Home / Romansa / Jejak Takdir Almira / Bab 6 Pertemuan Pertama

Share

Bab 6 Pertemuan Pertama

Author: Almira Ryanza
last update Last Updated: 2025-08-29 07:46:26

Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis.

Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja.

Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir.

Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna.

Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang.

“Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah.

Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wanita tersebut. Namun tatapannya yang penuh ketegasan membuat mereka hanya bisa diam.

“Mobil saya di sana. Saya akan membawanya ke rumah sakit,” katanya singkat sebelum beranjak cepat menuju mobil hitamnya yang terparkir di pinggir jalan.

Perjalanan menuju rumah sakit hanya memakan waktu singkat, kebetulan rumah sakit miliknya sendiri berada tak jauh dari lokasi.

Begitu tiba di rumah sakit, Alvaro langsung turun, membawa Almira masuk tanpa ragu. Para perawat yang melihat kedatangannya terbelalak kaget. Sang direktur sekaligus dokter utama rumah sakit, datang dengan seorang pasien dalam gendongan.

“Dokter Alvaro?!” salah satu perawat refleks menyapa.

“Cepat siapkan ruang observasi!” perintah Alvaro dengan nada tegas. “Periksa tekanan darah, gula darah, dan segera pasang infus.”

Tanpa membantah, para perawat bergerak sigap. Almira dibaringkan di atas ranjang, wajahnya masih pucat dan tak kunjung sadar. Jarum infus segera terpasang di lengannya, monitor detak jantung dipasang untuk memastikan kondisinya stabil.

Alvaro berdiri di sisi ranjang, dengan ketelitian penuh. Matanya memperhatikan layar monitor, dan wajah lemah—tanpa ia tahu, bahwa wanita yang diselamatkannya adalah Almira."

Ada sesuatu yang aneh bergejolak dalam dirinya. Ia terbiasa menangani pasien dalam kondisi kritis, tetapi kali ini hatinya terasa berbeda. Wanita itu tampak begitu rapuh.

Alvaro menghela napas pelan. “Siapa sebenarnya kamu…?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Di ruang observasi yang sunyi itu, ia menunggu dengan sabar, Ia ingin memastikan dengan matanya sendiri bahwa wanita itu akan membuka mata. Bahwa ia akan kembali sadar.

Suara mesin monitor berdetak stabil, menyatu dengan dengung pendingin ruangan. Ruang observasi terasa dingin dan hening, hanya terdengar suara langkah para perawat yang keluar-masuk, memastikan semua peralatan bekerja dengan baik.

Alvaro masih berdiri di sisi ranjang, kedua tangannya kini menyelip ke dalam saku jasnya. Matanya tak lepas dari wajah itu—wajah yang asing, namun entah mengapa begitu sulit ia abaikan.

Seorang perawat kembali masuk, membawa hasil pemeriksaan laboratorium awal.

“Dokter, ini hasil cek darah,” ucapnya sambil menyodorkan lembaran kertas.

Alvaro meraihnya, matanya bergerak cepat membaca angka-angka yang tertera. Alisnya berkerut.

“Tekanan darahnya turun drastis, hemoglobin rendah… ini anemia berat.”

Nada suaranya merendah, namun tetap penuh ketegasan.

Perawat itu mengangguk pelan. “Apakah perlu transfusi, Dok?”

Alvaro menatap wajah Almira sejenak, lalu mengangguk tegas.

“Ya. Siapkan donor darah. Jangan tunggu lama.”

Perawat itu segera bergegas.

Kini ruangan kembali sunyi. Alvaro menarik kursi, lalu duduk tepat di sisi ranjang. Ia meraih pergelangan tangan Almira yang dingin, menekannya perlahan. Ia bisa merasakan betapa lemah detak nadinya, sangat tipis.

“Kenapa bisa sampai separah ini…?” gumamnya lirih, seolah bicara pada diri sendiri.

Jarum jam di dinding berdetak pelan. Waktu seakan berjalan lambat. Sesekali Alvaro berdiri, mengecek layar monitor, lalu duduk kembali dengan sabar menanti.

Hingga tiba-tiba, ada gerakan kecil dari ranjang. Jemari Almira bergerak samar, nyaris tak terlihat. Alvaro sontak menegakkan tubuhnya, menunduk lebih dekat.

Kelopak mata itu bergetar pelan, berusaha membuka diri dari kegelapan. Helaan napasnya berat, dadanya naik turun dengan ritme lambat. Dan beberapa detik kemudian, matanya terbuka. Namun tatapannya tampak kosong, melayang ke langit-langit ruangan. Ia mencoba mengangkat tubuhnya, tapi sepertinya badannya masih lemas.

Di mana aku? Kenapa aku di sini?

Alvaro mendekat, suaranya terdengar, dalam dan berwibawa.

“Syukurlah kamu sudah sadar,” ujarnya pelan, tenang namun penuh ketegasan. “Kamu aman sekarang. Jangan khawatir.”

