Share

Ujian Pertama

Author: Ethan Zachary
last update Last Updated: 2025-06-15 23:41:07

Pagi datang menembus celah-celah jendela kamar kos Alina, membawa serta bau debu dan kenyataan yang menusuk. Semalam bukanlah sebuah mimpi surealis. Di atas meja kayunya yang reyot, tergeletak draf kontrak yang telah ia tandatangani. Ponsel tuanya menampilkan notifikasi dari aplikasi perbankan, menunjukkan saldo sebesar lima ratus juta rupiah di rekening darurat yang ia buka beberapa tahun lalu. Angka itu terasa begitu asing, sebuah anomali di tengah kemiskinan yang telah menjadi kulit keduanya selama lima tahun terakhir. Uang darah, pikirnya getir. Uang yang dibeli dengan harga dirinya.

Alina tidak membuang waktu. Dengan gerakan yang efisien dan tanpa emosi, ia mulai berkemas. Prosesnya berlangsung singkat dan menyedihkan, sebuah ringkasan tragis dari kehidupannya. Seluruh harta miliknya beberapa setel pakaian lusuh, seragam kerjanya yang biru pudar, sebuah novel dengan sampul lecek, dan satu-satunya benda berharga, foto kecil berbingkai perak kedua orang tuanya yang tersenyum muat di dalam satu tas ransel tua. Tas itu tampak kecil dan menyedihkan di tengah ruangan yang kosong, sebuah simbol betapa sedikit yang tersisa dari kemegahan Larasati.

Sebelum Rendra datang menjemputnya tepat pukul sembilan, ada satu urusan terakhir yang harus ia selesaikan. Ia mengambil sejumlah uang tunai yang cukup dari dompetnya yang baru terisi, memasukkannya ke dalam amplop putih, lalu berjalan ke ujung lorong dan mengetuk pintu kamar Bu Ratmi.

Pintu terbuka dengan decitan, menampilkan wajah masam sang pemilik kos. "Oh, kamu, Neng. Gimana? Sudah ada uangnya? Kalau tidak, hari ini juga kamu ang"

Kalimat pedas itu terputus saat Alina menyodorkan amplop di tangannya dengan tenang. "Ini, Bu. Uang sewa tiga bulan yang tertunggak. Saya lebihkan sedikit sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengizinkan saya tinggal di sini."

Mata Bu Ratmi membelalak melihat tumpukan lembaran seratus ribuan di dalam amplop. Ia mengambilnya dengan tangan gemetar, menghitungnya cepat dengan tatapan tak percaya. Jumlahnya jauh lebih banyak dari yang ia tagihkan. Wajahnya yang galak seketika berubah menjadi campuran antara kebingungan, kecurigaan, dan sedikit rasa hormat yang dipaksakan.

"Ini… ini dari mana kamu dapat uang sebanyak ini, Neng?" tanyanya, suaranya melunak drastis, matanya menelusuri penampilan Alina dari atas ke bawah. "Kamu tidak melakukan yang macam-macam, kan?"

Alina tersenyum tipis, sebuah senyum dingin yang tidak mencapai matanya. "Saya mendapat pekerjaan baru, Bu. Pekerjaan yang sangat baik. Hari ini saya pindah."

Tepat saat itu, seolah diatur oleh sutradara tak terlihat, sebuah Mercedes-Benz S-Class hitam mengilap berhenti dengan anggun di mulut gang, menyebabkan beberapa tetangga yang sedang bergosip terdiam dan melongo. Rendra melangkah keluar, mengenakan setelan yang harganya lebih mahal dari total biaya sewa seluruh kamar di gedung itu. Ia berjalan mendekat dan berhenti di belakang Alina, mengangguk sopan.

"Nona Larasati, mobil Anda sudah siap," katanya dengan nada formal.

Mulut Bu Ratmi ternganga lebar. Ia menatap Alina, lalu ke Rendra yang seperti agen rahasia, lalu ke mobil mewah yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Otaknya tampak tidak mampu memproses pemandangan tersebut. Alina hanya mengangguk pada wanita itu untuk terakhir kalinya. "Terima kasih atas semuanya, Bu."

