Kalau tidak, Denzel sama sekali tidak mau menerima sepeser pun. Akhirnya, mereka berdua pun mencapai kesepakatan.Robert tentu tidak rela menerima uang Natalie. Kedua orang itu saling mendorong, hingga akhirnya Natalie memaksa menyelipkan kartu ke tangan Robert, lalu buru-buru kabur kembali ke kamar.Baru saja masuk, tubuhnya sudah terhimpit di balik pintu oleh Denzel. Tubuh tingginya menyelimuti Natalie, membawa aroma alkohol yang samar."Kamu mabuk, ya?"Natalie mendongak, wajah tampan Denzel hanya sejengkal darinya. Sepasang mata hitam itu tampak sedikit kabur saat menatap lurus padanya. Jelas sekali, Denzel telah mabuk. Dia sudah menenggak beberapa gelas arak putih. Justru aneh kalau Denzel tidka mabuk.Natalie mendorongnya. "Aku buatin kamu sup penghilang mabuk."Namun, pria itu menekan tubuhnya dan bibir tipisnya perlahan mendekat. "Aku mau kamu.""Tapi ... umm ...."Belum sempat Natalie menyelesaikan kalimatnya, bibir mungilnya sudah tertutup rapat. Aroma segar khas Denzel berca
Masalah Terry akhirnya terselesaikan tanpa hambatan. Memang sejak awal pihaknya yang salah, apalagi setelah mengetahui identitas Denzel, dia sama sekali tidak berani terus mencari gara-gara.Semua itu hanya bisa dia tanggung sendiri.Sebelum kembali ke Kota Sarwina, Natalie ingin menjenguk ayahnya sekali lagi.Denzel menyetir mobil mengantarnya pulang.Di halaman depan, Robert kebetulan keluar dan melihat Natalie masuk sambil bergandengan tangan dengan Denzel. Dia tersenyum dan menyapa, "Kalian sudah pulang, ya. Ayo masuk, makanan sebentar lagi siap."Peristiwa dua hari terakhir ini sama sekali tidak diketahui Robert. Ainur yang merasa bersalah tidak pernah menceritakannya. Dia hanya bilang bahwa Natalie dan Denzel tinggal sebentar di kabupaten untuk jalan-jalan.Di ruang tamu.Karina baru saja menata hidangan. Begitu menoleh dan melihat Natalie, wajahnya tersenyum lembut. "Natalie, kalian sudah pulang ya. Ayo duduk, sebentar lagi makan.""Baik."Natalie mengangguk, lalu menarik Denzel
"Ketawa apaan, bangsat! Minggir sana!"Terry sekarang benar-benar tidak berniat mengurusi hal lain. Asistennya melirik foto di browser ponselnya, lalu kembali menatap sosok tegap dan tampan yang berdiri di pintu.Wajahnya langsung pucat pasi dan bibirnya bergetar. "Pak Terry ... wajahnya sama persis dengan Pak Denzel."Terry menunduk melihat foto itu. Pupilnya langsung bergetar.'Mana mungkin cuma mirip. Itu jelas orang yang sama. Jangan-jangan ... dia benar-benar Denzel?'Hawa dingin menjalar dari telapak kaki sampai ke tulang belakang. Terry tidak percaya. Dia menoleh dengan mata gemetar. "Ka ... kamu ... jangan-jangan kamu benaran Pak Denzel?"Wajah tampan Denzel masih dihiasi senyum tipis. Dia melangkah maju perlahan tanpa menjawab, malah balik bertanya, "Menurutmu?"Kalimat yang terdengar santai itu malah menindih dada Terry hingga sesak. Saat ini, dalam benaknya hanya berpikir, 'Gawat, tamat sudah!'Terry jatuh tersungkur dari ranjang. Kini dia telah tidak terlihat sombong sepert
Kemunculan orang asing secara mendadak ini membuat Terry dan asistennya sempat tertegun.Pria itu hanya berdiri di sana, mengenakan hoodie kasual yang bahkan tak jelas mereknya. Namun, auranya sama sekali berbeda dari orang biasa.Terry mencoba bertanya, "Kamu siapa?""Pacarnya Natalie."Begitu kalimat itu dilontarkan, ekspresi Terry langsung berubah. Matanya memicing penuh ejekan. Ternyata bukan orang besar, cuma bocah miskin.Terry mendongak dan menatapnya sinis. "Meskipun kamu dengar semua ini, lalu kenapa? Kalau berani, laporkan saja aku. Coba saja lihat, ada nggak orang yang percaya kamu?"Kepala polisi di kabupaten ini adalah pamannya. Karena itulah, Terry merasa aman. Dia menatap Denzel seperti menatap sampah.Louis yang berdiri di samping Denzel langsung memutar matanya, ekspresinya tampak begitu muak. 'Orang ini sebentar lagi bakal kena batunya, tapi masih saja bisa sok. Nanti kita lihat bagaimana dia menangis.'Denzel tetap diam. Terry mengira dia ketakutan, sehingga merasa d
Selesai makan, keduanya pergi ke hotel. Natalie tidak ingin pulang ke rumah untuk menghadapi tuduhan tak masuk akal dari Ainur. Saat ini pun, dia benar-benar tidak ingin melihat wajah Ainur lagi.Sejak Ainur menjualnya kepada Terry, hati Natalie sudah benar-benar hancur.Natalie berdiri di balkon. Dari belakang, dada hangat seorang pria menempel erat, lengannya melingkari pinggang Natalie. Bibir tipisnya menyapu lembut telinganya saat dia berbisik, "Ikut aku ke ibu kota."Tubuh Natalie menegang, lalu dia menoleh. "Kamu mau kembali ke ibu kota?""Hm. Harus ada yang mengelola warisan peninggalan ibuku. Holly kalau nggak melihatku juga akan depresi, itu nggak baik untuk kesehatannya. Jadi aku harus pulang."Natalie terdiam. Hatinya terasa kacau dan tidak tahu harus bagaimana bereaksi.Pergi ke ibu kota berarti dia harus berhadapan dengan seluruh keluarga besar Denzel ....Natalie yang tumbuh di desa kecil, tentu akan gentar saat menghadapi keluarga bangsawan kaya raya. Namun, jika dia ing
Mata Ainur membelalak. "Kamu pacarnya Natalie? Mana mungkin! Orang sekaya kamu kenapa bisa suka sama Natalie? Kamu pasti bercanda."Percaya atau tidak itu urusan Ainur. Denzel sama sekali tidak berniat menjelaskan.Tubuh tegaknya berdiri di depan Natalie dengan ekspresi dingin. "Natalie adalah pacarku. Urusan menjodohkannya dengan orang lain, aku nggak ingin terjadi lagi untuk kedua kalinya."Aura Denzel begitu kuat. Tanpa harus marah sekalipun, auranya sudah bisa membuat orang gentar. Dia memiliki wibawa alami seorang pemimpin.Ainur merasa tertekan. Meski begitu, dia tetap enggan percaya bahwa anak yang selalu dia remehkan benar-benar bisa mendapat pacar sehebat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya sudah ada di depan mata.Denzel menggenggam tangan Natalie dan tatapannya melunak. "Ayo kita pergi.""Nggak bisa! Kalian nggak boleh pergi!"Ainur langsung panik dan buru-buru mencoba menarik Natalie dari sisi Denzel. "Kamu sudah mukul Terry sampai separah itu, cepat masuk dan minta maaf.