"Kami cek pembukaan ya, Bu," ujar dokter Ardi yang segera datang setelah dihubungi IGD.
Fara masih melampiaskan rasa sakitnya pada genggaman tangan Shakir. "Pak, istrinya dipandu untuk atur napas ya biar tenaganya gak habis karena kesakitan," pinta seorang perawat yang tengah mempersiapkan peralatan pemeriksaan. Shakir mengangguk. Dia menatap Fara yang tengah memejamkan matanya menahan sakit. Ini genggaman terkuat Fara yang dia rasakan selama mengenal wanita ini. "Sayang," panggilnya sambil mengelap keringat di dahi Fara dengan tangannya yang lain. "Kita napas seperti yang diajarkan Coach Tita, yuk?" Fara masih terpejam menahan sakit, tapi dia mengangguk. Di sela-sela kesibukannya sebagai Direktur Utama, Shakir selalu rutin menemani Fara yoga kehamilan sejak trimester kedua. Pria itu menyimak dengan baik pelajaran yang diberikan Coach Tita karena dia ingin menjadi suami berguna saat istrinya melahirkan. Walaupun pada akhirnya Fara memutuskan ingin melahirkan secara sesar, Shakir tidak pernah absen menemani pelajaran yoga hamil. Hari ini keyakinannya terbukti karena sang anak ternyata ingin lahir secara normal. Istrinya pun tetap bisa ditangani oleh dokter favoritnya. "Tarik napas panjang," ujar Shakir mulai memberi aba-aba. Fara menatap mata Shakir dan mengikuti arahannya. "Buang," ujar Shakir lagi. Dia juga ikut mempraktikkannya untuk memotivasi Fara. Dia terus melakukan hal itu sampai akhirnya dokter Ardi mengambil alih peran Shakir. "Bu, sekarang ikuti arahan saya ya. Tarik napas panjang," ujar sang dokter. Setelah Fara mengikuti arahannya, dokter Ardi segera memeriksa mulut rahimnya. "Ya bagus, buang perlahan," ujarnya memberi arahan lagi. Beberapa detik kemudian, Fara mulai bisa bernapas lega. Dia sudah bisa mengatur napasnya dengan normal dan tidak sepanik sebelumnya. "Masuk pembukaan dua, Bu. Memang sudah terasa sakit karena Bu Fara sempat bilang sama saya kalau Ibu termasuk orang yang toleransi sakitnya minim. Jadi wajar saja jika kontraksi datang, Ibu akan merasa kesakitan," ucap dokter Ardi menjelaskan kondisi Fara. "Berarti bayinya belum bisa lahir sekarang, Dok?" tanya Shakir mewakili Fara yang sibuk mengatur napas sambil menahan sakit. "Kita harus tunggu sampai pembukaan sepuluh, Pak. Untuk anak pertama, jarak antara pembukaan dua sampai sepuluh bisa berlangsung cukup lama. Ada yang hitungan jam, bahkan hari. Biasanya kalau kondisi Ibu stabil dan pembukaan masih awal seperti ini, saya akan suruh pulang dan kembali setelah dirasa kontraksi semakin intens. Namun, karena Bu Fara kondisinya kurang stabil, saya sarankan kita tunggu pembukaan di sini saja. Saya permisi ya, Pak." Shakir mengangguk. Setelah dokter Ardi pergi, dia kembali memfokuskan perhatiannya kepada Fara. Dia mengecup dahi Fara dan meneteskan air mata. "Sayang, masih sakit?" "Masih, tapi lebih baik. Makasih ya." "Aku yang makasih sama kamu, udah mau berjuang untuk anak kita. Maaf udah bikin kamu sakit. Kita punya anak satu aja ya? Aku gak mau lihat kamu sakit kayak gini." Fara tersenyum dan mengangguk. Walaupun hatinya tengah mencibir perkataan Shakir. Dia tidak berniat memiliki anak dengan Shakir. "Aku udah tenang. Kamu