Share

Menanyai Wulan

Author: Calibrie
last update Last Updated: 2025-07-22 15:06:24

Keesokan paginya, kantorku terasa seperti medan perang yang baru usai dibombardir. Udara terasa pengap meski AC menyala kencang. Aku tak bisa fokus pada pekerjaan apapun. Layar komputer hanya menampilkan angka-angka dan huruf-huruf yang terdistorsi, seperti hieroglif kuno yang tak bisa kupecahkan.

Wajah Dinda yang tersenyum riang tadi pagi saat berpamitan terus membayangi, seperti hantu yang menolak pergi. Senyum itu bersanding dengan bayangan pria paruh baya di foto, kedua wajah itu berdansa dalam kepalaku dengan ritme yang menggila.

Rekan-rekan kerjaku beberapa kali menanyakan apakah aku baik-baik saja. Wajahku pasti pucat pasi, mata merah karena begadang, dan gerak-gerikku gelisah seperti orang yang sedang dikejar waktu. Aku hanya mengangguk lemah dan kembali menatap layar komputer yang terasa begitu jauh dan tak bermakna.

Aku perlu kejelasan. Aku perlu jawaban yang konkret, yang bisa kupegang, yang bisa menghentikan pergolakan ini sekali dan untuk selamanya. Tidak peduli apakah jawabannya akan menghancurkan hatiku atau justru membebaskanku.

Pikiranku berputar cepat seperti mesin yang overheating, mencari tahu siapa yang bisa memberiku informasi lebih lanjut. Nama-nama orang berlalu lalang, tapi tak satupun yang terasa tepat. Lalu aku teringat. Wulan. Wanita yang mengirim foto itu kepada Andri. Jika dia yang mengambil foto itu, atau setidaknya punya akses ke foto itu, berarti dia ada di lokasi. Berarti dia melihat semuanya. Berarti dia mungkin tahu detailnya; waktu, tempat, bahkan mungkin sudah berapa lama ini berlangsung.

Sejujurnya, aku merasa agak risih dengan wanita itu sejak lama. Wulan, rekan kerjaku dari divisi marketing yang juga sudah bersuami dan punya satu anak balita, selama ini selalu bersikap centil dan genit kepadaku dengan cara yang berlebihan.

Matanya sering mengerling dengan tatapan yang terlalu dalam setiap kali kami berpapasan di koridor, senyumnya terlalu manis dan terlalu lama bertahan saat kami berbicara, bahkan tentang hal-hal sepele seperti jadwal meeting atau deadline proyek. Tangannya sering "tak sengaja" menyentuh lenganku saat kami berdiskusi, dan dia selalu berdiri terlalu dekat, sampai aku bisa mencium parfum mahalnya yang menyengat.

Dia memang cantik dan bahenol dalam artian yang vulgar. Tubuhnya selalu dikemas dalam pakaian yang pas di badan, memamerkan lekuk-lekuknya dengan cara yang terkesan profesional namun tetap menggoda. Seksi juga menurutku, dalam cara yang agresif dan terlalu berlebihan. Rambut panjangnya selalu tersisir rapi, makeup-nya selalu sempurna, dan cara bicaranya selalu sedikit mendayu, seolah setiap kata adalah undangan tersembunyi.

Tapi aku sudah menikah, dan aku selalu mencoba profesional, tak pernah menanggapi sikap centilnya lebih dari sekadar basa-basi kerja. Aku sengaja menjaga jarak, berbicara seperlunya, dan menghindari situasi yang bisa disalahartikan. Namun Wulan seperti tak pernah menyerah, seolah menganggap penolakan halus sebagai tantangan yang harus ditaklukkan.

Tapi sekarang, ironisnya, aku tak punya pilihan selain mendekat padanya. Dia adalah satu-satunya benang merah yang kupunya untuk mengungkap kebenaran yang menggerogotiku dari dalam.

