LOGINDi antara langkah sederhana seorang gadis desa, tersimpan rahasia yang mampu mengubah jalan hidupnya. Pertemuan tak terduga dengan seorang dokter bukan sekadar kebetulan, melainkan awal dari perjalanan penuh luka, rahasia, dan cinta yang diuji takdir. Mampukah Almira menghadapi kenyataan yang perlahan terungkap, atau justru tenggelam dalam jejak masa lalu yang ingin ia lupakan?
View MoreLangit senja mulai beranjak, saat Almira pulang dari sawah, membantu tetangganya memanen padi. Langkahnya terlihat gontai dan bajunya basah oleh keringat, Namun masih tampak senyum diwajahnya saat membalas sapaan dari orang-orang yang berpapasan di jalan.
Hari ini, upah yang ia terima tidak banyak hanya dua kilo beras dan beberapa lembar uang kertas sepuluh ribuan tapi cukup untuk menopang hidupnya untuk beberapa hari. Begitu sampai, terdengar suara batuk ayahnya dari dalam, serta bau alkohol yang sangat menyengat. Almira meraih gagang pintu dan membukanya berlahan. Namun sebelum pintu terbuka sepenuhnya, suara teriakan ayahnya menyambutnya. “Kamu baru pulang? Mana uangnya, Mir!” Suara ayahnya_ Harun, menggema. Almira menelan ludah. Napasnya terasa berat, tubuhnya meremang. “I-iya, Yah. Sebentar…” ucapnya lirih. Tangannya terlihat gemetar saat mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku bajunya. Lalu, ia meletakkannya di meja reyot di hadapan ayahnya. “Hanya dapat segini yah, sama sedikit beras….” Harun mendengus kasar. Matanya tampak merah, rambut kusut, dan bau arak menusuk tajam. "Cuma segini?” suaranya meninggi, penuh amarah. “Kamu kerja seharian cuma dapat begini? Dasar tidak becus! ngak berguna!” Almira menunduk. Kata-kata itu menancap di dadanya. Ia membuka mulut, berusaha menjelaskan. “Yah, jangan diambil semua. Di rumah nggak ada apa-apa. semuannya habis, kita_” dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, suaranya melemah, tertelan oleh rasa takut. Ayahnya tidak menggubris. Dengan kasar ia meraih uang itu lalu menyumpalnya ke saku celananya. Tanpa menoleh, ia meraih botol arak yang ada di meja, meneguknya hingga terdengar bunyi gluk-gluk yang membuat Almira meringis ngeri. Kemudian bangkit. Dengan Langkah terhuyung, menendang kursi dihadapannya hingga menimbulkan suara keras yang memekak telinga. “Kamu urus saja makanmu sendiri, jangan ikut campur urusan ayah!” bentaknya dan melangkah keluar dengan menutup pintu kayu dengan keras. Braaak! Pintu terguncang, hampir copot dari engselnya. Kemudian, terdengar suara sandal ayahnya, menjauh. Almira hanya berdiri kaku. Jantungnya berdegup keras, matanya panas. Ia memandang pintu dapur. Jemari kecilnya meremas ujung bajunya, menahan perasaan yang tak lagi bisa diungkapkan. Berlahan, Almira berjalan ke dapur. Membawa sedikit beras pemberian tetangga tadi, lalu menuangkannya ke dalam wadah kaleng kosong yang berada disudut dapur. “Besok… aku harus cari lagi,” bisiknya lirih, matanya basah. Almira mengambil panci yang terlihat penyok, lalu menuang sedikit, kemudian menyalakan tungku. Api menyala redup, membuat asap tipis mengepul dan memenuhi dapur. Ia duduk di depan tungku, menatap api yang berkerlap-kerlip, dengan tatapan kosong. Malam kian beranjak turun. Suara jangkrik mulai terdengar dari luar. Almira mematikan api, meletakkan panci dengan nasi seadanya di atas meja, lalu melangkah ke kamarnya. Kamarnya sangat kecil berdinding papan, dengan tikar tipis sebagai alas tidur. Disalah satu sudut terlihat atapnya bocor membuat udara dingin