kalau mau balik kantor lagi, gak apa-apa. Kamu sibuk, Mas. Besok hari besar kamu." "Aku udah batalin semua jadwal hari ini, Sayang. Beberapa tugas sudah aku delegasikan ke Niko. Jadi, walaupun hari ini aku gak di kantor, pertemuan besok akan tetap berjalan lancar." Fara tersenyum ragu. Dia tidak yakin pada situasi seperti ini, apakah dia boleh merasa senang atau tidak. Semoga setelah dia pergi, Shakir mendapatkan wanita yang tulus juga. Fara mengusap air mata yang hampir menetes karena membayangkan Shakir menggandeng wanita lain. Dia seharusnya tidak begini, pernikahan ini hanya untuk sementara. *** Keesokan paginya, sekitar pukul enam, dokter Ardi kembali lagi. Fara masuk pembukaan tujuh. Perawat mulai mempersiapkan peralatan untuk melahirkan. "Sakit, Mas!" keluhnya dengan nada tinggi sambil menarik lengan kemeja Shakir. Pria itu sama sekali tidak meninggalkan istrinya sejak kemarin. "Iya, Sayang, sabar. Sebentar lagi ya. Ayo, kamu kuat," jawab Shakir sambil mengelus punggung dan pinggang Fara dengan lembut. Sejak beberapa jam yang lalu, Fara meminta Shakir melakukan hal itu. Terkadang dia juga membentak Shakir untuk kesalahan yang tidak pria itu mengerti. Fara berubah menjadi lebih pemarah ketika mengalami kontraksi. Namun, pria itu tidak ingin banyak protes. Fara tengah berada di ambang hidup dan mati. Wajar saja jika dia tidak bersikap seperti biasanya. Ponselnya berdenting, ada panggilan telepon masuk. Sebenarnya dia tidak ingin mengangkat telepon itu. Namun, ketika membaca nama Niko di layar ponselnya, dia merasa perlu mengangkatnya. Dia sedikit menjauhi Fara setelah berpamitan. "Halo, Niko." "Shakir," sapa Niko di seberang telepon. Dia memang meminta Niko memanggilnya tanpa embel-embel apa pun. "Iya. Ada apa?" "Saya sudah di rumah kamu. Bu Sarah bilang, kamu sedang ada di rumah sakit. Rumah sakit mana? Biar saya jemput. Kita harus siap-siap ketemu Pak Omar." "Gak perlu. Fara lagi nunggu pembukaan lengkap, saya gak mungkin ninggalin dia." "Sadar, Shak. Ini Omar Harris yang udah kita incar sejak tahun lalu. Kita gak bisa lepasin gitu aja!" "Jadwalkan ulang, Nik. Saya benar-benar gak bisa ninggalin Fara sendirian." "Bu Sarah bilang dia bakal nemenin Fara lahiran. Beliau lagi siap-siap." "Sekalipun semua kenalan saya mau datang ke sini, saya akan tetep nemenin Fara melahirkan, Niko. Jadwalkan ulang atau tidak sama sekali!" Shakir menyudahi panggilan dari Niko dan menonaktifkan ponselnya. Bertepatan dengan seorang perawat yang bergerak untuk segera memanggil dokter Ardi karena Fara masuk pembukaan delapan. Dia mendekati Fara dan memegang tangan wanita itu. Fara sudah tidak bisa bicara selain meringis kesakitan, mengatur napas, dan mengikuti arahan sang perawat. Shakir mengelus puncak kepala Fara sambil meniup dahinya untuk mengusir peluh yang mulai membasahi kening istrinya. "Aku gak kuat lagi, Mas!" "Kuat, Sayang. Kuat. Aku di sini, nggak ke mana-mana. Cakar aku, Jambak aku, remas tangan aku biar kamu gak terlalu kesakitan." Dokter Ardi muncul beberapa menit kemudian sambil tergopoh-gopoh. Dia segera mengecek lagi mulut rahim Fara. "Oke, sudah lengkap. Ibu Fara, ikuti arahan saya untuk atur