Sesampainya di area parkir, Evan tanpa banyak bicara membuka pintu penumpang untuk Ivy.
Evan sedikit menunduk dan berbisik pelan, "Ingat, tetap senyum." Ivy membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan lalu masuk ke dalam mobil tanpa berkata apapun. Evan menutup pintu perlahan lalu berjalan mengitari mobil menuju sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Begitu Evan masuk dan menutup pintu mobil di sisi pengemudi, Ivy langsung menoleh ke arahnya. "Kenapa tadi di hotel semua orang kayak ngeliatin kita?" tanyanya pelan namun penuh rasa ingin tahu. Evan tak langsung menjawab. Ia menyalakan mesin mobil, memeriksa kaca spion, lalu menghela napas pendek. "Nanti juga kamu tahu sendiri," ucapnya datar, tanpa menoleh ke arah Ivy. Ia mulai melajukan mobil meninggalkan area parkir hotel. Jawaban Evan barusan membuat Ivy enggan melanjutkan percakapan. Ia memalingkan wajahnya ke jendela, menatap jalanan yang berganti-ganti di balik kaca. Gedung-gedung, pepohonan, dan kendaraan lain lewat begitu saja, tapi pikirannya tetap tertahan di hotel tadi, ia merasa ada yang janggal. Beberapa menit kemudian, Ivy merasakan ada yang aneh. Ia mengenali jalan yang mereka lewati dan ini bukan arah ke rumahnya. Perlahan, alisnya bertaut. Ia melirik ke arah Evan yang masih fokus menyetir, wajahnya tenang, seolah semuanya berjalan biasa saja. Ivy menoleh kembali ke jalan, memastikan dugaannya. Benar. Mereka tidak mengambil jalur untuk sampai ke rumahnya. Ia menegakkan duduknya lalu berkata dengan nada penuh kecurigaan, "Ini kayaknya bukan jalan ke rumah saya, deh." "Emang bukan. Kita ke rumah saya dulu," jawab Evan santai tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan. "Hah? Ngapain?" tanya Ivy terkejut. "Saya ada urusan sebentar. Sekalian mau ambil baju," jelas Evan sambil tetap fokus menyetir. Ivy terdiam sejenak. Ada keinginan untuk bertanya lebih lanjut, tapi ia menahan diri. "Oh, baiklah," balasnya singkat. Ia kembali memalingkan wajah ke jendela, memilih untuk diam. Beberapa menit kemudian, mobil mereka melambat dan berhenti tepat di depan sebuah gerbang tinggi berwarna hitam dengan aksen besi yang kokoh. Gerbang besar itu tampak megah, dikelilingi tembok tinggi dan rimbun tanaman hias yang tertata rapi di sisinya. Tak lama kemudian, gerbang terbuka secara otomatis. Mobil pun kembali melaju pelan, memasuki area rumah yang sangat luas. Jalanan dalam pekarangan dipaving rapi, dikelilingi taman hijau dan kolam kecil di sisi kiri. Di ujung jalur itu berdiri sebuah rumah megah bergaya minimalis modern—dinding berwarna putih bersih, kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi, dan aksen kayu yang menambah kesan elegan. Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Evan segera keluar, lalu bergegas membuka pintu untuk Ivy. Ivy turun dengan langkah perlahan. Matanya langsung membulat saat menatap bangunan di hadapannya. Rumah itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan. "Rumahnya besar banget," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri. Evan, yang mendengarnya, hanya menggeleng pelan dengan senyum kecil yang samar. Di depan pintu rumah, sudah berdiri beberapa pelayan perempuan dengan seragam hitam serta dua laki-laki berpakaian formal. Mereka semua berdiri sejajar, menundukkan kepala sedikit begitu Evan dan Ivy mendekat, seolah menyambut kedatangan tuan dan nyonya rumah. “Tolong antar Nyonya ke kamar saya,” perintah Evan kepada salah satu pelayan perempuan. “Baik, Tuan,” jawab pelayan itu sopan. Ia kemudian mendekati Ivy dengan senyum ramah dan berkata, “Mari, Nyonya.” Ivy membalas dengan senyuman hangat lalu menoleh ke arah Evan. “Kamu mau ke mana?” tanyanya lembut. “Saya ada urusan sebentar. Kamu ke kamar saya saja dulu,” jawab Evan dengan nada lebih tenang dari biasanya. “Baiklah,” balas Ivy singkat. Dengan langkah pelan, Ivy mengikuti pelayan tersebut masuk ke dalam rumah, sementara Evan tetap berdiri di depan, matanya mengikuti kepergian mereka sebelum akhirnya berbalik untuk menjalankan urusannya. Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, Ivy kembali dibuat takjub. Interior rumah itu jauh lebih menawan dari yang terlihat dari luar. Setiap sudut tampak rapi dan tertata dengan sempurna. Desainnya elegan dan modern. Dinding rumah didominasi warna abu-abu, dipadukan dengan elemen hitam dan putih. Di dalam hatinya, ia Ivy menyimpulkan satu hal bahwa Evan pasti bukan tipe orang yang suka warna-warna terang. Pelayan yang menuntunnya tetap berjalan di depan dengan sopan lalu membawa Ivy menaiki tangga menuju lantai atas. Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna abu gelap. Sang pelayan menoleh dan berkata dengan sopan, “Ini kamar Tuan, Nyonya.” Ivy mengangguk pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Jangan panggil Nyonya, panggil Ivy aja,” ujarnya canggung. “Maaf, Nyonya, tapi itu tidak sopan. Lagipula, Tuan sendiri yang memintanya,” jelas pelayan itu tetap dengan nada ramah. Ivy kembali mengangguk pelan. “Oh, baiklah,” ucapnya pasrah. Setelah itu, pelayan tersebut membungkukkan badan sedikit sebagai tanda izin lalu berbalik dan pergi meninggalkan Ivy sendiri di depan kamar. Ivy menatap pintu besar itu sejenak, menarik napas pelan, lalu memutar kenop dan masuk ke dalam kamar Evan. Begitu pintu terbuka, Ivy melangkah masuk dan langsung disambut oleh aroma segar dari pengharum ruangan yang lembut. Matanya menyapu keseluruhan kamar dan untuk kesekian kalinya hari itu, ia kembali dibuat tercengang. Kamar Evan sangat rapi—terlalu rapi, bahkan. Tidak ada satu pun barang yang tampak berserakan. Meja di sudut ruangan hanya diisi barang-barang penting, semuanya tertata sejajar, seolah dipasang dengan penggaris. Ivy berdiri mematung sejenak. Ia membandingkan dengan kamarnya sendiri yang biasanya penuh dengan baju berserakan dan buku di mana-mana. Ivy berjalan pelan lalu duduk di pinggir tempat tidur. “Hidupnya kayaknya terlalu teratur,” gumamnya pelan sambil menatap ke sekeliling, ia semakin menyadari betapa berbeda dunia mereka berdua.Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng
Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi
Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun
“Selamat datang kak, saya terapis untuk perawatan kakak. Silahkan berganti pakaian ya kak, bajunya bisa disimpan di keranjang ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk ke arah gantungan yang di mana selembar kain besar berwarna putih tergantung rapi.Tubuh Ivy menegang seketika mendengar perintah tersebut. “Bajunya dilepas kak?” “Iya kak, tenang aja. Selagi kakak ganti baju, nanti saya tunggu di luar dan tentunya privasi kakak terjamin aman,” jelas sang terapis kemudian berjalan keluar.Ivy pun mengangguk walaupun ia merasa malu jika harus berganti pakaian di sini. Namun karena tidak ada pilihan lain, dengan terpaksa Ivy menuruti perintah tersebut. Ia pun melepaskan pakaiannya, lalu membalut tubuhnya dengan kain spa yang sudah disediakan.“Silahkan berbaring terngkurap ya kak, nanti saya mulai dari punggung,” ucap sang terapis dengan lembut.Ivy pun mengangguk dan menuruti perintah tersebut. Ia berbaring di atas ranjang putih yang terasa begitu lembut dan hangat. Sangat nyaman sekali hing
“Ivy? Kamu ngapain disini?” tanya Naufal terlihat kaget begitu melihat pelanggan yang berada di depannya adalah sosok perempuan yang sudah lama tidak ia temui.Ivy hanya menatap wajah Naufal, tubuhnya terasa kaku. Ingatan tentang perlakuan buruk Naufal kepadanya tiba-tiba berputar di kepalanya.“Kak?” “Kak?” panggil karyawan melihat Ivy hanya terdiam. “Eh iya?” jawab Ivy dengan gugup. Ia berusaha menormalkan mimik wajahnya agar terlihat biasa saja di depan Naufal.“Jadi… jadi kamu manager di toko ini?” tanya Ivy.“Iya,” jawab Naufal singkat. Pria itu menatap Ivy dengan tatapan datar. Entah apa yang sedang ia pikirkan, Ivy pun tak tahu. Namun yang pasti Ivy ingin segera pergi dari sini. Ia begitu takut berhadapan dengan pria yang menurutnya sangat menyeramkan. “Kalau… kalau pesanan aku jadi malam ini bisa?” tanya Ivy.Sebelum Naufal menjawab pertanyaan Ivy, pria itu memberi isyarat kepada karyawan di sebelahnya untuk meninggalkan mereka berdua.“Kenapa? Semua pesanan di proses sesua
Setelah perjalanan kurang lebih selama lima belas menit, mobil Ivy akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berada di sudut jalan. Bagian depan bangunan itu ditutupi oleh kaca, sehingga setiap orang yang lewat bisa mengetahui aktivitas di dalamnya. Dari situ juga Ivy tahu, walaupun bangunan tersebut tampak kecil, namun banyak pengunjung yang datang. Di bagian atas pintu, terdapat tulisan yang terbuat dari ukiran kayu: Kilas Kenangan. Ivy membuka pintu itu secara perlahan. Bunyi lonceng langsung menyambutnya. Beberapa orang yang berada di dalam toko langsung menatap ke arahnya sebentar, kemudian kembali fokus kepada benda di depan mereka. Ivy berkeliling untuk mengamati satu per satu cangkir-cangkir putih yang berada di etalase kaca. Sebagai orang yang menyukai seni, ia tersenyum senang melihat desain cangkir yang begitu unik dan cantik. Ivy mengedarkan pandangannya ke sekeliling toko, lalu pandangannya berhenti ke arah seorang perempuan muda yang memakai seragam berwa