Almira menoleh,. Sosok pria dengan jas hitam berdiri di sampingnya. Wajahnya tegas, rahangnya kuat, sorot mata tajam. Ia tidak mengenalnya.

“Si… siapa Anda?” suaranya serak, nyaris patah.

Alvaro menatapnya penuh intensitas, sementara Almira hanya bisa menatap dengan kebingungan, bibirnya sedikit bergetar.

“Saya Alvaro. Saya kebetulan ada di jalan saat kamu jatuh pingsan. Jadi, Saya membawa kamu ke sini.”

Kata-kata itu membuat hati Almira berdegup kencang. Dadanya terasa sesak. Ia buru-buru menunduk, menghindari tatapan Alvaro “Maaf, saya...saya merepotkan Anda…”

Alvaro menghela napas, menatapnya lama. “ Tidak apa-apa. Kondisimu sangat lemah, jadi kalau tidak segera di tolong, bisa lebih buruk.”

Almira menggigit bibir. Air matanya menitik samar. Ia tidak tahu harus berkata apa. Hanya rasa bersalah dan takut yang berkecamuk.

“Tapi… Aku tidak bisa di sini,” ucapnya terbata. Tangannya bergerak hendak mencabut infus, namun segera ditahan Alvaro dengan cepat.

“Jangan!” suara Alvaro meninggi, tajam, membuat Almira membeku. Ia menatapnya, mata pria itu seakan menancap ke dalam hatinya.

“Apa kamu ingin mati?” lanjut Alvaro, nadanya tegas. “Tubuhmu sangat lemah. Jika tetap memaksa, bukan tidak mungkin kamu akan jatuh lagi—dan mungkin tidak ada yang menolongmu.”

Air mata jatuh dari pelupuk Almira. “Tapi aku tidak punya uang. Bagaimana aku bisa membayar rumah sakit sebesar ini?”

Suasana hening sesaat. Alvaro menatapnya lekat, rahangnya mengeras.

“Kesehatanmu jauh lebih penting daripada biaya. Dan selama kamu berada di sini, biarkan itu menjadi urusan saya.”

Almira menoleh cepat, terkejut. Wajahnya pucat, air mata semakin deras. “Tapi… anda tidak mengenal saya. Saya tidak pantas menerima semua ini.”

Alvaro bersandar di kursinya, menghela napas. “Menolong tidak harus karena kenal.”

Kata-katanya bagaikan tamparan. Almira menggenggam erat selimut di dadanya. Hatinya bergemuruh, bukan hanya karena malu, tapi juga karena tersentuh. Kenapa orang asing ini bisa lebih peduli dibanding keluargaku sendiri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jejak Takdir Almira   Bab 11 Handphone

    Jam istirahat siang tiba. Almira menghela napas panjang setelah menyelesaikan satu tumpukan berkas. Perutnya sudah mulai protes, tapi kepalanya terasa lebih berat karena pekerjaan yang menunggu tak ada habisnya. Ia bangkit dari kursi, merapikan bajunya sebentar, lalu melangkah keluar kantor dengan langkah pelan. Udara luar sedikit lebih lega dibanding ruang kerja yang penuh tekanan. Almira berniat langsung menuju kantin, tapi langkahnya terhenti begitu melihat seseorang berdiri di dekat pagar kantor. Sosok itu tidak asing—kemeja rapi, map di tangan, senyum yang begitu dikenalnya. “Alvaro?” Pria itu menoleh, matanya berbinar kecil. “Tepat sekali. Aku memang menunggumu.” Almira mengerutkan dahi, sedikit canggung. “Menungguku?” Alvaro melangkah mendekat, suaranya tenang. “Kalau kamu tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan siang. Ada tempat yang ingin aku tunjukkan. Tempatnya sederhana, tapi aku yakin kamu akan suka.” Almira terdiam, ragu. Ia menoleh sebentar ke arah kantor, tak

  • Jejak Takdir Almira   Bab 10 Jejak

    Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Almira. Suasana sepi, hanya terdengar detak jarum jam. Almira duduk di tepi tempat tidur, menatap cermin di depannya. Hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang membuat hatinya sedikit bergetar, meski ia berusaha menepisnya. Ia menepuk pipinya perlahan, mencoba menenangkan diri sebelum berangkat ke kantor. Almira menuju kantor dengan langkah ringan, meski pundaknya terasa berat menanggung beban pekerjaan yang belum selesai. Sesampainya di kantor, ia disambut oleh tumpukan dokumen, senyum tipis rekan kerjanya, dan beberapa komentar sarkastik yang membuatnya menahan napas. “Eh, Mir! Sudah sehat ya? Jangan-jangan kemarin sakit karena terlalu banyak dipikirin,” seloroh salah satu rekan, sambil menatapnya penuh sindiran. Almira hanya tersenyum tipis, menunduk, dan tetap fokus dengan pekerjaannya. Ia tidak punya energi untuk menjawab lebih jauh. Setiap lembar berkas terasa seperti beban, tapi ia berusaha menguatkan diri. Seperti hari

