Share

Kenyataan yang Membuat Kecewa

“Percuma kuliah tinggi-tinggi, eh … ujung-ujungnya jadi pelayan kafe,” ujar Renita menyindir Sheryl.

Saat ini Sheryl bekerja di sebuah kafe demi menyanbung hidup. Dia tidak mungkin terus menerus berdiam diri menunggu panggilan kerja sementara kebutuhan terus mendesak.

“Iya, nih. Nggak ada bedanya sama gue yang lulusan SMA dan kerja ngelap meja,” timpal Yeni.

Sheryl yang mendengarkan sindiran itu memilih untuk cuek dan menutup telinga rapat-rapat. Dia bekerja seperti ini bukan karena keinginannya sendiri, tapi karena dipaksa oleh keadaan.

Setiap hari Sheryl akan mengecek email dan memeriksa apakah ada panggilan wawancara untuknya. Dia menghela napas setiap kali harapannya tidak terkabul.

Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bekerja dengan baik lalu menerima gaji. Tidak dipedulikannya sindiran dari orang-orang sirik seperti itu.

“Kalian jangan ngerumpi aja, kerja yang benar sana!” seru Nata pada dua orang perempuan yang berdiri di dekat meja kasir. “Lihat Sheryl, tuh. Walaupun masih baru tapi pekerjaannya bagus dan cekatan.”

“Ya, ampun, Mas Nata kenapa marah-marah, sih?” tanya Renita dengan wajah sebal namun masih dibuat seimut mungkin. “Kami Cuma berdiri sebentar, loh.”

“Iya, nih. Mas Nata kalau marah begitu makin cakep aja,” ujar Yeni dengan senyum menggoda.

Laki-laki pemilik kafe itu hanya mendelik marah pada dua karyawannya yang tampak tidak takut sama sekali. Mereka justru berlalu sambil cekikikan.

“Sher, kamu istirahat dulu, gih. Kasihan kamu terus dari tadi yang turun melayani pelanggan,” ujar Nata pada Sheryl.

“Nggak apa-apa, Mas. Saya juga sudah istirahat tadi,” jawab Sherly sambil menggeleng.

Kedua perempuan yang mengenakan seragam sama seperti Sheryl saling pandang, lalu mencibir. Setelah Nata pergi barulah mereka menyerang Sheryl dengan sindiran-sindiran yang menyakitkan hati.

“Mentang-mentang sarjana jangan sok cari muka, dong!” seru Yeni dengan begitu sinis.

“Sok-sokan nolak disuruh istirahat biar dianggap sebagai karyawan teladan. Cih!” tukas Renita tak kalah sinis.

Sheryl menatap keduanya dengan tenang dan tidak terpancing emosi sama sekali. Dia terus bekerja tanpa berniat membuang energi meladeni kedua perempuan itu.

Sheryl kemudian membawa secangkir kopi di nampannya dan berjalan cepat menuju meja pelanggan. Saat meletakkan kopi di meja, Sheryl terkejut melihat bahwa dia mengenal laki-laki itu.

“Hai,” sapa laki-laki itu sambil mengulas senyum tipis.

Sheryl tidak menjawab tapi air mukanya yang berubah keruh menandakan bahwa dia tidak senang dengan pertemuan ini.

“Duduklah, Sherly. Kita perlu bicara,” ujar laki-laki itu setengah memerintah.

“Sorry, aku tidak punya waktu!” tukas Sheryl ketus. Memangnya laki-laki itu tidak bisa melihat kalau Sheryl sedang bekerja? Bisa-bisanyadia meminta Sheryl untuk duduk dengannya.

“Ini masalah uang santunan kematian orang tuamu,” ujar Haikal.

“Aku tidak peduli lagi dengan segala modus licikmu. Makan saja uang itu, aku bisa bertahan hidup tanpa santunan darimu!” balas Sheryl sambil berlalu.

“Bagaimana dengan adikmu? Kau yakin dia akan bertahan sepertimu?” ucap Haikal dengan suara sedikit dikeraskan.

Sheryl berbalik dan menatap laki-laki itu dengan tajam. “Apa maksudmu?”

“Kau yakin adikmu pergi kuliah dan belajar di kampusnya?” tanya Haikal lagi. Senyum laki-laki itu tampak aneh sekaligus memuakkan.

“Tentu saja!” balas Sheryl dengan begitu yakin.

Haikal berjalan mendekati Sheryl seraya mengeluarkan ponselnya. Kemudian dia memperlihatkan foto Anindya yang sedang berada di sebuah padang golf. Gadis itu mengenakan seragam caddy lengkap dengan topi lebar sedang menenteng tas besar. Foto itu benar-benar membuat Sheryl terkejut.

