Share

Syarat untuk menikah

Penulis: Simplyree
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 15:43:47

“Tapi kenapa?” tanya Erwin.

“Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy.

Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah.

“Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela.

“Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin.

Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.”

Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu.

Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sarapan.

“Jadi, kapan kami bisa ketemu orang tua kamu, Ivy?” tanya Ela sambil menyendok nasi.

Ivy terkejut, lalu tersadar. Betul juga, ia belum memikirkan orang tuanya, sosok penting yang harus ada di hari pernikahannya.

“Hmm,” Ivy menelan suapan terakhir, lalu menghela napas. “Nanti saya kabari, tante.” Jawabnya.

Erwin meneguk teh hangat, “Kalau bisa hari ini, ya.”

Ivy terperanjat, seakan tak percaya mendengar permintaan itu.

“Ha—hari ini? Apa nggak terlalu cepat, Om?” tanya Ivy terkejut.

“Lebih cepat lebih baik, kan? Mumpung kami nggak ada pekerjaan luar kota,” jelas Erwin.

“Baik, nanti saya tanyakan dulu ke mereka,” jawab Ivy pelan.

Setelah sarapan, Ela dan Erwin pamit pulang karena ada pekerjaan mendadak. Sementara Evan dan Ivy tetap berada di hotel. Evan kembali ke kamarnya, sedangkan Ivy memilih untuk tetap berada di lobi hotel. Ia duduk di salah satu kursi lobi dan mengeluarkan ponselnya.

Ia baru ingat belum membuka ponselnya sejak pagi. Sepuluh panggilan tak terjawab muncul, semuanya dari Vania, teman minumnya semalam. Ia harus bertanya kepada Vania tentang bagaimana ia bisa satu kamar dengan Evan, barangkali Vania mengetahui sesuatu.

Namun sudah berkali-kali Ivy mencoba menelepon, Vania tidak juga mengangkat teleponnya.

Mungkin dia udah berangkat kerja, pikir Ivy.

Ia pun memutuskan untuk menelepon ibunya untuk memberitahukan rencana pernikahannya. Namun berulang kali ia hanya membuka lalu menutup layar ponselnya, rasa ragu dan gengsi menguasai dirinya. Ia menutup mata dan berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus melakukannya, aku harus segera menikah agar masalah ini segera selesai.”

Jarinya bergulir mencari nama ibu dan langsung ia klik tanda telepon, sekian kemudian akhirnya panggilan tersambung.

“Halo, halo Ivy.”

Ivy hanya diam saja, lidahnya tiba-tiba terasa kelu.

“Halo Ivy, kamu baik-baik saja?”

“Halo,” lirih Ivy.

“Untung kamu nelpon Ibu, tadi Ibu habis dari rumah kamu tapi rumah kamu masih kosong. Kamu di mana? Ibu cemas banget.”

Ivy hanya tersenyum kecil, Cemas katanya? Dari dulu kemana saja?

“Nanti bisa ke rumah? Ada yang mau aku omongin, penting,” ucap Ivy datar.

“Iya bisa, jam berapa? Mau ngomongin masalah apa?”

“Dateng saja, nanti aku kasih tau.”

Setelah mengucapkan kalimat tersebut, ia langsung menutup telepon sepihak, energinya terasa terkuras habis setelah berbicara dengan ibunya meski hanya lewat telepon.

Selama sepuluh menit ia hanya terduduk sambil menatap lantai. Hatinya terasa kosong. Ia tidak menyangka hidupnya berubah dalam satu malam. Ia kemudian teringat sesuatu saat melihat meja resepsionis. Ivy mendekat ke meja resepsionis, langkahnya pelan tapi pasti.

Benar, ia harus mencari tahu sendiri bagaimana ia bisa satu kamar dengan Evan.

“Halo kak, ada yang bisa kami bantu?” tanya seorang pegawai resepsionis dengan sopan.

“Saya mau mengecek CCTV tadi malam, boleh, Kak?” ujar Ivy hati-hati.

“Untuk apa, Kak?”

Ivy bingung harus menjawab apa, kalau ia mengatakan alasan yang sebenarnya, apakah tidak masalah? Tapi ia sendiri malu membicarakan hal ini.

“Mau mengecek saja kak, soalnya teman saya mau datang kemarin tapi sampai sekarang belum ada di sini, saya telepon nggak diangkat-angkat,” kata Ivy bohong.

“Maaf, Kak. Namun kami tidak bisa memberikan akses CCTV untuk sembarang orang dan biasanya CCTV hanya bisa diakses oleh pihak berwenang,” jelas pegawai resepsionis.

“Sebentar saja nggak bisa, Kak? Gak sampai lima menit,” paksa Ivy.

“Maaf, Kak, tapi tetap tidak bisa karena melanggar prosedur kami,” jelas pegawai resepsionis sekali lagi.

“Oh, ya sudah deh,” ucap Ivy pasrah, “Kalo gitu saya boleh tahu, tamu atas nama Aivylia Wulan Kusuma ada di kamar nomor berapa?” tanyanya.

