Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy.
Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua, Evan mengajak Ivy ke area kolam renang yang agak sepi. Hanya ada satu-dua orang yang sedang berenang. “Saya nggak pintar basa-basi, makanya mending kamu turuti permintaan orang tua saya dan kita menikah,” kata Evan tiba-tiba, tanpa menatap Ivy. “Apa?” Ivy terkejut. “Kecuali kamu punya pacar—saya bisa bujuk dia agar membatalkan. Tapi kalau nggak ada, nggak ada salahnya kita menikah,” lanjut Evan sambil menatap seorang anak kecil belajar berenang bersama ayahnya. Ivy makin terkejut. Ia tak mengerti apa yang ada di pikiran pria di sampingnya. “Kamu setuju kita menikah walaupun kita nggak saling kenal?” tanyanya. “Iya,” jawab Evan singkat. “Kenapa?” “Apa yang kenapa? Kita kan terbangun di kasur yang sama, bisa jadi tanpa sadar sudah melakukan hal-hal yang nggak seharusnya. Saya cuma mau tanggung jawab,” jelas Evan. Ivy terdiam. Ia tidak menyangka Evan berpikir sejauh itu. Selama ini ia mengira Evan adalah pria yang biasa menghabiskan malam dengan para wanita. “Terima kasih. Tapi saya nggak butuh tanggung jawab apa pun dari kamu,” jawab Ivy dengan senyum getir. Ia takut, ia sendiri belum tahu apa yang terjadi tadi malam, tetapi pernikahan mendadak ini terlalu cepat untuknya. “Saya akan jadi suami yang baik. Kamu tetap bebas melakukan apa yang disuka. Kita cukup berpura-pura sebagai suami-istri di depan orang tua. Di belakang, kita bisa kembali menjalani hidup masing-masing,” kata Evan panjang lebar. Ivy menunduk, termenung. Evan lalu menatapnya, “Coba pikirkan lagi, pertahankan harga dirimu sebagai perempuan.” Tanpa menunggu jawaban, Evan meninggalkan Ivy yang masih duduk terpaku. Ia menutup mata. Angin pagi di pinggir kolam menyentuh rambutnya. Suara gemericik air menenangkan, tapi hatinya masih bergejolak. “Apakah ini benar?” gumamnya pelan. Ivy menghela napas berat, membiarkan bunyi air yang memantul di permukaan kolam menenangkan pikirannya yang kalut. Sambil membuka mata, ia berdiri dan melangkah menjauhi kolam menuju restoran tempat Evan dan orang tuanya berada. Sesaat rasa ragu menyeruak, lalu ia menarik napas panjang, menegakkan bahu, dan melangkah masuk. Ia berjalan mendekat menuju meja Evan dan kedua orang tuanya. Ela menoleh dana memerhatikan Ivy yang akan duduk. Mata mereka bertemu, lalu Ivy langsung duduk tanpa basa-basi. “Baik, saya mau menikah,” ucap Ivy mantap kepada Ela dan Erwin. Ela dan Erwin bersorak gembira—setelah sekian lama mendesak, akhirnya mendapat jawaban. Keduanya tampak sangat lega. Seolah beban besar yang menekan reputasi keluarga mereka akhirnya terangkat. Mereka saling pandang dengan mata berbinar, merasa bahwa kehormatan keluarga tetap terjaga di mata publik dan lingkungan mereka. Sementara itu Evan duduk bersandar di kursinya. Ia hanya tersenyum tipis, menunjukkan sedikit reaksi yang jarang terlihat dari wajah dinginnya. Pandangannya lurus ke depan, tetapi sorot matanya menyiratkan ketenangan yang tak biasa. “Tapi saya punya beberapa syarat,” suara Ivy sedikit bergetar, tapi matanya menyala penuh tekad. Erwin terhenti meneguk kopinya, alisnya terangkat. “Syarat apa, Nak Ivy?” tanya Erwin dengan senyum yang tiba-tiba terasa kaku. Ivy menarik napas dalam, menatap tatapan campuran penasaran