“Kau mungkin bisa bertahan, Sheryl. Tapi tidak dengan adikmu….” Bisik Haikal.

Sheryl memandang foto itu dengan perasaan yang hancur. Dia tidak pernah menyangka jika Anindya akan membohonginya sampai sejauh ini. Padahal adiknya itu selalu berkata bahwa dia mempercayai Sheryl. Tapi sekarang, Sheryl dihadapkan pada sebuah fakta yang menyayat jantungnya.

Haikal menatap Sheryl dengan lekat. Dia mengamati wajah gadis itu yang tampak shock dengan napas sedikit memburu. Ada perasaan menang saat Haikal bisa membuat gadis itu tampak tak berdaya, tapi di sisi lain, dia juga ingin memberi perlindungan untuknya.

“Menikahlah denganku, maka aku akan mewujudkan mimpi adikmu menjadi dokter yang hebat. Akan kuberi kalian kehidupan yang mudah dan menyenangkan,” ujar Haikal.

“Aku tidak percaya padamu!” dengkus Sheryl sinis.

“Kalau begitu, kau akan melihat adikmu kehilangan mimpinya,” balas Haikal.

“Biar saja, itu sudah menjadi resikonya sendiri,” tukas Sheryl dengan pura-pura tidak peduli. “Tidak semua mimpi harus tercapai…”

“Kau egois sekali, Sheryl. Kau hanya memikirkan tentang dirimu saja. Suatu saat nanti kau pasti akan menyesal ketika melihat adikmu kehilangan mimpinya,” ujar Haikal lagi.

Sheryl termenung beberapa saat. Bohong jika dia bilang bahwa dia akan membiarkan Anindya kehilangan mimpinya. Sheryl akan dilanda penyesalan seumur hidup jika semua itu benar-benar terjadi.

“Aku menginginkanmu, Sheryl. Percayalah, rasa yang kumiliki adalah sebuah keinginan yang datang tanpa kuduga,” ujar Haikal lagi.

Haikal terpaku dalam kesunyian, arah pandangannya tak kunjung berganti dari sosok perempuan rapuh yang ingin sekali digapainya. Dia sadar bahwa sebuah ketertarikan telah tumbuh di dalam hatinya sejak pertama melihat gadis ini.

“Apa kau berjanji akan membiayai kuliah Anindya?” tanya Sheryl sedikit ragu.

“Pasti. Aku akan membuktikannya,” balas Haikal.

“Beri aku waktu untuk membuat keputusan,” ucap Sheryl dengan nada yang terdengar begitu putus asa. Potret Anindya dalam pakaian caddy girl itu telah membuatnya terasa kalah tapi Sheryl tidak ingin membuat keputusan gegabah.

Khusus hari itu, Sheryl memutuskan untuk pulang lebih cepat dan merelakan bayaran lemburnya begitu saja. Pikirannya tidak tenang dan dia ingin segera menemui Anindya. Sheryl berdoa agar apa yang Haikal tunjukkan padanya hanyalah sebuah kebohongan untuk menjebaknya saja.

“Nin, kamu dari mana?” tanya Sheryl sambil berpangku tangan. Dia berdiri di ambang pintu untuk menyambut kedatangan adiknya.

“Loh, tumben Kakak sudah pulang kerja jam segini?” tanya Anindya balas bertanya.

“Lalu maumu bagaimana? Aku tidak boleh pulang kerja jam segini?”

“Bukan begitu, Kak. Biasanya Kakak selalu pulang larut malam dengan alasan lembur.”

“Dengan begitu kau bisa leluasa membohongiku, iya, ‘kan?” tanya Sheryl dengan nada kecewa.

“Apa maksud Kakak?” tanya Anindya heran.

“Jangan pura-pura lugu padahal kau adalah seorang pembohong!” teriak Sheryl marah.

Anindya berjengit kaget sekaligus bingung. Apalagi setelah itu Sheryl merampas tas miliknya dan mengeluarkan isinya. Anindya mencoba mempertahankan tasnya tapi dia kalah cepat.

Seragam caddy miliknya tergeletak begitu saja sebagai saksi bisu tentang kebohongannya. Sheryl menutup mulutnya demi meredam tangis. Ternyata ucapan Haikal tadi siang memang benar adanya.

“Kenapa kamu begini, Nin?” tanya Sheryl sambil terisak. “Kenapa kamu bohongin kakak?”

“Maaf, Kak…” ujar Anindya lirih.

Sheryl duduk berjongkok di lantai sambil sesenggukkan. Kekecewaan membungkus hatinya dengan erat.

Rasanya sakit sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status