“Aku baik-baik aja,” ucap Naufal pelan setelah beberapa saat. Matanya masih menatap Ivy dengan tatapan yang tak bisa Ivy jelaskan. “Tadi katanya kamu sakit?” tanya Ivy lagi dengam keraguan yang masih tersirat dalam suaranya. “Sekarang udah ngga sakit,” jawab Naufal singkat. Ivy tersentak mundur saat Naufal mendekat. Ia merasa semakin ada yang aneh pada Naufal, suasana yang terpancar darinya terasa mencekam. Detak jantungnya berdebar kencang. Ia terus mundur hingga punggungnya menempel dinding, terperangkap. Paniknya semakin menjadi. Naufal terus mendekat, wajahnya kini hanya sejengkal dari wajah Ivy. Bau parfum Naufal yang biasanya segar kini terasa menyengat hidungnya, menambah rasa takutnya. Napas Naufal memburu dan Ivy bisa merasakan hembusan napasnya di pipinya. “Ka-kalau kamu baik-baik saja, aku pulang aja ya,” ucap Ivy pelan, suaranya bergetar. Ia berusaha melangkah pergi, namun Naufal mencekal lengannya dengan kuat, jari-jarinya mencengkeram dengan kasar. Sentuh
Begitu sampai di depan toko, Ivy memarkirkan BMW X5 miliknya dengan tenang. Ia mematikan mesin, melepas sabuk pengaman, dan menatap bangunan toko yang sudah cukup lama tak ia kunjungi. Bangunan itu masih tampak sama seperti ia terakhir kali berkunjung.Ivy sempat melirik sebentar ke arah kafe tempat ia akan bertemu dengan Naufal nanti. Namun karena ia ingin mengecek kondisi toko, ia pun memilih untuk masuk ke dalam toko terlebih dahulu.Begitu membuka pintu kaca toko, Ivy langsung disambut suara bel kecil dan riuh pengunjung. Ruangan dipenuhi pelanggan yang sedang memilih barang, beberapa staf tampak sibuk melayani, dan suasana toko jauh dari kata sepi. Ivy cukup terkejut sekaligus senang. Ivy menyapa beberapa staf yang mengenalinya lalu berjalan ke balik meja kasir dan meminta laporan harian. Beberapa menit ia habiskan meninjau laporan penjualan, mengecek stok barang, menanyakan kondisi pegawai, hingga memastikan sistem keuangan berjalan stabil.Semuanya Ivy perhatikan dengan teliti
Di dalam mobil, Ivy hanya diam sambil menatap pemandangan malam yang melintas di balik jendela. Cahaya lampu jalan berpendar lembut di permukaan kaca, menciptakan bayangan yang bergerak mengikuti irama perjalanan. Dalam hati, ia berharap Evan tidak menyadari bahwa beberapa menit lalu ia sempat berbicara dengan Naufal. Di kursi depan, Evan dan Owen tampak sibuk mengobrol tentang acara tadi malam dan rencana bisnis mereka ke depannya.Ivy mengecek jam di layar ponselnya, angka sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rasa kantuk mulai menyerang, dipadu dengan lelah yang sejak sore belum juga surut. Ivy menyandarkan kepala ke jok, menarik napas panjang, lalu memejamkan mata.Suasana di dalam mobil terasa hangat, nyaris membuatnya lupa akan keresahan yang tadi mengganggu pikirannya. Ia berjanji pada diri sendiri akan bangun saat mobil berhenti di depan rumah.★★★Cahaya matahari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, menyentuh wajah Ivy dengan lembut. Ia mengerjap pelan lalu
Acara pembukaan restoran akhirnya mencapai penghujung. Para tamu satu per satu pamit meninggalkan tempat dengan senyum puas dan ucapan selamat.Evan, Ivy, dan Owen berdiri di dekat pintu keluar, mengucapkan salam perpisahan kepada beberapa tamu terakhir. Setelah itu, ketiganya berjalan ke area parkir yang tak jauh dari restoran.Evan menggandeng tangan Ivy, menggenggamnya erat seolah tak ingin terlepas. Ivy hanya menunduk diam mengikuti langkahnya, pikirannya masih dipenuhi banyak hal yang begitu rumit. Begitu sampai di dekat mobil, tiba-tiba seseorang berjas hitam berlari mendekati mereka.“Permisi Pak Evan, Pak Owen, ada yang ingin bicara dengan kalian,” ujar pria itu begitu sampai di hadapan mereka. “Siapa?” tanya Evan.“Saya kurang tahu, Pak. Tapi dia bilang penting,” jelas pria itu dengan nada serius.Evan dan Owen saling bertatapan sejenak. Lalu Evan mengangguk singkat. Iakemudian berkata, “Baik, nanti kami ke sana.” Pria itu membungkuk hormat sebelum berlalu. Evan kemudian m
Usai prosesi pemotongan pita, MC kembali maju ke tengah panggung sambil tersenyum lebar.“Terima kasih banyak kepada Bapak Evan dan Ibu Ivy atas momen yang luar biasa barusan,” ujarnya penuh semangat, “Tapi karena setelah ini masih ada rangkaian kegiatan lainnya, kami mohon dengan hormat kepada Bapak Evan dan Ibu Ivy untuk kembali ke tempat duduk terlebih dahulu.”Beberapa tamu berdiri memberi apresiasi. Evan menunduk singkat sebagai tanda hormat dan Ivy menirukannya. Lalu, Evan mengajak Ivy untuk perlahan melangkah turun dari panggung.Dan selama perjalanan menuju meja mereka, tangan Evan tetap tak melepaskan tangan IvyIvy meski tampak malu-malu, membiarkan tangannya tetap berada di dalam genggaman Evan. Bahkan sesekali ia meliriknya sambil tersenyum kecil.Namun dari kejauhan, sepasang mata Naufal mengawasi mereka dengan tatapan berbeda.Matanya menyipit dan meski ia tidak mengatakan sepatah kata pun, jelas ada ketidaksukaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Ia terus menatap Ivy
Evan tiba di panggung. Sesaat ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Sorotan lampu menyinari wajahnya yang tampak lebih tenang dari biasanya. Evan mengambil napas pelan sebelum mulai berbicara.“Selamat malam semuanya,” ucap Evan. Suara bass-nya terdengar jernih di seluruh ruangan.Para tamu membalas dengan anggukan dan senyum hangat.“Saya berdiri di sini malam ini bukan hanya sebagai pemilik HMY EI, tapi juga sebagai seseorang yang punya mimpi sederhana, mimpi untuk memperkenalkan kembali kelezatan masakan Nusantara lewat tempat yang bisa membuat siapa pun merasa seperti pulang ke rumah,” lanjut Evan. Evan berhenti sejenak. “Restoran ini lahir dari kenangan. Dari rasa rindu akan aroma dapur masa kecil, obrolan hangat di meja makan, dan suara tawa yang muncul di antara suapan pertama. Namun, saya juga ingin membungkus semua kenangan itu dengan sesuatu yang lebih modern, lebih relevan untuk generasi kita sekarang.”Beberapa hadirin tampak mengangguk, tersentuh dengan ketul