“Tapi kenapa?” tanya Erwin.
“Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sarapan. “Jadi, kapan kami bisa ketemu orang tua kamu, Ivy?” tanya Ela sambil menyendok nasi. Ivy terkejut, lalu tersadar. Betul juga, ia belum memikirkan orang tuanya, sosok penting yang harus ada di hari pernikahannya. “Hmm,” Ivy menelan suapan terakhir, lalu menghela napas. “Nanti saya kabari, tante.” Jawabnya. Erwin meneguk teh hangat, “Kalau bisa hari ini, ya.” Ivy terperanjat, seakan tak percaya mendengar permintaan itu. “Ha—hari ini? Apa nggak terlalu cepat, Om?” tanya Ivy terkejut. “Lebih cepat lebih baik, kan? Mumpung kami nggak ada pekerjaan luar kota,” jelas Erwin. “Baik, nanti saya tanyakan dulu ke mereka,” jawab Ivy pelan. Setelah sarapan, Ela dan Erwin pamit pulang karena ada pekerjaan mendadak. Sementara Evan dan Ivy tetap berada di hotel. Evan kembali ke kamarnya, sedangkan Ivy memilih untuk tetap berada di lobi hotel. Ia duduk di salah satu kursi lobi dan mengeluarkan ponselnya. Ia baru ingat belum membuka ponselnya sejak pagi. Sepuluh panggilan tak terjawab muncul, semuanya dari Vania, teman minumnya semalam. Ia harus bertanya kepada Vania tentang bagaimana ia bisa satu kamar dengan Evan, barangkali Vania mengetahui sesuatu. Namun sudah berkali-kali Ivy mencoba menelepon, Vania tidak juga mengangkat teleponnya. Mungkin dia udah berangkat kerja, pikir Ivy. Ia pun memutuskan untuk menelepon ibunya untuk memberitahukan rencana pernikahannya. Namun berulang kali ia hanya membuka lalu menutup layar ponselnya, rasa ragu dan gengsi menguasai dirinya. Ia menutup mata dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus melakukannya, aku harus segera menikah agar masalah ini segera selesai.” Jarinya bergulir mencari nama ibu dan langsung ia klik tanda telepon, sekian kemudian akhirnya panggilan tersambung. “Halo, halo Ivy.” Ivy hanya diam saja, lidahnya tiba-tiba terasa kelu. “Halo Ivy, kamu baik-baik saja?” “Halo,” lirih Ivy. “Untung kamu nelpon Ibu, tadi Ibu habis dari rumah kamu tapi rumah kamu masih kosong. Kamu di mana? Ibu cemas banget.” Ivy hanya tersenyum kecil, Cemas katanya? Dari dulu kemana saja? “Nanti bisa ke rumah? Ada yang mau aku omongin, penting,” ucap Ivy datar. “Iya bisa, jam berapa? Mau ngomongin masalah apa?” “Dateng saja, nanti aku kasih tau.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, ia langsung menutup telepon sepihak, energinya terasa terkuras habis setelah berbicara dengan ibunya meski hanya lewat telepon. Selama sepuluh menit ia hanya terduduk sambil menatap lantai. Hatinya terasa kosong. Ia tidak menyangka hidupnya berubah dalam satu malam. Ia kemudian teringat sesuatu saat melihat meja resepsionis. Ivy mendekat ke meja resepsionis, langkahnya pelan tapi pasti. Benar, ia harus mencari tahu sendiri bagaimana ia bisa satu kamar dengan Evan. “Halo kak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang pegawai resepsionis dengan sopan. “Saya mau mengecek CCTV tadi malam, boleh, Kak?” ujar Ivy hati-hati. “Untuk apa, Kak?” Ivy bingung harus menjawab apa, kalau ia mengatakan alasan yang sebenarnya, apakah tidak masalah? Tapi ia sendiri malu membicarakan hal ini. “Mau mengecek saja kak, soalnya teman saya mau datang kemarin tapi sampai sekarang belum ada di sini, saya telepon nggak diangkat-angkat,” kata Ivy bohong. “Maaf, Kak. Namun kami tidak bisa memberikan akses CCTV untuk sembarang orang dan biasanya CCTV hanya bisa diakses oleh pihak berwenang,” jelas pegawai resepsionis. “Sebentar saja nggak bisa, Kak? Gak sampai lima menit,” paksa Ivy. “Maaf, Kak, tapi tetap tidak bisa karena melanggar prosedur kami,” jelas pegawai resepsionis