  • Jejak Takdir Almira   Bab 9 Kedatangan Alvaro

    Keesokan harinya, Almira kembali menjalani rutinitas seperti semula. Almira duduk di meja kerjanya dengan setumpuk berkas yang siap di input. Meski tubuhnya sudah jauh lebih baik, kejadian pingsan beberapa waktu lalu mengingatkannya untuk tidak memaksakan diri lagi. Setelah seharian bekerja, Almira akhirnya pulang. Langkahnya pelan, bahunya terasa berat menahan segala beban. Sesampainya di kosan, ia langsung disambut oleh Lestari yang duduk di kursi depan kamar kosnya dengan tangan bersedekap. “Mir, sini sebentar,” ucapnya, nada suaranya penuh selidik. Almira menaruh tasnya, lalu duduk di sebelah Lestari. “Kenapa, Mba?” tanyanya lemah. Lestari menatapnya tajam, seakan sedang menginterogasi. “Kemarin itu siapa yang nganterin kamu? Mba sempet lihat walau samar kayaknya laki-laki. Hayoo ngaku siapa? Sepertinya dia bukan orang biasa.” Almira berusaha tenang, padahal hatinya sedikit berdegup lebih cepat. “Oh itu, cuma orang yang kebetulan bantu aku waktu pingsan kemarin,” jelasny

  • Jejak Takdir Almira   Bab 8. Teguran

    Pagi itu sinar matahari menembus jendela kamar rawat, menyinari wajah Almira yang masih pucat. Ia baru saja selesai sarapan bubur yang dibawakan perawat ketika pintu kamar diketuk pelan. Sejenak ia mengira itu perawat, namun ternyata yang datang Alvaro. Dengan jas dokter yang melekat di tubuhnya, ia menenteng sebuah map berisi catatan medis. Wajahnya tampak sedikit lebih lega dibanding beberapa hari terakhir. “Almira,” ucapnya tenang, “hasil pemeriksaanmu cukup baik. Kondisimu stabil, jadi hari ini kamu sudah diperbolehkan pulang.” Almira terdiam sejenak, antara senang dan ragu. Hatinya merasa lega karena bisa pulang, namun di sisi lain, ia khawatir tentang pekerjaan dan beban yang sudah menunggunya. “Benarkah, Dok?” tanyanya memastikan. Alvaro mengangguk mantap. “Ya. Tapi dengan syarat kamu tetap harus istirahat yang cukup. Jangan memaksakan diri bekerja terlalu keras dulu.” Ia sempat menghela napas, lalu menatap Almira lebih dalam. “Dan satu lagi… kenapa masih memanggil

  • Jejak Takdir Almira   Bab 7 Permohonan Almira

    Air mata Almira masih menggantung di sudut mata, membasahi pipinya yang pucat. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan, napas masih terasa sesak. Pikiran berputar, menolak percaya bahwa ada seseorang yang mau begitu saja menanggung bebannya—bahkan tanpa mengenalnya. Wajah ayahnya terlintas—samar, ia mengingat bagaimana ayahnya memperlakukannya. sikapnya yang keras, dingin, selalu merampas hasil kerjanya tanpa pernah peduli ia sudah makan atau belum. Ingatan itu membuat matanya semakin panas. Di sini, di ranjang rumah sakit, ia justru diperlakukan lebih manusiawi oleh orang asing yang bahkan baru ditemuinya. Almira menutup wajah dengan telapak tangan, tubuhnya bergetar menahan tangis. Tanpa sadar ia berucap pelan. “saya… tidak terbiasa ditolong dengan cuma-cuma. Saya takut… saya tidak bisa. membalasnya.” Alvaro tetap di kursinya, matanya tidak beranjak dari sosok rapuh di hadapannya. “ Dengar, Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu sekarang,” ucapnya akhirnya, suaranya datar

  • Jejak Takdir Almira   Bab 6 Pertemuan Pertama

    Sore itu, Alvaro dengan jas hitam baru saja keluar dari sebuah kafe mewah di sudut kota. Siang itu, ia baru saja menyelesaikan meeting dengan perwakilan perusahaan pemasok alat-alat medis. Namun begitu menoleh ke arah jalan utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Di trotoar, tampak seorang wanita limbung, tubuhnya goyah seolah tidak punya tenaga. Dan sekejap kemudian, ia ambruk begitu saja. Dengan langkah lebar, Alvaro segera menghampiri. “Tolong beri jalan,” ucapnya tegas. Suaranya yang dalam membuat orang-orang refleks menyingkir. Kini ia melihat dengan jelas seorang wanita terbaring lemah di aspal, wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya. Napasnya tersengal, bibirnya nyaris tak berwarna. Alvaro berjongkok, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan wanita itu. Wajahnya menegang. “Dia sangat lemah… bisa berbahaya kalau dibiarkan,” gumamnya rendah. Tanpa menunggu bantuan, ia mengangkat tubuh gadis itu. Beberapa orang terperanjat melihatnya menggendong wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status