"Saya ngga paham sama pertanyaan kamu!" ucap Evan mendengarkan pertanyaan beruntun dari Ivy. "Kenapa ngga paham? Dari tadi kamu yang nanyain aku tentang siapa orang yang aku sembunyiin di hp aku, kenapa sekarang malah ngga paham sama pertanyaan sederhana ini?" tanya Ivy. "Pertanyaan saya sama kamu beda!" balas Evan. "Apa bedanya? Kamu tinggal jawab aja pertanyaan aku. Kamu beneran cinta sama aku atau ngga?" tanya Ivy. Evan tampak terdiam beberapa saat. Entah apa yang ia pikirkan hingga tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan cepat. "Kenapa diem aja? Dari tadi kamu yang nyudutin aku terus kan?!" seru Ivy. Evan menghela napas pendek. "Saya emang benar-benar cinta sama kamu, bukan hanya karena kita udah terlanjur menikah," ucapnya. "Bohong!" ucap Ivy. "Saya serius," tegas Evan. Ivy menatap Evan dengan mata sudah memerah. "Kalau kamu emang beneran cinta sama aku, kamu ngga bakalan marah cuma gara-gara aku ngga mau nunjukin hp aku. Kamu harusnya bisa menghargai pendapat aku," j
Ting! Bunyi nada dering ponsel Ivy kembali berbunyi, membuat sang pemilik langsung mengecek ponselnya. Ivy juga segera melepaskan pelukannya dengan Evan. Tentunya hal itu langsung membuat Evan mengernyitkan keningnya. "Dari siapa?" tanya Evan penasaran. Ia berusaha melihat layar ponsel Ivy, namun sudah terlambat, karena Ivy berdiri dan berjalan menjauh dari Evan. "Bukan siapa-siapa," jawab Ivy sedikit gugup. Ia memilih untuk duduk di sisi ranjang. Evan semakin bertambah heran melihat gerak-gerik Ivy yang mencurigakan. Ia lalu berjalan mendekat, dan duduk di samping istrinya yang tampak serius menatap layar ponselnya. "Coba sini saya lihat hp kamu," ucap Evan sambil berusaha mengambil ponsel Ivy. Namun dengan cekatan Ivy langsung menjauhkannya. "Ngga boleh!" tegas Ivy. "Kenapa?" tanya Evan sambil memasang wajah datar. "Privasi!" jawab Ivy. "Maksudnya privasi? Kita kan udah menikah, wajar kan kalau saling cek hp masing-masing?" Evan membalasnya sambil tetap memasang wajah ser
Ivy berjalan ke arah meja tempat sate kambing berada. Ia tersenyum kecil karena Evan begitu memperhatikannya, terutama mengenai makanan. Ia pun membawa sate tersebut ke meja makan, dan kemudian duduk di sana.Ivy membuka bungkusan sate tersebut. Aromanya yang menyengat membuat cacing di perutnya meronta-ronta minta segera diisi. "Saatnya makan!" seru Ivy sambil menyantap suapan pertama.Sembari menyantap makanannya, Ivy mendengar suara tawa dari arah ruang tamu. "Itu pasti tamunya Evan," gumam Ivy.Beberapa menit kemudian, sate kambing pun ludes tak tersisa. Ivy merasa kenyang, ia mengelus-elus perutnya yang sedikit buncit."Enak banget!" puji Ivy merasa puas.Ivy kemudian membuang bungkus sate, dan membereskan meja makan. Setelah semuanya bersih, ia kembali masuk ke dalam kamar.Di dalam kamar, Ivy merasa sedikit bosan. Ia tidak memiliki kegiatan yang harus dilakukan. Ia ingin tidur, namun belum mengantuk karena tadi baru saja bangun. Akhirnya Ivy hanya bersantai di sofa, sambil be
Ivy menatap kertas yang berada di tangannya dengan tatapan heran."Siapa yang udah ngirim surat ini?" gumam Ivy.Pandangannya lalu beralih ke arah flashdisk yang berada di tangan kirinya. Rasa penasaran mendorongnya untuk segera membuka flashdisk tersebut. Ivy kemudian berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya. Ia duduk di kursi dan mulai menghidupkan komputernya. Sebelum memasangkan flashdisk tersebut, Ivy berdoa di dalam hati agar isi di dalamnya bukan suatu hal yang harus ia khawatirkan.Ivy pun segera memasang flashdisk ke komputernya. Di dalam flashdisk tersebut hanya berisi satu folder tanpa nama, ia membuka folder tersebut, dan menampilkan satu file dokumen dan satu video.Ivy memilih untuk membuka dokumen terlebih dahulu, setelah menunggu beberapa detik, dokumen tersebut terbuka, namun tak berisi tulisan apapun. "Kosong lagi?" gumam Ivy pelan. Ivy kemudian berganti membuka video. Video tersebut berdurasi sepuluh menit.Dengan hati yang berdebar-debar, ia mulai menonton vid
"Beneran ngga mau cek ke dokter?" tanya Evan sambil merapikan selimut untuk menutupi tubuh Ivy."Iya, udah ngga sakit kok," balas Ivy sambil tersenyum lebar. Melihat Ivy yang tampak baik-baik saja, Evan pun akhirnya mengangguk. "Baiklah, kalau gitu kamu tidur aja ya," ucap Evan lembut.Ivy mengangguk pelan. "Kamu ngga tidur?" tanya Ivy."Ngga, saya masih ada kerjaan," balas Evan. Ivy kembali mengangguk dan mulai menutup matanya. Namun ia tidak benar-benar tertidur, ia kembali membuka matanya, dan melihat Evan yang masih menatapnya."Kenapa lihatin terus?" tanya Ivy merasa risih.Evan tersenyum tipis. "Ngga papa," balasnya."Katanya masih ada kerjaan, sana pergi!" perintah Ivy sambil mengibaskan tangan kanannya. "Nanti, saya lagi pengin liatin kamu dulu," jawab Evan sambil tersenyum tipis.Ivy kembali memejamkan mata, namun tiba-tiba ia teringat sesuatu yang harus ia tanyakan kepada Evan. Ia pun kembali membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk."Ada apa?" tanya Evan yang
Setelah beberapa jam berada dalam pesawat, Ivy dan Evan akhirnya sudah sampai di kota mereka. Namun kini hanya tinggal Ivy yang berada di dalam mobil, karena Evan sudah lebih dulu pergi menuju kantor.Ivy memandangi jalanan dengan tatapan kosong. Ia merasa kalau bulan madunya kali ini benar-benar gagal. Mulai dari kehadiran teman lama Evan yang mengganggu makan malam mereka, hingga mereka yang harus kembali lebih awal dari jadwal seharusnya karena urusan pekerjaan.Ivy menghela napas, walaupun ia berkali-kali mencoba menerima, namun entah kenapa semuanya terasa sulit.Mobil mulai menunjukkan gedung-gedung yang tak asing, menandakan bahwa sebentar lagi mobil akan sampai di rumah kediaman mereka. Namun tiba-tiba Ivy teringat sesuatu. Ia segera menatap ke arah Andre di depan, sang sopir yang sedang fokus menyetir.“Andre, saya mau pulang ke rumah saya sendiri, bisa antarkan saya ke sana?” pinta Ivy.Andre tampak bingung menanggapi permintaan Ivy. “Maaf nyonya, apakah saya perlu bilang