"Untuk yang terakhir kalinya aku bertanya, apakah kau siap menjalani sisa hidupmu denganku?" Arya menyelipkan rambut cokelat yang terurai di samping wajah Mentari ke belakang telinga gadis itu.
"Kita sudah sejauh ini, Arya. Aku tidak akan pernah mau kembali ke si penguasa gila itu," tandas Mentari. Tatapan secokelat kopinya mengunci tatapan gelap Arya.
Kecupan lembut mendarat di pipi Mentari. Dengan perasaan bangga, Arya memeluk erat Mentari. Gadis berusia 23 tahun itu telah memberinya kekuatan lebih untuk melakukan hal paling gila dalam hidupnya yang tidak hanya sekadar menunjukkan cinta, tapi juga nyali yang cukup besar. Atmosfer kamar penginapan murahan yang pengap dan sedikit berbau apek tak mengurangi keromantisan pasangan muda yang sedang di mabuk cinta itu. Perjalanan asmara mereka yang panjang dan tidak mudah membuat mereka saling menguatkan satu dengan yang lainnya.
Arya mengenakan tas ranselnya yang berisi dua setel pakaian dan beberapa barang pribadinya, begitupun dengan Mentari. Gadis itu hanya membawa pakaian secukupnya. Rencana mereka hari itu mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bandar Lampung. Mentari mengikat rambutnya membentuk ekor kuda, lalu menggulungnya membentuk gelungan, dan menutupinya dengan topi. Rambut cokelat dan kulit seputih pualamnya terlalu mencolok dan akan membuat orang-orang mengenalinya dengan mudah sebagai putri salah satu preman terkuat dan paling berbahaya di Jakarta, Lucian Sagara.
"Sudah siap, Cantik?" Arya mencolek ujung hidung mancung Mentari.
"Iya. Ayo kita pergi!" Mentari menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman manis.
Arya meraih tangan Mentari, mengaitkan jemarinya ke jemari gadis itu. "Aku mencintaimu, Mentari."
"Aku juga."
Dengan langkah percaya diri, Mentari dan Arya berjalan ke luar dari penginapan. Di gang sempit, di antara rumah-rumah sederhana, mereka menyusuri jalanan kampung nelayan di sebelah timur pelabuhan Tanjung Priok menuju jalan utama yang tinggal beberapa meter lagi. Sengatan matahari di musim panas tak menyurutkan semangat sejoli itu untuk mencari kebebasan saling mencintai.
"Mentari, maafkan aku sudah membuatmu kepanasan seperti ini," sesal Arya sambil mengeratkan genggamannya di tangan Mentari.
"Kau tahu aku tidak semanja itu, Arya. Aku yang menginginkan semua ini."
"Beberapa hari ini aku sudah menyengsarakanmu. Kita hanya makan nasi dengan lauk seadanya dan tidur di tempat yang jauh dari kata nyaman. Jika kau berniat untuk pulang ke rumah ayahmu—"
"Apakah kau sudah menyerah?" potong Mentari dengan nada kesal.
Arya menghentikan langkahnya. Ia memosisikan tubuhnya menghadap Mentari. Tatapan cemasnya menjelajahi wajah Mentari. "Aku hanya anak seorang petani, Mentari. Kemungkinan besar aku tidak mampu memberimu kebahagiaan."
"Jika yang kau maksud kebahagiaan adalah tempat tinggal mewah dan harta berlimpah, aku tahu kau tidak akan bisa memberikannya padaku." Mentari mengunci iris cokelatnya pada Arya. "Kau masih meragukan keputusanku?"
Arya menarik pelan tangan Mentari. Pria berambut gelap dan bertubuh tinggi itu merengkuh Mentari ke dalam pelukannya. "Aku tidak pernah meragukanmu, Mentari."
"Jangan tanyakan hal itu lagi, Arya. Aku ingin bersamamu selamanya."