Ia berbalik dan berjalan mengikuti Rendra, melewati tatapan-tatapan iri dan bingung para tetangga. Saat ia masuk ke dalam mobil, pintu ditutup dengan bunyi gedebuk yang empuk, meredam seluruh suara dunia lamanya secara instan. Di dalam, hanya ada keheningan, pendingin udara yang sejuk, dan aroma kulit mahal. Portal itu telah tertutup.

Perjalanan itu terasa seperti melintasi sebuah dimensi. Alina menatap keluar jendela, menyaksikan warung-warung reyot, gang-gang sempit, dan kabel-kabel kusut perlahan digantikan oleh butik-butik mewah, jalanan lebar yang dinaungi pepohonan rindang, dan rumah-rumah megah di kawasan Menteng. Ia tidak merasa sedih meninggalkan dunia itu. Ia hanya merasakan kelegaan yang dingin dan hampa. Ia telah melepaskan sauhnya.

Setelah melewati gerbang setinggi tiga meter yang dijaga ketat, mobil menyusuri jalan pribadi yang cukup panjang sebelum berhenti di depan sebuah bangunan yang lebih mirip museum seni modern daripada sebuah rumah. Dindingnya terbuat dari beton ekspos, batu andesit gelap, dan panel-panel kaca raksasa yang memantulkan langit biru. Arsitekturnya tegas, megah, dan sangat dingin. Sama seperti pemiliknya.

Rendra membukakan pintu untuknya. "Selamat datang di kediaman utama Adhitama."

Saat Alina melangkah masuk, ia disambut oleh sebuah lobi dengan langit-langit setinggi dua lantai. Lantai marmer putihnya begitu luas dan kosong hingga setiap langkah kakinya menggema pelan, seolah mengumumkan kedatangan penyusup. Di tengah ruangan, sebuah tangga melayang dengan pegangan kaca tampak seperti instalasi seni. Tidak ada foto keluarga, tidak ada lukisan hangat, hanya ada kekosongan yang berkuasa dan kemewahan yang steril.

Seorang wanita berusia akhir lima puluhan, dengan rambut disanggul cepol ketat tanpa sehelai pun anak rambut yang keluar, berjalan menghampiri mereka. Posturnya tegak lurus, dan seragam abu-abunya tanpa kerut sedikit pun. Matanya tajam dan menilai, seperti seorang sipir penjara.

"Nona Larasati, perkenalkan, ini Bu Marni, kepala pelayan di rumah ini," kata Rendra. "Bu Marni, ini adalah Nona Alina Larasati. Beliau akan tinggal di sini mulai hari ini."

Bu Marni menatap Alina dari ujung rambut hingga ujung kaki, tatapannya berhenti sejenak pada ransel usang di punggung Alina dengan ekspresi jijik yang nyaris tak kentara. Ia mengangguk kaku. "Selamat datang, Nona."

Alina menangkap penekanan pada kata 'Nona', bukan 'Nyonya'. Sebuah penolakan halus. Ia tahu bahwa di mata wanita ini, ia hanyalah orang asing yang beruntung, seorang penyusup. Alina membalasnya dengan senyum tipis yang sopan. "Senang bertemu dengan Anda, Bu Marni."

Setelah Rendra pergi, Bu Marni mengambil alih. "Mari saya tunjukkan kamar Anda dan beberapa bagian rumah yang perlu Anda ketahui." Nadanya efisien dan tanpa kehangatan. Ia memimpin Alina melewati beberapa ruangan yang tampak tak berpenghuni. "Area di ujung koridor sana," kata Bu Marni sambil menunjuk ke sebuah sayap bangunan yang terpisah, "adalah area pribadi Tuan Damian. Kamar tidur, ruang kerja, dan gym pribadi beliau ada di sana. Tidak ada seorang pun yang diizinkan masuk tanpa izin eksplisit dari Tuan. Termasuk Anda." Peringatan itu jelas. Garis batas telah ditarik.

Akhirnya, mereka tiba di sebuah pintu ganda. Bu Marni membukanya, menampakkan sebuah kamar yang membuat Alina menahan napas. Ruangan itu adalah sebuah suite mewah yang lebih besar dari tiga kamar kosnya digabungkan. Tempat tidur ukuran super king, area duduk dengan sofa beludru, balkon pribadi, dan lemari pakaian raksasa.