Maka, pada jam istirahat ketika kantoran mulai sepi, dengan hati yang berat seperti menggotong batu dan sedikit canggung seperti remaja yang mau menyatakan cinta, aku memutuskan untuk menemui Wulan. Langkahku terasa berat, setiap meter yang kutempuh mendekatkanku pada jawaban yang mungkin tak siap kuterima.

Dia sedang duduk di mejanya yang dihiasi dengan berbagai aksesoris feminin; cermin kecil, lipstik, parfum, dan foto keluarganya yang ironisnya menampilkan senyum bahagia bersama suami dan anaknya. Dia sibuk dengan ponsel pink-nya, jari-jarinya bergerak cepat di layar, sesekali terkikik kecil. Mungkin sedang chatting dengan seseorang, mungkin sedang menyebarkan gosip, atau mungkin sedang merencanakan sesuatu.

Aku mendekat dengan perasaan campur aduk, berusaha menarik napas dalam untuk menenangkan detak jantung yang berpacu seperti kuda liar. Aroma parfumnya semakin menguat, menyerang indera penciumanku dengan intensitas yang mengganggu.

"Wulan," panggilku pelan, berusaha menjaga suara agar terdengar setenang mungkin, meskipun batin terasa seperti badai.

Wulan mengangkat kepalanya dari ponsel dengan gerakan yang dramatis, mata berbinar-binar seperti predator yang melihat mangsa mendekat. Senyum langsung mengembang di wajahnya begitu melihatku, lebar dan penuh kemenangan tersembunyi. Bibirnya yang dilapisi lipstik merah menyala itu melengkung dalam kurva yang terlalu sempurna. Matanya berbinar dengan kilau yang tak bisa kubaca; apakah itu kegembiraan, kepuasan, ataukah sesuatu yang lebih gelap?

"Eh, Aryo! Tumben banget mampir ke sini?" katanya dengan suara yang sedikit mendayu, nada yang biasa dia pakai saat mencoba menggoda. "Ada apa, sayang?" Kata 'sayang' itu meluncur dengan mudah, seolah kami memang dekat, seolah dia punya hak untuk memanggilku seperti itu. "Kangen ya sama aku?" tambahnya dengan tawa kecil yang dibuat-buat.

Aku menelan ludah, mulut tiba-tiba terasa kering seperti kertas. Ini akan sulit, lebih sulit dari yang kubayangkan. Di satu sisi aku butuh informasi darinya, di sisi lain aku harus berhati-hati agar dia tidak salah mengartikan kedatanganku sebagai sinyal bahwa akhirnya aku tertarik padanya.

"Aku… aku mau bertanya sesuatu tentang foto yang kamu kirim ke Andri kemarin," kataku langsung pada intinya, tanpa basa-basi yang berkepanjangan. Aku harus tahu kebenaran, dan Wulan adalah satu-satunya jalan menuju jawaban yang telah menghantuiku selama bermalam-malam. "Kamu yang ambil foto itu?"

“Ya…” jawab Wulan.

“Em… berarti kamu lihat banyak hal kan?” tanyaku berhati-hati.

“Ya. Lebih dari yang ada di foto itu…” jawabnya.

Jantungku semakin berdebar.

“Bisakah kamu ceritakan apa saja yang kamu lihat?” tanyaku.

Senyum Wulan tak luntur, malah semakin lebar setelah mendengar pertanyaanku. Matanya mengerling nakal. “Oh, soal itu… Bisa kok aku ceritain, tapi ada syaratnya,” ucapnya santai, seolah hal ini adalah permainan.

“Syarat?”

“Ya. Kamu harus mau…” Wulan menjeda ucapannya. Perasaanku semakin tidak enak. Apalagi bahasa tubuhnya sudah semakin menjadi-jadi, yang membuatku merasa malu dan harus memalingkan tatapanku. Wulan malah beranjak dari tempat duduknya, lalu berdiri di depanku. Terlalu dekat. Bulatan dadanya yang membuat otak histeris itu nyaris menyentuh tubuhku.