mudah masuk. Almira merebahkan tubuhnya, sambil menatap langit-langit kamar. Air matanya akhirnya pecah. Hening malam menjadi saksi, hanya isakannya yang terdengar pelan. “Andai Ibu masih ada… mungkin aku nggak akan sendirian begini,” gumamnya. Dulu, keadaannya tidak seperti ini. Waktu ibunya masih hidup, meski hidup sederhana, rumah ini terasa hangat. Mereka punya sepetak sawah di belakang rumah. Ayahnya, meski keras, tapi bertanggung jawab. Ayahnya rajin ke sawah, sementara Ibunya, berjualan keliling membawa jajanan buatan tangan sendiri. Hari-harinya terasa sangat bahagia. Setiap hari ibunya selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk mereka. Walau hanya masakan sederhana—kadang nasi dengan sayur bening bayam atau tempe goreng— namun terasa nikmat. “Mir, belajar yang rajin, ya,” begitu pesan ibunya setiap kali ia akan berangkat sekolah sambil mengelus rambutnya. Namun segalanya berubah, ketika penyakit liver merenggut nyawa ibunya. Dunia Almira seakan runtuh_rumah yang begitu damai dan penuh senyuman, sekarang yang ada hanya teriakan, pukulan, bahkan hinaan yang selalu menguras air matanya. Saat ibunya meninggal, Almira masih SMP. Dan sejak saat itu Ayahnya benar-benar berubah. Ia tidak lagi ke sawah. Hari demi hari, sawah yang dulu terurus akhirnya terbengkalai. Awalnya, ayahnya hanya menjual sepetak kecil untuk biaya pengobatan ibunya. Almira bisa memahami itu. Tapi setelah ibunya meninggal, ia menjual lagi untuk alasan yang tak jelas. Hingga akhirnya, sawah merekapun habis terjual. Kini, mereka tidak lagi punya tanah untuk digarap. Uang hasil penjualan sawah dihabiskannya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Yang tersisa sekarang hanya gubuk kecil yang hampir roboh. Mengingat itu, air matanya semakin jatuh berderai. Almira menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis lebih keras. Matanya menatap jendela kecil yang terbuka, memperlihatkan langit gelap dengan bintang-bintang yang tampak redup. Udara malam semakin dingin. Namun Almira masih tak beranjak dari tempatnya semula. Dalam kesunyian itu, pikirannya masih melayang jauh. Dari kejauhan, terdengar suara orang-orang yang sedang tertawa. Mungkin suara ayahnya, bersama kawan-kawannya. Suara itu seolah menusuk telinga Almira, membuat dadanya semakin sesak. Saat ini usianya Almira baru tujuh belas, tapi beban di pundaknya jauh lebih berat dari gadis seusianya. Disaat teman-teman sebayanya masih bisa sekolah, sementara dirinya harus menjadi tulang punggung bagi ayahnya. “Seandainya… aku bisa pergi dari sini. Kerja di kota, mungkin aku bisa hidup lebih baik…” suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan yang terbawa angin malam. Almira menutup kelopak mata perlahan, membiarkan diri hanyut dalam tidur yang berat dan singkat. Hanya kesunyian kamar yang menemaninya, sementara rasa putus asa dan mimpi yang belum berani ia wujudkan tetap bersarang di hatinya.Malam itu, di kejauhan, sebuah mobil hitam berhenti di tikungan tak jauh dari kosan Almira.Lampu jalan yang temaram hanya sedikit menerangi bodi mobil itu. Di dalamnya, seorang pria duduk diam, memperhatikan setiap gerak-gerik di halaman kecil itu. Matanya tajam, tak berkedip, menatap Alvaro dan Almira dari balik kaca. Dialah Arman, orang suruhan Rania yang ditugaskan untuk mengikuti Alvaro tanpa sepengetahuannya. Sudah berhari-hari ia membuntuti pria itu, mencatat ke mana ia pergi, dengan siapa ia bertemu, bahkan kapan ia pulang. Dan malam ini, ia kembali menjalankan perintah itu. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia hafal. “Sudah saya pastikan, Nona,” katanya pelan ketika panggilan tersambung. “Pak Alvaro menemui seorang wanita… di kosan sederhana, di kawasan Rawasari.” Di ujung sana, suara perempuan terdengar datar namun tajam. “ Siapa Wanita itu?” “Namanya Almira, salah satu staf admin dari salah satu perusaha
