Setelah beberapa saat terduduk diam di atas ranjang, Ivy mulai merasa bosan. Ia berniat bermain ponsel. Tangannya lalu merogoh tas selempangnya, namun ponselnya tak ada di dalam.
Ia baru teringat ponselnya diambil oleh Evan dan belum dikembalikan. “Kalau begini, aku harus ngapain?” gumamnya pada diri sendiri. Ivy merebahkan diri di kasur dengan posisi telentang sambil menatap langit-langit. Ia melepas kerudung yang sedari tadi ia kenakan. Pandangannya kembali mengedar ke sekeliling kamar. Matanya kemudian tertarik pada rak kecil yang dipenuhi buku. Dengan penasaran, ia mendekati rak tersebut dan mengambil salah satu buku secara acak. Judulnya Addicted to Curry. Begitu ia membuka halaman pertama, ternyata itu adalah sebuah komik. Ivy mulai membacanya. Larut dalam cerita, tanpa terasa satu judul telah ia selesaikan. Ia pun mengambil dan membaca komik yang lain. Ia tak menyangka bahwa Evan ternyata menyukai komik, sebuah hal yang terasa bertolak belakang dengan penampilannya. Terlebih lagi, hampir semua komik yang ada bertema masakan dan berkisah tentang kehidupan para koki. “Apakah Evan seorang koki?” gumam Ivy pada dirinya sendiri. Hingga kini, Ivy memang belum mengetahui apa sebenarnya pekerjaan Evan. Ia sempat menduga bahwa pria itu adalah seorang pengusaha, namun dugaannya belum terbukti. Saat sedang asyik membaca, pintu kamar tiba-tiba terbuka yang seketika menghilangkan fokus Ivy. Tampak Evan berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datarnya yang khas. “Udah selesai urusannya?” tanya Ivy sambil melirik jam dinding. Jarum pendek menunjukkan angka sepuluh. “Udah,” jawab Evan singkat. Ivy mengangguk tanpa berkata apa-apa lalu kembali melanjutkan membaca komik. “Lagi ngapain?” tanya Evan. “Ini, baca komik,” jawab Ivy, masih tanpa melepaskan pandangan dari halaman buku. “Ayo, katanya mau ke rumah kamu,” ajak Evan. “Bentar, tanggung,” sahut Ivy cepat. Hening. Ivy sempat melirik Evan. Lelaki itu kini duduk di sofa, bersandar dengan mata terpejam. Ia tampak seperti sedang dilanda masalah. Ivy yang mulai merasa tak enak akhirnya menutup komik dan berkata, “Udah selesai. Ayo pulang.” “Hm,” gumam Evan singkat. Ia bangkit berdiri dan melangkah keluar kamar tanpa menunggu Ivy. Ivy pun segera mengenakan kerudungnya dan menyusul Evan keluar dari kamar. Dengan langkah tergesa, ia menuruni anak tangga, mengikuti Evan yang sudah lebih dulu berada di depan rumah. “Cepat banget, sih, jalannya,” keluh Ivy pelan. Di depan rumah, seperti sebelumnya, telah berdiri seorang pelayan wanita dan dua orang laki-laki berpakaian formal. Evan memberi isyarat kepada Ivy untuk mendekat ke arah mobil lalu membukakan pintu untuknya. Setelah Ivy masuk, Evan menyusul dan duduk di sebelahnya. Mobil pun mulai melaju, meninggalkan rumah megah itu. Di dalam mobil, seperti biasa, tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Ivy sempat melirik ke arah Evan yang tampak sedang memikirkan suatu hal. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah Ivy. Ia berniat turun, tetapi Evan lebih dulu menahannya. “Biar saya aja yang buka. Mana kuncinya?” kata Evan sambil menengadahkan tangan kirinya. Tanpa menjawab, Ivy langsung menyerahkan kunci itu kepadanya. Beberapa saat kemudian, gerbang berhasil dibuka dan mobil pun masuk ke halaman rumah. Evan lalu keluar dari mobil, sementara Ivy tetap duduk di dalam. “Nggak keluar?” tanya Evan sambil mengambil tas dari kursi belakang. “Hah?” sahut Ivy bingung. Sedetik kemudian, ia mengetuk keningnya sendiri, merasa bodoh. Ternyata, ia diam di dalam mobil karena berharap Evan akan membukakan pintu untuknya. Namun, ia terlalu berharap, Evan bahkan tidak