Decit suara rem Land Rover hitam yang diikuti oleh mobil lainnya mengejutkan Mentari dan Arya. Mereka terpaksa mengurai pelukan, kemudian menatap mobil yang hanya terlihat bagian depannya itu dengan perasaan was-was. Sebuah van hitam tampak menghalangi ujung gang yang sedang mereka lalui. Hanya dalam hitungan detik, tiga pria bersetelan kaus hitam dan kacamata hitam keluar dari mobil tersebut. Mereka mendekat dan berdiri di hadapan Mentari dan Arya dengan gaya arogan, gaya khas orang-orang kepercayaan ayah Mentari.
"Nona, ayah Anda meminta Anda untuk pulang," tutur pria berkepala botak.
Mentari terperangah dan membeku selama beberapa saat, tetapi ia masih memegang erat tangan Arya. Aliran darah ke wajahnya seakan berhenti hingga wajah cantiknya memutih seperti kapas. Ke mana pun ia pergi, ayahnya selalu bisa menemukannya, pikirnya.
"Aku tidak akan pulang, Bang Anton." tegas Mentari.
"Kalau begitu, kami akan memaksa." Anton mencoba meraih tangan Mentari, namun Arya dengan cepat menghalau usahanya.
"Kalau kau berani menyentuh Mentari, kupatahkan tanganmu!" sergah Arya.
Anton tersenyum merendahkan. Ia mengambil posisi untuk meninju wajah Arya, tapi Arya berhasil menghindar. Justru, Arya berhasil mendaratkan tinjunya ke wajah pria botak itu. Tidak terima dengan pukulan Arya, Anton memerintahkan teman-temannya untuk menyerang Arya. Sementara itu, ia memegang tangan Mentari untuk menjauhkan gadis itu dari kekasihnya.
"Lepaskan aku, Bang!" teriak Mentari sambil berusaha menepis cekalan Anton. "Lepaskan!!!"
"Anda harus ikut, Non." Anton menarik paksa Mentari masuk ke dalam Land Rover.
"Mentari!!!" Arya berusaha mengejar Mentari, namun pukulan dan hantaman dari kedua teman Anton masih menyerbunya.
"Arya!" Mentari meronta. Ia memukuli lengan Anton berusaha melepaskan cekalan tangan pria botak itu. Namun, tenaganya kalah besar dibanding tenaga Anton.
Anton berhasil membawa Mentari masuk ke dalam mobil. Ia mengunci Mentari di sana. Dari balik kaca jendela mobil, Mentari menyaksikan Arya tengah berjuang melawan kedua teman Anton. Arya tampak tak berdaya. Wajah Arya dipenuhi darah dan tubuhnya terkulai, tergeletak di beton pinggir jalan. Mentari menjerit sambil memukul kaca jendela. "Arya!!! Bukakan pintunya! Buka!!!"
Selama beberapa menit Mentari menjerit dan menangis di dalam mobil sampai Anton dan seorang pria lain kembali ke mobil. Ia menghalangi Mentari yang mencoba keluar dari mobil.
"Jika Nona tidak bisa diam, aku akan mengikat tangan Nona," ancam Antonio.
"Ikat saja! Brengsek kalian!" teriak Mentari.
Anton mengeraskan rahangnya. Pria berkepala plontos itu mengeluarkan ponsel dari saku celananya lalu menghubungi seseorang. "Apa yang harus aku lakukan pada bocah ingusan itu, Bos?"
Mentari fokus pada telepon Anton. Si botak pasti menghubungi ayahnya, pikirnya.
"Baik, Bos." Anton menutup panggilan telepon, lalu menghubungi temannya yang masih menunggu perintahnya di tempat Arya tergeletak, dan saat telepon mereka terhubung ia menyampaikan perintah bosnya. "Bereskan dia. Jangan ada jejak!"
Mentari membelalak. Seketika darah menanjak cepat ke kepalanya. Ia tahu pasti arti kata "bereskan".
"Jahat kau, Bang! Berikan ponselmu!" Mentari berusaha merebut ponsel Anton, namun Anton tidak membiarkannya.
"Percuma Nona. Tuan sudah memerintahkan," tandas Anton.
"Arya!!!" jerit Mentari diiringi isakannya. Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika kedua teman Anton melempar Arya ke sungai di samping gang sempit tersebut. "Keluarkan aku dari sini! Keluarkan aku! Arya!!!"
