Galih menggenggam tangan Amanda, berusaha meyakinkan istrinya untuk tidak berpisah. “Kita coba sekali lagi, Manda. Aku akan mencoba jadi suami yang baik bagimu dan kamu sepenuhnya menjadi istriku. Mari kita coba lagi dari awal.” Galih mengeratkan genggaman. Sampai Amanda menggugat cerai dengan tuntutan KDRT, habislah sudah semuanya. “Kita coba lagi ya? Aku akan buktikan kalau aku tidak main-main dengan pernikahan kita.”Amanda menghela napas panjang. Sejujurnya, dia juga berat melepas Galih. Apa kata Jelita andai mereka berpisah secepat ini? Bisa-bisa wanita itu tambah jumawa dan semakin besar kepala mengejek dirinya. Dia akhirnya mengangguk setelah berpikir cukup lama. Toh bersama Galih dia juga tidak kekurangan walau tidak bisa lagi bersenang-senang seperti dulu membeli apapun yang dia mau.Galih memeluk Amanda sambil mengucapkan maaf berkali-kali. “Besok aku dinas luar ke Bandung menghadiri seminar dua hari. Ayo ikut saja biar nggak suntuk di rumah terus. Malam harinya kita bisa me
Tamparan Galih melayang cepat mengenai wajah Amanda. Napasnya menderu kencang melihat istrinya terjengkang. Tanda merah di beberapa titik pada dada dan pangkal leher Amanda membuat kepalanya terasa akan pecah. Sebagai lelaki yang sudah berpengalaman dua kali menikah, dia jelas tahu itu jejak apa.“Jadi ini yang kamu lakukan sebulanan terakhir ini? Sibuk ngangkang diluaran sana saat aku sedang bekerja? Berapa lelaki yang kamu layani sehari? Berapa kamu dapat bayaran hari ini, hah?!” Galih menarik kaki Amanda yang berusaha merayap menjauh. Dia menyeret wanita itu dan memaksanya berdiri. Galih menolak tubuh Amanda ke sofa dan menarik rambut panjang Amanda hingga wanita itu mendongak dengan terpaksa. “JAWAB!!”“Bukankah sudah kukatakan aku butuh kesenangan? Aku butuh diajak makan keluar, aku perlu diajak jalan-jalan, aku butuh perawatan. Tidak setiap hari, sebulan sekali cukup. Tapi apa? Kamu mengabaikan aku dengan dalih sudah membiayai pengobatan Dery!” Amanda bicara dengan suara bergeta
Kulsum terisak mendengar penjelasan Jelita. Dia merasa egois karena selama ini menginginkan Jelita segera menikah karena tahu berat sekali menjadi seorang janda. Mendengar penjelasan Jelita barusan, pikirannya terbuka kalau Jelita benar-benar memikirkan matang-matang semua hal demi kebaikan kedua anaknya.“Mama tenang saja. I am OK.” Jelita tertawa walau air matanya tak bisa dia tahan. Sedih menyapa hati karena di usia orangtuanya yang menjelang senja, dia justru menjadi beban pikiran mereka. “Aku baik-baik saja dan insya Allah akan selalu baik-baik saja. Kalau aku masih sendiri, bukan karena masih menyimpan luka di hati, tapi karena aku nyaman dengan kondisiku sekarang ini.”Malam itu, walau mata basah oleh air mata, tapi Jelita merasa lega sudah bicara dengan mamanya. Setidaknya, untuk saat ini, dia belum memikirkan akan mencari pengganti. Kenapa harus terburu-buru? Memangnya apa yang dia cari? Toh setahun sendiri, ternyata dia baik-baik saja tanpa suami. Mungkin nanti kalau jodohny
“Yang …, sebentar, aku kebelet pipis.” Amanda menolak tubuh suaminya. Dia memasang wajah bersalah melihat raut kecewa di wajah Galih. “Sorry, aku kebelet banget.” Amanda langsung keluar dari mobil tanpa menunggu jawaban suaminya. Dia menghela napas lega saat akhirnya bisa masuk ke dalam rumah dan membersihkan diri.Di tempat berbeda. Kulsum mengulas senyum saat melihat Jelita di dapur. Tadi, dia kelupaan mengisi botol air minum sehingga keluar kamar saat terbangun. Wanita itu duduk di kursi makan saat melihat anaknya sedang membuat kopi. Sejak siang tadi, Jelita memang banyak sekali kegiatan sehingga sepertinya baru bisa menulis malam ini. “Jaga badan. Jangan terlalu sering begadang.”“Iya, Ma.” Jelita ikut duduk di samping Kulsum setelah selesai membuat kopi. Dia menyeruput kopinya pelan sambil memperhatikan wajah mamanya yang sudah tidak lagi muda. “Ini juga jadi begadang karena seharian ini banyak kegiatan. Hari-hari biasa aku kan nulisnya siang, Ma.”Kulsum mengangguk pelan. Dia m
Jelita mengangguk mengerti. Langit memang pernah cerita tentang kekecewaan orangtuanya saat mengetahui keputusan mantan istri Langit. Walau tahu pernikahan bukan hanya tentang keturunan, tapi sudah naluriahnya kalau mereka menginginkan cucu dari anak dan menantunya.Akhir-akhir ini, hubungan mereka bukan hanya sebatas profesionalitas kerja lagi. Keduanya berteman hingga kadang saling cerita masalah pribadi. Sesekali, Jelita juga cerita tentang Bella dan Zaky. Sebaliknya, Langit menceritakan dilemanya sebagai anak tunggal yang memikirkan keinginan orangtuanya. Namun, disisi lain dia belum mendapatkan seseorang yang pas di hatinya karena tidak mau asal menikah saja dengan pilihan mereka.“Mau kukenalkan dengan temanku? Kapan hari ada temanku saat masih kerja dulu baru tercerahkan dari pandangannya yang memutuskan tidak menikah. Setelah orangtuanya meninggal dan semua saudaranya sudah berkeluarga, dia merasa kesepian hingga ingin berumah tangga. Kalau berminat, nanti aku bicara sama dia.
Jelita dan Langit berpandangan. Wanita itu mengangkat bahu saat Langit bertanya melalui tatapan mata. Dia menggerakkan kepala, memberi kode pada lelaki itu untuk meneruskan langkah, menuju mobil Langit yang parkir tepat di sebelah mobil Arifin berada. Lelaki itu mengangguk sopan pada Arifin yang tersenyum sambil menutup kaca jendela. Dia membuka kunci mobil saat mobil Arifin berlalu dari sana, meninggalkan Amanda yang masih terus berdiri di tempat yang sama.Amanda menghela napas panjang. Setelah menguasai kekagetan, wanita itu berdehem pelan. Dengan dagu sedikit diangkat, dia berjalan melewati Langit dan Jelita. Namun, langkahnya mendadak terhenti saat bersisian dengan Jelita. Wanita itu menoleh pada Jelita yang memegang tangannya. Dia menautkan alis dengan tatapan bertanya. Wanita itu berusaha mengontrol deru napasnya agar tidak terdengar sedang menahan rasa gugup.“Kamu tahu, Amanda? Kebahagiaan itu letaknya disini, di dalam hati.” Jelita menyentuh dada Amanda. Wanita itu mengulas