Pagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya.
“Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya memakai tank top. Langsung saja ia menyambar selimut untuk menutupi tubuhnya. "Apa yang sudah kamu lakukan semalam?!" tanya Ivy setengah berteriak kepada pria yang masih terlihat lemas. Pria tersebut hanya diam. Ivy merasa uap malu mengebul dalam kepalanya. Tapi sebelum ia sempat bergerak, terdengar ketukan keras di pintu. “Evan, kamu belum bangun?” Suara lantang seorang wanita terdengar dari luar. Karena tidak mendengar jawaban, wanita tersebut pun terus mengetuk pintu sambil berbicara dengan orang lain di luar yang sepertinya pegawai hotel. Sontak mereka berdua panik, terlebih dengan kondisi mereka saat ini. "Evan, ini Bunda!" "Iya, Bun, sebentar!" Jawab Evan sambil mencari pakaiannya yang entah ada di mana. Mereka pun mencari pakaiannya masing-masing yang ternyata berceceran berantakan di lantai. Namun, sebelum mereka selesai berpakaian, pintu terbuka dan seorang wanita paruh baya, Ela, yang merupakan Ibu Evan memasuki kamar. Ekspresinya berubah saat matanya menangkap pemandangan di depan kamar yang telah berantakan dan Ivy yang terlihat terkejut, hanya mengenakan selimut. “Kalian lagi ngapain?!” bentaknya, suaranya menggema di ruang berantakan itu. Tatapannya beralih dari Evan ke Ivy, dan kembali ke Evan. “Anak perempuan mana yang tidur dengan anakku tanpa izin?!” suaranya naik satu oktaf. Ivy terdiam, pipinya memerah. Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Evan mencoba menjelaskan, “Bun, ini salah paham—” “Diam! Pakai baju kalian dan kita bicara di luar. Sekarang!” potong Ela. Ia lalu keluar, diikuti oleh pegawai hotel di belakangnya dengan raut wajah ingin tahu. Evan dan Ivy pun bergegas memakai pakaiannya masing-masing. Lalu menuju ke luar yang ternyata masih ada pegawai yang menunggu. Evan berjalan di belakang Ivy, ia mengamati cara berjalan Ivy yang sedikit aneh. Apa yang sudah aku lakukan? Tanya Evan pada dirinya sendiri. Di meja panjang restoran, aroma kopi dan telur dadar berdesir di udara pagi. Ivy dan Evan duduk bersebelahan, di depan mereka duduk kedua orang tua Evan, Erwin dan Ela. Erwin meneguk kopi hitam, tatapannya menusuk. Sunyi bertahan beberapa detik sebelum akhirnya ia bersuara dengan nada berat. “Bisa kalian jelaskan kepadaku apa maksud dari semua ini?” ucap Erwin tajam. "Siapa namamu?" tanya Erwin kepada Ivy. "Nama saya Ivy, pak," jawab Ivy dengan sedikit gemetar. "Kamu pacarnya Evan?" tanya Erwin lagi. "Bukan, pak. Saya tidak kenal dengan anak Bapak," jawab Ivy jujur. "Kalau begitu, bagaimana kamu bisa berada di kamar yang sama dengan anak saya?" Kali ini Ela yang berbicara. Ivy hanya diam sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit. Ia berusaha mengingat kejadian tadi malam. Pikirannya berkelana saat ia sedang minum bersama temannya, ia memutuskan untuk pergi ke kamarnya lebih awal. Namun saat dipaksa mengingat lebih jauh, ia hanya mendapati potongan demi potongan yang kabur, meninggalkan celah kosong yang membingungkan. Ivy mengalihkan pandangannya ke Evan, berharap ia akan bersuara dan membantunya menjawab. Namun Evan hanya menunduk dan bibirnya tertutup rapat. Keheningan itu justru membuat Ivy semakin kesal. Sementara itu, kedua orang tua Evan saling berpandangan. Keduanya saling bertukar pandangan, kelelahan mereka terekam jelas seakan sudah berkali-kali menghadapi ulah Evan, putra semata wayang yang selalu mengejutkan. Ela menarik napas dalam, suaranya tenang namun berwibawa saat akhirnya ia menoleh ke Evan, "Evan, sebagai pewaris tunggal keluarga ini, kamu pasti paham betapa pentingnya menjaga nama baik keluarga kita. Jika sampai ada orang yang mengetahui masalah ini, nama keluarga kita bisa tercoreng. Oleh karena itu, sebelum masalah ini menyebar, kalian harus segera menikah." "Hah?!" teriak Evan dan Ivy secara bersamaan. Ivy ternganga. Menikah? Dengan orang yang bahkan baru ia kenal beberapa jam yang lalu?Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy. Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua,
“Tapi kenapa?” tanya Erwin. “Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sa
Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan. “Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian. Ivy yang mendengarnya langsung berhenti. “Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih. “Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar. Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar. Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan. Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya.
