Share

Bab 8. Teguran

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-08-31 09:26:24

Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro.

Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir.

“Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.”

Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya.

“Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan.

Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.”

Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggilku dokter? Bukankah aku sudah bilang, panggil saja namaku.”

Almira tersenyum tipis, berusaha berterima kasih meski dalam hati ada kegelisahan. “Baiklah, Alvaro. Terima kasih atas semua bantuanmu.”

Namun sebelum ia sempat melanjutkan kata-kata, Alvaro menambahkan, “Oya, Biarkan aku yang mengantarmu pulang.”

Almira sontak menoleh cepat. “Tidak perlu... Aku bisa pulang sendiri. Lagipula kosanku tidak jauh. Kamu pasti sibuk, banyak pasien yang menunggu.”

Alvaro mendengus ringan, memasukkan kedua tangannya ke saku jas. “Pasien saya bisa menunggu. Tapi kalau saya membiarkanmu pulang sendiri, saya tidak akan tenang.”

Nada suaranya tegas, namun tetap terdengar lembut.

“Dokter…” Almira mencoba menolak lagi, wajahnya terlihat sungkan. “Aku tidak mau merepotkanmu.”

Alvaro tersenyum kecil, kali ini dengan tatapan yang lebih dalam. “Merepotkan? Tidak, Almira. Justru aku merasa senang. Jadi, izinkan aku mengantarmu. aku tidak menerima penolakan untuk hal ini.”

Nada suaranya membuat Almira terdiam. Ada wibawa sekaligus ketulusan yang sulit ia lawan. Pada akhirnya, ia hanya bisa menunduk pasrah. “Baiklah…”

Beberapa jam kemudian, setelah semua administrasi selesai, Alvaro benar-benar menepati ucapannya. Ia membawa mobilnya dan mempersilakan Almira duduk di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan, suasana sempat hening, namun hati Almira berdebar tak menentu. Ia merasa canggung berada di samping pria yang baru dikenalnya tapi begitu perhatian padanya.

Setibanya di depan kosanbya, Almira mengucap pelan, “Terima kasih, Alvaro. Kamu sudah terlalu banyak membantuku.”

Alvaro hanya menoleh, menatapnya dengan mata teduh. “Jaga dirimu. Jika merasa tidak enak badan, jangan ragu hubungi aku.”

Almira mengangguk pelan, lalu turun dari mobil.

Belum sempat ia masuk, seorang perempuan berlari kecil dari arah dalam kosan. “Almira!” serunya. Mba Lestari, teman kos sekaligus rekan kerjanya. Wajahnya penuh kekhawatiran.

“Ke mana saja kamu? Mba cari-cari kamu dikl kosan nggak ada, di kantor juga nggak masuk. Mba takut ada apa-apa!”

Almira terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Wajahnya memucat lagi. Lestari meraih tangannya erat-erat.

“Kamu sakit ya? Kenapa nggak bilang?”

Almira hanya menunduk, merasa bersalah. Namun sebelum ia membuka suara, Lestari sempat melirik ke arah mobil di belakang Almira, melihat sosok Alvaro yang masih duduk di dalam. Tatapannya penuh tanya.

Di saat yang sama, pikiran Almira sudah bercampur aduk. Belum selesai dengan sakitnya, ia sadar bahwa esok kantor pasti akan menuntut penjelasan. Ia sudah absen beberapa hari tanpa pemberitahuan—dan itu pasti akan jadi masalah besar.

Pagi itu, tubuhnya terasa masih lemas, namun Almira memaksa bangun. Tidak ada pilihan lain. Pekerjaan menunggunya, dan ia tidak ingin menambah masalah setelah beberapa hari absen tanpa kabar.

Dengan langkah pelan, Almira berdiri di depan kaca. Wajahnya pucat, lingkar hitam di bawah matanya menandakan ia belum sepenuhnya pulih. Tapi ia menepuk pipinya perlahan, berusaha memberi semangat pada diri sendiri.