"Ini kamar Anda," kata Bu Marni. "Pakaian dan semua kebutuhan Anda akan diurus. Rendra telah memberikan daftar ukuran Anda. Makan malam akan disajikan tepat pukul delapan. Tuan Damian tidak suka menunggu." Dengan itu, Bu Marni pergi, meninggalkan Alina sendirian dalam keheningan sangkar emasnya.

Alina meletakkan ranselnya di atas tempat tidur sutra itu. Benda itu terlihat sangat kecil dan dekil. Satu per satu, ia mengeluarkan isinya. Terakhir, ia mengambil bingkai foto orang tuanya. Ia menatap wajah mereka yang tersenyum, merasakan sengatan rindu. Ia meletakkan bingkai itu di meja nakas, satu-satunya sentuhan pribadi di ruangan yang steril itu.

Ia duduk di tepi tempat tidur, merasakan kenyataan menamparnya. Ia berhasil. Ia berada di jantung wilayah musuh. Tapi rasa kemenangan itu bercampur dengan perasaan terisolasi. Rasa gelisah membuatnya tidak bisa diam. Ia harus bergerak, menjelajah, memahami medannya. Melawan perintah Bu Marni, rasa penasaran yang morbid menariknya keluar kamar. Kakinya membawanya ke perpustakaan.

Ruangan itu dipenuhi ribuan buku. Harum kertas tua dan kayu cedar memenuhi udara. Matanya langsung tertuju pada sebuah lukisan potret keluarga berukuran besar yang tergantung dengan megah di atas perapian marmer. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendekat. Di sana, dilukis dengan detail luar biasa, adalah keluarga Adhitama. Damian remaja, ayahnya, ibunya, dan di tengah, sang patriark, Karta Adhitama. Wajah tua licik yang menghantui mimpi buruknya.

Kebencian yang pekat, yang selama ini ia tekan, meluap tak terkendali. Tangannya mengepal di sisinya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasakan dorongan primitif untuk merobek kanvas itu, untuk mencakar wajah-wajah yang tersenyum puas itu. Namun, suara dingin dari dalam dirinya berteriak. 'Kontrol! Akting! Ini ujian pertamamu!'

Ia menarik napas dalam-dalam, memaksa otot-ototnya yang tegang untuk rileks. Ia memaksa kepalan tangannya terbuka. Ia mengangkat kepalanya dan menatap lukisan itu, namun kali ini ia mengubah ekspresinya. Ia membiarkan sedikit kesedihan muncul di matanya, memikirkan foto kecil orang tuanya di kamarnya. Ia membiarkan bahunya sedikit merosot, memproyeksikan aura kesepian, bukan kemarahan.

"Sebuah potret keluarga yang mengesankan."

Suara yang dingin dan tajam itu memecah keheningan. Alina tidak terkejut. Ia sudah merasakan kehadiran seseorang. Ia berbalik perlahan, wajahnya telah menjadi topeng kesedihan yang melankolis.

Di ambang pintu perpustakaan, bersandar dengan santai, berdiri Damian. Ia sudah pulang, lebih awal dari yang diperkirakan. Matanya yang tajam menatapnya, bukan dengan kecurigaan, tetapi dengan rasa ingin tahu yang dingin. Ia tidak melihat kemarahan, ia hanya melihat seorang gadis kesepian yang menatap potret keluarga orang lain.

"Maaf, Tuan," kata Alina dengan suara pelan, seolah baru saja tersadar dari lamunan. "Saya... saya hanya berkeliling sebentar. Rumah ini sangat besar. Lalu saya melihat lukisan ini."

Damian berjalan mendekat, berhenti di sampingnya, matanya ikut menatap lukisan itu. "Itu dilukis lima belas tahun yang lalu. Sebelum semuanya menjadi lebih rumit."

Ada nada aneh dalam suaranya saat mengatakan itu, sesuatu yang tidak bisa dibaca Alina.

"Keluarga Anda terlihat sangat bahagia," kata Alina, sebuah kalimat yang terasa seperti abu di mulutnya. Ia menatap potret Damian remaja yang tampak kaku dan tidak nyaman. "Anda terlihat berbeda."