Malam itu, setelah semua staf pulang, kantor terasa sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan langkah Alvaro yang terdengar bergema di lorong. Ia berdiri sejenak di depan jendela besar, menatap lampu-lampu kota yang berkelip. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya—penyesalan, rindu, dan kegelisahan yang tak bisa ia abaikan lagi. Akhirnya, ia mengambil jasnya dan melangkah cepat menuju lift. Malam itu, ia hanya ingin menemui satu orang: Almira. Ketika ia tiba di depan kosan sederhana Almira. Ia memarkir mobilnya sedikit agak jauh, tak ingin menarik perhatian. Ia berdiri sejenak di depan pagar kecil itu, menenangkan napas. Lalu mengetuk perlahan. Tak lama, pintu terbuka. Almira muncul dengan pakaian sederhana, wajah lelah sehabis pulang kerja. Matanya terkejut melihat siapa yang berdiri di sana. “Pak Alvaro?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Alvaro hanya menatapnya. Sekian hari ia menahan rindu, tapi kini tatapan gadis itu dingin — tidak seperti dulu. Ada jarak yang
Siang itu, suasana ruang kerja Alvaro terasa sangat menegangkan. Walau pendingin ruangan sudah dihidupkan, namun dia masih merasa gerah. Ada gemuruh yang berkecamuk di dadanya. Ia baru saja menyelesaikan rapat dengan tim manajemen rumah sakit ketika pintu ruangannya diketuk pelan. “Masuk,” ucapnya datar. Clara, asisten pribadinya masuk. Wajahnya terlihat ragu. Ia memegang tablet dengan kedua tangan, matanya menatap layar seolah tak yakin ingin membicarakannya. “Pak… ada hal yang sepertinya harus Bapak lihat.” Alvaro mengangkat kepala perlahan. “Apa?” Clara menelan ludah sebelum menjawab. “Beberapa portal berita… menulis tentang rencana pertunangan Bapak dengan Nona Rania Adiningrat.” Waktu seperti berhenti. Pena di tangan Alvaro jatuh ke meja. “Pertunangan?” suaranya meninggi tanpa sengaja. Clara langsung menunduk. “Iya, Pak. Sudah tersebar sejak pagi. Ada beberapa foto dari acara jamuan semalam. Semua portal besar sudah memuatnya. Bahkan media sosial perusahaan Adi
Pagi itu suasana kantor terlihat lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan terdengar pelan dari beberapa staf yang ia temui sejak ia melewati pintu utama. Almira baru saja duduk di mejanya, ketika dua rekan kerja dari divisi lain datang menghampiri. “Mir, kamu udah denger belum?” tanya salah satunya dengan nada penuh gosip. Almira menatap sekilas sambil menyalakan komputernya. “Denger apa?”. "Berita tentang keluarga Pradipta Grup.” Tangannya yang hendak membuka laptop terhenti. “Kenapa dengan mereka?” “Katanya… semalam ada jamuan makan malam di rumah mereka. Dan sumber yang datang bilang, itu jamuan buat membicarakan pertunangan anaknya — Alvaro Pradipta — sama Rania Adiningrat.” Kalimat itu seperti palu yang jatuh di tengah dadanya. “Pertunangan?” ia mengulang pelan, berusaha memastikan ia tidak salah dengar. “Iya. Katanya dua keluarga itu udah lama menjalin kerja sama di proyek besar. Jadi, ya… kayaknya mau disatukan lewat pernikahan juga.” Temannya menatap Alm
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.