napas ya. Rileks, tenang, sebentar lagi kita ketemu si kecil." "Ya, Dok." Shakir menjawab mewakili Fara. "Tarik napas... Ngejan, Bu." Fara mengikuti arahan dokter Ardi. Dia mengejan sekuat tenaga tanpa bersuara. "Benar begitu. Pintar. Ayo lagi!" Fara semakin semangat mengikuti arahan dokter. Dia merasakan bayinya mulai turun ke jalan lahir. "Kepalanya sudah kelihatan, ayo semangat, Bu!" Air mata menetes dari kedua mata Shakir. Sementara Fara masih fokus berjuang untuk mengatur napas dan mengejan. Beberapa menit kemudian, dokter Ardi menarik keluar tubuh bayi dari jalan lahir dan memamerkannya kepada Fara dan Shakir. Saat itulah si jabang bayi menangis dengan sangat kencang. Tangisan yang disambut oleh senyum dan tangis haru Fara serta gelak tawa dari para perawat. "Selamat Ibu Fara, Bapak Shakir, bayinya laki-laki." Shakir tak henti-hentinya mengecup wajah Fara sambil mengucap syukur dan terima kasih kepada wanita itu. Dia lalu mengikuti perawat yang tengah membersihkan bayinya. Fara hanya mampu tersenyum sambil memandangi punggung suaminya. Dokter Ardi berhasil mengeluarkan plasenta si bayi dan menjahit luka robek pada bagian bawah tubuhnya, dibantu oleh seorang perawat lainnya. Dia terlalu lelah untuk memikirkan kemungkinan apa yang akan terjadi setelah ini. Setelah Shakir membatalkan pertemuannya dengan Omar.Dua tahun kemudian…Fara mengajak Shakir dan keluarganya untuk berlibur ke Dieng, Wonosobo. Ini adalah perjalanan pertama keluarga konglomerat itu ke tempat wisata lokal. Biasanya, luar negeri seperti Paris, Belanda, Turki, Amerika yang selalu menjadi pilihan mereka.Fara bersikeras membawa mereka ke Dieng. Dia menjanjikan homestay yang nyaman, pemandangan gunung dan lembah yang memukau, serta udara dingin yang membawa oksigen bersih. Semua diurus oleh wanita itu.Homestay ini terdiri dari dua lantai dan dilengkapi dengan furnitur sederhana. Tidak semahal yang ada di rumah Kelapa Gading, tapi tetep berkualitas baik.Ada juga halaman yang luas di sekitar homestay dan di sana orangtua Shakir sedang menyiapkan barbeque.Attar yang sudah berusia empat tahun, terus menempeli Sarah yang sibuk membantu Ryan. Bocah kecil itu selalu bertanya macam-macam dan tidak akan berhenti bicara sebelum mendapat jawaban yang memuaskan.Sementara Fara baru saja keluar dari kamar mandi. Dia menyembunyikan t
Sidang yang berlangsung beberapa kali selama sekitar tiga bulan akhirnya selesai. Hakim memutuskan Afnan Projects jatuh kembali ke tangan Shakir, begitu pula rumah Kelapa Gading dan harta kekayaan mereka lainnya.Niko diputuskan menjadi tersangka utama dan harus menjalani hukuman selama 15 tahun. Begitu pula Fara dan Sella yang dijatuhi masa percobaan selama dua tahun. Setelah sempat menolak, Sella akhirnya menyerahkan diri ke polisi bersama Fara kala itu.“Fara,” panggil Sarah sambil merangkulnya. Fara tidak bisa membalas pelukan wanita itu karena tangannya di borgol. “Kamu harus kuat di dalam sana,” pesan Sarah sambil mengelus punggungnya.Di balik punggung Sarah, ada Shakir yang tengah menggendong Attar dan Ryan yang sudah kembali berdiri gagah. Ryan maju dan ikut mengelus bahu Fara. Mereka berharap elusan itu mampu mengalirkan energi baik pada menantu mereka.“Iya, Ma,” sahut Fara. “Mama dan Papa jaga kesehatan. Jangan berantem lagi ya.”Sarah yang hampir saja menangis jadi tertaw
