Keesokan paginya, kantorku terasa seperti medan perang yang baru usai dibombardir. Udara terasa pengap meski AC menyala kencang. Aku tak bisa fokus pada pekerjaan apapun. Layar komputer hanya menampilkan angka-angka dan huruf-huruf yang terdistorsi, seperti hieroglif kuno yang tak bisa kupecahkan.
Wajah Dinda yang tersenyum riang tadi pagi saat berpamitan terus membayangi, seperti hantu yang menolak pergi. Senyum itu bersanding dengan bayangan pria paruh baya di foto, kedua wajah itu berdansa dalam kepalaku dengan ritme yang menggila.
Rekan-rekan kerjaku beberapa kali menanyakan apakah aku baik-baik saja. Wajahku pasti pucat pasi, mata merah karena begadang, dan gerak-gerikku gelisah seperti orang yang sedang dikejar waktu. Aku hanya mengangguk lemah dan kembali menatap layar komputer yang terasa begitu jauh dan tak bermakna.
Aku perlu kejelasan. Aku perlu jawaban yang konkret, yang bisa kupegang, yang bisa menghentikan pergolakan ini sekali dan untuk selamanya. Tidak peduli apakah jawabannya akan menghancurkan hatiku atau justru membebaskanku.
Pikiranku berputar cepat seperti mesin yang overheating, mencari tahu siapa yang bisa memberiku informasi lebih lanjut. Nama-nama orang berlalu lalang, tapi tak satupun yang terasa tepat. Lalu aku teringat. Wulan. Wanita yang mengirim foto itu kepada Andri. Jika dia yang mengambil foto itu, atau setidaknya punya akses ke foto itu, berarti dia ada di lokasi. Berarti dia melihat semuanya. Berarti dia mungkin tahu detailnya; waktu, tempat, bahkan mungkin sudah berapa lama ini berlangsung.
Sejujurnya, aku merasa agak risih dengan wanita itu sejak lama. Wulan, rekan kerjaku dari divisi marketing yang juga sudah bersuami dan punya satu anak balita, selama ini selalu bersikap centil dan genit kepadaku dengan cara yang berlebihan.
Matanya sering mengerling dengan tatapan yang terlalu dalam setiap kali kami berpapasan di koridor, senyumnya terlalu manis dan terlalu lama bertahan saat kami berbicara, bahkan tentang hal-hal sepele seperti jadwal meeting atau deadline proyek. Tangannya sering "tak sengaja" menyentuh lenganku saat kami berdiskusi, dan dia selalu berdiri terlalu dekat, sampai aku bisa mencium parfum mahalnya yang menyengat.
Dia memang cantik dan bahenol dalam artian yang vulgar. Tubuhnya selalu dikemas dalam pakaian yang pas di badan, memamerkan lekuk-lekuknya dengan cara yang terkesan profesional namun tetap menggoda. Seksi juga menurutku, dalam cara yang agresif dan terlalu berlebihan. Rambut panjangnya selalu tersisir rapi, makeup-nya selalu sempurna, dan cara bicaranya selalu sedikit mendayu, seolah setiap kata adalah undangan tersembunyi.
Tapi aku sudah menikah, dan aku selalu mencoba profesional, tak pernah menanggapi sikap centilnya lebih dari sekadar basa-basi kerja. Aku sengaja menjaga jarak, berbicara seperlunya, dan menghindari situasi yang bisa disalahartikan. Namun Wulan seperti tak pernah menyerah, seolah menganggap penolakan halus sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.
Tapi sekarang, ironisnya, aku tak punya pilihan selain mendekat padanya. Dia adalah satu-satunya benang merah yang kupunya untuk mengungkap kebenaran yang menggerogotiku dari dalam.
Maka, pada jam istirahat ketika kantoran mulai sepi, dengan hati yang berat seperti menggotong batu dan sedikit canggung seperti remaja yang mau menyatakan cinta, aku memutuskan untuk menemui Wulan. Langkahku terasa berat, setiap meter yang kutempuh mendekatkanku pada jawaban yang mungkin tak siap kuterima.
Dia sedang duduk di mejanya yang dihiasi dengan berbagai aksesoris feminin; cermin kecil, lipstik, parfum, dan foto keluarganya yang ironisnya menampilkan senyum bahagia bersama suami dan anaknya. Dia sibuk dengan ponsel pink-nya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, sesekali terkikik kecil. Mungkin sedang chatting dengan seseorang, mungkin sedang menyebarkan gosip, atau mungkin sedang merencanakan sesuatu.
Aku mendekat dengan perasaan campur aduk, berusaha menarik napas dalam untuk menenangkan detak jantung yang berpacu seperti kuda liar. Aroma parfumnya semakin menguat, menyerang indera penciumanku dengan intensitas yang mengganggu.
"Wulan," panggilku pelan, berusaha menjaga suara agar terdengar setenang mungkin, meskipun batin terasa seperti badai.