sekali lagi. “Oh, ya sudah deh,” ucap Ivy pasrah, “Kalo gitu saya boleh tahu, tamu atas nama Aivylia Wulan Kusuma ada di kamar nomor berapa?” tanyanya. “Maaf, Kak. Untuk menjaga privasi tamu, kami dilarang memberikan informasi mengenai kamar tamu.” “Tapi saya yang namanya Aivylia, Kak. Saya lupa kemarin memesan kamar berapa. Ini buktinya,” jelas Ivy sambil menunjukkan foto KTP. Petugas akhirnya luluh, “Sebentar ya, kak, kami cek terlebih dahulu. Kakak ada di kamar nomor 508.” “508 ya? Makasih kak,” jawab Ivy. Setelahnya Ivy langsung menuju kamar yang dimaksud. Dalam perjalanan ia bertanya-tanya, “Kalau aku tadi memesan kamar nomor 508, lalu tadi pagi aku bangun di kamar nomor berapa?” Setelah sampai di kamar yang dimaksud, ia mencoba membuka pintunya namun terkunci. Ia lupa di mana menaruh kunci kamarnya. Apakah tertinggal di kamar Evan? Begitu juga dengan tasnya dan barang-barang yang lain? Dan itu berarti ia yang salah karena sudah masuk ke kamar Evan? Rasanya Ivy ingin menangis. Ia memilih untuk duduk di depan pintu kamar, tak peduli dilihat oleh pengunjung hotel lain. Tiba-tiba, seorang pramusaji hotel berseragam hijau menghampiri, “Ada yang bisa saya bantu, kak?” “Saya mau masuk ke kamar tapi lupa kartunya ada di mana,” jelas Ivy terdengar putus asa. “Bukannya kamar Kakak di sana, ya? Kalau nggak salah kamar nomor 503, tadi malam saya lihat Kakak masuk ke kamar itu,” terang lelaki tersebut ramah. “Hah, masa sih?” “Iya, Kak. Mau saya bantu cek?” ajak sang pramusaji. “Iya, boleh, Kak.” Setelah melewati beberapa kamar, akhirnya Ivy sampai di kamar yang dimaksud pramusaji. “Tadi malam saya lihat Kakak masuk ke kamar ini sama seorang laki-laki, Kak,” ujar pramusaji. Setelahnya Ivy mengetuk pintu kamar tersebut, beberapa saat kemudian pintu terbuka dan benar saja seorang laki-laki muncul, yang tak lain tak bukan adalah Evan. “Ini kan teman kakak? Kalau gitu saya permisi dulu ya,” ucap sang pramusaji lalu meninggalkan Ivy yang terpaku di depan Evan.Ivy menatap makanan di meja dengan tatapan heran. Begitu banyak makanan yang tersaji di meja makan, padahal hanya untuk makan dirinya dan Evan. Terdapat Ayam goreng, tongseng daging sapi, perkedel kentang, dan beberapa sayuran yang Ivy tidak tahu namanya. "Dimakan, jangan cuma diliatin aja," ujar Evan lalu mengambil satu centong nasi putih yang masih mengepul. Ivy mengangguk, ia kemudian ikut mengambil secentong nasi dan tongseng daging sapi. Sebelum Ivy makan, ia memandang sekeliling. Tampak para pelayan yang berdiri di pojok ruang makan. Begitu juga ada Hendrik dan Andre yang berdiri tidak jauh dari mereka duduk. Ivy merasa risih karena diperhatikan oleh mereka. Ia merasa kehilangan privasi semenjak masuk ke rumah ini. Apa waktu lagi makan juga harus diawasi? tanya Ivy dalam hati. Ivy kemudian memakan makanan di depannya dan berusaha untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut. Setelah makan malam selesai, Evan dan Ivy masuk ke dalam kamar. Ivy sudah tidak sabar memberika
Setelah dua minggu, akhirnya hari ini Ivy akan pindah ke rumah Evan. Ivy berkeliling ke rumah yang telah ia tinggali selama satu tahun terakhir. Ada rasa sedih untuk meninggalkan rumahnya karena rumah ini ia bangun dengan uang hasil jerih payahnya sendiri. “Ngga usah terlalu sedih, besok-besok juga kamu bisa kesini lagi,” ujar Evan yang berdiri di sebelah Ivy. “Mas Evan ngga paham!” seru Ivy lalu pergi meninggalkan Evan. Walaupun ia merasa geli memanggil Evan dengan sebutan ‘mas’, tapi kini ia sudah mulai terbiasa. Evan menyusul Ivy yang sudah berada di depan rumah. Wanita itu masih terlihat sedih dan Evan berusaha memaklumi. “Aku pergi dulu ya, aku bakal sering-sering mampir ke sini,” ucap Ivy sambil mengelus-elus tembok luar rumahnya. Setelahnya ia masuk ke dalam mobil dengan hanya membawa diri karena barang-barang Ivy sudah lebih dulu dibawa oleh Hendrik dan Andre. Evan yang melihatnya hanya menggelengkan kepalanya. Ia lalu menutup gerbang dan kemudian ikut masuk ke dalam mob