"Semua orang berubah," jawab Damian singkat. Tatapannya beralih dari lukisan ke wajah Alina. Ia melihat jejak kesedihan di mata gadis itu, sesuatu yang menegaskan kembali keputusannya. Gadis ini rapuh dan sendirian. Aman. "Seharusnya kau tidak berada di sini. Bu Marni sudah memberitahumu area mana saja yang terbatas."

"Maafkan saya," ulang Alina, menundukkan kepalanya. "Saya tidak akan mengulanginya."

Ia telah lulus ujian. Damian sama sekali tidak curiga. Pria itu hanya melihat apa yang ingin ia lihat: seorang gadis malang yang merindukan sebuah keluarga, yang mudah dikendalikan dengan aturan dan batasan.

"Pastikan itu tidak terjadi lagi," kata Damian, nadanya kembali menjadi seorang atasan. "Makan malam jam delapan. Jangan terlambat."

Dengan itu, ia berbalik dan berjalan menuju sayap pribadinya, meninggalkan Alina sendirian di depan lukisan musuhnya. Alina tetap berdiri di sana selama beberapa saat, membiarkan topengnya luruh. Jantungnya masih berdebar, bukan karena takut, tetapi karena adrenalin kemenangan. Ia telah berhadapan dengan singa, dan singa itu hanya melihatnya sebagai seekor domba yang tersesat. Permainan ini akan jauh lebih mudah dari yang ia kira.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    31. Retakan di Fondasi Jiwa

    Keheningan di dalam ruang lihat yang dingin dan steril itu lebih memekakkan daripada ledakan mana pun. Waktu seakan berhenti. Di atas meja baja, buku catatan hitam yang telah menjadi tujuan akhir dari perburuan mereka selama ini, kini tergeletak begitu saja, terlupakan. Seluruh energi di ruangan itu tersedot ke dalam sebuah map tipis berwarna krem yang terikat pita merah sebuah arsip dari masa lalu yang kini mengancam untuk meruntuhkan masa kini.Alina hanya bisa menatap nanar saat Damian, dengan jari-jari yang tampak kaku dan asing, membuka map itu. Wajah pria itu adalah sebuah topeng pualam yang kosong, namun matanya yang terpaku pada dokumen-dokumen di dalamnya memancarkan badai emosi yang sunyi: ketidakpercayaan, kebingungan, dan rasa sakit yang mulai merayap.Alina merasa dunianya ikut terbalik. Ayahnya, Hendra Larasati, adalah pilar integritas dalam ingatannya. Ibunya, wanita yang ia puja, adalah satu-satunya cinta dalam hidup ayahnya. Namun, di hadapannya ki

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    30. Warisan di Dalam Baja

    Perjalanan kembali ke Jakarta keesokan paginya terasa seperti sebuah misi infiltrasi yang sunyi. Langit yang cerah dan pemandangan Puncak yang hijau berlalu di luar jendela mobil, namun di dalam, Alina dan Damian terbungkus dalam atmosfer yang tegang dan penuh fokus. Tidak ada lagi obrolan ringan atau kenangan melankolis. Setiap kilometer yang mereka tempuh terasa seperti satu langkah lebih dekat ke jantung pertarungan. Harapan kini memiliki wujud fisik: sebuah nomor brankas di sebuah bank.Setibanya di mansion, mereka tidak beristirahat. Damian langsung masuk ke ruang kerjanya, menutup pintu, dan melakukan satu panggilan telepon yang paling penting. Alina menunggu di ruang keluarga, mondar-mandir di depan lukisan "Gadis di Tengah Badai", jantungnya berdebar-debar seirama dengan jarum jam di dinding.Setelah sekitar lima belas menit, Damian keluar. Wajahnya tenang, namun matanya berkilat dengan energi seorang predator yang telah mengunci targetnya. "Sudah diatur,"

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    29. Membongkar Sandi Sang Ayah