dan kekhawatiran di wajah Erwin, Ela, dan Evan. “Kalau memang pernikahan ini untuk menjaga nama baik keluarga,” Ivy membuka suara, “Maka saya punya satu syarat penting.” Ela mengerutkan alis, Erwin mencondongkan tubuh ke depan, Evan menyipitkan mata, semua fokus tertuju padanya. “Saya setuju menikah, tapi akadnya harus private, hanya keluarga inti plus saksi sah yang benar-benar dapat dipercaya. Bukan pesta besar, cukup penghulu, dua saksi keluarga lalu tuntas. Setelah itu, kita keluarkan pernyataan resmi tanpa resepsi maupun publisitas berlebihan.”"Kenapa harus dia?" tanya Evan dengan tajam."Aku juga awalnya ngga tahu kalau manajer di sini ternyata dia," jawab Ivy dengan hati-hati.Setelah itu hening. Evan tidak membalas lagi. Ia memandang ke arah toko yang tampak sepi. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang tak biasa. "Waktu kamu tahu dia ada di sini kenapa kamu ngga langsung pergi? Kenapa kamu tetap mau beli kado di sini? Emangnya ngga ada tempat lain lagi?" tanyanya menggebu-gebu. Ivy yang diberikan pertanyaan beruntun itu hanya bisa diam. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Evan ada benarnya juga. Sehingga apapun yang akan ia katakan sepertinya tak ada gunanya. "Ngga bisa jawab kan? Itu artinya kamu emang cuma beralasan pengin ketemu dia, padahal masih banyak tempat lain di dunia ini yang jual kado," lanjut Evan."Ngga gitu, ak-" "Cukup! Jangan bicara lagi! Biar saya aja yang ngambil pesanan kamu, kamu duduk diam di sini, jangan pergi kemana-mana!" perintah Evan dengan tegas. Ia merasa tidak butuh pembelaan apapun dari ist
Ivy melirik Evan yang duduk di sampingnya dengan takut. Pria itu belum juga menjalankan mobilnya padahal mereka sudah masuk ke dalam mobil sepuluh menit yang lalu. Evan juga hanya menatap ke arah depan tanpa berkata apapun.“Ekhem. Kita kapan mau pergi dari sini?” tanya Ivy pelan.Evan masih tetap diam. Ivy benar-benar tidak tahu isi pikiran pria itu dan apa yang harus ia lakukan saat ini.“Kamu marah gara-gara tadi? Aku ngga beneran suka sama Andre kok, aku tadi Cuma bercanda,” ucap Ivy. Namun pria itu masih terdiam.“Aku serius, aku ngga mungkin suka sama dia. Aku kan udah nikah sama kamu.” “Bicara dong jangan diem aja. Kalau kayak gini aku gatau ma-“ Ucapan Ivy terhenti karena tiba-tiba saja Evan menempelkan bibirnya kepada bibir Ivy. Ivy begitu terkejut, ia memukul-mukul bahu Evan agar pria itu segera berhenti.“Kamu udah gila ya? Kalau ada yang liat gimana?!” seru Ivy sambil menoleh ke arah samping jendela. Ia takut kalau ada orang yang melihat perbuatan mereka.Evan tersenyum
"Berarti sekarang kita udah baikan?" tanya Ivy kepada Evan yang duduk di depannya. Saat ini mereka sedang makan di restoran yang berada di dalam mall."Emang sebelumnya kita berantem?" tanya Evan. Ivy langsung mengangguk. "Iya?""Ngga sih, kamu yang marah-marah sampai tidur di luar," jawab Evan lalu menyeruput kopi hangatnya.Ivy melirik Evan dengan tatapan kesal. Ia malu sendiri harus mengingat-ingat penyebab pertengkaran mereka hanya karena ponsel."Udah sih jangan dibahas mulu!" seru Ivy. Pipinya yang penuh karena sedang mengunyah membuat perkataannya tak jelas.Evan menggelengkan kepala. "Kalau ngomong jangan sambil makan!" ucapnya. Sesekali ia meregangkan kakinya yang terasa pegal karena terlalu lama berdiri dan berkeliling bangunan yang luas ini.Ivy yang di depannya buru-buru ingin menyelesaikan kunyahan terakhirnya, karena ia memiliki banyak pertanyaan yang harus diajukan kepada suaminya ini."Pelan-pelan aja kalo makan, nanti kesedak," ucap Evan. Ia mengelap wajah Ivy yang t
