"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat.
Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari.
"Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya.
"Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan apa pun. Dan kau, Mentari, jangan memanggilku Bapak. Kau seorang Mahawira sekarang."
"Baik ...." Mentari mengangguk lalu menyuarakan panggilan ayah mertuanya dengan ragu sesaat kemudian. "Ayah."
Rakhan beranjak dari kursinya. Ia melirik arloji di tangan kirinya dengan wajah sedikit memberengut. "Aku harus pergi untuk memimpin meeting. Selamat pagi."
Tanpa menoleh pada yang lain dan hanya melihat sesaat ke arah Handoko, Rakhan meninggalkan ruang makan. Kekecewaan masih menggerogoti hatinya. Menikah dengan putri Lucian Sagara sudah membuatnya tidak tenang dan setiap langkahnya dibatasi. Di luar sana Rakhan masih punya kekasih—tepatnya penghangat ranjang—yang jauh lebih menarik dan memikat dari Mentari. Kini, pria itu dipaksa untuk menghadirkan seorang cucu dari wanita yang ia anggap sebagai anak kemarin sore. Apa yang bisa ia harapkan dari remaja yang sedang beranjak dewasa? Kemampuan apa yang ia punya di atas ranjang untuk memuaskan hasrat liarnya? Cinta dan kasih jenis apa yang akan dibangun bersama dengan wanita kekanak-kanakan itu? Semua pertanyaan yang menyiratkan keraguannya pada Mentari bergelimang memenuhi isi kepalanya. Sialnya, hanya dengan wanita itu ia diizinkan untuk mempunyai anak.
Rakhan mengepalkan tangan erat di sepanjang langkahnya. Suara bantingan pintu mobilnya yang cukup kencang beberapa waktu kemudian mengejutkan dua orang penjaga keamanan yang berjaga di garasi yang berisi sederet mobil mewah limited edition. Niat mereka untuk menghampiri mobil hitam berlogo empat cincin itu kandas ketika raungan mesin mulai terdengar. Tuan muda mereka terbiasa melakukan hal yang mengejutkan jika suasana hatinya sedang amburadul.
Di ruang makan, Handoko masih menahan jengkel akibat tingkah Rakhan yang seenaknya meninggalkan ruangan sebelum sarapan mereka selesai. Anak laki-lakinya itu tidak pernah mengindahkan perintahnya. Ia melihat Rakhan melakukan semuanya dengan terpaksa dan yang paling mencolok adalah penikahannya dengan Mentari. Jelas sekali Rakhan tidak menginginkan pernikahan itu, tapi ia harus menikahkan Rakhan dengan putri Lucian sebelum ia meninggal. Janji itu telah disepakati dan dibuat oleh ia dan Lucian sebelum ia menjadi seperti sekarang ini. Meskipun ia bisa saja memenjarakan Lucian dan membawa pria itu ke tiang gantung dengan mudah, tapi utang budinya pada si mantan preman tersebut tidak akan pernah bisa dibayar meskipun ia mengambil Mentari sebagai menantu dan tetap menyimpan semua bukti kejahatan Lucian.
"Mentari, aku harap kau bisa mengambil hati anakku agar kalian bisa mewujudkan kehidupan perkawinan yang indah. Kalian bisa punya anak banyak dan merawatnya dengan penuh kasih," cetus Handoko.
Tidak! Mentari menelan roti lapis di mulutnya terburu-buru sehingga memenuhi tenggorokan dan menghalangi napasnya. Ia lalu meneguk air putih dalam gelas kaca hingga hampir habis untuk mendorong semua makanan itu ke perut dan membebaskannya dari sesak napas. Pernyataan Handoko membuat perutnya mual. Bagaimana mungkin ia bisa mengambil hati Rakhan sementara ia membenci pria arogan itu?
"Mentari, aku tahu semua ini sulit bagimu dan juga Rakhan. Menyatukan dua kepala dan dua hati yang baru saja saling mengenal itu tidak mudah. Asal kau tahu, kakakku sebenarnya pria yang baik. Ia hanya butuh orang yang bisa mengakhiri petualangannya dalam dunia ...." Mawar memutar ke atas bola mata gelapnya mencari kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya. "Kau tahu dunia seperti apa, Mentari."
Mentari hanya diam. Ia bingung harus menunjukkan reaksi seperti apa untuk menanggapi saran ayah mertua dan adik iparnya. Pernikahannya dengan Rakhan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Mentari terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tidak mau terjebak selamanya dalam kerumitan yang sedang menghadang. Pernikahannya dengan Rakhan harus segera diakhiri.
***
"Aku mencintaimu, Mentari."
Mentari tercengang mendengar kata-kata magis yang terlontar dari mulut Arya. Semburat merah muda tampak di pipinya yang seputih pualam. Ia hampir tidak memercayai indera pendengarannya yang menangkap kalimat ajaib tersebut. Sejak pertama kali Mentari duduk di bangku kuliah, Arya sudah menarik perhatian Mentari. Namun, ia sadar diri dengan statusnya sebagai putri seorang Lucian Sagara. Siapa pun tidak akan pernah mau berurusan dengannya sehingga ia hanya bisa memendam semua rasa sendirian. Akan tetapi siang itu dari seberang meja baca perpustakaan kampus, Arya dengan berani mengatakan hal yang sangat didambakan Mentari.
Arya menatap Mentari dan ketika dilihatnya Mentari tak menunjukkan reaksi apa pun, pria paling memesona di kampus itu segera meralatnya dengan gugup. "A-aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini padamu—"
"Ucapanmu sangat indah, Arya," potong Mentari. Binar matanya seterang bintang memandang takjub Arya. "aku menyukainya."
Arya mengangkat alisnya. Pancaran kebahagiaan dari iris gelapnya berkilat-kilat menerima sambutan baik Mentari. Ia hampir putus asa mencari cara bagaimana mengungkapkan perasaan pada teman sekampusnya itu. Sekarang, dadanya mengembang lega lantaran semua beban telah tergantikan perasaan gembira.
"Kau menyukainya?"
"Iya, tentu saja. Aku suka caramu mengatakannya."
"Lalu?" Mata Arya bersinar cerah menanti Mentari mengatakan hal yang sama seperti yang sudah ia katakan.
Mentari pun mengangkat kedua alisnya menggoda Arya dengan mengulur waktu. "Lalu apa?"
"Apakah kau mempunyai perasaan yang sama—"
"Apakah sikap dan caraku memandangmu tidak cukup menjelaskan?" sekali lagi Mentari memotong ucapan Arya.
Arya tersenyum bangga. Keinginannya untuk memeluk dan mencium Mentari saat itu juga terbangun. "Bolehkah aku menciummu?"
Mentari melebarkan mata karena kaget. "Di sini?"
"Hanya sebuah kecupan."
Mata cokelat Mentari menembus bahu lebar Arya. Ia hanya melihat beberapa pengunjung perpustakaan di depan meja petugas dan dua orang lainnya di ruang baca. Mentari melemparkan senyuman setuju pada Arya.
Arya mengecup lembut bibir Mentari. Kecupan seringan sayap kupu-kupu itu menjadi bukti pertama cinta yang terpatri di hati keduanya. "Aku sayang sama kamu, Tari," ucap Arya kemudian.
"Aku juga sayang kamu, Arya."
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti