Share

Pergi ke rumah Evan

Author: Simplyree
last update Last Updated: 2025-05-19 10:19:18

Sesampainya di area parkir, Evan tanpa banyak bicara membuka pintu penumpang untuk Ivy.

Evan sedikit menunduk dan berbisik pelan, "Ingat, tetap senyum."

Ivy membalas dengan senyum tipis yang dipaksakan lalu masuk ke dalam mobil tanpa berkata apapun.

Evan menutup pintu perlahan lalu berjalan mengitari mobil menuju sisi kemudi dan masuk ke dalam mobil. Begitu Evan masuk dan menutup pintu mobil di sisi pengemudi, Ivy langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa tadi di hotel semua orang kayak ngeliatin kita?" tanyanya pelan namun penuh rasa ingin tahu.

Evan tak langsung menjawab. Ia menyalakan mesin mobil, memeriksa kaca spion, lalu menghela napas pendek.

"Nanti juga kamu tahu sendiri," ucapnya datar, tanpa menoleh ke arah Ivy. Ia mulai melajukan mobil meninggalkan area parkir hotel.

Jawaban Evan barusan membuat Ivy enggan melanjutkan percakapan. Ia memalingkan wajahnya ke jendela, menatap jalanan yang berganti-ganti di balik kaca. Gedung-gedung, pepohonan, dan kendaraan lain lewat begitu saja, tapi pikirannya tetap tertahan di hotel tadi, ia merasa ada yang janggal.

Beberapa menit kemudian, Ivy merasakan ada yang aneh. Ia mengenali jalan yang mereka lewati dan ini bukan arah ke rumahnya.

Perlahan, alisnya bertaut. Ia melirik ke arah Evan yang masih fokus menyetir, wajahnya tenang, seolah semuanya berjalan biasa saja.

Ivy menoleh kembali ke jalan, memastikan dugaannya. Benar. Mereka tidak mengambil jalur untuk sampai ke rumahnya.

Ia menegakkan duduknya lalu berkata dengan nada penuh kecurigaan, "Ini kayaknya bukan jalan ke rumah saya, deh."

"Emang bukan. Kita ke rumah saya dulu," jawab Evan santai tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

"Hah? Ngapain?" tanya Ivy terkejut.

"Saya ada urusan sebentar. Sekalian mau ambil baju," jelas Evan sambil tetap fokus menyetir.

Ivy terdiam sejenak. Ada keinginan untuk bertanya lebih lanjut, tapi ia menahan diri.

"Oh, baiklah," balasnya singkat.

Ia kembali memalingkan wajah ke jendela, memilih untuk diam.

Beberapa menit kemudian, mobil mereka melambat dan berhenti tepat di depan sebuah gerbang tinggi berwarna hitam dengan aksen besi yang kokoh. Gerbang besar itu tampak megah, dikelilingi tembok tinggi dan rimbun tanaman hias yang tertata rapi di sisinya.

Tak lama kemudian, gerbang terbuka secara otomatis. Mobil pun kembali melaju pelan, memasuki area rumah yang sangat luas.

Jalanan dalam pekarangan dipaving rapi, dikelilingi taman hijau dan kolam kecil di sisi kiri. Di ujung jalur itu berdiri sebuah rumah megah bergaya minimalis modern—dinding berwarna putih bersih, kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi, dan aksen kayu yang menambah kesan elegan.

Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Evan segera keluar, lalu bergegas membuka pintu untuk Ivy. Ivy turun dengan langkah perlahan. Matanya langsung membulat saat menatap bangunan di hadapannya. Rumah itu jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.

"Rumahnya besar banget," gumamnya pelan, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri.

Evan, yang mendengarnya, hanya menggeleng pelan dengan senyum kecil yang samar.

Di depan pintu rumah, sudah berdiri beberapa pelayan perempuan dengan seragam hitam serta dua laki-laki berpakaian formal.

Mereka semua berdiri sejajar, menundukkan kepala sedikit begitu Evan dan Ivy mendekat, seolah menyambut kedatangan tuan dan nyonya rumah.

“Tolong antar Nyonya ke kamar saya,” perintah Evan kepada salah satu pelayan perempuan.

“Baik, Tuan,” jawab pelayan itu sopan.

Ia kemudian mendekati Ivy dengan senyum ramah dan berkata, “Mari, Nyonya.”

Ivy membalas dengan senyuman hangat lalu menoleh ke arah Evan. “Kamu mau ke mana?” tanyanya lembut.

“Saya ada urusan sebentar. Kamu ke kamar saya saja dulu,” jawab Evan dengan nada lebih tenang dari biasanya.

“Baiklah,” balas Ivy singkat.