Orang pertama yang Shakir hubungi setelah mendapat kabar Fara menghilang adalah Sella. Pria itu menelepon Sella sambil berpegangan pada bahu tukang ojek yang membawanya membelah jalanan Jakarta. Dia harus sedikit berteriak supaya Sella bisa mendengar suaranya.“Please, kasih tahu aku, Tan!” serunya panik ketika Sella memilih bungkam.“Tante sudah janji sama Fara buat gak bilang apa-apa ke kamu. Dia cuma titip pesan supaya kamu bisa hidup bahagia tanpa dia.”Shakir berdecak. “Yang bisa buat aku bahagia cuma Fara, Tan. Tante, Fara belum tentu aman di luar sana tanpa aku. Ada lebih banyak orang jahat di luar sana,” ucap Shakir frustasi.Sella menghela napas. Dia terdiam beberapa beberapa saat, menimbang-nimbang apakah dia harus memberi tahu Shakir atau menuruti permintaan Fara untuk merahasiakan keberadaannya.“Tan? Masih di sana, kan?” tanya Shakir tak sabar karena Sella tak kunjung menjawab.“Kamu serius masih mau sama Fara setelah tau siapa dia sebenarnya?” Sella balik bertanya.“Seri
Omar diadopsi oleh pasangan suami istri dari Jerman saat berusia 10 tahun. Dia langsung diboyong untuk sekolah di sana oleh orang tua angkatnya. Hanya dia yang berhasil diadopsi di antara teman-teman seangkatan di panti asuhannya.Panti asuhan Niko, Omar, dan Fara terbilang kecil dan tidak banyak donatur yang datang. Tidak semua anak akan bernasib baik seperti Omar. Ada lebih banyak anak yang harus menelan kekecewaan karena tak kunjung mendapat orangtua asuh seperti Fara dan Niko.Saat kuliah, Omar memilih kembali ke Indonesia dan satu kampus dengan Fara. Berbeda dengan Omar yang bisa kuliah dengan penuh fasilitas, Fara harus sangat menghemat uang hasil jerih payahnya bekerja paruh waktu supaya bisa membayar kuliah.Teman masa kecil yang akhirnya jatuh cinta. Mereka adalah Fara dan Omar. Hubungan mereka awalnya sangat lancar.Namun, Omar mulai sering tertangkap basah sedang bercumbu dengan teman-teman mereka. Alasannya karena Fara tidak pernah mau diajak melakukan hal itu dengan Omar.
Fara baru saja keluar dari kamarnya sambil menyampirkan handuk di bahunya pada pukul delapan pagi. Tidak seperti rumah Kelapa Gading yang memiliki kamar mandi di setiap kamar tidur, di rumah ini hanya ada satu kamar mandi bersama. Sementara Attar sudah kembali terlelap setelah kenyang minum susu.“Sudah bangun?” tanya Shakir yang tengah membuat teh manis di dapur. Pria itu tersenyum.“Mau ke mana?” Fara balik bertanya ketika melihat Shakir sudah berpakaian rapi menggunakan kemeja dan celana hitam. Dia mengurungkan niatnya ke kamar mandi dan lebih memilih menghampiri Shakir.Sejak mereka berkumpul di sini, Fara dan Shakir tidur di kamar terpisah walaupun masih terikat dalam pernikahan yang sah. Fara ingin hubungan mereka kali ini berjalan perlahan dan Shakir menghormati keputusan itu. Walaupun mereka sudah menikah selama setahun, ini adalah kali pertama Fara bisa menunjukkan dirinya sendiri di hadapan Shakir.Shakir menggeser secangkir teh hangat ke hadapan Fara. Dia membuat dua porsi.
