang kaku, seolah berusaha keras untuk tidak membuat kesalahan. Setiap gerakan garpu dan pisaunya diatur agar terlihat seperti seseorang yang sedang mencoba beradaptasi dengan dunia baru, sebuah penampilan yang ia harap dapat memuaskan ekspektasi Damian terhadapnya.
"Sebagai istri saya, Anda akan memiliki beberapa tanggung jawab," Damian akhirnya membuka suara, nadanya datar dan bisnis. Suaranya memecah keheningan dan membuat Alina sedikit terlonjak sebuah reaksi yang sengaja ia lebih-lebihkan.
Ia meletakkan garpunya dengan hati-hati. "Saya mengerti, Tuan Adhitama."
"Bagus," kata Damian, tampak tidak terkesan dengan responsnya yang penurut. Itu sudah ia duga. "Anda akan menemani saya ke acara-acara perusahaan, pertemuan dengan klien penting, dan tentu saja, acara keluarga. Penampilan Anda harus selalu sempurna. Rendra akan mengatur jadwal Anda dengan seorang penata gaya pribadi besok."
"Baik, Tuan," jawab Alina singkat, menjaga kontak mata seminimal mungkin.
"Acara pertama Anda akan segera tiba." Damian menyesap air dari gelas kristalnya sebelum melanjutkan, jeda itu terasa disengaja untuk membangun antisipasi. "Akhir pekan ini, hari Sabtu, akan ada makan malam keluarga di kediaman utama, rumah kakek saya. Kehadiran kita berdua wajib."
Dunia Alina seakan berhenti berputar sesaat. Kakeknya. Karta Adhitama. Pria di dalam lukisan itu. Otak di balik kehancuran keluarganya. Ia harus bertemu dengannya, duduk satu meja dengannya, dalam waktu kurang dari seminggu. Perutnya terasa mual, dan amarah yang dingin mulai merayap di pembuluh darahnya. Namun, ia menekannya dalam-dalam, menguburnya di bawah topeng kepatuhan yang telah ia siapkan.
Ia mengangkat kepalanya perlahan, kali ini menatap lurus ke arah Damian. Ia tidak akan menunjukkan kelemahan. Sebaliknya, ia akan menunjukkan kegunaannya. "Tentu," jawabnya, suaranya luar biasa stabil. "Agar saya bisa memainkan peran saya dengan baik, apakah ada yang perlu saya ketahui secara spesifik tentang kakek Anda? Preferensinya? Topik yang harus dihindari?"
Pertanyaan yang logis dan profesional itu membuat Damian berhenti sejenak. Alisnya terangkat sedikit, sebuah reaksi yang nyaris tak kentara. Ini adalah retakan pertama di dinding esnya. Ia mengharapkan kegugupan, mungkin sedikit ketakutan, atau pertanyaan-pertanyaan dangkal tentang gaun apa yang harus dipakai. Ia tidak mengharapkan pendekatan strategis dari seorang gadis yang ia anggap sebagai pion. Untuk pertama kalinya malam itu, ia melihat Alina bukan sebagai objek, melainkan sebagai... mitra kerja.
"Kakek saya adalah pria dari generasi tua," jawab Damian, nadanya sedikit berubah, tidak lagi sepenuhnya memerintah, melainkan lebih informatif. Ada sedikit kelelahan di sana. "Hormat dan tradisi adalah segalanya baginya. Dia menghargai wanita yang tahu tempatnya, anggun, dan tidak banyak bicara kecuali ditanya." Setiap kata adalah deskripsi dari semua hal yang dibenci Alina.
"Dia juga orang yang sangat teliti," lanjut Damian, dan kini matanya yang tajam tertuju pada leher Alina, pada liontin bunga matahari yang berkilau samar di bawah cahaya lampu kristal. "Dia akan memperhatikan setiap detail. Pastikan penampilan Anda sempurna. Perhiasan murahan seperti itu tidak akan bisa diterima."
Ini dia. Ujian kedua. Berbeda dengan yang ia bayangkan, Damian tidak melihatnya dengan rasa ingin tahu, melainkan dengan kritik dingin seorang sutradara terhadap properti di lokasi syutingnya. Ini adalah perintah untuk menghilangkan satu-satunya jejak otentik dari dirinya.