“Maaf, Kak. Untuk menjaga privasi tamu, kami dilarang memberikan informasi mengenai kamar tamu.”

“Tapi saya yang namanya Aivylia, Kak. Saya lupa kemarin memesan kamar berapa. Ini buktinya,” jelas Ivy sambil menunjukkan foto KTP.

Petugas akhirnya luluh, “Sebentar ya, kak, kami cek terlebih dahulu. Kakak ada di kamar nomor 508.”

“508 ya? Makasih kak,” jawab Ivy.

Setelahnya Ivy langsung menuju kamar yang dimaksud. Dalam perjalanan ia bertanya-tanya, “Kalau aku tadi memesan kamar nomor 508, lalu tadi pagi aku bangun di kamar nomor berapa?”

Setelah sampai di kamar yang dimaksud, ia mencoba membuka pintunya namun terkunci. Ia lupa di mana menaruh kunci kamarnya.

Apakah tertinggal di kamar Evan? Begitu juga dengan tasnya dan barang-barang yang lain? Dan itu berarti ia yang salah karena sudah masuk ke kamar Evan?

Rasanya Ivy ingin menangis. Ia memilih untuk duduk di depan pintu kamar, tak peduli dilihat oleh pengunjung hotel lain.

Tiba-tiba, seorang pramusaji hotel berseragam hijau menghampiri, “Ada yang bisa saya bantu, kak?”

“Saya mau masuk ke kamar tapi lupa kartunya ada di mana,” jelas Ivy terdengar putus asa.

“Bukannya kamar Kakak di sana, ya? Kalau nggak salah kamar nomor 503, tadi malam saya lihat Kakak masuk ke kamar itu,” terang lelaki tersebut ramah.

“Hah, masa sih?”

“Iya, Kak. Mau saya bantu cek?” ajak sang pramusaji.

“Iya, boleh, Kak.”

Setelah melewati beberapa kamar, akhirnya Ivy sampai di kamar yang dimaksud pramusaji.

“Tadi malam saya lihat Kakak masuk ke kamar ini sama seorang laki-laki, Kak,” ujar pramusaji.

Setelahnya Ivy mengetuk pintu kamar tersebut, beberapa saat kemudian pintu terbuka dan benar saja seorang laki-laki muncul, yang tak lain tak bukan adalah Evan.

“Ini kan teman kakak? Kalau gitu saya permisi dulu ya,” ucap sang pramusaji lalu meninggalkan Ivy yang terpaku di depan Evan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Akhir cerita

    Setelah sambutan yang menurut Ivy penuh kegugupan, bahkan sempat membuat pipinya memanas karena malu, kini ia disibukkan dengan sesi bertemu para tamu. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Bagi Ivy, setiap orang yang hadir adalah istimewa, dan mereka pantas mendapatkan senyum tulus darinya.“Makasih ya udah datang, ” ucap Ivy ramah sambil menyerahkan novel yang baru saja ia tanda tangani.Tangannya mulai terasa pegal, jemarinya kaku karena terlalu lama memegang pena.Satu per satu tamu berlalu, hingga tersisa seorang terakhir. Ivy menghela napas lega karena sebentar lagi ia bisa beristirahat.“Makasih ya sudah hadir,” ucapnya sambil menyerahkan buku yang sudah bertanda tangan. Ia lalu mendongak untuk menatap wajah sang tamu. Namun detik berikutnya, matanya terbelalak. Nafasnya tercekat.“Va… Vania?!” seru Ivy.Seketika ia berdiri dari kursinya, menatap lekat wajah di hadapannya, takut kalau itu hanya berhalusinasi.“Halo,” sapa Vania sambil tersenyum hangat. Ia terkekeh kecil meliha

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Status baru

    “Berarti tadi itu istri kamu?” tanya Ivy dengan nada ragu. Mereka saat ini sedang berbincang di sebuah kafe yang terletak di sebelah rumah sakit. Sebenarnya, awalnya Ivy menolak ajakan ini, namun Naufal terus memaksanya. Sementara itu, wanita hamil yang bersama pria itu sudah pulang lebih dulu.Naufal mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.Ivy mencoba untuk tersenyum tipis. "Selamat atas pernikahan, dan kehamilan istri kamu," ucapnya lembut. Nada suaranya masih menyimpan keterkejutan."Kamu juga. Selamat atas kehamilannya," balas Naufal sekenanya. "Jadi kamu ngajak aku ke sini mau bilang apa? Aku ngga bisa lama-lama," ucap Ivy sambil melirik ke arah Andre yang berada di luar café. Ia takut pria itu akan melapor ke Evan jika ia terlalu lama.Naufal tampak menghela napas panjang. "Aku cuma mau minta maaf untuk ulahku di masa lalu. Aku tahu aku salah banget. Tapi... aku benar-benar menyesal. Aku harap kamu mau maafin aku," ucapnya terdengar tulus.Ivy menatap pria itu lekat-lekat. M