“Papa minta maaf, Ma,” ujar Ryan setelah Sarah mendapatkan kekuatannya kembali untuk berdiri. Wanita itu sekarang duduk di salah satu bangku ruang tunggu.“Kok bisa sih Papa tega sama Mama? Mama kurang apa lagi? Mama yang nemenin Papa dari nol,” keluh Sarah sambil berkali-kali menghapus air mata yang terus mengalir. “Siapa dia, Pa?”“Teman dari kampung, Ma. Maaf, malam itu dia datang ke tempat Papa waktu Papa dinas di Banyuwangi. Dia yang mau menyembunyikan hal ini dan ingin mengurus Niko sendirian. Papa gak nyangka hal itu akan sampai seperti ini. Maaf, Ma.”“Setelah itu, apa Papa masih berselingkuh?”“Gak, Ma. Gak mungkin. Itu kesalahan Papa, bukan kebiasaan Papa. Mama mau maafin Papa?”“Mama butuh waktu, Pa.”Ryan mengangguk pasrah. Dia tertunduk juga. Air mata mulai membasahi pipinya.Lalu, Ryan menggenggam tangannya erat sambil menunggu sang istri tenang. Rumah tangga yang sudah dia bina selama 30 tahun tidak boleh hancur.Langkah kaki yang mendekat membuat Ryan dan Sarah mengang
“Apa Pak Ryan masih mau menutupi hal ini setelah puluhan tahun berlalu?” tanya Niko sambil menaikkan kedua alisnya.“Apa maksud kamu, Niko?” tanya Sarah mewakili rasa penasaran Sella dan Fara.Ini adalah hal yang tidak pernah Niko ungkapkan pada Fara dan Sella. Selama ini, mereka mengira Niko mengincar harta kekayaan keluarga Afnan karena keluarga itu adalah salah satu konglomerat di Indonesia. Namun, ternyata ada alasan lain yang Niko sembunyikan dari teman-teman komplotannya.“Apa Bu Sarah siap mendengar ini?” tanya Niko mengalihkan perhatiannya pada wanita paruh baya yang tengah meminta penjelasannya itu.“Ada apa, Niko?” tanya Fara tak sabar. Sella mulai mengerutkan dahi.Niko tersenyum tipis. “Izinkan saya memperkenalkan diri saya kembali pada Pak Ryan dan Bu Sarah,” ucapnya. “Saya Niko Pratama, usia saya setahun lebih tua dari Shakir, dan saya sudah tinggal di panti asuhan sejak kecil karena ibu saya meninggal dan ayah saya yang bernama Ryan Afnan membiarkan hal itu terjadi.”Fa
Memori Fara kembali ke saat-saat dia akan melahirkan Attar. Kesakitan di atas tempat tidur dan beberapa perawat membawanya ke ruang VK. Lalu, tiba-tiba Shakir datang sambil memberinya kekuatan lewat genggaman tangannya.Namun, kali ini keadaannya sedikit berbeda. Kini Shakir yang ada di atas tempat tidur sambil memejamkan mata dan banyak bercak darah di bajunya.Sementara Fara ikut berlari bersama para perawat sambil menggenggam tangan Attar. Wanita itu berharap dia bisa mentransfer kekuatannya pada Shakir.“Mohon maaf, Ibu tunggu di sini saja!” seru seorang perawat membawa Shakir masuk ke ruang operasi.Fara terpaku di tempatnya sambil terus menangis. Isakannya memilukan hati, mengundang orang untuk berempati. Apalagi penampilannya saat ini sangat berantakan, ada bekas darah Shakir di wajah dan bajunya.Kakinya terasa lemas. Fara meruntuhkan kekuatannya dan jongkok sambil memeluk lututnya. Dia membenamkan wajahnya di antara lutut dan tangisannya semakin menyayat hati.Sella yang meli
Di luar dugaan, daripada kabur karena suara sirine yang semakin mendekat, Omar justru tertawa dengan keras. Suara tawanya menggelegar ke seluruh ruangan. Ada marah, kecewa, sedih, putus asa, dan dendam di sana.Shakir bersiap di tempatnya. Dia mengamati pergerakan Omar dan menunggu kesempatan supaya bisa menarik Fara ke dalam pelukannya.“Omar, lo harus berhenti,” ujar Sella sedikit berteriak. Wanita itu tidak berani mendekat.Padahal percuma saja dia melebarkan jarak mereka karena senjata tajam yang dipegang Omar adalah senjata jarak jauh. Sella bisa langsung terkapar di lantai jika Omar memutuskan menarik pelatuk itu ke arahnya.“Ada apa dengan otak lo, Sella? Lo berpihak sama musuh juga? Apa uang dari Niko kurang buat biaya pengobatan keluarga lo? Makanya sekarang lo berpihak ke Shakir? Ah tapi percuma, lo lupa kalau Shakir sekarang miskin?” Omar tertawa lagi. “Sella,” lanjutnya. “Lo sekarang berpihak sama Shakir. Lalu, apa Shakir tahu kalau lo ikut andil saat akhirnya gue setuju