Belum habis keterkejutannya akan perpindahan posisi tidur dan busana yang dikenakan Rakhan, Rakhan tiba-tiba membuka mata. Ia mengernyit sambil mengucek mata. “Sedang apa kau di sini?”Mentari menelan ludah. Ia sedikit gugup. “B-bukankah semalam aku yang tidur di sofa?”Rakhan bangkit. Ia menurunkan kaki ke lantai sementara punggungnya ia sandarkan ke punggung sofa. Kedua tangannya menggenggam kepalanya sendiri untuk melepas pusing efek beru bangun tidur. “Aku pulang, kau sudah tidur di ranjangku,” tutur Rakhan.“Oh, iya?”“Kau pikir aku kurang kerjaan memindahkanmu dari sofa ke ranjang? Siapa kau sampai aku harus melakukan itu?” sangkal Rakhan dengan nada pedas.Mentari memberengut. Mungkin ia yang lupa karena mustahil Rakhan bisa sebaik itu, memindahkannya dari sofa ke ranjang. Mentari berusaha memercayai keterangan Rakhan. “Cepat mandi sana! Perjalanan ke rumah orang tua pacarmu itu cukup memakan waktu.” Rakhan mengingatkan Mentari akan rencana mereka. “Iya!” Mentari membalas de
Mentari hampir tidak memercayai fakta yang ia dapatkan, tetapi kemungkinan besar cerita Pak RT itu benar. Ia tahu siapa ayahnya. Ayahnya bisa melakukan apa saja untuk terbebas dari segala tudingan. Cucuran air mata mengunci mulut Mentari di sepanjang perjalanan pulang. Duduk di sampingnya, Rakhan pun tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa memberikan tisu untuk menyeka air mata Mentari. Keinginannya untuk merengkuh Mentari dan membiarkan wanita itu menangis di pundaknya, dalam dekapan, terhalang oleh kekhawatiran yang begitu besar. Rakhan khawatir adanya penolakan. Rasa yang sangat tidak biasa. Ia tidak pernah membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa cemas menghadapi keinginan yang menggebu. Apa yang menjadi inginnya, akan ia lakukan tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Beberapa hari ini Mentari telah membuatnya menjadi lemah, penuh pertimbangan, dan bodoh. Rakhan merasa ia sedang dimanfaatkan Mentari untuk membantunya mencari Arya, tetapi Rakhan suka.Suka? Rakhan mengerjap menyad
Mentari tidak berniat kembali ke kamar Rakhan. Ia memutuskan tinggal di kamar lamanya dan tidak peduli lagi jika Handoko mengetahui hal itu. Semuanya sudah berakhir. Undangan rasa lapar dari perutnya pun tidak lagi menjadi target Mentari untuk segera bangkit dari tempat tidur dan turun ke ruang makan. Atau setidaknya, ia bisa memanggil salah satu ART di sana untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tidak terbersit sedikit pun ide untuk mengisi perutnya. Mentari putus asa dan terlalu lelah. Ia memejam dan merilekskan tubuhnya.Sementara itu, Rakhan baru kembali hampir tengah malam. Seperti remaja yang baru patah hati, raut wajah Rakhan tampak kusut dan mood-nya untuk bicara lebih banyak dari biasanya menurun drastis. Ia nyaris tidak berbicara ketika ia nongkrong bersama teman-temannya di pub tadi. Ia kehilangan seler
Terbalut rasa sesal yang mendalam dan kekhawatiran, Mentari beringsut menjauh dari Rakhan. Punggungnya menekan punggung ranjang yang terbuat dari besi bermotif bunga. Mentari terus menekan selimut di dada untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Sementara itu, seluruh wajah dan seputaran matanya tersengat rasa panas. Getaran di bibirnya mengindikasikan adanya kesedihan yang sedang ditahan.Rakhan berguling ke sisi lain, lalu menurunkan kakinya dari ranjang, dan segera mengenakan pakaian. Sekelumit rasa bersalah menghujam dadanya dengan kencang. Sekali lagi ia melakukan kebodohan yang sama. Ia memanfaatkan situasi. Perang di kepalanya kembali berkecamuk, tapi ia memutuskan untuk tidak meninggalkan Mentari. Rakhan mengancingkan kemejanya pelan-pelan sambil merangkai kata-kata. Ia duduk kembali di atas ranjang dengan posisi miring. Satu kakinya terlipat sementara kaki lainnya di biarkan menggantung dan bertumpu