Dengan langkah pelan, Ivy mengikuti pelayan tersebut masuk ke dalam rumah, sementara Evan tetap berdiri di depan, matanya mengikuti kepergian mereka sebelum akhirnya berbalik untuk menjalankan urusannya.

Begitu melangkah masuk ke dalam rumah, Ivy kembali dibuat takjub. Interior rumah itu jauh lebih menawan dari yang terlihat dari luar. Setiap sudut tampak rapi dan tertata dengan sempurna.

Desainnya elegan dan modern. Dinding rumah didominasi warna abu-abu, dipadukan dengan elemen hitam dan putih. Di dalam hatinya, ia Ivy menyimpulkan satu hal bahwa Evan pasti bukan tipe orang yang suka warna-warna terang.

Pelayan yang menuntunnya tetap berjalan di depan dengan sopan lalu membawa Ivy menaiki tangga menuju lantai atas. Beberapa saat kemudian, mereka berhenti di depan sebuah pintu besar berwarna abu gelap.

Sang pelayan menoleh dan berkata dengan sopan, “Ini kamar Tuan, Nyonya.”

Ivy mengangguk pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Jangan panggil Nyonya, panggil Ivy aja,” ujarnya canggung.

“Maaf, Nyonya, tapi itu tidak sopan. Lagipula, Tuan sendiri yang memintanya,” jelas pelayan itu tetap dengan nada ramah. Ivy kembali mengangguk pelan. “Oh, baiklah,” ucapnya pasrah.

Setelah itu, pelayan tersebut membungkukkan badan sedikit sebagai tanda izin lalu berbalik dan pergi meninggalkan Ivy sendiri di depan kamar.

Ivy menatap pintu besar itu sejenak, menarik napas pelan, lalu memutar kenop dan masuk ke dalam kamar Evan.

Begitu pintu terbuka, Ivy melangkah masuk dan langsung disambut oleh aroma segar dari pengharum ruangan yang lembut. Matanya menyapu keseluruhan kamar dan untuk kesekian kalinya hari itu, ia kembali dibuat tercengang.

Kamar Evan sangat rapi—terlalu rapi, bahkan. Tidak ada satu pun barang yang tampak berserakan.

Meja di sudut ruangan hanya diisi barang-barang penting, semuanya tertata sejajar, seolah dipasang dengan penggaris. Ivy berdiri mematung sejenak. Ia membandingkan dengan kamarnya sendiri yang biasanya penuh dengan baju berserakan dan buku di mana-mana.

Ivy berjalan pelan lalu duduk di pinggir tempat tidur.

“Hidupnya kayaknya terlalu teratur,” gumamnya pelan sambil menatap ke sekeliling, ia semakin menyadari betapa berbeda dunia mereka berdua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Hadiah tak terduga

    Ivy menatap makanan di meja dengan tatapan heran. Begitu banyak makanan yang tersaji di meja makan, padahal hanya untuk makan dirinya dan Evan. Terdapat Ayam goreng, tongseng daging sapi, perkedel kentang, dan beberapa sayuran yang Ivy tidak tahu namanya. "Dimakan, jangan cuma diliatin aja," ujar Evan lalu mengambil satu centong nasi putih yang masih mengepul. Ivy mengangguk, ia kemudian ikut mengambil secentong nasi dan tongseng daging sapi. Sebelum Ivy makan, ia memandang sekeliling. Tampak para pelayan yang berdiri di pojok ruang makan. Begitu juga ada Hendrik dan Andre yang berdiri tidak jauh dari mereka duduk. Ivy merasa risih karena diperhatikan oleh mereka. Ia merasa kehilangan privasi semenjak masuk ke rumah ini. Apa waktu lagi makan juga harus diawasi? tanya Ivy dalam hati. Ivy kemudian memakan makanan di depannya dan berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut. Setelah makan malam selesai, Evan dan Ivy masuk ke dalam kamar. Ivy sudah tidak sabar memberika

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Pindah rumah

    Setelah dua minggu, akhirnya hari ini Ivy akan pindah ke rumah Evan. Ivy berkeliling ke rumah yang telah ia tinggali selama satu tahun terakhir. Ada rasa sedih untuk meninggalkan rumahnya karena rumah ini ia bangun dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. “Ngga usah terlalu sedih, besok-besok juga kamu bisa kesini lagi,” ujar Evan yang berdiri di sebelah Ivy. “Mas Evan ngga paham!” seru Ivy lalu pergi meninggalkan Evan. Walaupun ia merasa geli memanggil Evan dengan sebutan ‘mas’, tapi kini ia sudah mulai terbiasa. Evan menyusul Ivy yang sudah berada di depan rumah. Wanita itu masih terlihat sedih dan Evan berusaha memaklumi. “Aku pergi dulu ya, aku bakal sering-sering mampir ke sini,” ucap Ivy sambil mengelus-elus tembok luar rumahnya. Setelahnya ia masuk ke dalam mobil dengan hanya membawa diri karena barang-barang Ivy sudah lebih dulu dibawa oleh Hendrik dan Andre. Evan yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menutup gerbang dan kemudian ikut masuk ke dalam mob

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Perlindungan dari sang CEO

    “Ada apa ini?!” Teriakan terdengar dari arah gerbang. Terlihat Evan yang turun dari mobilnya. Ia berjalan mendekati Ivy dan kedua karyawannya. Evan mengerutkan keningnya melihat Ivy sedang memegang pisau sambil mengacungkannya ke arah Hendrik dan Andre. “Ada apa?” tanya Evan kepada Ivy. “Aku mau pergi tapi mereka maksa ikut,” jawab Ivy pelan. Evan diam, ia bergantian menatap Hendrik dan Andre menuntut penjelasan. “Maaf pak, tapi kami hanya menjalankan tugas untuk menjaga nyonya sampai bapak kembali,” ucap Hendrik sopan. “Dia benar, saya yang nyuruh mereka buat jaga kamu. Bahaya untuk kamu bepergian sendiri,” jelas Evan dengan lembut. Ivy memutar bola matanya dengan malas, tidak mengerti dengan semua ini. “Sini pisaunya,” ujar Evan lembut. Evan mengerti kondisi mental Ivy sedang tidak stabil. Namun Ivy masih tidak memberikan pisau itu. “Sini pisaunya kasih ke saya,” ujar Evan masih dengan nada lembut. “Kamu mau pergi kemana? Biar saya anterin,” tanya Evan. “Cuma mau p

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Laki-laki misterius

    Pagi ini, Ivy dikejutkan dengan kedatangan ‘si merah’ setelah ia sarapan. Belum pulih rasa sakit yang disebabkan oleh Evan, sekarang ia harus merasakan sakit perut karena menstruasi. Ivy memilih untuk berbaring di tempat tidurnya dengan mengompres perut menggunakan air hangat. “Kenapa kalau mens hari pertama selalu sakit?” keluh Ivy sambil menekan-nekan perut.Ivy yang awalnya akan pergi ke toko hari ini kembali menundanya. Hingga siang hari, perutnya tetap tidak membaik sehingga Ivy memilih untuk membeli jamu yang biasanya ia minum. Warung yang menjual jamu tersebut tidak jauh, hanya berjarak 5 rumah dari rumahnya. Ivy berjalan menuju pintu rumah untuk membeli jamu, namun saat ia baru akan membuka pintu, ia dikejutkan dengan dua orang laki-laki yang sedang duduk tepat di depan rumahnya. Kedua laki-laki tersebut mengenakan setelan berwarna hitam. “Mereka siapa si?” gumam Ivy penasaran.Ivy bingung bagaimana laki-laki asing tersebut bisa masuk ke halaman rumahnya? Padahal gerbangny

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Terungkapnya identitas Evan

    Ivy termenung sembari melihat langit-langit kamarnya. Hari sudah berganti malam namun perkataan Evan tadi pagi masih mengusik pikirannya.Kita akan benar-benar saling mencintai katanya? Omong kosong! Seru Ivy dalam hati. Ivy melirik pria yang sedang duduk di sofa dan sibuk berkutat dengan laptop serta kumpulan berkas. Ia tidak pernah melihat Evan sesibuk sekarang.Untuk mengalihkan rasa kebosanan, Ivy membuka ponselnya. Ivy membuka aplikasi instagram, sudah lama ia tidak berselancar di sana. Ia penasaran mengapa begitu banyak pemberitahuan yang masuk ke akunnya.Ivy terkejut saat instagramnya tiba-tiba memiliki banyak pengikut. Ia yang sebelumnya hanya memiliki lima ratus pengikut kini bertambah jadi dua ribu. Saking kagetnya, Ivy yang semula terbaring kini mengubah posisinya menjadi duduk.“Ini serius?” seru Ivy dengan wajah bingungnya.Evan yang sedang duduk di sofa meliriknya, penasaran apa yang membuat istrinya begitu heboh. Namun Evan tidak bertanya, ia memilih untuk melanjutkan

