"Nanti gue tanyain sama Edo. Lo tenang aja ya dan tunggu kabar dari gue." Sri mengerti betul apa yang dirasakan Mentari. Ia tulus ingin membantu Mentari."Gue kan nggak pegang HP. Nanti gue aja yang datang ke sini.""Oke deh. Ngomong-ngomong, elo mau apa ke rumah orangtuanya Arya?"Mentari menggeleng. "Gue enggak tahu. Mungkin gue mau minta maaf sama mereka karena gue anak mereka ...." Napas Mentari tiba-tiba tersekat di tenggorokan dan rasa panas kembali menyengat matanya dan menciptakan genangan baru di matanya."Hei, kok nangis lagi sih?" Sri membelai lembut punggung Mentari. "Elo nggak salah apa-apa, Tari. Arya mungkin sedang pergi melepas kekecewaannya karena elu nikah sama orang lain."Gue yang salah. Mentari tak sanggup membendung aliran air mata. Ia sudah berbohong kepada semua orang. Perasaan bersalah terus menghukumnya tanpa ampun."Kalau elo mau ke rumah orangtua Arya, nanti gue temenin elo," lanjut Sri berusaha menenangkan."Gue berutang banyak sama elo, Sri.""Elo ngomong
Kepalan tangan Rakhan di atas stir mengerat hingga kuku-kukunya menancap di telapak tangan. Sebisanya ia menahan diri untuk tidak menampar mulut lancang Mentari. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan Mentari untuk membebaskan diri dari belenggu pernikahan. "Ayahmu menghubungiku siang tadi. Untuk apa kau masih mencari Arya dan ke mana saja kau sesiangan ini?""Bukan urusanmu ke mana aku pergi.""Sekarang ke mana pun kau pergi akan menjadi urusanku. Undangan resepsi pernikahan sudah disebarkan Ayah dan Mawar. Acara itu akan digelar hari Minggu besok. Sebentar lagi seluruh dunia akan tahu kau adalah istriku. Kau pikir itu bukan beban berat untukku? Menikah dengan anak Lucian Sagara adalah yang terburuk."Ucapan Rakhan meremas hati Mentari. Meskipun ia tidak pernah setuju menikah dengan pria itu, tetapi hinaan Rakhan terhadapnya dan juga ayahnya terasa sangat menyakitkan."Aku akan mengajukan tuntutan cerai secepatnya, sebelum resepsi digelar." Mentari menegaskan. Hanya itu satu-satunya cara
“Rakhan, tunggu!” Mentari ikut bangkit dari duduknya dan menghalangi langkah Rakhan. “Satu kali seminggu sampai aku hamil.”Mentari merasa dirinya tidak punya pilihan lain. Ia mengambil keputusan kilat dan tak rasional demi bisa mendapatkan bantuan mencari Arya. Meskipun ia dan Rakhan sudah resmi sebagai suami-istri, tetapi Mentari masih belum bisa menerima hal itu. Baginya, Arya adalah segalanya. Pengorbanan yang ia lakukan untuk menemukan Arya akan sebanding dengan hasilnya kelak. Terlepas Arya akan menerima kenyataan atau tidak, Mentari sudah berusaha untuk tetap menjaga cintanya untuk Arya. Setidaknya, itulah yang Mentari pikirkan saat ini.“Rakhan, jika kau tidak terlibat dengan hilangnya Arya—““Sudah kukakatakan kepadamu, aku tidak tahu menahu soal kekasihmu,” sela Rakhan, “aku bukan tipe pria yang suka merebut kekasih orang lain. Lagi pula, kau bukan tipeku. Tidak ada kesepakatan di antara kita!” lanjutnya sambil menatap tajam Mentari.Ucapan Rakhan melemahkan, bahkan membuya
Tubuh tetap ingin setegar batu karang yang dihantam ombak, tapi hati meleleh bagai lilin yang terbakar. Kegelisahan yang nyaris berubah menjadi pesimistis berdenyut di nadi Mentari. Masalah yang mengadang kian menjadi dilema yang menakutkan. Ia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Arya. Setelah memberikan nomor ponselnya pada Sri, Mentari memutuskan untuk pulang. Ia berjalan dengan malas melintasi beranda. Rumah ini bagai penjara mewah untuknya. Ia dibebaskan untuk pergi sesukanya, tapi tetap harus kembali dan menjalankan kewajibannya sebagai menantu keluarga Mahawira dan istri Rakhan. “Mami, Mami!” teriakan bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun menghentikan langkah Mentari setelah melewati ruang keluarga. Mata Mentari sedikit melebar melihat anak berkulit putih dan berpipi tembem itu. Rambut ikal dan mata beningnya berhasil mencuri perhatian Mentari. Rasa suka melihat anak itu tiba-tiba menyelinap ke dalam hati dan tanpa sadar membuatnya tersenyum sendiri. Dia tampan dan
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
“Tari ....” Ucapan lirih Lucian menghentikan debat kecil antara Mentari dan Anton. Seuntai rasa syukur dan bahagia menyelusup ke dalam hati Mentari meski tak bisa ia tunjukkan dengan berapi-api. Mentari hanya memandangi Lucian dari tempat duduknya tanpa senyuman untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Hanya binar cerah yang terpancar dari mata cokelatnya yang menggambarkan betapa Mentari senang ayahnya sudah bangun dan bisa berbicara lagi kepadanya. “Iya, Pa.”“Sedang apa kau di sini?” Suara Lucian terdengar sedikit serak.Sedang apa? Mentari mengerutkan dahi. “Tari sedang menunggui Papa. Papa sakit.”“Kau pulang saja. Kau harus mempersiapkan resepsi pernikahanmu.”Itu lagi. Mentari mendesah kesal. Seketika ia merasa keberadaannya di sana tidak diinginkan. “Tapi Papa kan sedang sakit. Tari—““Apakah suamimu tahu kau di sini?” potong Lucian dengan nada menyelidik.“Kenapa Papa peduli sekali dengan menantu Papa? Dia tahu atau tidak, itu tidak penting, Pa.” Mentari melipat tangan di atas
Mentari mengunci pintu kamar sesaat setelah Rakhan meninggalkan kamarnya. Ia khawatir Rakhan akan kembali lagi dengan membawa kemarahan. Mentari belum siap dan tidak akan pernah siap untuk menerima kemarahan Rakhan seperti malam itu. Menurutnya, Rakhan tidak waras. Pria itu sebelas-dua belas dengan ayahnya yang selalu memaksakan kehendak pada orang lain. Menyebalkan! Mentari menghardik Rakhan di dalam hati. Tubuhnya tiba-tiba saja meremang dan hatinya seketika tertusuk memori pahit di malam menyakitkan itu. Cara Rakhan meminta haknya sebagai suami membuat Mentari nyaris mengalami trauma. Sekarang, ia dihadapkan pada fakta bahwa ia dan Rakhan harus melakukannya lagi sampai dia hamil. Oh, tidak!Tidak berpikir untuk membersihkan diri atau hanya sekadar berganti pakaian, Mentari langsung terjun bebas ke tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke atas bantal. Beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah, menarik napas dalam-dalam, dan berguling. Ia berbaring dengan posisi terlentang dan men