 “Kita akan melakukan sesuatu yang menyenangkan. Bagaimana menurutmu?” ucapnya dengan suara yang ia buat sengaja memancing pikiran basah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Dia Masih Menginginkannya

    Pipi Dinda semakin merona. Ia tampak malu, memainkan ujung gaun tidurnya di pangkuan. Ia menghela napas lagi, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, seolah ia sedang mengakui kejahatan terindahnya."Pak Rendra... dia berbeda dari yang kukira," katanya, matanya menatap ke kejauhan; seolah masih berada di sana, di suite mewah itu, bukan di ruang tengah rumah kami. "Dia nggak buru-buru. Dia... perhatian. Dia tanya apa yang aku suka, apa yang membuatku nyaman. Dia membuatku merasa... dihargai."Suaranya bergetar sedikit, campuran antara malu dan bahagia."Kami ngobrol dulu sambil minum wine. Dia cerita tentang hidupnya, tentang mantan istri-istrinya, tentang bagaimana dia merasa kesepian meski punya segalanya. Dia tidak tampil sebagai Direktur yang berkuasa, melainkan sebagai pria yang rapuh."Aku duduk terdiam, menyimak dengan baik. Jantungku berdebar kencang, berimajinasi setiap detail. Aku membayangkan Dinda duduk di sofa beludru mahal, mendengarkan curahan hati Direkturku, me

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Mulai Bercerita

    Waktu terasa berjalan lambat. Setiap menit terasa seperti lima menit. Aku melirik jam dinding. Jam 22:33. Sudah hampir tengah malam.Dari kamar mandi terdengar bunyi air mengalir; shower yang menyala, air yang menyembur keras menghantam lantai. Suara yang familiar, yang biasanya tidak kuperhatikan, kini terdengar begitu jelas. Begitu... signifikan.Aku membayangkan Dinda di bawah semburan air; sabun berbusa membasuh tubuhnya, air panas mengalir menyapu jejak-jejak tangan Pak Rendra, mencuci bau cologne asing, membersihkan sisa-sisa malam yang dia habiskan di hotel mewah.Apakah ia merasa bersalah? Apakah ia merasa puas? Apakah ia memikirkan aku, atau pikirannya masih terpaku pada Pak Rendra?Lima belas menit berlalu. Suara air berhenti. Keheningan sejenak. Lalu bunyi pintu kamar mandi terbuka.Setelah itu, Dinda telah selesai.Ia muncul di ambang pintu ruang tengah dengan penampilan yang sangat berbeda dari tadi.Rambutnya basah, disisir ke belakang, menetes sedikit di bahunya. Wajahn

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Menunggu Dinda Bercerita

    Aku segera mengenakan bajuku yang tergeletak di lantai dan celana pendek yang terlempar di sudut dengan gerakan tergesa-gesa.Jari-jariku gemetar sedikit saat menarik kaos melewati kepala, saat mengaitkan kancing celana. Entah karena masih tersisa sensasi dari beberapa menit lalu, atau karena antisipasi akan bertemu Dinda yang baru saja pulang dari... suatu tempat.Entah kenapa ada perasaan bersalah di hatiku setelah menggunakan kamar kami untuk bercinta dengan wanita lain. Meski, aku tahu Dinda juga tadi pasti bercinta dengan atasannya.Logika itu seharusnya meredakan rasa bersalah. Ini kan kesepakatan? Open marriage? Kebebasan untuk keduanya? Jadi kenapa aku masih merasa ada yang salah?Aku hanya tak mengira saja, Dinda akan pulang.Tadinya aku berpikir, dia akan menginap di hotel bersama Pak Rendra, menghabiskan malam dalam pelukan pria itu, bangun di pagi hari dengan tubuh yang masih menyimpan kehangatan orang lain. Itulah kenapa aku merasa "aman" untuk membawa Dewi ke kamar kami,