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Menyatakan perasaan

    “Kamu bohong,” ujar Ivy dengan suara bergetar.“Bohong gimana?” Evan balik bertanya. Ivy mengusap air mata yang masih membasahi wajahnya lalu berkata, “Kamu bilang ngga bakal ngelakuin itu sampe saya siap, tapi ini apa?” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Ivy berbalik badan membelakangi Evan. Ia kembali menangis, ada rasa yang sulit ia jelaskan. “Maaf ya, tapi saya cuma laki-laki biasa yang mudah tergoda,” ucap Evan sambil memeluk Ivy dari belakang. Ivy tidak memberontak saat Evan memeluknya. Ia masih menangis tersedu-sedu membuat Evan merasa bersalah. “Sshh udah ya,” ucap Evan lembut lalu ia melanjutkan, “Saya mau mandi, ayo mandi bareng.” “Ngga mau!” balas Ivy sambil berteriak. “Kenapa? Ayo, saya ngga bakal macam-macam lagi,” ajak Evan berusaha menenangkan Ivy. “Ngga mau, sana pergi!” teriak Ivy semakin keras. Evan pun mengalah, ia turun dari ranjang lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Ivy langsung menutupi kepalanya dengan selimut. Lama ia termenung di bawah selim

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Situasi tak terduga

    Selesai sholat subuh, Ivy langsung pergi menuju dapur. Ia berencana untuk membuat sarapan lebih pagi karena ia akan pergi ke toko. Saat berada di dapur, Ivy memandang sekeliling, kali ini ia tidak mau diremehkan lagi oleh Evan karena tidak bisa memasak. Ivy mengecek persediaan nasi kemarin dan memutuskan untuk membuat nasi goreng. Namun sebelum itu, Ivy mencari resep membuat nasi goreng di Youtube. Setelah menemukan resep yang sepertinya mudah untuk dibuat, ia pun mulai mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan. “Aku pasti bisa, ini gampang banget buatnya,” ujar Ivy menyemangati dirinya sendiri. Saat sedang sibuk memotong bawang, tiba-tiba Evan masuk ke dapur dari arah belakang. “Lagi bikin apa?” tanya Evan. “Nasi goreng,” jawab Ivy singkat sambil mengusap-usap matanya dengan lengan. Matanya terasa perih karena tidak terbiasa memotong bawang. “Bikin nasi goreng aja harus lihat di youtube?” tanya Evan dengan nada meledek. Ivy menghentikan aktivitas memotongnya, ia menatap

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Ciuman pertama

    Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Ivy masih berdiri di depan pintu kamarnya. Ia terlalu takut untuk masuk. Rumahnya hanya memiliki satu kamar tidur dan kamar itu sudah ditempati oleh Evan.Ivy pun berjalan mondar-mandir di depan pintu, ia tampak gusar. “Masuk nggak ya?” gumam Ivy gelisah. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Ivy langsung panik.Belum sempat ia bersembunyi, Evan sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya heran. “Ngapain di situ?” tanya Evan. “Eh itu-“ “Masuk,” potong Evan. Ivy mengetuk keningnya sendiri. Ia berjalan masuk ke dalam kamar. Ketika sudah masuk, Ivy hanya berdiam berdiri melihat Evan yang merebahkan dirinya di kasur. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Sini tidur,” ujar Evan. “Hah?” tanya Ivy kebingungan. “Tidur sini,” ujar Evan sekali lagi, kali ini sambil menepuk kasur di sebelahnya. “Tapi kasurnya sempit,” ucap Ivy pelan. “Gapapa, yang sempit lebih enak,” ujar Evan santai. “Apa?!” uja

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Keahlian tak terduga

    Setibanya di rumah, Evan menurunkan barang belanjaan dan menatanya di dapur. Ia lalu memasukkan sebagian bahan makanan ke dalam kulkas. “Kita mau masak apa?” tanya Ivy kepada Evan yang sedang sibuk merapikan bumbu-bumbu masakan. Evan tidak menjawab. Namun, Ivy tak menyerah. “Mau dibantuin nggak?” tanyanya lagi. Evan diam sejenak. Ia melihat sekeliling dapur lalu berkata, “Coba kamu masak nasi dulu. Biar saya yang masak makanan utamanya.” “Emang kamu bisa masak?” tanya Ivy penasaran. “Kamu ngeremehin saya?” balas Evan dengan tatapan tajam. “Eh, nggak gitu—” “Cepet masak nasi dulu,” potong Evan sebelum Ivy menyelesaikan kalimatnya. “Iya, iya,” ujar Ivy cepat-cepat. Ivy lalu mulai mencuci beras sambil sesekali melirik ke arah Evan yang tengah mengupas kentang. Setelah selesai menanak nasi, Ivy kembali bertanya kepada Evan, “Ada lagi yang bisa dibantu?” “Ini potongin kentang yang udah saya kupas,” jelas Evan. Ivy mengangguk. Dengan senang hati, ia men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status