Alina menegakkan punggungnya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, tapi karena ia akan melancarkan serangan baliknya yang pertama. Kali ini, ia tidak akan menggunakan topeng kerentanan. Ia akan menggunakan logika, senjata yang mungkin bisa dipahami oleh pria ini.
"Saya akan menjadi istri sempurna yang Anda bayar, Tuan Adhitama," katanya dengan suara yang jelas dan tegas, namun tidak menantang. "Saya akan anggun, saya akan tersenyum, saya akan menjadi bayangan Anda yang menawan. Tapi untuk liontin ini, saya mohon pengertian Anda."
Damian menatapnya, diam, menunggunya melanjutkan.
"Saya rasa," lanjut Alina dengan hati-hati, memilih setiap katanya, "seorang istri yang menunjukkan kesetiaan pada ingatannya sendiri satu-satunya hal yang tersisa darinya akan terlihat lebih meyakinkan dan terhormat di mata seorang tradisionalis seperti kakek Anda. Itu menunjukkan karakter. Itu menunjukkan kedalaman. Itu lebih baik daripada sekadar boneka cantik tanpa jiwa dan tanpa masa lalu, yang bisa menimbulkan pertanyaan darimana Anda 'menemukan'-nya."
Keheningan yang mengikuti kata-katanya terasa berbeda. Bukan lagi canggung, tetapi penuh dengan ketegangan yang berderak. Alina telah membalikkan logikanya, membingkai pembangkangannya bukan sebagai pemberontakan, melainkan sebagai sebuah strategi cerdas untuk keberhasilan misi mereka bersama. Ia tidak berkata 'ini milikku', ia berkata 'ini lebih baik untuk citra kita'.
Damian menatapnya lama, ekspresinya tak terbaca. Alina bisa melihat roda gigi berputar di dalam kepalanya yang cerdas itu. Ia sedang mempertimbangkan argumennya bukan dari sisi emosional, tetapi dari sisi taktis. Dan argumen itu masuk akal. Ini adalah retakan kedua, yang lebih besar, di dinding esnya. Gadis ini bisa berpikir.
Akhirnya, untuk pertama kalinya, sebuah senyum yang tulus meski sangat tipis dan singkat menyentuh bibir Damian. Itu bukan senyum geli, bukan seringai, melainkan sebuah pengakuan. "Argumentasi yang bagus," katanya, suaranya rendah. "Lakukan sesuka Anda. Tapi jika Anda membuat kesalahan dan kakek saya tidak menyukainya, konsekuensinya akan menjadi milik Anda sepenuhnya."
Ia meletakkan serbetnya di atas meja, menandakan bahwa makan malam telah usai. "Selamat malam." Tanpa sepatah kata pun lagi, ia bangkit dan meninggalkan ruangan.
Alina duduk sendirian di meja makan raksasa itu, getaran adrenalin perlahan mereda. Pertarungan mental malam ini menguras tenaganya. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Ia melihat secercah celah pada benteng musuhnya. Pria itu bukan sekadar monster yang kejam, ia adalah seorang ahli strategi yang dingin, dan ia menghargai strategi pada orang lain.
Kembali ke kamarnya, Alina merasa pikirannya berkecamuk. Damian Adhitama sedikit lebih kompleks dari yang ia bayangkan. Hal itu membuat misinya lebih berbahaya, tetapi juga... lebih menarik. Tepat saat ia sedang merenung, seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk membawa sebuah kotak persegi panjang yang ramping.
"Dari Tuan Damian, Nona," kata pelayan itu sebelum meletakkannya di atas meja dan pergi.
Dengan penasaran, Alina membukanya. Di dalamnya, terbungkus beludru hitam, ada sebuah laptop terbaru, tipis, dan sangat canggih, dengan logo Adhitama Corp yang terukir samar di sudutnya. Ada secarik kertas di atasnya.
‘Kau akan butuh ini untuk mempelajari profil tamu dan materi perusahaan yang akan dikirimkan Rendra. Jangan mempermalukan nama Adhitama dengan ketidaktahuanmu.’