Wulan mengangkat kepalanya dari ponsel dengan gerakan yang dramatis, mata berbinar-binar seperti predator yang melihat mangsa mendekat. Senyum langsung mengembang di wajahnya begitu melihatku, lebar dan penuh kemenangan tersembunyi. Bibirnya yang dilapisi lipstik merah menyala itu melengkung dalam kurva yang terlalu sempurna. Matanya berbinar dengan kilau yang tak bisa kubaca; apakah itu kegembiraan, kepuasan, ataukah sesuatu yang lebih gelap?
"Eh, Aryo! Tumben banget mampir ke sini?" katanya dengan suara yang sedikit mendayu, nada yang biasa dia pakai saat mencoba menggoda. "Ada apa, sayang?" Kata 'sayang' itu meluncur dengan mudah, seolah kami memang dekat, seolah dia punya hak untuk memanggilku seperti itu. "Kangen ya sama aku?" tambahnya dengan tawa kecil yang dibuat-buat.
Aku menelan ludah, mulut tiba-tiba terasa kering seperti kertas. Ini akan sulit, lebih sulit dari yang kubayangkan. Di satu sisi aku butuh informasi darinya, di sisi lain aku harus berhati-hati agar dia tidak salah mengartikan kedatanganku sebagai sinyal bahwa akhirnya aku tertarik padanya.
"Aku… aku mau bertanya sesuatu tentang foto yang kamu kirim ke Andri kemarin," kataku langsung pada intinya, tanpa basa-basi yang berkepanjangan. Aku harus tahu kebenaran, dan Wulan adalah satu-satunya jalan menuju jawaban yang telah menghantuiku selama bermalam-malam. "Kamu yang ambil foto itu?"
“Ya…” jawab Wulan.
“Em… berarti kamu lihat banyak hal kan?” tanyaku berhati-hati.
“Ya. Lebih dari yang ada di foto itu…” jawabnya.
Jantungku semakin berdebar.
“Bisakah kamu ceritakan apa saja yang kamu lihat?” tanyaku.
Senyum Wulan tak luntur, malah semakin lebar setelah mendengar pertanyaanku. Matanya mengerling nakal. “Oh, soal itu… Bisa kok aku ceritain, tapi ada syaratnya,” ucapnya santai, seolah hal ini adalah permainan.
“Syarat?”
“Ya. Kamu harus mau…” Wulan menjeda ucapannya. Perasaanku semakin tidak enak. Apalagi bahasa tubuhnya sudah semakin menjadi-jadi, yang membuatku merasa malu dan harus memalingkan tatapanku. Wulan malah beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri di depanku. Terlalu dekat. Bulatan dadanya yang membuat otak histeris itu nyaris menyentuh tubuhku.
“Kita akan melakukan sesuatu yang menyenangkan. Bagaimana menurutmu?” ucapnya dengan suara yang ia buat sengaja memancing pikiran basah.
Pikiranku benar-benar kacau. Sepanjang pagi di kantor, aku hanya bisa menatap layar monitor tanpa benar-benar mencerna apa pun. Kata-kata Wulan, gambar Dinda yang ceria di CCTV, dan tanda merah samar di lehernya, semua berputar-putar di kepalaku bagai gasing. Aku sungguh dimakan oleh pikiran negatifku sendiri.Ada beberapa tahapan yang harus kulalui. Pertama, aku harus mendapatkan bukti kuat dan tak terbantahkan. CCTV, penyadap suara, mungkin juga dari Wulan jika terpaksa. Dan setelahnya, jika bukti itu sudah di tangan, aku akan menceraikan istriku.Terdengar mudah diucapkan, tapi memikirkan prosesnya saja sudah membuat dadaku sesak. Dan sebelum itu, sebelum semuanya berakhir, sebuah bisikan jahat terus menggoda: aku juga tergoda untuk membalas sakit hati itu dengan berselingkuh juga. Seperti yang Wulan katakan, perselingkuhan dibalas perselingkuhan. Apakah itu adil? Apakah itu akan mengurangi rasa sakitku? Aku tak tahu, tapi godaan itu terus-menerus merayap.Semua pemikiran yang sali
Pagi itu, suasana di meja makan terasa aneh; seperti ada selaput tipis yang memisahkan kami berdua meski duduk berhadapan. Sinar matahari pagi menyusup melalui tirai berwarna krem, menerangi wajah Dinda yang tampak lebih bercahaya dari biasanya.Aku dan Dinda sarapan seperti biasa, tawa dan obrolan kecil mengisi keheningan. Sendok bersentuhan dengan piring keramik putih, bunyi gemerisik koran yang sesekali kubalik, dan aroma kopi yang menguar dari cangkir favoritku. Semuanya terasa begitu normal, begitu biasa.Namun, di balik senyumku yang kuupayakan tampak natural, ada ketegangan yang menyesakkan, seperti tali yang ditarik terlalu kencang dan siap putus kapan saja. Setiap gigitan roti bakar terasa seperti mengunyah kardus. Ini adalah awal dari sandiwara yang sudah kurencanakan sejak semalam, ketika aku berbaring terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang gelap."Kamu baik-baik saja, Sayang? Kelihatannya agak pucat," tanya Dinda sambil menyendokkan selai strawberry ke r