memedulikannya. Dengan wajah masam, Ivy keluar dari mobil. Ia sadar, Evan hanya bersikap manis ketika ada orang lain. “Kenapa?” tanya Evan tiba-tiba. “Apanya yang kenapa?” balas Ivy cepat. “Mukanya.” Ivy menyentuh wajahnya lalu berkata, “Kenapa emang?” “Cemberut gitu,” jawab Evan santai. “Gapapa,” ucap Ivy singkat lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Evan mengerutkan kening lalu mengedikkan bahu tanda tak mau ambil pusing. “Maaf ya kalau rumahnya kecil,” ucap Ivy sambil membuka jendela ruang tamunya. “Emang kecil,” jawab Evan santai lalu duduk di sofa. Ivy menyipitkan mata kesal ke arah Evan, ia kemudian memalingkan pandangan. Rumahnya memang tak sebesar rumah Evan, bahkan kamar Evan lebih luas daripada ruang tamu ini. Ia memang sengaja membangun rumah yang tidak terlalu besar. Selain agar tak memakan biaya terlalu mahal, ia juga tinggal sendiri. Jadi, rumah ini dirasa cukup untuk dirinya. Ivy kemudian berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Evan sendiri di ruang tamu. Sejujurnya, ia bingung harus melakukan apa. Ini adalah pertama kalinya ada laki-laki yang akan tinggal di rumahnya dan orang itu adalah suaminya sendiri. Ivy berjalan mondar-mandir, mencoba memikirkan cara agar tidak terlihat gugup. Tiba-tiba pintu diketuk pelan dari luar. Ivy menduga bahwa Evan yang mengetuknya. Ia pun berusaha menormalkan ekspresi wajahnya lalu membuka pintu kamar. “Ada apa?” tanya Ivy begitu pintu terbuka. Evan terdiam sejenak dengan ekspresi datar lalu berkata, “Begini sikap kamu ke suami kamu? Ninggalin di ruang tamu sendiri?” Ivy hanya terdiam, bingung harus menjawab apa. Tanpa menunggu izin, Evan langsung masuk ke dalam kamar. Ia sempat mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, namun mulutnya tetap terkatup. Pandangannya lalu terhenti pada sebuah tempat tidur kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Pria itu kemudian melangkahkan kaki ke arah kasur. Ivy yang menyadari hal itu buru-buru membuka suara, “Eh, itu—” “Diem. Saya capek, mau tidur,” potong Evan lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur kecil itu. Tubuhnya yang tinggi besar jelas tak muat di kasur tersebut. Ivy semakin bingung, ia ingin membangunkan Evan, tapi pria itu tampak nyaman. Akhirnya Ivy memilih untuk duduk di kursi belajarnya. Tiba-tiba Ivy teringat kalau ponselnya masih bersama Evan. Ia pun melangkah ke arah tempat tidur, namun saat sudah berada di sana, Ivy hanya berdiri diam karena bingung bagaimana cara untuk meminta ponselnya kepada Evan. Evan yang menyadari kehadiran Ivy di sampingnya pun membuka mata lalu bertanya, “Kenapa? Mau tidur bareng?” “Hah? Nggak,” jawab Ivy cepat, pipinya langsung terasa panas. “Terus?” tanya Evan lagi. “Eee HP. HP aku masih ada di kamu, kan?” tanya Ivy. Evan tidak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya dan menyerahkan sebuah ponsel dengan casing berwarna pink kepada Ivy. “Ini. Ada banyak pesan dari Jagoan Neon,” katanya lalu kembali memejamkan mata. “Hah?” Ivy tampak bingung. Jagoan Neon? Maksudnya Naufal? Tanya Ivy dalam hati. Seketika ekspresi wajahnya berubah, sebuah senyum kecil perlahan muncul dan matanya tampak berbinar saat menatap layar ponsel. Evan yang masih berbaring diam-diam memperhatikan perubahan ekspresi Ivy. Ia menarik napas pelan lalu kembali memejamkan matanya.Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha
“Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M
"Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma
Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita
Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya
"Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p