“Ada apa ini?!” Teriakan terdengar dari arah gerbang. Terlihat Evan yang turun dari mobilnya. Ia berjalan mendekati Ivy dan kedua karyawannya. Evan mengerutkan keningnya melihat Ivy sedang memegang pisau sambil mengacungkannya ke arah Hendrik dan Andre. “Ada apa?” tanya Evan kepada Ivy. “Aku mau pergi tapi mereka maksa ikut,” jawab Ivy pelan. Evan diam, ia bergantian menatap Hendrik dan Andre menuntut penjelasan. “Maaf pak, tapi kami hanya menjalankan tugas untuk menjaga nyonya sampai bapak kembali,” ucap Hendrik sopan. “Dia benar, saya yang nyuruh mereka buat jaga kamu. Bahaya untuk kamu bepergian sendiri,” jelas Evan dengan lembut. Ivy memutar bola matanya dengan malas, tidak mengerti dengan semua ini. “Sini pisaunya,” ujar Evan lembut. Evan mengerti kondisi mental Ivy sedang tidak stabil. Namun Ivy masih tidak memberikan pisau itu. “Sini pisaunya kasih ke saya,” ujar Evan masih dengan nada lembut. “Kamu mau pergi kemana? Biar saya anterin,” tanya Evan. “Cuma mau p
Pagi ini, Ivy dikejutkan dengan kedatangan ‘si merah’ setelah ia sarapan. Belum pulih rasa sakit yang disebabkan oleh Evan, sekarang ia harus merasakan sakit perut karena menstruasi. Ivy memilih untuk berbaring di tempat tidurnya dengan mengompres perut menggunakan air hangat. “Kenapa kalau mens hari pertama selalu sakit?” keluh Ivy sambil menekan-nekan perut.Ivy yang awalnya akan pergi ke toko hari ini kembali menundanya. Hingga siang hari, perutnya tetap tidak membaik sehingga Ivy memilih untuk membeli jamu yang biasanya ia minum. Warung yang menjual jamu tersebut tidak jauh, hanya berjarak 5 rumah dari rumahnya. Ivy berjalan menuju pintu rumah untuk membeli jamu, namun saat ia baru akan membuka pintu, ia dikejutkan dengan dua orang laki-laki yang sedang duduk tepat di depan rumahnya. Kedua laki-laki tersebut mengenakan setelan berwarna hitam. “Mereka siapa si?” gumam Ivy penasaran.Ivy bingung bagaimana laki-laki asing tersebut bisa masuk ke halaman rumahnya? Padahal gerbangny
Ivy termenung sembari melihat langit-langit kamarnya. Hari sudah berganti malam namun perkataan Evan tadi pagi masih mengusik pikirannya.Kita akan benar-benar saling mencintai katanya? Omong kosong! Seru Ivy dalam hati. Ivy melirik pria yang sedang duduk di sofa dan sibuk berkutat dengan laptop serta kumpulan berkas. Ia tidak pernah melihat Evan sesibuk sekarang.Untuk mengalihkan rasa kebosanan, Ivy membuka ponselnya. Ivy membuka aplikasi instagram, sudah lama ia tidak berselancar di sana. Ia penasaran mengapa begitu banyak pemberitahuan yang masuk ke akunnya.Ivy terkejut saat instagramnya tiba-tiba memiliki banyak pengikut. Ia yang sebelumnya hanya memiliki lima ratus pengikut kini bertambah jadi dua ribu. Saking kagetnya, Ivy yang semula terbaring kini mengubah posisinya menjadi duduk.“Ini serius?” seru Ivy dengan wajah bingungnya.Evan yang sedang duduk di sofa meliriknya, penasaran apa yang membuat istrinya begitu heboh. Namun Evan tidak bertanya, ia memilih untuk melanjutkan