Handoko hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku anak dan menantunya. Sulit untuk menyatukan dua hati yang bertentangan, pikirnya.“Tari!” Rakhan memegang lengan atas Mentari untuk menghentikan langkahnya. Ia kemudian bergerak ke hadapan Mentari. “Kau mau ke mana?”Mentari menatap Rakhan. Kilat matanya menajam seakan sedang mengancam. Namun, ia memalis sesaat kemudian.“Tari, aku tidak bermaksud merendahkan atau menghina ayahmu. Aku minta maaf—““Aku mau ke kampus,” potong Mentari mengabaikan permintaan maaf Rakhan. Ia menatap Rakhan sesaat, lalu mengalihkan lagi tatapannya ke arah lain.“Aku akan mengantarmu.”“Tidak perlu. Aku mau naik bus.”“Suka atau tidak, aku akan mengantarmu,” desis Rakhan. Rahangya masih mengeras dan dadanya masih berdebar kencang ketika ia menarik tangan Mentari untuk mengikuti langkahnya ke garasi. Kebisuan dan kesedihan yang terpancar dari mata Mentari memicu keheningan di sepanjang perjalanan. Perasaannya kembali tercabik-cabik pagi ini. Nam
“Non, Tuan—““Pernah ke sana atau tidak?!” potong Mentari dengan tegas.“Non, Tuan bilang—““Ya, sudah.” Mentari mengerti sikap yang ditunjukkan Anton. Tangan kanan ayahnya itu akan mengatakan ‘tidak’ jika ia tidak melakukannya, tapi ucapannya akan berputar-putar seperti baling-baling bambu jika ia benar melakukannya. Ia sudah mengenal Anton sejak ia masih anak-anak. Ia memahami betul sifat dan karakter pria itu. “Papa di mana?”“Di halaman belakang, Non. Lagi ngopi.”Memutus tanya-jawab, Mentari meninggalkan Anton tanpa permisi. Ia bergegas menuju halaman belakang. Dari ambang pintu dapur, Mentari melihat Lucian sedang duduk santai ditemani kopi hitam di gazebo bambu di pinggir kolam ikan. Pria baya itu sudah terlihat sehat dan segar kembali, padahal baru saja dirawat di rumah sakit dua minggu yang lalu. “Papa seharusnya menghindari kopi kalau tidak mau jantung Papa kambuh lagi.” Kalimat itu menjadi pengganti salam yang seharusnya Mentari ucapkan ketika ia mencapai gazebo dan berdir
“Apa maumu?” Mentari memberanikan diri bertanya.“Mengantarmu pulang.” “Siapa kau?”Tidak menjawab, pria itu lantas mendorong Mentari untuk melangkah. Tangannya turun ke pinggang Mentari dan melingkar dengan posesif. Mempertimbangkan berbagai risiko yang akan didapat, Mentari memilih untuk mengikuti arahan pria itu tanpa berteriak. Mereka berjalan keluar dari kelab seperti sepasang kekasih. Sampai tiba di depan sedan berlogo kuda jingkrak di pelataran parkir khusus, pria itu baru melepaskan tangannya dari pinggang Mentari. Dengan sopan pria itu membukakan pintu mobilnya untuk Mentari. “Silakan.” Pria itu mempersilakan Mentari masuk.“Tidak,” tegas Mentari, “aku membawa mobil sendiri.”“Biarkan saja mobilmu di sini. Nanti orangku akan mengantarkannya ke rumahmu.”“Aku tidak pergi dengan orang asing. Maaf, aku harus pergi.” Mentari berbalik, tapi pria itu berhasil mencekal tangannya. Mentari berbalik lagi dan menatap pria itu dengan tatapan geram. “Dengar, … siapa pun namamu. Kau tida
Wajah Lucian tampak tak berekspresi, datar. Ia tidak terpengaruh oleh ketidakramahan dan ucapan Rakhan. “Apa maksudmu, Nak?” tanyanya.“Kenapa Anda begitu terobsesi untuk menjadikanku menantu?” “Terobsesi?” Lucian tertawa selama beberapa saat setelah mendengar pertanyaan Rakhan. “Pilihan kata yang lucu. Tapi, memang benar aku ingin sekali menjadikanmu menantu.”“Kenapa harus aku? Ada perjanjian apa antara Anda dengan Ayah?”“Tidak ada,” tegas Lucian, “aku hanya ingin kau yang menjadi suami Mentari. Bukan yang lain.”“Alasannya?”“Karena hanya kau yang bisa menjaga Mentari.”“Kalau begitu, Anda tidak butuh menantu, tapi seorang bodyguard.”“Betul sekali. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga Mentari dan kau satu-satunya orang yang bisa melakukan itu.”Rakhan menyatukan alis. Matanya yang menyipit mengekspresikan rasa heran dan terkejutnya. “Kenapa Anda yakin sekali kalau aku bisa menjaga putri Anda. Aku bahkan tidak pernah tahu dan mengenal Mentari sebelum aku dan dia menikah, begitup