“Jadi gimana caranya biar Evan maafin aku?” tanya Ivy begitu selesai bercerita.Ia menoleh ke arah Owen yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak tengah berpikir keras, pandangannya menerawang ke langit malam yang dipenuhi bintang.“Bernegosiasi,” jawab Owen singkat, tanpa mengalihkan pandangan. Ivy mengerutkan kening. “Hah?! Maksudnya gimana? Bernegosiasi apa?” tanya Ivy tak paham. Owen akhirnya menoleh, menatap Ivy dengan sorot mata serius. “Iya, bernegosiasi. Kamu bilang ke Evan, kalau ternyata anak yang kamu kandung itu anak dia, maka dia harus maafin kamu. Itu jadi penawaran kamu ke dia” jelas Owen.Ivy menghela napas. “Nah itu masalahnya. Kalau ternyata anak yang aku kandung bukan anak dia gimana? Berarti dia ngga bakal maafin aku?” tanya Ivy.Owen mengangkat bahu. “Itulah namanya resiko. Tapi kenapa kamu sendiri ragu kalau anak itu bukan anaknya Evan? Bukannya kalian juga udah sering melakukan itu?” tanya balik Owen dengan polos.Wajah Ivy kembali memerah. Kenapa pria ini seb
“Kenapa kamu bisa kepikiran Adelia? Kamu udah tahu tentang dia?” tanya Owen.Ivy langsung gelagapan mendapat pertanyaan beruntun tersebut. “Ya-ya nebak aja, kata beberapa pelayan di sini, Evan ngga mau ada yang ucapin nama Adelia di rumah ini,” jawab Ivy.“Kamu benar, perempuan itu memang Adelia, dia yang udah buat Evan trauma sama yang namanya perempuan dan pernikahan,” jelas Owen. Ivy tampak tertarik dengan cerita masa lalu Evan, ia sudah lama ingin tahu tentang siapa sebenarnya sosok Adelia ini. “Emangnya apa yang terjadi sama mereka?” tanya Ivy penasaran. Ia menatap wajah Owen dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Sementara itu, Owen menggaruk tengkuknya yang tak gatal, raut wajahnya tampak menyesal karena sudah berusaha membocorkan masa lalu Evan. Ia menarik napas sejenak kemudian menatap wajah Ivy dengan serius. “Tapi kamu janji ya, jangan bilang ke Evan kalau saya yang cerita!” ucap Owen dengan suara tegas.Ivy mengangguk dengan cepat, “Janji!” Owen meluruskan kakinya, i
Sejak pagi, Ivy hanya bisa berbaring di atas ranjang. Tubuhnya terasa lemas dan perutnya terus-terusan mual. Beberapa kali ia berlari ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut yang bahkan tidak seberapa.Juni sempat masuk untuk membawakan bubur dan segelas air hangat, tapi Ivy hanya mampu menyentuhnya sedikit. Rasanya tidak ada yang bisa masuk ke dalam tubuhnya hari ini. Ivy menghabiskan waktunya dengan berbaring di ranjang, tatapannya kosong menatap langit-langit. Tangannya sesekali mengelus perutnya, menenangkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.Ivy masih menunggu Evan masuk ke dalam kamar, namun hingga sore menjelang malam, tak ada tanda-tanda kedatangan pria itu. Hari semakin malam dan Ivy mulai mengantuk. Apalagi, kelelahan semakin menggerogoti tubuhnya. Matanya perlahan tertutup, menyerah pada rasa lelahnya.Namun tiba-tiba—klik.Suara kenop pintu berputar membuat Ivy membuka matanya. Ia menoleh cepat dan melihat pintu kamar perlahan terbuka. Degup jantungnya l
Keesokan harinya, seorang dokter wanita paruh baya masuk ke kamar rawat Ivy sambil membawa berkas hasil pemeriksaan. Senyum ramah tersungging di wajahnya, namun tak sepenuhnya bisa menenangkan kegelisahan di hati Ivy.“Bu Ivy, kondisi ibu sudah cukup stabil. Tidak ada komplikasi serius. Ibu sudah boleh pulang hari ini, tapi jangan lupa kontrol rutin kehamilan sesuai jadwal, ya. Kami sudah tulis semuanya di catatan medis,” ucap sang dokter.Ivy hanya mengangguk pelan, tanpa suara. Meski tubuhnya perlahan membaik, hatinya terasa lebih rapuh dari sebelumnya.Setelah mengucapkan kalimat tersebut, dokter pun keluar dari ruangan dan meninggalkan Ivy bersama Juni, salah satu pelayan yang menemaninya semenjak semalam. Dengan hati-hati, Juni membuka ritsleting tas dan mengeluarkan pakaian yang sudah dipersiapkan. Ivy masih terdiam saat berganti pakaian. Tubuhnya masih terasa lemas, bahkan tangannya sedikit gemetar saat mencoba mengenakan baju. Melihat itu, Juni akhirnya turun tangan.“Sini s
Kelopak mata Ivy bergetar sejenak sebelum akhirnya terbuka. Pandangannya masih buram dan cahaya putih dari langit-langit menusuk matanya. Kepala bagian belakangnya juga terasa berat dan berdenyut pelan, membuat Ivy meringis kecil.Ia mencoba menggerakkan tangan, namun terasa kaku dan sedikit nyeri. Saat itulah ia menyadari, tangannya sedang terpasang infus. Ia lalu menunduk melihat dirinya sendiri yang sudah mengenakan baju khas pasien berwarna hijau pucat. Ivy buru-buru bangkit dari kasurnya. Bukankah ia sebelumnya sedang bertengkar dengan Evan? Apa yang terjadi? “Jangan tiba-tiba bangkit begitu.”Ivy menoleh dan mendapat seseorang duduk di sisi kanannyaHati Ivy seketika mencelos.Evan.Pandangan mereka bertemu. Tak ada kemarahan dari wajah Evan, tapi justru terdapat tatapan kosong yang lebih menakutkan bagi Ivy.Dengan suara lirih, Ivy berkata, “Evan, dengerin aku dulu. Aku pengin kamu dengerin semua penjelasanku.”Evan tidak langsung menjawab. Ia hanya diam dan menatap Ivy.Meliha
Pandangan Evan kembali berubah tajam. Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Evan menerobos masuk ke dalam unit apartemen, melewati Naufal yang berdiri mematung di ambang pintu. Ivy tercekat, wajahnya memucat. Pandangannya hanya tertuju pada Evan, yang kini berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan penuh kekecewaan. “A-aku… aku cuma—” Ivy tergagap. Bibirnya bergetar, sementara dadanya sesak oleh rasa bersalah yang bercampur dengan takut.“Cuma apa?” potong Evan cepat. Nada suaranya naik setingkat. “Cuma berduaan di apartemen sama pacar kamu?!”Hati Ivy langsung mencelos. Kata-kata Evan terasa seperti tamparan yang keras. Air mata semakin membasahi pipinya. Sementara itu, Naufal yang berdiri tak jauh dari mereka menatap Evan dengan kesal. “Kamu nggak bisa seenaknya masuk gitu aja ke tempat orang, Evan.”Namun Evan hanya menoleh sekilas, menatap tajam seperti sedang memperingatkan. “Kamu diam!”Tanpa menunggu lebih lama, Evan meraih tangan Ivy dengan kasar dan menariknya.“Tunggu,