“Kamu bohong,” ujar Ivy dengan suara bergetar.“Bohong gimana?” Evan balik bertanya. Ivy mengusap air mata yang masih membasahi wajahnya lalu berkata, “Kamu bilang ngga bakal ngelakuin itu sampe saya siap, tapi ini apa?” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Ivy berbalik badan membelakangi Evan. Ia kembali menangis, ada rasa yang sulit ia jelaskan. “Maaf ya, tapi saya cuma laki-laki biasa yang mudah tergoda,” ucap Evan sambil memeluk Ivy dari belakang. Ivy tidak memberontak saat Evan memeluknya. Ia masih menangis tersedu-sedu membuat Evan merasa bersalah. “Sshh udah ya,” ucap Evan lembut lalu ia melanjutkan, “Saya mau mandi, ayo mandi bareng.” “Ngga mau!” balas Ivy sambil berteriak. “Kenapa? Ayo, saya ngga bakal macam-macam lagi,” ajak Evan berusaha menenangkan Ivy. “Ngga mau, sana pergi!” teriak Ivy semakin keras. Evan pun mengalah, ia turun dari ranjang lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Ivy langsung menutupi kepalanya dengan selimut. Lama ia termenung di bawah selim
Selesai sholat subuh, Ivy langsung pergi menuju dapur. Ia berencana untuk membuat sarapan lebih pagi karena ia akan pergi ke toko. Saat berada di dapur, Ivy memandang sekeliling, kali ini ia tidak mau diremehkan lagi oleh Evan karena tidak bisa memasak. Ivy mengecek persediaan nasi kemarin dan memutuskan untuk membuat nasi goreng. Namun sebelum itu, Ivy mencari resep membuat nasi goreng di Youtube. Setelah menemukan resep yang sepertinya mudah untuk dibuat, ia pun mulai mengeluarkan bahan-bahan yang dibutuhkan. “Aku pasti bisa, ini gampang banget buatnya,” ujar Ivy menyemangati dirinya sendiri. Saat sedang sibuk memotong bawang, tiba-tiba Evan masuk ke dapur dari arah belakang. “Lagi bikin apa?” tanya Evan. “Nasi goreng,” jawab Ivy singkat sambil mengusap-usap matanya dengan lengan. Matanya terasa perih karena tidak terbiasa memotong bawang. “Bikin nasi goreng aja harus lihat di youtube?” tanya Evan dengan nada meledek. Ivy menghentikan aktivitas memotongnya, ia menatap
Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Ivy masih berdiri di depan pintu kamarnya. Ia terlalu takut untuk masuk. Rumahnya hanya memiliki satu kamar tidur dan kamar itu sudah ditempati oleh Evan.Ivy pun berjalan mondar-mandir di depan pintu, ia tampak gusar. “Masuk nggak ya?” gumam Ivy gelisah. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Ivy langsung panik.Belum sempat ia bersembunyi, Evan sudah berdiri di ambang pintu, menatapnya heran. “Ngapain di situ?” tanya Evan. “Eh itu-“ “Masuk,” potong Evan. Ivy mengetuk keningnya sendiri. Ia berjalan masuk ke dalam kamar. Ketika sudah masuk, Ivy hanya berdiam berdiri melihat Evan yang merebahkan dirinya di kasur. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Sini tidur,” ujar Evan. “Hah?” tanya Ivy kebingungan. “Tidur sini,” ujar Evan sekali lagi, kali ini sambil menepuk kasur di sebelahnya. “Tapi kasurnya sempit,” ucap Ivy pelan. “Gapapa, yang sempit lebih enak,” ujar Evan santai. “Apa?!” uja
Setibanya di rumah, Evan menurunkan barang belanjaan dan menatanya di dapur. Ia lalu memasukkan sebagian bahan makanan ke dalam kulkas. “Kita mau masak apa?” tanya Ivy kepada Evan yang sedang sibuk merapikan bumbu-bumbu masakan. Evan tidak menjawab. Namun, Ivy tak menyerah. “Mau dibantuin nggak?” tanyanya lagi. Evan diam sejenak. Ia melihat sekeliling dapur lalu berkata, “Coba kamu masak nasi dulu. Biar saya yang masak makanan utamanya.” “Emang kamu bisa masak?” tanya Ivy penasaran. “Kamu ngeremehin saya?” balas Evan dengan tatapan tajam. “Eh, nggak gitu—” “Cepet masak nasi dulu,” potong Evan sebelum Ivy menyelesaikan kalimatnya. “Iya, iya,” ujar Ivy cepat-cepat. Ivy lalu mulai mencuci beras sambil sesekali melirik ke arah Evan yang tengah mengupas kentang. Setelah selesai menanak nasi, Ivy kembali bertanya kepada Evan, “Ada lagi yang bisa dibantu?” “Ini potongin kentang yang udah saya kupas,” jelas Evan. Ivy mengangguk. Dengan senang hati, ia men