Jejak Takdir Almira

Jejak Takdir Almira

last updateLast Updated : 2025-09-29
By:  Almira RyanzaOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
19views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di antara langkah sederhana seorang gadis desa, tersimpan rahasia yang mampu mengubah jalan hidupnya. Pertemuan tak terduga dengan seorang dokter bukan sekadar kebetulan, melainkan awal dari perjalanan penuh luka, rahasia, dan cinta yang diuji takdir. Mampukah Almira menghadapi kenyataan yang perlahan terungkap, atau justru tenggelam dalam jejak masa lalu yang ingin ia lupakan?

View More

Chapter 1

Bab 1 Keinginan Almira

Hari mulai beranjak sore saat Almira pulang dari sawah, membantu Pak Rudi_tetangganya memanen padi. Langkahnya terlihat gontai, dan bajunya basah oleh keringat. Upah yang ia terima tak seberapa tapi cukup untuk bertahan hidup.

Begitu sampai, terdengar suara batuk ayahnya dari dalam, serta bau alkohol yang sangat menyengat. Almira meraih gagang pintu dan membukanya berlahan. Namun sebelum pintu terbuka sepenuhnya, suara teriakan ayahnya menyambutnya.

“Kamu baru pulang? Mana uangnya, Mir!” Suara ayahnya_ Harun, menggema.

Almira menelan ludah. Napasnya terasa berat, tubuhnya meremang.

“I-iya, Yah. Sebentar…” ucapnya lirih. Tangannya terlihat gemetar saat mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku bajunya. Lalu, ia meletakkannya di meja reyot di hadapan ayahnya. “Hanya dapat segini yah, sama sedikit beras….”

Harun mendengus kasar. Matanya tampak merah, rambut kusut, dan bau arak menusuk tajam.

"Cuma segini?” suaranya meninggi, penuh amarah. “Kamu kerja seharian cuma dapat begini? Dasar tidak becus! ngak berguna!”

Almira menunduk. Kata-kata itu menancap di dadanya. Ia membuka mulut, berusaha menjelaskan.

“Yah, jangan diambil semua. Di rumah nggak ada apa-apa. semuannya habis, kita_” dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya, suaranya melemah, tertelan oleh rasa takut.

Ayahnya tidak menggubris. Dengan kasar ia meraih uang itu lalu menyumpalnya ke saku celananya. Tanpa menoleh, ia meraih botol arak yang ada di meja, meneguknya hingga terdengar bunyi gluk-gluk yang membuat Almira meringis ngeri. Kemudian bangkit. Dengan Langkah terhuyung, menendang kursi dihadapannya hingga menimbulkan suara keras yang memekak telinga.

“Kamu urus saja makanmu sendiri, jangan ikut campur urusan ayah!” bentaknya dan melangkah keluar dengan menutup pintu kayu dengan keras. Braaak!

Pintu terguncang, hampir copot dari engselnya. Kemudian, terdengar suara sandal ayahnya, menjauh.

Almira hanya berdiri kaku. Jantungnya berdegup keras, matanya panas. Ia memandang pintu dapur. Jemari kecilnya meremas ujung bajunya, menahan perasaan yang tak lagi bisa diungkapkan.

Berlahan, Almira berjalan ke dapur. Membawa sedikit beras pemberian tetangga tadi, lalu menuangkannya ke dalam wadah kaleng kosong yang berada disudut dapur.

“Besok… aku harus cari lagi,” bisiknya lirih, matanya basah.

Almira mengambil panci yang terlihat penyok, lalu menuang sedikit, kemudian menyalakan tungku.

Api menyala redup, membuat asap tipis mengepul dan memenuhi dapur. Ia duduk di depan tungku, menatap api yang berkerlap-kerlip, dengan tatapan kosong.

Malam kian beranjak turun. Suara jangkrik mulai terdengar dari luar. Almira mematikan api, meletakkan panci dengan nasi seadanya di atas meja, lalu melangkah ke kamarnya.

Kamarnya sangat kecil berdinding papan, dengan tikar tipis sebagai alas tidur. Disalah satu sudut terlihat atapnya bocor membuat udara dingin mudah masuk. Almira merebahkan tubuhnya, sambil menatap langit-langit kamar. Air matanya akhirnya pecah.

Hening malam menjadi saksi, hanya isakannya yang terdengar pelan.

“Andai Ibu masih ada… mungkin aku nggak akan sendirian begini,” gumamnya.

Dulu, keadaannya tidak seperti ini. Waktu ibunya masih hidup, meski hidup sederhana, rumah ini terasa hangat.

Mereka punya sepetak sawah di belakang rumah. Ayahnya, meski keras, tapi bertanggung jawab. Ayahnya rajin ke sawah, sementara Ibunya, berjualan keliling membawa jajanan buatan tangan sendiri.

Hari-harinya terasa sangat bahagia. Setiap hari ibunya selalu bangun lebih awal, menyiapkan sarapan untuk mereka. Walau hanya masakan sederhana—kadang nasi dengan sayur bening bayam atau tempe goreng— namun terasa nikmat.

“Mir, belajar yang rajin, ya,” begitu pesan ibunya setiap kali ia akan berangkat sekolah sambil mengelus rambutnya.

Namun segalanya berubah, ketika penyakit liver merenggut nyawa ibunya. Dunia Almira seakan runtuh_rumah yang begitu damai dan penuh senyuman, sekarang yang ada hanya teriakan, pukulan, bahkan hinaan yang selalu menguras air matanya.

Saat ibunya meninggal, Almira masih SMP. Dan sejak saat itu Ayahnya benar-benar berubah. Ia tidak lagi ke sawah. Hari demi hari, sawah yang dulu terurus akhirnya terbengkalai.

Awalnya, ayahnya hanya menjual sepetak kecil untuk biaya pengobatan ibunya. Almira bisa memahami itu. Tapi setelah ibunya meninggal, ia menjual lagi untuk alasan yang tak jelas. Hingga akhirnya, sawah merekapun habis terjual.

Kini, mereka tidak lagi punya tanah untuk digarap. Uang hasil penjualan sawah dihabiskannya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Yang tersisa sekarang hanya gubuk kecil yang hampir roboh.

Mengingat itu, air matanya semakin jatuh berderai. Almira menggigit bibirnya sendiri, menahan tangis lebih keras. Matanya menatap jendela kecil yang terbuka, memperlihatkan langit gelap dengan bintang-bintang yang tampak redup.

Udara malam semakin dingin. Namun Almira masih tak beranjak dari tempatnya semula. Dalam kesunyian itu, pikirannya masih melayang jauh.

Dari kejauhan, terdengar suara orang-orang yang sedang tertawa. Mungkin suara ayahnya, bersama kawan-kawannya. Suara itu seolah menusuk telinga Almira, membuat dadanya semakin sesak.

Saat ini usianya Almira baru tujuh belas, tapi beban di pundaknya jauh lebih berat dari gadis seusianya. Disaat teman-teman sebayanya masih bisa sekolah, sementara dirinya harus menjadi tulang punggung bagi ayahnya.

“Seandainya… aku bisa pergi dari sini. Kerja di kota, mungkin aku bisa hidup lebih baik…” suaranya hampir tak terdengar, hanya bisikan yang terbawa angin malam.

Almira menutup kelopak mata perlahan, membiarkan diri hanyut dalam tidur yang berat dan singkat. Hanya kesunyian kamar yang menemaninya, sementara rasa putus asa dan mimpi yang belum berani ia wujudkan tetap bersarang di hatinya.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status