Denyut sakit menyerang kepala Mentari. Ia ingin segera memejam, tapi efek hairspray dan make up yang masih melekat di rambut dan wajahnya memacu tekadnya untuk membersihkan diri. Sekaligus menjadi terapi untuk sedikit menenangkan kegelisahannya, Mentari sengaja berlama-lama berendam di dalam bathtub berisi air hangat. Mentari hampir saja akan memejam ketika suara ketukan pintu mengagetkannya. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia merasa bersyukur ketukan itu menyelamatkannya dari tidur di dalam bak mandi. Ia baru ingat kalau ia memesan teh hangat pada salah satu ART. Ia mengguyur tubuhnya sebentar untuk menghilangkan busa sabun, lalu segera keluar dari bathtub dan mengenakan piama mandi. “Masuk saja!” teriaknya sambil melongok dari pintu kamar mandi. “Simpan tehnya di atas meja rias, ya!”Mentari mengambil handuk kecil dari gantungan handuk di depan wastafel, kemudian menggosok pelan-pelan rambutnya yang basah dengan handuk sampai terlihat lembap. Beberapa menit kemudian ia keluar da
Kesal dengan penolakan terang-terangan Mentari, Rakhan menangkap tangan Mentari dan meletakkan di atas kepala wanita itu, lalu menahannya dengan satu tangan. Seluruh tenaga ia kerahkan untuk tetap sadar meskipun kepalanya berdentam hebat. Saat ini Mentari sama memabukkan dengan alkohol yang sudah mengalir dan meracuni darahnya. Rakhan mengangkat kepala. Matanya mengunci tatapan Mentari yang tertutup oleh pesimistis. Untuk sesaat Rakhan tersentuh oleh kebimbangan, tetapi harum lavender yang menyeruak dari rambut lembap dan tubuh Mentari semakin memacu hasratnya. Ia menggeram, lalu berkata dengan suara sedikit serak di bibir Mentari. “Kau yang kuinginkan.”Pernyataan Rakhan menciptakan kecemasan lain di hati Mentari. Sensasi sedingin es batu menyerang tiba-tiba hingga tubuh Mentari gemetaran dan terasa kaku. Untuk beberapa saat otak Mentari pun berhenti bekerja. Reaksi tubuhnya tidak mendukung keinginan kuat yang telah tertanam sejak ia jatuh ke pangkuan Rakhan. Apakah pasrah adalah pi
“Ya Tuhan! Ayah mengagetkanku,” tutur Rakhan sesaat setelah menutup pintu kamar Mentari. Pandangannya tertuju pada Handoko yang berdiri terpaku sekitar dua meter dari depan kamar Mentari. “Apa kau tidur di kamar Mentari semalam?” selidik Handoko. Mata pria itu memindai putra sulungnya dari atas ke bawah. “Apa aku salah tidur di kamar istriku sendiri?” Berlagak berani dan berekspresi seperti orang terjajah, Rakhan justru balik bertanya. “Tidak. Kau tidak salah.” Rona cerah terpancar dari wajah Handoko. Sudut bibirnya yang keriput ditarik ke atas membentuk senyuman. “Apa tidak sebaiknya kalian tidur satu kamar?” Rakhan mengernyitkan dahi. Ia tahu suatu hari nanti pasti ayahnya akan meminta hal yang ditanyakan barusan. Namun, ia tidak menyangka akan secepat
“Sejak pernikahan sialan kita terjadi, sejak itu pula keluarga ini mengalami krisis nama baik.” Rakhan tidak terima dengan tudingan Mentari. Lebih baik untuknya menempatkan pernikahan mereka sebagai biang keladi masalah. Mentari menatap tajam Rakhan. Ia bersedekap. Sejumput sesal teraup dengan cepat. Seharusnya ia tidak keluar kamar dan membiarkan dirinya membusuk di sana daripada bertemu dan bertengkar dengan Rakhan. “Kau pikir aku mau menikah—“ “Sudah cukup,” potong Rakhan, “kau sudah mengatakan hal itu puluhan kali dan telingaku hampir tuli karena mendengarnya.” “Bertengkarnya bisa lain kali saja?” Erlangga menyela adu argumen kedua kakak iparnya. “Meskipun sudah jelas kesalahan ada di pihak mana, tetapi aku harap kalian bisa akur untuk beberapa waktu sampai gosip mereda. Kasihan Ayah jika harus mengetah
