Beranda / Thriller / Jejak di Balik Pesantren / Ruang Pemungut Narasi

Share

Ruang Pemungut Narasi

Penulis: InkRealm
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 21:57:30

Ruang Pemungut Narasi

Bau kertas usang dan tinta yang belum mengering menyambut Lena, Kai, Ustadz Faris, dan Kapten Arya saat mereka membuka pintu dari Dunia Pembaca. Di balik pintu itu bukan ruang terang atau gelap, tapi kabut huruf-huruf yang belum memilih kata.

Ruang itu disebut Ruang Pemungut Narasi tempat setiap cerita yang pernah ditulis namun dibatalkan, dihapus, atau ditinggalkan sebelum sempat dihidupkan… tinggal dalam diam.

Kalimat-kalimat menggantung di udara, seperti fragmen ingatan. Ada tokoh-tokoh yang hanya hidup di dua paragraf. Ada bab yang tak pernah selesai. Ada prolog yang tak punya tubuh cerita.

Di tengah ruang itu berdiri sosok-sosok aneh: mereka menyebut diri mereka Pengumpul Fragmen. Tak bersuara, tapi mampu mendengar gema dari naskah yang pernah ditinggalkan. Mereka berjalan sambil membawa pena tanpa tinta, mengusap kalimat yang terlupakan dan menyimpannya dalam wadah kaca.

Lena merasakan satu hal saat melewati mereka: rasa bersalah. Ia teringat pada kalimat-
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Jejak di Balik Pesantren   Laman yang Tak Tertulis

    Laman yang Tak TertulisDi tengah kota yang masih menyusun dirinya sendiri dari niat dan ingatan, Lena terdiam menatap satu ruang aneh. Ruang itu tidak memiliki dinding, tidak memiliki lantai, tidak pula langit-langit. Namun semua orang yang memasukinya tahu bahwa mereka telah berpindah ke suatu tempat lain.Ruang itu dikenal dengan sebutan Laman yang Tak Tertulis. Setiap langkah di dalamnya tidak meninggalkan jejak, setiap suara yang keluar tidak menimbulkan gema. Tempat itu seperti melayang di antara kemungkinan. Lena, Kai, Ustadz Faris, dan Kapten Arya berdiri berjejer di tepinya.“Ini seperti… naskah yang belum dimulai,” kata Lena, perlahan.Kai mengangguk. “Atau mungkin, naskah yang ditunda. Karena belum ada yang siap menulisnya.”Kapten Arya melangkah satu langkah ke dalam. Awan makna di sekelilingnya menggulung, tapi tidak menyentuhnya. “Ini bukan sekadar tempat kosong,” ucapnya pelan. “Ini tempat yang sengaja dikosongkan.”Ustadz Faris menghela napas panjang, kemudian berdoa

  • Jejak di Balik Pesantren   Bab yang Tidak Pernah Ditulis

    Bab yang Tidak Pernah DitulisLangkah mereka terhenti di depan pintu besar itu. Lena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: bukan ketakutan, bukan penasaran, tapi campuran keduanya dalam bentuk yang tak bisa diberi nama. Pintu di hadapan mereka tinggi menjulang, terbuat dari kayu yang menghitam bukan karena usia, tapi karena waktu sendiri menolak menyentuhnya.Kai menyentuh permukaan pintu itu perlahan. Tidak dingin, tidak hangat. Hanya kosong. Seperti lembar putih yang belum disentuh pena. Tapi detik Kai meletakkan telapak tangannya di sana, sebuah suara menggema dalam kepalanya, bukan dari luar, tapi dari dalam kata-kata yang belum pernah ia ucapkan."Jika kau membuka pintu ini, kau tidak akan bisa kembali menjadi dirimu yang lama."Kai menoleh, menatap Lena. Tatapan mereka bertemu tanpa perlu kata-kata.Ustadz Faris berdiri beberapa langkah di belakang, tangannya meraba-raba naskah kecil berhuruf ف yang kini tersimpan dalam saku jubahnya. Ia tahu apa yang ada d

