Home / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 7 Permohonan Almira

Share

Bab 7 Permohonan Almira

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-08-30 07:50:44

Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya.

Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum.

Ingatan itu membuat matanya semakin panas.

Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya.

Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.”

Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar namun hangat. “Yang kamu butuhkan hanyalah istirahat. Biarkan tubuhmu pulih dulu. Masalah biaya itu urusan nanti”

Almira menggigit bibir bawahnya, menoleh pelan ke arahnya. “Tapi… saya juga harus bekerja. Kalau saya di rawat di sini, saya akan kehilangan pekerjaan. Saya tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Alvaro mendesah pelan. memperhatikan dengan seksama. Ada kilatan emosi namun ia berusaha menahannya. “Jika kamu terus memaksa tubuhmu bekerja dengan kondisi seperti ini, justru kamu tidak akan bisa bekerja sama sekali. Kamu mengerti maksudku?”

Almira terdiam. Kata-kata itu menancap tepat di benaknya. Ia tahu Alvaro benar. Tubuhnya sendiri seperti tidak bisa lagi diajak kompromi, ia benar-benar tidak bertenaga..

Hening menyelimuti ruang itu. Hanya terdengar bunyi infus yang menetes perlahan.

Alvaro berdiri, menepuk pelan selimut di ujung ranjang. “Istirahatlah. Jika ada yang kamu butuhkan, tekan bel di samping ranjang. Perawat akan datang.”

Langkahnya menjauh menuju pintu. Namun sebelum benar-benar keluar, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya menusuk, namun ada ketulusan di dalamnya.

“Kalau kamu ingin bertahan hidup di dunia ini,” katanya pelan, “mulailah dengan menjaga dirimu sendiri.”

Pintu tertutup.

Almira menatap lama pintu ruangan itu, air matanya kembali berkaca-kaca. Ada getar aneh di dadanya yang sulit ia pahami. Tadinya ia ingin berterima kasih, tapi lidahnya kelu.

“Kenapa orang asing ini begitu peduli… sementara keluargaku sendiri tak pernah menoleh?” bisiknya lirih.

Tangis itu akhirnya pecah, menumpahkan semua beban yang selama ini ia pendam sendirian. Untuk pertama kalinya, ia merasa diperhatikan.

Dan Malam itu, setelah Alvaro meninggalkan ruangan, Almira tidak bisa langsung tidur. Ia terbaring memandang langit-langit, sementara pikirannya terus bergulat. Bayangan wajah keras tapi penuh kepedulian itu tidak bisa hilang.

Ia mengingat kata-kata yang diucapkan tadi. Hatinya berdesir. Seumur hidup, ia jarang sekali mendengar seseorang begitu peduli padanya.

Dengan pelan, ia menutup mata, membiarkan air mata terakhir jatuh sebelum akhirnya lelap dalam kelelahan.

Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis jendela kamar. Almira terbangun dengan tubuh masih lemah, namun sedikit lebih segar. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa pusing kembali menyerang.

Saat itu pintu terbuka, dan Alvaro masuk dengan map hasil pemeriksaan di tangannya. “Selamat pagi,” ucapnya singkat.

Almira buru-buru menunduk, menyembunyikan wajah yang masih sembab. “Pagi, Dokter.”

Alvaro mendekat, meletakkan map di meja kecil. “Kadar hemoglobinmu meningkat sedikit setelah transfusi. Itu kabar baik. Tapi kamu masih butuh perawatan beberapa hari lagi.”

“Beberapa hari lagi?” Almira memucat. “Tapi… saya benar-benar tidak bisa. Pekerjaan saya… saya—”

Alvaro menepuk pelan meja di samping ranjang, tatapannya tajam. “Berhenti memikirkan hal-hal itu! sebentar saja fikiran tubuhmu. Hidupmu jauh lebih penting.”