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Suara Mobil Dinda Di Depan Rumah

    Aku membiarkan tangannya terus bergerak, membiarkan sensasi itu mengalir. Sentuhan sekilas tadi telah berubah menjadi sentuhan yang disengaja dan berani. Jari-jarinya dengan cepat menguasai dan menyingkap area yang sudah lama menegang di balik celana pendek tipisku.Aku tersentak. Aku tidak lagi bisa menahan diri. Aku berbalik sedikit ke samping, memberinya akses penuh.Dewi semakin liar.Ia tidak hanya puas dengan sentuhan tangan. Gerakannya cepat dan tanpa ampun. Dalam sekejap, ia sudah melepaskan celanaku dan celana dalamku. Kehangatan yang dalam kini menyambutku.Aku akui, permainannya sangat berpengalaman. Dinda pun jelas jauh, ia tidak pernah seganas ini saat memulai.Bibirnya sudah sangat rakus melahap bagian tubuhku yang paling sakral itu. Dia sudah sangat terlatih. Sangat biasa. Dan aku semakin memahaminya setelah mendengar apa yang tadi ia ceritakan. Bahwa dia memang sudah berpengalaman. Jika dia bisa mengatasi tiga hingga empat lelaki, maka apalah artinya aku seorang di kam

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Dinda Semakin Nakal

    Kamar tidurku, ruangan yang biasanya kupadu dengan Dinda, kini terasa asing dengan kehadiran wanita lain. Lampu tidur di meja samping menyala redup, menciptakan cahaya kuning keemasan yang hangat namun juga intim. AC berdenging pelan, mengeluarkan udara dingin yang kontras dengan kehangatan yang mulai terbentuk di antara kami.Ranjang king size dengan seprai putih bersih terbentang luas, terlalu luas untuk satu orang, terlalu pribadi untuk dibagi dengan orang yang bukan istriku.Dewi berdiri di samping ranjang, menatapku dengan senyum yang lembut namun penuh antisipasi."Mau enak dipijitnya, pakai celana pendek aja, Mas," katanya dengan nada yang terdengar seperti saran profesional, seolah ia masseuse berpengalaman, bukan sahabat istriku yang semalam tidur denganku. "Lebih enak begitu kalau pijit. Biar aku bisa akses otot-ototnya dengan baik."Aku mengangguk, sedikit ragu tapi juga... penasaran.Aku membuka laci lemari, mengambil celana pendek olahraga; celana hitam berbahan tipis yan

  • Jejak Lelaki Lain Di Tubuh Istriku   Mau Dipijat?

    Dewi tersenyum menatap ke arahku; senyum yang tipis, penuh makna, seolah ia sudah tahu pertanyaan apa yang akan keluar dari mulutku."Dinda nggak ngasih tahu dia di mana?"Suaranya ringan, casual, tapi matanya mengamati reaksiku dengan seksama. Ia meletakkan sendoknya, mengambil tissue untuk mengelap sudut bibirnya yang sedikit berminyak dari rendang, gerakan yang perlahan dan feminin."Belum. Katanya nanti dia telat pulang..." jawabku, berusaha terdengar santai meskipun dadaku terasa sedikit sesak.Sebenarnya pertanyaanku ini hanyalah sebagai awalan saja. Aku ingin memancing bagaimana reaksi Dewi dengan tema obrolan ini.Dewi mengangguk pelan, jari-jarinya memutar gelas air putih di atas meja dengan gerakan melingkar yang lambat. Bunyi gesekan dasar gelas dengan permukaan meja menciptakan ritme yang monoton."Tadi pergi sama Pak Rendra. Dia sudah minta izin ke kamu kan?" tanyanya, nadanya hati-hati."Sudah..." balasku singkat, menatap mata Dewi untuk melihat apakah ada sesuatu yang i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status