  • Jejak di Balik Pesantren   Ketika Kata Menjadi Langkah

    Ketika Kata Menjadi LangkahCahaya dari ruang di balik perpustakaan itu perlahan memudar, namun bukan karena padam. Ia telah menjadi bagian dari dinding-dinding pesantren. Setiap batu bata menyimpan gema dari kalimat yang baru ditulis, setiap lorong membawa jejak napas dari para tokoh yang telah berani mengubah takdir mereka sendiri.Kai duduk di lantai ruang utama, membentangkan naskah yang muncul setelah pena menulis sendiri. Lena berdiri di sisinya, membaca dalam diam. Kata-kata yang tertulis di halaman itu tidak berbentuk narasi biasa. Ia seperti puisi yang belum rampung, namun sudah punya roh. Setiap barisnya mengandung makna yang bergerak, tidak bisa dibaca dua kali dengan pemahaman yang sama.Kapten Arya berdiri di dekat jendela. Matanya mengawasi halaman pesantren yang kini terasa berbeda. Bukan karena suasananya berubah, melainkan karena ia tahu: pesantren ini bukan lagi tempat untuk mendidik seperti dulu. Ia telah menjadi tempat kelahiran.Ustadz Faris melangkah masuk. Paka

  • Jejak di Balik Pesantren   Suara yang Tersisa

    Suara yang TersisaFajar menyibak bayang-bayang semalam. Kabut tipis turun pelan, menyelimuti halaman pesantren yang kini terasa berbeda. Bukan karena ada bangunan baru, tapi karena sesuatu di dalam jiwa para penghuninya telah berubah.Lena membuka jendela kamarnya perlahan. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Kai duduk di bawah pohon tua, masih memegang buku kecil tempat ia mencatat penggalan-penggalan narasi yang belum lengkap. Wajahnya serius, tapi tidak sesuram dulu. Ada ketenangan aneh dalam sorot matanya.Di sisi lain, Ustadz Faris tengah berdiri di depan papan pengumuman pesantren. Tidak ada pemberitahuan resmi di sana. Hanya lembar-lembar kosong yang dipaku, seakan memberi tempat bagi siapa pun yang ingin menuliskan sesuatu. Ia menatap lembar-lembar itu dalam diam, seolah mendengarkan suara yang tak kasat mata.Kapten Arya, dengan jas panjangnya yang sedikit lusuh, tengah berbicara dengan beberapa santri. Bukan memberi perintah seperti dulu saat ia masih berperan sebagai penjag

  • Jejak di Balik Pesantren   Ketika Dunia Menunggu Kalimat Pertama

    Ketika Dunia Menunggu Kalimat PertamaDi luar ruangan tua tempat mereka menulis ulang dasar dunia, angin berhenti berhembus. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sekitar menara pesantren kini membeku di udara, seolah ikut menanti apa yang akan dituliskan. Langit yang tadi berputar dalam pola frasa dan aksara kini diam membentang, menanti satu hal: kalimat pertama dari dunia yang baru.Lena masih menatap naskah kosong di meja. Tangannya belum bergerak. Bukan karena ragu, tapi karena dia tahu, kalimat pertama akan menentukan ritme dan arah cerita mereka selanjutnya. Di belakangnya, Ustadz Faris berdiri tegak, tidak bersuara, tetapi kehadirannya seperti jangkar di tengah badai sunyi itu.Kai perlahan mengangkat tangannya, tapi Lena menahannya dengan satu gerakan pelan. “Tunggu,” katanya. “Jangan menulis seperti dulu. Kita tidak bisa memulai dengan kalimat yang mengklaim segalanya. Bukan ‘pada mulanya’, bukan ‘ada’, bukan ‘adalah’.”Kapten Arya, yang selama ini diam, kini duduk di

  • Jejak di Balik Pesantren   Ketika Kata Bangkit

    Ketika Kata BangkitTanah yang tadinya hening kini bergemuruh pelan, bukan oleh gempa, tapi oleh desakan makna yang lama terkubur. Cahaya biru dari celah makam terus menyala, membentuk siluet samar yang perlahan menjelma. Bukan manusia. Bukan tokoh cerita biasa. Tapi sesuatu yang lebih purba. Frasa.Lena menatap cahaya itu tanpa berkedip. Ia merasa seolah sedang berdiri di hadapan asal mula bahasa. Di hadapan sesuatu yang pernah menjadi fondasi seluruh cerita, sebelum nama, sebelum tokoh, sebelum dunia.Kapten Arya mengepalkan tangan. “Kita sudah pernah melawan struktur lama, pernah menantang para Penjaga. Tapi ini… ini bukan tentang perlawanan. Ini tentang menampung sesuatu yang terlalu luas untuk satu halaman.”Kai menggenggam kitab Asal-Usul Pesantren. Halamannya kini terbuka sendiri, seolah menyambut sang tamu yang akan datang. Huruf-huruf yang tadinya terputus kini menyatu, tapi bukan dengan keteraturan biasa. Mereka membentuk pola, membentuk lirik, membentuk gema.“Dia bicara,”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status