Share

6. Memori Tentangmu

"Valeria, maafkan aku," ucap Handoko dengan suara pelan dan syahdu seakan mendiang istrinya sedang mendengarkan. Kedua tangan pria baya berkemeja hitam itu saling menggenggam di depan dada dan kepalanya menunduk beberapa saat.

Rakhan mendesah kesal. Air muka dari wajahnya yang mencerminkan maskulinitas sejati berubah muram dan geram. Ia kemudian menatap bengis pada Mentari. Tatapannya yang menuduh Mentari sebagai penyebab kekacauan hidupnya tertangkap oleh lirikan wanita itu. Mentari menunduk menahan rasa jengkel. Tangannya menggenggam erat garpu dan pisau roti. Bukan Rakhan yang seharusnya marah-marah, tetapi Mentari-lah yang seharusnya menghajar pria itu. Rakhan adalah sumber dari segala rasa sakit dan derita yang ia rasakan sekarang, pikir Mentari.

"Aku juga tidak suka pesta, Pak Handoko. Bisakah—" Mentari mengungkapkan kekesalan dan ganjalan di hatinya.

"Tidak bisa," potong Handoko tegas. "Kalian berdua memang pasangan yang aneh. Aku tidak mau mendengar keluhan dan penolakan apa pun. Dan kau, Mentari, jangan memanggilku Bapak. Kau seorang Mahawira sekarang."

"Baik ...." Mentari mengangguk lalu menyuarakan panggilan ayah mertuanya dengan ragu sesaat kemudian. "Ayah."

Rakhan beranjak dari kursinya. Ia melirik arloji di tangan kirinya dengan wajah sedikit memberengut. "Aku harus pergi untuk memimpin meeting. Selamat pagi."

Tanpa menoleh pada yang lain dan hanya melihat sesaat ke arah Handoko, Rakhan meninggalkan ruang makan. Kekecewaan masih menggerogoti hatinya. Menikah dengan putri Lucian Sagara sudah membuatnya tidak tenang dan setiap langkahnya dibatasi. Di luar sana Rakhan masih punya kekasih—tepatnya penghangat ranjang—yang jauh lebih menarik dan memikat dari Mentari. Kini, pria itu dipaksa untuk menghadirkan seorang cucu dari wanita yang ia anggap sebagai anak kemarin sore. Apa yang bisa ia harapkan dari remaja yang sedang beranjak dewasa? Kemampuan apa yang ia punya di atas ranjang untuk memuaskan hasrat liarnya? Cinta dan kasih jenis apa yang akan dibangun bersama dengan wanita kekanak-kanakan itu? Semua pertanyaan yang menyiratkan keraguannya pada Mentari bergelimang memenuhi isi kepalanya. Sialnya, hanya dengan wanita itu ia diizinkan untuk mempunyai anak.

Rakhan mengepalkan tangan erat di sepanjang langkahnya. Suara bantingan pintu mobilnya yang cukup kencang beberapa waktu kemudian mengejutkan dua orang penjaga keamanan yang berjaga di garasi yang berisi sederet mobil mewah limited edition. Niat mereka untuk menghampiri mobil hitam berlogo empat cincin itu kandas ketika raungan mesin mulai terdengar. Tuan muda mereka terbiasa melakukan hal yang mengejutkan jika suasana hatinya sedang amburadul.

Di ruang makan, Handoko masih menahan jengkel akibat tingkah Rakhan yang seenaknya meninggalkan ruangan sebelum sarapan mereka selesai. Anak laki-lakinya itu tidak pernah mengindahkan perintahnya. Ia melihat Rakhan melakukan semuanya dengan terpaksa dan yang paling mencolok adalah penikahannya dengan Mentari. Jelas sekali Rakhan tidak menginginkan pernikahan itu, tapi ia harus menikahkan Rakhan dengan putri Lucian sebelum ia meninggal. Janji itu telah disepakati dan dibuat oleh ia dan Lucian sebelum ia menjadi seperti sekarang ini. Meskipun ia bisa saja memenjarakan Lucian dan membawa pria itu ke tiang gantung dengan mudah, tapi utang budinya pada si mantan preman tersebut tidak akan pernah bisa dibayar meskipun ia mengambil Mentari sebagai menantu dan tetap menyimpan semua bukti kejahatan Lucian.