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Pemeriksaan kandungan

    "Kamu beneran ngga papa pergi ke dokter sendiri?" tanya Evan dengan nada cemas. Pagi ini seharusnya ia mendampingi Ivy melakukan pemeriksaan kandungan, tapi rapat mendadak di kantornya memaksanya berangkat lebih awal."Aku ngga papa kok. Lagian aku kan di temenin Andre, jadi ngga sendirian," jawab Ivy sambil berusaha menenangkan suaminya.Alis Evan berkerut. “Tapi kalau nanti orang-orang ngira Andre itu suami kamu gimana?” Nada suaranya terdengar tak rela.Ivy tak kuasa menahan tawa mendengar kekhawatiran yang menurutnya konyol. “Ya ampun, nggak mungkin lah. Udah, sana berangkat! Ntar kamu malah telat,” usirnya sambil melambaikan tangan ke arah mobil.Dengan berat hati Evan akhirnya menurut. Ia masuk ke dalam mobil, namun sempat menoleh sekali lagi ke arah Ivy. Sebelum menyalakan mesin, ia melambaikan tangan, seolah enggan meninggalkan istrinya sendirian.Ivy membalas lambaian itu dengan senyum lebar yang hangat, membuat rasa waswas Evan sedikit mereda.Ivy masih berdiri di depan ruma

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Cita-cita baru

    Tiga bulan semenjak jatuh pingsan, perut Ivy sudah tampak membesar. Kini usia kandunganny sudah berjalan empat bulan. Ia mengelus perut itu perlahan. Ia tidak menyangka bisa berada di tahap mengandung lagi setelah sebelumnya sempat kehilangan calon anaknya. Dokter meminta Ivy untuk jangan melakukan aktivitas berat yang membuatnya lelah. Evan yang mendapat pesan seperti itu dari dokter, langsung melakukan segala cara agar kandungan Ivy bisa tetap aman.Ia kini bersikap lebih protektif kepada istrinya. Ia mengatur makanan istrinya dengan sayur dan buah setiap hari. Ia bahkan memindahkan kamar mereka ke lantai satu agar Ivy tidak perlu naik turun tangga. Ivy hanya bisa menggelengkan kepala setiap kali Evan bersikap berlebihan. Pria yang dulunya dingin dan cuek, kini berubah cerewet setelah ia hamil.Evan tak akan tinggal diam saat Ivy membeli makanan lewat online tanpa izin. Seperti yang terjadi hari ini. Tanpa sepengetahuan pria itu, Ivy membeli seblak lewat online. Ia sudah memberita

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Hadiah dari langit

    Ivy kembali ke rumah hampir pukul dua belas malam. Langkahnya terasa berat saat memasuki kamar. Tubuh dan hatinya sama-sama letih setelah beberapa hari terakhir diwarnai situasi yang melelahkan.Sekilas, pandangannya tertuju pada Evan yang sudah lebih dulu merebahkan diri di kasur. Pria itu bahkan tidak sempat berganti pakaian, dan hanya menjatuhkan tubuhnya begitu saja.“Kamu nggak ganti baju dulu?” tanya Ivy dengan suara pelan, seolah takut mengganggu.Evan hanya menggeleng tanpa membuka mata. Napasnya berat, dan dari raut wajahnya jelas terlihat betapa lelahnya pria itu.Ivy menatapnya lebih lama. Sejak mereka pulang dari hotel, suaminya memang jarang berbicara. Hatinya ingin bertanya lebih jauh, tapi akalnya menahan. Ia tahu Evan sedang tidak ingin diganggu.Dengan langkah pelan, Ivy masuk ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, berharap air dingin bisa menghapus sedikit rasa penat. Setelah selesai, ia mematikan lampu kamar lalu naik ke atas ranjang. Ia juga hingga menutupi tubuhnya

  • Jejak Cinta Bersama CEO Di balik Pintu kamar   Memulai hidup dari awal

    "Apa yang sedang kalian lakukan sebenarnya?! Apakah kalian sudah bersekongkol untuk mengelabui saya?!" tanya Adelia sambil berteriak. Ia kini tak peduli lagi dengan tatapan para tamu yang sedang memperhatikan mereka."Kami di sini cuma mengungkap siapa ayah kandung Eliza sebenarnya," ucap Ivy tenang. Ia tidak gentar sedikit pun karena sudah muak dengan Adelia yang memanfaatkan anaknya demi keuntungannya sendiri."Ayah kandungnya adalah Evan! Kamu yang bilang sendiri kalau kamu percaya itu!" bentak Adelia. Ivy tersenyum miring. "Tapi di kertas ini tertulis jelas siapa ayah kandungnya kan? Laporan Tes DNA yang kamu berikan itu palsu!" balasnya."Dan ditambah lagi, selama kamu pacaran sama Mas Evan, kalian tidak pernah berhubungan intim kan?!" Adelia ternganga dengan perkataan Ivy. Ia tidak menyangka diam-diam Ivy melawannya semulus itu."Kamu itu masih polos. Dia itu bohongin kamu! Yang benar itu saya!" balas Adelia. Ia bahkan merobek kertas yang tadi ia pegang."Kayaknya kamu butuh p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status