Almira terkunci dalam tatapan itu. Ia merasa seperti ditelanjangi oleh kata-kata Alvaro, tak bisa lagi menyangkalnya. Apa yang dikatakan Alvaro benar adanya.

Hening kembali turun. Alvaro akhirnya menarik kursi, duduk lebih dekat. Ia menatap Almira, kali ini dengan nada lebih lembut.

“Kalau dunia di luar terasa terlalu berat, setidaknya biarkan saya membantumu sementara. Kamu tidak harus menanggung semua beban sendirian.”

Kata-kata itu membuat hati Almira bergemuruh. Ia menggenggam erat selimutnya, berusaha menahan air mata yang kembali mendesak.

Namun kali ini, ia hanya mampu berbisik pelan, nyaris tak terdengar.

“Terima kasih… Dokter.”

Alvaro tersenyum tipis, matanya melembut. “Tidak perlu memanggilku dokter, cukup anggil aku Alvaro saja.”

Almira menggigit bibirnya pelan, matanya berkedip ragu. Suaranya pecah, lirih, seakan enggan keluar, namun akhirnya terdengar juga—

“ Baiklah... Al…varo…”

Setelah Alvaro pergi, Almira menatap jendela. Cahaya matahari sore menyelinap lewat tirai tipis, menciptakan bayangan lembut di dinding putih kamar. Ia menarik napas panjang, berusaha mencerna semua yang terjadi dalam dua hari terakhir.

“Kenapa aku bisa selemah ini…” bisiknya lirih.

Matanya beralih pada botol infus yang masih menetes pelan. Rasanya asing—seumur hidup, ia jarang ke rumah sakit, apalagi dirawat seperti ini. Semua terasa terlalu mewah untuk dirinya.

Di kos sederhana tempatnya tinggal, ia terbiasa menahan lapar atau hanya tidur agar rasa sakit di tubuh mereda.

Air mata kembali mengalir, tanpa suara. Ia menutup wajah dengan punggung tangan, mencoba meredam sesak. “Aku bahkan tidak sanggup membayar uang kos bulan ini… sekarang ada orang asing yang menanggung biaya rumah sakit sebesar ini. Bagaimana mungkin aku bisa membalasnya?”

Hatinya diliputi rasa malu bercampur syukur. Ia ingin mempercayai bahwa dunia masih menyimpan orang baik. Namun ketakutan lamanya—ketakutan ditinggalkan, diremehkan, dan dibiarkan sendiri—masih terus menghantuinya.

Saat itulah pintu kembali terbuka. Seorang perawat masuk sambil membawa segelas air putih. “Mbak Almira, jangan terlalu banyak pikiran ya. Dokter Alvaro berpesan, kalau mau sembuh harus yakin pada diri sendiri.”

Almira menoleh cepat, terkejut. “Dokter… bilang begitu?”

Perawat tersenyum kecil. “Iya. Beliau jarang sekali terlihat begitu perhatian seperti kepada pasien lain. Sepertinya Mbak ini istimewa.”

Almira terdiam. Kata-kata itu membuat pipinya memanas. Ia menunduk, jantungnya berdetak lebih cepat tanpa bisa ia kendalikan.

Malam turun lagi. Di luar jendela, lampu kota berkelip. Almira masih terjaga, matanya menatap langit yang samar-samar terlihat. Dalam hatinya ia berdoa, mungkin untuk pertama kalinya dengan sungguh-sungguh setelah sekian lama:

“Tuhan… kalau ini jalan-Mu, tolong beri aku kekuatan. Jangan biarkan aku menyia-nyiakan kesempatan yang Engkau titipkan lewat orang asing itu.”

Dan di kejauhan, di ruang kerjanya, Alvaro juga masih terjaga, menatap hasil pemeriksaan laboratorium Almira. Sorot matanya serius, namun ada kelembutan samar yang tidak biasa muncul ketika ia menatap berkas pasien lain.

Seolah-olah, sejak pertemuan tak terduga itu, sesuatu dalam dirinya ikut berubah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status