"Mentari, aku harap kau bisa mengambil hati anakku agar kalian bisa mewujudkan kehidupan perkawinan yang indah. Kalian bisa punya anak banyak dan merawatnya dengan penuh kasih," cetus Handoko.

Tidak! Mentari menelan roti lapis di mulutnya terburu-buru sehingga memenuhi tenggorokan dan menghalangi napasnya. Ia lalu meneguk air putih dalam gelas kaca hingga hampir habis untuk mendorong semua makanan itu ke perut dan membebaskannya dari sesak napas. Pernyataan Handoko membuat perutnya mual. Bagaimana mungkin ia bisa mengambil hati Rakhan sementara ia membenci pria arogan itu?

"Mentari, aku tahu semua ini sulit bagimu dan juga Rakhan. Menyatukan dua kepala dan dua hati yang baru saja saling mengenal itu tidak mudah. Asal kau tahu, kakakku sebenarnya pria yang baik. Ia hanya butuh orang yang bisa mengakhiri petualangannya dalam dunia ...." Mawar memutar ke atas bola mata gelapnya mencari kata yang tepat untuk melanjutkan ucapannya. "Kau tahu dunia seperti apa, Mentari."

Mentari hanya diam. Ia bingung harus menunjukkan reaksi seperti apa untuk menanggapi saran ayah mertua dan adik iparnya. Pernikahannya dengan Rakhan adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Mentari terus mengingatkan dirinya sendiri kalau ia tidak mau terjebak selamanya dalam kerumitan yang sedang menghadang. Pernikahannya dengan Rakhan harus segera diakhiri.

***

"Aku mencintaimu, Mentari."

Mentari tercengang mendengar kata-kata magis yang terlontar dari mulut Arya. Semburat merah muda tampak di pipinya yang seputih pualam. Ia hampir tidak memercayai indera pendengarannya yang menangkap kalimat ajaib tersebut. Sejak pertama kali Mentari duduk di bangku kuliah, Arya sudah menarik perhatian Mentari. Namun, ia sadar diri dengan statusnya sebagai putri seorang Lucian Sagara. Siapa pun tidak akan pernah mau berurusan dengannya sehingga ia hanya bisa memendam semua rasa sendirian. Akan tetapi siang itu dari seberang meja baca perpustakaan kampus, Arya dengan berani mengatakan hal yang sangat didambakan Mentari.

Arya menatap Mentari dan ketika dilihatnya Mentari tak menunjukkan reaksi apa pun, pria paling memesona di kampus itu segera meralatnya dengan gugup. "A-aku tahu aku tidak pantas mengatakan ini padamu—"

"Ucapanmu sangat indah, Arya," potong Mentari. Binar matanya seterang bintang memandang takjub Arya. "aku menyukainya."

Arya mengangkat alisnya. Pancaran kebahagiaan dari iris gelapnya berkilat-kilat menerima sambutan baik Mentari. Ia hampir putus asa mencari cara bagaimana mengungkapkan perasaan pada teman sekampusnya itu. Sekarang, dadanya mengembang lega lantaran semua beban telah tergantikan perasaan gembira.

"Kau menyukainya?"

"Iya, tentu saja. Aku suka caramu mengatakannya."

"Lalu?" Mata Arya bersinar cerah menanti Mentari mengatakan hal yang sama seperti yang sudah ia katakan.

Mentari pun mengangkat kedua alisnya menggoda Arya dengan mengulur waktu. "Lalu apa?"

"Apakah kau mempunyai perasaan yang sama—"

"Apakah sikap dan caraku memandangmu tidak cukup menjelaskan?" sekali lagi Mentari memotong ucapan Arya.

Arya tersenyum bangga. Keinginannya untuk memeluk dan mencium Mentari saat itu juga terbangun. "Bolehkah aku menciummu?"

Mentari melebarkan mata karena kaget. "Di sini?"

"Hanya sebuah kecupan."

Mata cokelat Mentari menembus bahu lebar Arya. Ia hanya melihat beberapa pengunjung perpustakaan di depan meja petugas dan dua orang lainnya di ruang baca. Mentari melemparkan senyuman setuju pada Arya.

Arya mengecup lembut bibir Mentari. Kecupan seringan sayap kupu-kupu itu menjadi bukti pertama cinta yang terpatri di hati keduanya. "Aku sayang sama kamu, Tari," ucap Arya kemudian.

"Aku juga sayang kamu, Arya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status