Tulisan tangannya tegas dan tajam. Pesannya adalah sebuah perintah, sebuah alat untuk mengendalikannya. Namun, bagi Alina, ini terasa seperti sesuatu yang lain. Ini adalah sebuah pengakuan atas kecerdasan yang baru saja ia tunjukkan. Ini adalah pedang yang diberikan oleh musuhnya. Dan ia akan menggunakannya untuk menusuknya dari belakang.
Rasa bingung yang sesaat itu ia tepis. Tidak peduli apa motif Damian, tidak peduli ada sisi manusiawi atau tidak. Misinya tetap sama. Keadilan untuk keluarganya.
Ia duduk di meja kerjanya yang mewah, membuka laptop baru yang berkilauan itu. Layarnya menyala dengan cerah, menampilkan sistem operasi yang bersih. Jauh di dalam sistem itu, ia tahu ada pelacak dan perangkat lunak keamanan perusahaan. Tapi itu tidak masalah. Ia akan bekerja di sekitarnya.
Jari-jemarinya mulai menari di atas keyboard yang responsif. Ia tidak hanya akan mempelajari materi yang diberikan Rendra. Ia akan menggali lebih dalam. Dengan tekad yang diperbarui, ia mulai menyusun rencananya untuk menghadapi Karta Adhitama, sang patriark.
Pria yang memberinya laptop ini mungkin mulai tertarik padanya, tetapi Alina mengingatkan dirinya sendiri dengan keras. Ketertarikan Damian adalah sebuah gangguan, sebuah potensi kelemahan. Baginya, Damian Adhitama tetaplah target utama, dan setiap interaksi, setiap retakan di dinding esnya, hanyalah data baru yang akan ia gunakan untuk menghancurkannya.
Beberapa hari setelah penemuan di brankas bank, mansion Adhitama berubah menjadi sebuah biara yang sunyi, tempat dua orang penghuninya mengabdikan diri pada sebuah teks suci yang kelam: buku catatan hitam Hendra Larasati. Mereka menghabiskan setiap jam yang memungkinkan di dalam ruang aman, dengan teliti mendigitalkan setiap halaman, setiap transaksi, setiap nama yang tertulis dalam tulisan tangan ayah Alina yang rapi.Proses itu adalah sebuah siksaan bagi Alina. Setiap halaman adalah sebuah pengingat akan pengkhianatan yang dialami ayahnya. Namun, di tengah rasa sakit itu, ada sesuatu yang lain tumbuh. Bekerja berdampingan dengan Damian, membedah data yang rumit hingga larut malam, terasa sangat alami. Mereka bergerak sebagai satu kesatuan, pikiran mereka saling melengkapi. Damian dengan visinya yang strategis dan pemahamannya akan struktur kekuasaan, dan Alina dengan intuisinya yang tajam dan kemampuannya untuk melihat pola-pola manusiawi di balik angka-angka dingin."Lihat ini," ka
Perjalanan keluar dari brankas bawah tanah Bank Swadaya Djakarta terasa seperti proses kelahiran kembali yang menyakitkan. Mereka turun ke dalam sebagai dua individu yang terikat oleh kontrak dan kecurigaan; mereka naik kembali ke permukaan sebagai dua jiwa yang terikat oleh kebenaran yang menghancurkan dan sebuah tujuan bersama yang baru. Pak Suryo menunggu mereka di lobi yang remang-remang, wajahnya penuh dengan pertanyaan yang tak terucap namun terlalu profesional untuk ditanyakan. Ia hanya menatap tas kulit yang kini dibawa oleh Damian—tas yang berisi bom waktu dalam bentuk buku catatan hitam dan sebuah map penuh hantu—lalu mengangguk dengan hormat. "Semoga kau menemukan apa yang kau cari, Damian. Ibumu adalah wanita yang luar biasa." "Dia lebih dari itu, Pak Suryo," jawab Damian pelan. "Terima kasih atas bantuan Anda." Perjalanan pulang ke mansion diselimuti oleh keheningan yang berbeda. Ini bukan lagi keheningan yang canggung atau tegang, melainkan keheningan yang berat dan