Mentari tidak bisa menghentikan aliran air matanya. Ia berharap ada seseorang yang melihat perlakuan orang-orang suruhan ayahnya itu dan menyelamatkan Arya yang sudah tidak berdaya dari sungai dangkal. Serbuan rasa bersalah menyelimuti jiwanya. Secara tidak langsung ia sudah membahayakan nyawa Arya. Membiarkan Arya mencintainya, sama saja dengan menodongkan senjata api ke dahi pria itu. Siap meletus kapan saja.Setelah tiga jam menempuh perjalanan dan bergelut dengan rasa sakit yang menggerogoti seluruh jiwa dan raganya, Mentari tiba di kediaman Lucian Sagara, ayah Mentari. Mentari sudah tidak sanggup untuk berdiri. Tubuh dan jiwanya terlalu lelah untuk menghadapi dunia dan Mentari jatuh pingsan saat akan keluar dari mobil."Arya!" Mentari membuka matanya. Jantungnya berdegup kencang mengingat bayangan wajah sang kekasih. Perlahan, air bening mengucur dari kedua ujung matanya. Mentari bangkit lalu duduk sambil memeluk lututnya di atas ranjang. Ia sudah kembali ke rumah sang penguasa.
"Sudahlah, Rakhan. Ayah punya alasan untuk menikahkanmu dengan putrinya Lucian Sagara." Mawar menyudahi pernyataan keberatan Rakhan dengan segera menyeret kakak kesayangannya keluar dari kamar. Handoko Mahawira, ayah mereka, telah menunggu kehadiran mereka di ruang keluarga. Pria tua berambut putih dan bertubuh tambun yang mengenakan jas abu-abu itu tampak bahagia. Matanya berbinar melihat putra sulungnya akan segera mewujudkan harapannya. Mengendarai dua mobil berbeda, mereka pergi menuju kediaman Lucian Sagara. Handoko dan Lucian menginginkan ikatan antara Rakhan dan Mentari segera diresmikan dengan tidak menyertakan pertunangan ke dalam rencana ikatan tersebut. Pernikahan adalah ikatan yang lebih kuat. Paling kuat. Dengan uang dan kuasa mereka, pernikahan Rakhan dan Mentari bisa dilakukan secara mendadak. Kedua keluarga berkuasa itu mampu memengaruhi setiap aspek kehidupan yang terkait dengan mereka. Lucian menyambut hangat kedatangan sahabat lamanya, Handoko. Ia membawa rombonga
Mentari menatap bangunan megah berdesain modern yang berdiri kokoh di atas hamparan hijau yang luas. Dinding rumah yang di dominasi warna cokelat muda dan atap berwana cokelat tua yang berkilat karena tertimpa sinar matahari membuat Mentari bergidik ngeri. Rumah besar dan mewah itu seolah ingin memenjarakan dirinya. Embusan angin yang menerpa wajahnya seakan berbisik, "Hidupmu akan berakhir di sini."Jantung Mentari berdenyut kencang seiring rasa sakit yang meremas hatinya. Langkahnya terpaku di halaman rumah yang berupa taman bunga. Ia bahkan tidak merasakan tarikan kasar Rakhan di tangannya. Untuk sesaat, Mentari mati rasa."Auw!" jerit Mentari saat kakinya tersandung undakan marmer yang menjadi pembatas antara halaman dan beranda."Kau ini bodoh atau kenapa? Berjalan saja tidak becus." Rakhan mengomel dengan nada pedas.Mentari menatap tajam Rakhan. Pria itu adalah sumber semua kesengsaraannya. Gara-gara pria itu, ayahnya membunuh pria yang sangat dicintainya. Namun, Rakhan tak sed
"Mentari, keinginan ayahku hanya satu, keturunan dari Rakhan. Bekerja samalah dengan Rakhan agar kau bisa segera bebas dari belenggu pernikahan ini," saran Mawar. Bagaimana aku bisa bekerja sama dengan pria yang menjadi penyebab semua deritaku? Aku tidak akan kehilangan Arya jika perjanjian pernikahan sialan ini tidak dibuat, batin Mentari. Pernikahan sepatutnya memberi kebahagiaan. Namun, Mentari sama sekali tidak merasakan hal itu. Menikah dengan seorang Mahawira sama saja dengan bunuh diri. Semua terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Saran Mawar agar Mentari bekerja sama dengan Rakhan menjadi bahan pertimbangan Mentari. Ia beruntung Rakhan tidur di kamar terpisah. Semalaman Mentari memutar otak dan berusaha mencari cara agar segera terbebas dari pernikahan yang tidak diinginkannya. Jika seorang anak bisa membebaskannya dari semua belenggu, ia akan bekerja sama dengan Rakhan. Cukup satu anak dan selesai. Mentari mengembus napas dan tersenyum kecut tidak percaya