"Aku harus kuat… aku tidak boleh kalah."

Lestari, yang sejak semalam menemaninya, mengetuk pintu.

“Mir, yakin kamu kuat? Kamu baru keluar dari rumah sakit.”

Almira memaksakan senyum. “Kalau aku tidak masuk kerja lagi, bisa-bisa aku benar-benar dipecat, Mba.”

Almira kemudian berangkat kerja. Jalan menuju kantor terasa lebih panjang dari biasanya, mungkin karena tubuhnya masih rapuh. Sesampainya di depan gedung perusahaan, jantungnya berdegup kencang. Beberapa rekan kerja memandanginya dengan tatapan aneh, seakan-akan bisik-bisik sudah lebih dulu beredar tentang ketidakhadirannya.

Belum sempat ia duduk, seorang atasan langsung menghampirinya.

“Almira, ikut saya ke ruangan!” suara dingin itu membuatnya tercekat.

Di ruang rapat, beberapa orang sudah menunggu. Almira menunduk, tangannya menggenggam erat buku catatan.

“Kamu tahu kenapa dipanggil?” suara atasannya terdengar tajam.

Almira memberanikan diri. “Saya… saya sakit, Pak. Beberapa hari terakhir saya dirawat di rumah sakit, jadi tidak sempat mengabari.”

“Tidak sempat? Almira, kamu pegawai di sini. Sakit atau tidak, seharusnya ada pemberitahuan resmi. Karena ketidakhadiranmu, pekerjaan menumpuk dan rekan kerja lain harus menanggung bebanmu!”

Almira terdiam. Ia ingin membela diri, tapi suaranya tercekat.

Ratna, Salah satu rekan yang duduk di ruangan itu menimpali dengan nada sinis.

“Kalau memang sering sakit, kenapa tidak sekalian mengundurkan diri saja? Daripada menyusahkan yang lain.”

Kalimat itu menusuk hatinya. Matanya panas, tapi ia menahan agar air mata tidak jatuh.

Atasannya menutup pembicaraan dengan dingin.

“Kamu tetap bekerja, tapi ini peringatan keras. Jika kamu mengulangi lagi, jangan salahkan kalau kamu diputus kontrak. Mengerti?”

Almira mengangguk pelan. “Mengerti, Pak.”

Keluar dari ruangan itu, langkahnya gemetar. Ia merasa dunia menutup diri padanya. Di meja kerjanya, ia melihat beberapa tatapan penuh cibiran. Lestari yang bekerja di divisi lain hanya bisa memperhatikan dari jauh, wajahnya penuh kekhawatiran.

Almira menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata berkaca-kaca. Jemarinya bergetar saat menyentuh keyboard, seolah tubuhnya menolak untuk kembali tenggelam dalam rutinitas.

Bisikan-bisikan samar terdengar di belakangnya.

“Kasihan sih, tapi kalau kerja nggak becus, ya percuma juga,” suara seseorang lirih tapi cukup jelas.

“Ah, pura-pura sakit kali...jangan-jangan...” kalimat itu tak selesai, diikuti tawa kecil yang menusuk telinga.

Almira menutup mata, menahan perih yang menyesakkan dada. Tubuhnya masih lemah, tapi harga dirinya lebih terluka. Ia ingin berteriak, menjelaskan semuanya, tapi tak ada yang akan benar-benar mendengarkan.

Di sudut pikirannya, ia teringat pada sosok Alvaro. Ada sedikit rasa hangat, seakan masih ada yang peduli padanya. Namun cepat ia buang bayangan itu—karena ia sadar, itu hanya sekedar bentuk tanggung jawabnya sebagai dokter saja.

Dengan sisa tenaga, ia kembali melanjutkan pekerjaanya. Walau matanya berat, namun ia harus bertahan, meski dalam hati ia tahu dirinya jauh dari kata baik-baik saja.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status