Aku tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi begitu rumit. Walaupun sudah banyak alasan yang kuberikan, mereka tetap memaksa untuk datang ke rumahku. Ku katakan bahwa rumahku sudah tak layak huni dan bahkan berada di wilayah terpencil yang susah untuk pergi kesana tetapi mereka tak peduli. Hingga sekarang mereka berakhir di rumahku. "Oh, jadi ini yang dinamakan rumah tak layak huni?" kudengar Evan mengatakan sesuatu.Sekarang kami berada di ruang tamuku yang didominasi oleh palet warna putih dan abu-abu. Aku meliriknya dengan tatapan tidak suka. Ini semua gara-gara dia yang diam saja dan tak membujuk orang tuanya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. "Jadi, nak Ivy, bisa kami bertemu dengan orang tua kamu?" tanya Pak Erwin setelah meminum sedikit kopi hitam yang sudah aku buat. "Sebelumnya, saya mau bercerita tentang keadaan keluarga saya yang sebenarnya pak."Setelahnya akupun menceritakan secara jujur keadaan keluargaku. Mulai dari kedua orang tuaku yang sudah bercera
Aku tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi begitu rumit. Walaupun sudah banyak alasan yang kuberikan, mereka tetap memaksa untuk datang ke rumahku. Ku katakan bahwa rumahku sudah tak layak huni dan bahkan berada di wilayah terpencil yang susah untuk pergi kesana tetapi mereka tak peduli. Hingga sekarang mereka berakhir di rumahku. "Oh, jadi ini yang dinamakan rumah tak layak huni?" kudengar Evan mengatakan sesuatu.Sekarang kami berada di ruang tamuku yang didominasi oleh palet warna putih dan abu-abu. Aku meliriknya dengan tatapan tidak suka. Ini semua gara-gara dia yang diam saja dan tak membujuk orang tuanya untuk menghentikan rencana pernikahan ini. "Jadi, nak Ivy, bisa kami bertemu dengan orang tua kamu?" tanya Pak Erwin setelah meminum sedikit kopi hitam yang sudah aku buat. "Sebelumnya, saya mau bercerita tentang keadaan keluarga saya yang sebenarnya pak."Setelahnya akupun menceritakan secara jujur keadaan keluargaku. Mulai dari kedua orang tuaku yang sudah bercera
Ivy menerobos masuk dan melewati Evan begitu saja. Ia mencari tas dan barang-barangnya di atas sofa. Benar saja, di dalam tasnya ada kartu yang digunakan untuk membuka pintu kamarnya. Setelah itu, Ivy langsung keluar dari kamar tanpa sedetik pun menatap wajah Evan. “Jadi ini cara kamu bersikap ke calon suamimu?” suara Evan tiba-tiba memecah kesunyian. Ivy yang mendengarnya langsung berhenti. “Kapan mau ketemu orang tua saya? Biar saya bisa suruh mereka siap-siap,” tanya Ivy lirih. “Nanti jam tiga sore,” jawab Evan datar. Setelah mendengar jawaban tersebut, Ivy langsung pergi menuju kamarnya. Evan yang melihatnya hanya mengangkat sebelah alisnya dengan wajah datar seolah tak peduli dan kembali masuk ke kamar. Ivy langsung merebahkan dirinya di kasur begitu masuk ke kamar. Ia begitu lelah menjalani hari ini. Tak lupa ia mengirim pesan ke ibunya untuk datang ke rumahnya sebelum jam tiga sore dan menyuruhnya menyiapkan cemilan. Usai mengirimkan pesan, Ivy memejamkan matanya.