"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat. Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari. "Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya. "Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan ap
"Arya!" Mentari meneriakkan nama pria selalu mengisi hatinya. Matanya otomatis terbuka seiring dengan detak jantung yang terpacu semakin cepat. Tanpa ia sadari air mata menetes dari sudut mata dan membasahi bantal. Ia menatap lampu gantung kristal di langit-langit yang memancarkan cahaya kekuningan selama beberapa saat sebelum ia bangkit untuk duduk.Mentari menekuk lutut lalu menangkup wajah dengan kedua tangan sambil terisak-isak. Lintasan memori yang terselip dalam tidurnya membangkitkan derita terdalam yang menghancurkan diri. Ia tidak pernah menduga akan kehilangan Arya secepat itu. Arya adalah satu-satunya orang yang tidak bersalah dalam kekacauan hidupnya saat ini. Cara ayahnya menyingkirkan Arya, itu yang dikutuk Mentari. Sangat kejam."Kau sudah bangun?" Suara berat yang mulai akrab di telinga Mentari membuat saraf-saraf di tubuhnya menegang.Sial! Mentari mengedarkan pandangan mencari sumber suara. Saat ia menoleh ke kanan dan pandangannya sejajar dengan pundak, ia mendapati
Satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain yang lebih besar dan rumit. Mentari sadar apa yang ia katakan pada Edo dan Mike perlahan, tapi pasti bisa menjadi bumerang yang berbalik menghajarnya. Namun, Mentari tidak bisa memaparkan kenyataan pada semua orang bahwa ayahnyalah yang menjadi dalang kehancuran hidupnya. Ia butuh waktu untuk melakukannya. Saat ini tak seorang pun mendukungnya. Ia seperti yatim piatu yang sedang berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup.Dari ujung koridor, Mentari hanya bisa memandangi pintu kelasnya. Gertakan Edo dan kawan-kawan telah menciutkan nyalinya untuk melewati pintu berwarna cokelat itu."Kenapa lo nggak masuk?" Suara bening dan lembut yang familier di telinga Mentari secara otomatis memacu jantung wanita itu untuk berdegup lebih kencang.Mentari tidak tahu apa yang harus ia lakukan atau ke mana ia harus menolehkan wajahnya. Ia sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan pemilik suara itu selanjutnya. Semua teman-temannya sudah menghakimi,
Tanggapan Mentari memicu reaksi marah Rakhan. Rahang pria itu mengeras dan kilat tajam mata gelapnya menghujam dada Mentari dengan kemurkaan. "Kau mengendarai salah satu mobilku tanpa izin, pergi ke tempat yang menjadi markas musuh besar ayahmu, dan memancing kegaduhan dengan pingsan di dalam mobil. Apa yang akan dipublikasikan para pencari berita jika mereka mengetahui semua itu? Apa aku harus mengklarifikasi berita dengan mengakuimu sebagai istriku atau sebagai anak raja preman yang mencuri mobilku? Kurasa aku tidak akan pernah memilih opsi pertama. Kau tahu itu." "Menjadi istrimu adalah sebuah kutukan dan aku tidak perlu pengakuan." Mentari merespons dengan geram. "Jangan merepotkanku jika kau ingin mati di sana." Mentari menyibakkan selimut lalu beringsut ke tepi tempat tidur. Ia tidak peduli dengan penampilannya yang sedikit terbuka—mengenakan baju tidur tipis, pendek, dan bertali pundak kecil. Semua kalimat yang diucapkan Rakhan membuat telinganya panas dan meletupkan marah.