Keheningan di dalam ruang lihat yang dingin dan steril itu lebih memekakkan daripada ledakan mana pun. Waktu seakan berhenti. Di atas meja baja, buku catatan hitam yang telah menjadi tujuan akhir dari perburuan mereka selama ini, kini tergeletak begitu saja, terlupakan. Seluruh energi di ruangan itu tersedot ke dalam sebuah map tipis berwarna krem yang terikat pita merah sebuah arsip dari masa lalu yang kini mengancam untuk meruntuhkan masa kini.Alina hanya bisa menatap nanar saat Damian, dengan jari-jari yang tampak kaku dan asing, membuka map itu. Wajah pria itu adalah sebuah topeng pualam yang kosong, namun matanya yang terpaku pada dokumen-dokumen di dalamnya memancarkan badai emosi yang sunyi: ketidakpercayaan, kebingungan, dan rasa sakit yang mulai merayap.Alina merasa dunianya ikut terbalik. Ayahnya, Hendra Larasati, adalah pilar integritas dalam ingatannya. Ibunya, wanita yang ia puja, adalah satu-satunya cinta dalam hidup ayahnya. Namun, di hadapannya ki
Perjalanan kembali ke Jakarta keesokan paginya terasa seperti sebuah misi infiltrasi yang sunyi. Langit yang cerah dan pemandangan Puncak yang hijau berlalu di luar jendela mobil, namun di dalam, Alina dan Damian terbungkus dalam atmosfer yang tegang dan penuh fokus. Tidak ada lagi obrolan ringan atau kenangan melankolis. Setiap kilometer yang mereka tempuh terasa seperti satu langkah lebih dekat ke jantung pertarungan. Harapan kini memiliki wujud fisik: sebuah nomor brankas di sebuah bank.Setibanya di mansion, mereka tidak beristirahat. Damian langsung masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu, dan melakukan satu panggilan telepon yang paling penting. Alina menunggu di ruang keluarga, mondar-mandir di depan lukisan "Gadis di Tengah Badai", jantungnya berdebar-debar seirama dengan jarum jam di dinding.Setelah sekitar lima belas menit, Damian keluar. Wajahnya tenang, namun matanya berkilat dengan energi seorang predator yang telah mengunci targetnya. "Sudah diatur,"
Perjalanan kembali dari perpustakaan kecil di Puncak terasa sangat berbeda dari perjalanan berangkat. Jika sebelumnya udara di dalam mobil dipenuhi oleh gema melankolis dari masa lalu, kini udara itu berderak dengan energi antisipasi yang tajam. Mereka tidak lagi mencari kenangan; mereka sedang dalam perburuan aktif. Kode yang tertera di foto ponsel Damian SDB.J07.C11.H28 terasa seperti detak jantung dari misi mereka, sebuah teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan.Damian tidak langsung membawa mereka kembali ke Jakarta. Prediktabilitas adalah kemewahan yang tidak mereka miliki, terutama dengan asumsi bahwa Karta mungkin mengawasi pergerakan mereka. Atas perintahnya, Rendra telah memesan sebuah vila privat yang terpencil di kawasan Gadog, sebuah benteng sementara yang mewah dengan keamanan tingkat tinggi. Di sanalah, jauh dari potensi mata-mata di mansion Jakarta, mereka akan mencoba membongkar pesan terakhir Hendra Larasati.Vila itu modern dan terisolasi, dikeli
Kabar tentang perpustakaan kecil di Puncak mengubah seluruh energi di dalam mansion Adhitama. Keheningan yang berat dan fokus strategis yang dingin kini digantikan oleh sebuah urgensi yang berderak, sebuah antisipasi yang nyaris tak tertahankan. Mereka telah menemukan sebuah titik di peta harta karun ayah Alina."Kita berangkat sekarang," kata Damian pagi itu, bahkan sebelum Alina sempat menanyakan rencananya. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Ia tidak akan mengirim Rendra atau timnya. Ini adalah sebuah misi yang terlalu personal, terlalu penting untuk didelegasikan.Mereka meninggalkan rumah bukan dengan Mercedes hitam yang biasa, melainkan dengan sebuah SUV mewah yang tidak terlalu mencolok. Damian sendiri yang mengemudi. Ia telah menanggalkan setelan CEO-nya, menggantinya dengan kemeja polo dan celana kasual. Alina pun melakukan hal yang sama, memilih blus sederhana dan celana panjang. Mereka tidak lagi terlihat seperti Tuan dan Nyonya Adhitama yang akan mengha