“Tapi kenapa?” tanya Erwin. “Saya nggak terlalu suka keramaian, apalagi pesta yang terlalu mewah, om. Menurut saya, yang terpenting dalam pernikahan adalah sahnya akad, kan?” jawab Ivy. Ivy mengajukan syarat ini bukan untuk memberatkan, melainkan karena ia ingin pernikahannya nanti berlangsung private, terlepas dengan siapa pun ia menikah. “Tapi Evan kan anak tunggal kami, Nak Ivy. Keluarga besar pun ingin merayakan pernikahannya secara besar-besaran,” terang Ela. “Benar. Belum lagi rekan bisnis kami yang pastinya ingin hadir menyaksikan pernikahan kalian secara langsung,” timpal Erwin. Ivy semakin terpojok. Sebelum ia sempat membalas, Evan menyela, “Kalau dia maunya private, ya sudah kita turuti. Lagipula yang menikah kan kami berdua, jadi kalian nggak perlu ikut campur.” Ela dan Erwin terdiam, saling bertukar pandang. Jika Evan sudah angkat bicara, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Ivy hanya tersenyum kaku mendengar itu. Setelah perdebatan kecil tersebut, mereka memesan sa
Menikah? Terlebih lagi dengan orang yang baru ia kenal? Benar-benar tidak pernah ada dalam bayangan Ivy. Selama ini ia hanya fokus membangun bisnis agar bisa mandiri. Ia bahkan tak pernah terpikir akan menikah dalam waktu dekat, karena trauma masa kecil yang masih membekas. “Maaf, pak, bu, tapi ini nggak masuk akal. Gimana mungkin saya menikah dengan orang yang sama sekali nggak saya kenal?” “Kalau kamu nggak kenal anak kami, kenapa kamu bisa satu kamar dengannya?” tanya Ela, “Atau jangan-jangan kamu memang terbiasa melayani pria, dan anak saya menyewa kamu?” serang Ela. Ivy ternganga. Sekarang ia dituduh bekerja sebagai penghibur. Jelas ia merasa direndahkan. “Saya nggak serendah itu sampai bekerja sebagai penghibur, Tante. Saya juga berasal dari keluarga baik-baik,” tegas Ivy. Ia dengan kesal melirik Evan di sampingnya. Evan hanya diam, tak membela sama sekali. Tapi ia menatap balik Ivy. “Sepertinya kita perlu bicara berdua,” ajak Evan. Setelah mendapat izin kedua orang tua,
Pagi merayap pelan saat suara keras membangunkan Ivy. Ia terbangun dengan kepala yang masih terasa sakit. Tangannya berusaha mencari sumber suara yang sepertinya berasal dari alarm ponselnya, namun tanpa diduga ia mendapati ada beban hangat di atas tubuhnya. “Apa?” Ivy mendelik, jantungnya berdetak kencang saat sadar ada seorang pria yang menindihnya. Sontak ia mendorong pria tersebut hingga terguling jatuh ke samping. Seorang pria berkulit sawo matang, rambutnya kusut, napasnya terlihat berat. Pria itu terbangun perlahan, matanya yang merah pekat menyapu ruangan. “Uh, kamu siapa?” tanyanya dengan suara serak. "Saya yang harusnya bertanya, kamu siapa?" Ivy balik bertanya dengan panik. Ia benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa tidur seranjang dengan pria yang tidak ia kenal. Ivy memilih untuk buru-buru turun dari ranjang. Namun, ia merasakan sakit luar biasa di inti tubuhnya. Apa yang sudah ia lakukan semalam? Yang membuatnya kaget lagi saat ia sadar bahwa dirinya hanya