Pukul empat sore, jarum pendek jam dinding kantorku yang berwarna cokelat tua seolah bergerak dalam sirup kental. Detik berganti dengan lambatnya, setiap tik-tok terasa seperti pukulan palu kecil di pelipisku. Berkas dokumen laporan keuangan yang biasanya bisa kuselesaikan dalam sejam, kini tergeletak begitu saja di meja kerjaku. Huruf-huruf di layar komputer tampak buram, tidak fokus. Mataku terus melirik ke ponsel yang tergeletak di samping keyboard, layarnya yang gelap seperti menggodaku untuk segera dibuka.Pikiranku terus melayang ke rumah, ke empat kamera CCTV berteknologi tinggi yang baru saja kupasang kemarin malam dengan susah payah. Kamera-kamera kecil berwarna putih itu kini tersembunyi di sudut-sudut strategis rumah: ruang tamu, dapur, kamar tidur, dan lorong. Rasa penasaran yang mencekam bercampur dengan kegugupan yang membuatkan dadaku terasa sesak. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku meski AC kantor menyala penuh.Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku mem
Waktu terus merayap. Pukul tujuh malam, tapi Dinda tak kunjung pulang. Rumah terasa sunyi dan dingin, padahal biasanya, di jam seperti ini, tawa Dinda atau aroma masakannya sudah memenuhi seisi ruangan. Keresahanku semakin menjadi, menggerogoti setiap inci ketenanganku yang tersisa. Aku mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik pintu depan, berharap mobil Dinda segera muncul. Aku sudah sangat yakin dia selingkuh, dan setiap menit penantian ini terasa seperti siksaan.Lalu, ponselku berdering. Nama Dinda lagi. Jantungku berpacu. Aku mengangkatnya dengan napas tertahan.“Sayang, maaf banget, ya. Sepertinya aku nggak bisa pulang malam ini,” suara Dinda terdengar dari seberang, ada nada lelah tapi juga sedikit panik. “Aku harus tugas ke luar kota sama timku.”Kepalaku langsung pening. Rasanya seperti dihantam godam. Keluar kota? Malam-malam begini? Tanpa memberitahuku sebelumnya? Kecurigaanku yang tadinya mengeras, kini berubah menjadi keyakinan absolut. Ini pasti ulahnya. Dia ingin b
Duniaku seolah berhenti berputar. Udara di sekitarku terasa menipis. Kata-kata itu, keluar begitu saja dari bibir Wulan, menghantamku telak. Aku menatapnya, mencari jejak candaan di matanya, tapi yang kutemukan hanyalah keseriusan yang mengerikan.“Aku… aku ingin balas dendam, Aryo,” Wulan berbisik lagi, suaranya terdengar getir namun penuh tekad. “Aku ingin merasakan tubuh lelaki lain. Aku ingin dia tahu rasanya.”Darahku berdesir panas, bukan karena gairah, melainkan karena kemarahan dan jijik. Bagaimana bisa dia menawarkan hal serendah ini? Di tengah semua kekacauan yang kurasakan, di tengah kehancuran rumah tanggaku, dia justru memanfaatkannya untuk kepuasan pribadinya.“Wulan, apa-apaan ini?!” desisku, berusaha menahan suaraku agar tidak menarik perhatian.Wulan mengangkat bahu, acuh tak acuh. “Ya, itu syaratnya. Kamu butuh bukti, kan? Aku punya. Tapi aku juga butuh sesuatu.”Aku bangkit dari kursi, tak sanggup lagi duduk di sana. Perasaanku campur aduk: marah, jijik, frustrasi,
Jantungku berdebar. Aku sungguh tidak nyaman dan ingin pergi saja dari hadapannya. Tapi di sisi lain, aku butuh informasi darinya. Maka aku harus mencoba untuk sabar.“Memangnya apa yang kamu mau?” tanyaku, mencoba menyembunyikan ketidaksabaranku.Wulan masih bermain-main dengan ekspresi wajahnya. Ia menatapku dengan sedemikian rupa, lalu tersenyum genit.“Temenin aku makan siang. Kamu yang traktir.” jawabnya enteng, sambil berjalan kembali ke kursinya. “Aku malas kalau makan sendirian.”Seketika aku merasa lega. Hanya mentraktir makan siang; aku masih bisa melakukannya. Ya tapi memang ada rasa jengkel. Dia tahu aku sedang gelisah, tapi justru mempermainkanku. Namun, aku tak punya pilihan. Informasi ini terlalu penting. Aku harus tahu."Baiklah," jawabku singkat, berusaha mengendalikan emosiku. "Jam berapa?""Sebentar lagi. Aku beres-beres dulu. Kita pakai mobilku aja, ya? Kamu yang nyetir," pintanya.Aku hanya mengangguk kaku.Tak lama kemudian, aku sudah duduk di balik kemudi mobil