Tepat jam 08.30 pagi supir keluarga Mahawira mengantar Mentari dan Rakhan ke Bandara. Mentari duduk dengan tegang di jok penumpang di samping Rakhan. Perjalanan menuju bandara yang diselimuti kesunyian terasa sangat panjang dan lama. Mentari bersabar tidak mengeluarkan kata-kata sampai mereka tiba di bandara. Ia tidak mau bertengkar dengan Rakhan.Menarik sendiri kopernya, Rakhan berjalan meninggalkan Mentari yang kesulitan membawa koper hingga harus dibantu supir mereka. Mentari sendiri merasa pegal hati lantaran ia harus menahan perasaan kesalnya sampai mereka tiba di konter check-in penerbangan domestik.Setelah urusan check-in selesai dan mendapatkan boarding pass, tujuan utama pe
“Oh, iya, Pak. Anda tidak perlu melakukan proses check-in. Kami telah mengurus semuanya sesuai instruksi Pak GM,” jelas Eduardo.Eduardo membawa Rakhan dan Mentari memasuki lobi, sementara bellboy yang bersama Eduardo membawakan koper pasangan itu. Ingin menunjukkan sisi terbaik lobi hotel mewah tersebut, Eduardo meminta Mentari dan Rakhan mengikuti langkahnya ke balkon lobi. Di sana mereka dipersilakan duduk di sofa tamu, sementara Eduardo mengambil kunci kamar di meja resepsionis.Mata Mentari dimanjakan oleh pemandangan alam yang menyejukkan di tengah panasnya cuaca pulau yang terletak di ujung barat provinsi NTT tersebut. Hamparan laut biru dengan pulau kecil bernama pulau Kukusan yang dikelilingi kapal-kapal membuat tatapan Mentari enggan beralih. Selama beberapa saat Mentari terhipnotis oleh panorama yang memikat. Namun, Mentari kemudian
Serta merta Mentari bangkit dari duduknya. Tatapannya tertuju pada sosok pria yang berjalan melintasi area dining beberapa saat lalu. “Ya, Tuhan. Arya!”Mentari membuka sling bag-nya, lalu mengambil tiga lembar uang seratus ribuan dan meletakkan di bawah gelas berisi air putih. Ia berlari mengejar pria itu hingga kembali ke lobi. Sayangnya, ia kehilangan pria itu di antara serombongan pengunjung yang baru memasuki hotel tersebut.“Arya ....” Mentari menekan dada dengan satu tangan berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Ia yakin kalau pria yang baru saja dilihatnya adalah Arya. Aku tidak mungkin salah lihat.
“Aku hanya memperingatkanmu. Kalau kau macam-macam, kau akan merasakan bagaimana rasanya bercinta sampai tak bisa berjalan. Paham?!” Rakhan berusaha membelokkan arah pemikiran Mentari.Mentari mendelik. “Ancaman macam apa itu? Dasar sinting!”“Atau kau ingin kutelanjangi sekarang dan merasakannya?” Rakhan kembali melontarkan intimidasinya.Mentari menelan ludah dengan susah payah. Rakhan tampak serius dengan ucapannya. Mentari menarik wajahnya menjauh dari wajah Rakhan. Dari kemarin malam hingga sore ini, Rakhan sudah berkali-kali menciumnya. Bulu kuduknya meremang. Desir rasa takut kalau Rakhan akan menjadikan nyata ancamannya mengalir hingga ke seluruh pembuluh nadi.“T-tidak mau ....” Mentari menggeleng. Napasnya s