Menunggu perempuan berbelanja menjadi salah satu kegiatan yang paling Evan benci. Dulu ketika belum menikah ia selalu dipaksa untuk menemani ibunya berbelanja dan sekarang setelah menikah pun ia masih tetap di suruh menunggu istrinya. Sebenarnya ia bisa saja pergi dan menyuruh anak buahnya untuk menemani Ivy, namun setelah kejadian tadi ia ingin selalu berada di dekat istrinya. Evan melirik anak buahnya yang berdiri di sampingnya, mereka tampak lelah karena berdiri hampir dua jam untuk menunggu Ivy selesai berbelanja. Selama dua jam itu pula Ivy berkeliling tanpa lelah."Kalian tunggu di mobil aja, biar saya aja yang nemenin," ucap Evan. "Baik tuan," jawab salah satu diantara mereka. Akhirnya keempat anak buah Evan pun pergi. Mereka tampak bersyukur karena bisa beristirahat dan menunggu di dalam mobil. "Sebenarnya dia mau beli apaan sih?" gumam Evan penasaran. Ia lalu berjalan mendekati Ivy yang masih tampak serius memilih produk makeup. "Masih belum selesai?" tanya Evan.Ivy meng
Selang beberapa menit, karyawan yang tadi mengambil gaun kembali dengan seorang pria berjas hitam. Keduanya berjalan mendekati Evan dan Ivy. “Selamat siang Pak Evan, saya mohon maaf atas kekacauan yang terjadi. Karyawan ini masih baru jadi masih ada beberapa hal yang belum dipahami. Saya janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi,” ucap pria yang baru datang tersebut secara tiba-tiba. Sepertinya Evan pun mengenali pria yang baru saja datang. Evan menatap pria itu dengan malas. “Masih karyawan baru tapi udah berani ngerendahin pelanggan kayak gitu? Apa anda sebagai manajer tidak mengajari mereka tentang tata krama sebelum mereka terjun ke lapangan? Apa susahnya mereka menuruti permintaan istri saya untuk mencarikan gaun sesuai ukuran yang diminta? Lagian istri saya juga mintanya pakai bahasa yang baik dan sopan!” Untuk pertama kalinya Ivy mendengar Evan berbicara menggunakan kalimat yang begitu panjang. Dan itu karena untuk membelanya? Ivy benar-benar tersentuh. “Sekali lagi
Tempat yang Ivy datangi selanjutnya adalah mall besar yang berada di pusat kota.Setelah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, Ivy tidak langsung keluar dari mobil. Di dalam mobil ia mengamati sekeliling lebih dulu. Karena setelah memasuki area mall, Ivy baru ingat kalau mall yang ia datangi saat ini adalah mall yang dinaungi oleh perusahaan Evan. “Duh jadi belanja di sini atau ngga ya? Atau aku belanja ke mall lain aja?” gumam Ivy menimbang-nimbang pilihan yang tepat. Setelah beberapa menit berpikir, Ivy memutuskan untuk tetap belanja di sini. Karena jika ia pergi ke mall lain, kemungkinan ia akan menghabiskan banyak waktu di jalan. Akhirnya Ivy pun segera turun dari mobil. Tak lupa sebelum turun ia memakai masker, selain agar wajahnya yang baru saja perawatan tidak terkena kotoran, ia juga tidak ingin ada karyawan yang menyadari kalau ia adalah istri Evan. Begitu masuk ke dalam mall, Ivy langsung naik ke lantai dua menuju tempat pakaian wanita berada. Ingin membeli gaun