Hanya si kucing kecil di luar sana yang tertidur pulas, tidak tahu apa-apa.Beberapa hari kemudian, akhirnya Natalie menerima telepon dari Alexa. Dia memberi Natalie sebuah alamat dan memintanya datang hari itu juga. Natalie naik taksi menuju ke sana."Kuil Pawana."Sambil menggendong Oyen turun dari mobil, dia mengulang nama alamat di depannya dengan pelan. Mata beningnya menyiratkan rasa heran. Kenapa Alexa bisa ada di kuil?Dengan penuh kebingungan, Natalie melangkah masuk melewati pintu besar. Tempat ini adalah kuil biasa, tidak ada banyak dupa, suasananya sepi dan dingin.Seorang bocah kecil berlari keluar menyambutnya. "Apakah Anda Nona Natalie yang mencari Tuan Alexa?"Natalie mengangguk sopan. "Benar.""Mari ikut saya."Bocah itu berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Karena sifatnya periang, dia pun aktif mengajak Natalie mengobrol. Dari percakapan itu, Natalie akhirnya tahu alasan Alexa berada di kuil. Ternyata dia sedang menghindari orang.Lantaran tidak ingin ada yang ta
Denzel masuk ke ruang kerja. Darren sedang menulis kaligrafi dengan kuas. Mendengar langkah kaki yang mantap, dia tetap tidak menoleh." Ayah, ada apa memanggilku?" tanya Denzel.Suasana menjadi hening dalam seketika.Darren sengaja membiarkannya berdiri. Setelah menyelesaikan beberapa lembar tulisan, dia baru mendongak. Tatapannya datar mengarah pada Denzel yang berdiri tegak di seberang."Putus sama wanita di luar itu." Ucapannya sangat terus terang dan nadanya juga sangat dominan.Denzel mengangkat pandangan, mata hitamnya menatap lurus tanpa gentar. Dia berkata sekata demi sekata dengan tegas, "Nggak mungkin.""Kalau itu cuma untuk bersenang-senang, aku bisa pura-pura nggak tahu."Wajah Darren tetap datar dan sikapnya masih keras. "Tapi kamu harus bertunangan dulu sama Joyce untuk menenangkan pihaknya.""Aku nggak akan menikahi Joyce." Denzel tetap menolak, "Aku sudah menemui Tuan Alexa, dia berjanji dalam setahun murid pribadinya akan datang untuk mengobati Holly. Jadi aku nggak p
Lampu neon berkilauan. Air di parit kota memantulkan cahaya berkilat. Pemandangannya sungguh indah.Tanpa perlu ditanyakan pun, Natalie tahu bahwa harga rumah di sini pasti sangat mahal. Sepertinya, mau mulai bekerja sejak zaman kerajaan sekalipun, dia tetap tidak akan mampu membelinya."Capek nggak? Kalau capek, kita istirahat."Dari belakang, sebuah tubuh yang hangat menempel padanya. Denzel merangkul pinggang rampingnya dan memeluknya erat.Natalie mengangguk. "Iya."Naik pesawat lalu naik mobil, memang cukup melelahkan.Oyen juga ingin tidur di ranjang, bahkan sampai melompat dan mengeong beberapa kali. Denzel mengangkatnya keluar. "Tidur di kandangmu sendiri."Oyen mengeong kesal, seakan sedang mengadu. Denzel tidak peduli dan menutup pintu kamar.Di atas ranjang, Natalie sudah tertidur. Denzel memeluknya, menghirup wangi lembut dari tubuh wanita itu, lalu ikut terlelap perlahan-lahan.Saat hari mulai senja, Denzel pun terbangun. Wanita di pelukannya masih tidur dengan wajah damai
Saat Denzel pulang kerja dan baru saja membuka pintu rumah, dia langsung mendengar suara kucing mengeong. Dia mengangkat alis dengan heran.Di sofa, seekor kucing kecil berbulu oranye sedang meringkuk di pelukan Natalie. Matanya yang bulat menatap lekat ke arah gadis itu, bahkan cakarnya menyentuh wajah Natalie dengan pelan. Tatapan itu nyaris seperti tatapan manusia yang penuh rasa.Warna bulunya terasa sangat familier. Denzel seakan pernah melihatnya, tapi tidak bisa langsung mengingatnya. Dia melangkah mendekat dan bertanya, "Kucing dari mana?"Natalie bangkit sambil menggendong si kecil, lalu tersenyum lembut. "Kamu lupa? Waktu dulu kita tinggal di kompleks Jacaranda, kita berdua yang menemukannya.""Oyen?" Denzel tertegun."Ya, Oyen. Dulu Hardi menyerahkannya ke Yola untuk dirawat. Tapi Yola sebentar lagi mau meninggalkan Kota Sarwina, jadi nggak bisa membawanya. Jadi, dia minta aku yang merawatnya."Tatapan Denzel jatuh ke wajah berbulu kecil itu. Si mungil meringkuk di pelukan N
Kalau tidak, Denzel sama sekali tidak mau menerima sepeser pun. Akhirnya, mereka berdua pun mencapai kesepakatan.Robert tentu tidak rela menerima uang Natalie. Kedua orang itu saling mendorong, hingga akhirnya Natalie memaksa menyelipkan kartu ke tangan Robert, lalu buru-buru kabur kembali ke kamar.Baru saja masuk, tubuhnya sudah terhimpit di balik pintu oleh Denzel. Tubuh tingginya menyelimuti Natalie, membawa aroma alkohol yang samar."Kamu mabuk, ya?"Natalie mendongak, wajah tampan Denzel hanya sejengkal darinya. Sepasang mata hitam itu tampak sedikit kabur saat menatap lurus padanya. Jelas sekali, Denzel telah mabuk. Dia sudah menenggak beberapa gelas arak putih. Justru aneh kalau Denzel tidka mabuk.Natalie mendorongnya. "Aku buatin kamu sup penghilang mabuk."Namun, pria itu menekan tubuhnya dan bibir tipisnya perlahan mendekat. "Aku mau kamu.""Tapi ... umm ...."Belum sempat Natalie menyelesaikan kalimatnya, bibir mungilnya sudah tertutup rapat. Aroma segar khas Denzel berca
Masalah Terry akhirnya terselesaikan tanpa hambatan. Memang sejak awal pihaknya yang salah, apalagi setelah mengetahui identitas Denzel, dia sama sekali tidak berani terus mencari gara-gara.Semua itu hanya bisa dia tanggung sendiri.Sebelum kembali ke Kota Sarwina, Natalie ingin menjenguk ayahnya sekali lagi.Denzel menyetir mobil mengantarnya pulang.Di halaman depan, Robert kebetulan keluar dan melihat Natalie masuk sambil bergandengan tangan dengan Denzel. Dia tersenyum dan menyapa, "Kalian sudah pulang, ya. Ayo masuk, makanan sebentar lagi siap."Peristiwa dua hari terakhir ini sama sekali tidak diketahui Robert. Ainur yang merasa bersalah tidak pernah menceritakannya. Dia hanya bilang bahwa Natalie dan Denzel tinggal sebentar di kabupaten untuk jalan-jalan.Di ruang tamu.Karina baru saja menata hidangan. Begitu menoleh dan melihat Natalie, wajahnya tersenyum lembut. "Natalie, kalian sudah pulang ya. Ayo duduk, sebentar lagi makan.""Baik."Natalie mengangguk, lalu menarik Denzel