    Perjalanan kembali dari perpustakaan kecil di Puncak terasa sangat berbeda dari perjalanan berangkat. Jika sebelumnya udara di dalam mobil dipenuhi oleh gema melankolis dari masa lalu, kini udara itu berderak dengan energi antisipasi yang tajam. Mereka tidak lagi mencari kenangan; mereka sedang dalam perburuan aktif. Kode yang tertera di foto ponsel Damian SDB.J07.C11.H28 terasa seperti detak jantung dari misi mereka, sebuah teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan.Damian tidak langsung membawa mereka kembali ke Jakarta. Prediktabilitas adalah kemewahan yang tidak mereka miliki, terutama dengan asumsi bahwa Karta mungkin mengawasi pergerakan mereka. Atas perintahnya, Rendra telah memesan sebuah vila privat yang terpencil di kawasan Gadog, sebuah benteng sementara yang mewah dengan keamanan tingkat tinggi. Di sanalah, jauh dari potensi mata-mata di mansion Jakarta, mereka akan mencoba membongkar pesan terakhir Hendra Larasati.Vila itu modern dan terisolasi, dikeli

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    28. Perjalanan ke Harta Karun Terakhir

    Kabar tentang perpustakaan kecil di Puncak mengubah seluruh energi di dalam mansion Adhitama. Keheningan yang berat dan fokus strategis yang dingin kini digantikan oleh sebuah urgensi yang berderak, sebuah antisipasi yang nyaris tak tertahankan. Mereka telah menemukan sebuah titik di peta harta karun ayah Alina."Kita berangkat sekarang," kata Damian pagi itu, bahkan sebelum Alina sempat menanyakan rencananya. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Ia tidak akan mengirim Rendra atau timnya. Ini adalah sebuah misi yang terlalu personal, terlalu penting untuk didelegasikan.Mereka meninggalkan rumah bukan dengan Mercedes hitam yang biasa, melainkan dengan sebuah SUV mewah yang tidak terlalu mencolok. Damian sendiri yang mengemudi. Ia telah menanggalkan setelan CEO-nya, menggantinya dengan kemeja polo dan celana kasual. Alina pun melakukan hal yang sama, memilih blus sederhana dan celana panjang. Mereka tidak lagi terlihat seperti Tuan dan Nyonya Adhitama yang akan mengha

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    27. Mencari Gema Sang Ayah

    Malam setelah pengakuan Santoso yang menghancurkan, tidur tidak memberikan istirahat, hanya jeda singkat sebelum badai berikutnya. Fajar menyingsing di Jakarta, namun di dalam ruang kerja Damian, suasana terasa seperti tengah malam yang paling kelam. Papan strategi digital mereka kini terasa lebih hidup dan lebih menakutkan, dengan nama Karta Adhitama yang seolah melayang di puncaknya seperti dewa kematian.Konfirmasi atas dalang utama tidak membawa kelegaan, melainkan beban yang lebih berat. Pertanyaan yang kini menggantung di udara di antara Alina dan Damian bukan lagi "siapa", melainkan "bagaimana". Bagaimana cara melawan seorang tiran yang telah membangun kerajaannya di atas fondasi rasa takut dan kerahasiaan selama lima puluh tahun?"Bukti dari Santoso saja tidak cukup," kata Damian pagi itu, suaranya serak karena kurang tidur. Mereka berdua sama-sama tidak kembali ke kamar tidur, melainkan menghabiskan sisa malam di ruang kerja, menganalisis kembali setiap de

  • Sang Pewaris Yang Terlupakan    26. Pengakuan di Ruang Remang

    Ruang konferensi di hotel butik itu terasa dingin dan kedap udara, sebuah vakum yang dengan cepat terisi oleh ketegangan yang pekat. Tuan Santoso duduk membungkuk di seberang meja panjang, keringat dingin membasahi pelipisnya di bawah cahaya lampu yang temaram. Di sampingnya, Tuan Wibowo, pengacara Damian, duduk dengan ketenangan seorang profesional yang sudah terbiasa berurusan dengan orang-orang yang terpojok.Alina duduk di sisi Damian, posturnya tegak, tangannya terkepal di pangkuannya. Anting di telinganya terasa berat, sebuah pengingat akan perannya malam ini: sebagai saksi, sebagai hakim, dan sebagai perekam rahasia.Damian memulai interogasi, bukan dengan gertakan atau ancaman, melainkan dengan ketenangan yang jauh lebih menakutkan. "Santoso," sapanya, suaranya datar. "Kau meminta pertemuan ini. Artinya kau punya sesuatu untuk dijual. Dan aku di sini sebagai pembeli. Jadi, mulailah bicara. Semakin berharga informasimu, semakin tinggi harga yang akan kubayar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status